Selain harga pokok dan harga faktor produksi, penawaran juga dipengaruhi oleh teknologi Koutsoyiannis, 1979. Namun karena keterbatasan
data, teknologi tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam penelitian ini.
2.3. Struktur Pasar Susu Segar di Indonesia
Saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun
sebuah sistem agribisnis berbasis peternakan yang baik, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi Daryanto,
2009. Permasalahan yang dihadapi oleh usaha ternak sapi perah, tidak hanya akibat ketidakmampuan usaha ternak untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Setidaknya menurut Ilham dan Swatika 2001 konsumsi susu segar masyarakat masih sangat terbatas sehingga pemasaran susu segar tergantung pada IPS.
Diperkirakan sekitar 88 sampai 91 persen produksi susu usaha ternak sapi perah rakyat dipasarkan ke IPS. Harga jual tersebut ditentukan berdasarkan syarat
teknis atau kualitas susu yang dicerminkan oleh kandungan total solid susu 11- 12,5 persen. Fakta di lapangan menyebutkan hal tersebut dilakukan dengan
mengukur Berat Jenis BJ, kandungan lemak susu, dan kandungan bakteri dibawah satu juta. Mekanisme penentuan harga dilakukan secar sepihak oleh
IPS. Peternak hanya menerima yang telah ditentukan oleh IPS, berdasarkan kriteria yang disebutkan di atas, bahkan koperasi primer maupun GKSI tidak
mempunyai kekuatan dalam menentukan harga susu, karena keberadaannya hanya bersifat sebagai perantara yang memperoleh fee untuk setiap liter susu yang
dipasarkan ke IPS. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga SSDN lebih murah dari bahan baku impor. Bila terjadi sebaliknya, dengan dicabutnya sistem
rasio, diduga IPS akan lebih memilih untuk menggunakan bahan baku asal impor. Hingga saat ini belum ada upaya IPS menjalin kemitraan agar produksi SSDN
dapat bersaing dengan produk impor. Hal ini disebabkan masih ada keterkaitan antara IPS sebagai usaha multinasional dengan industri persusuan di masing-
masing negara investorprodusen Ilham dan Swastika 2001
2.4. Konsep Daya saing
Porter 1990 menyatakan bahwa daya saing dapat diidentikkan dengan produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang
digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang
digunakan, dan peningkatan teknologi total factor productivity. National Competitiveness Council mendefinisikan daya saing sebagai
kemampuan untuk menerima keberhasilan sebagai pemimpin pasar untuk memberikan standar kehidupan yang lebih baik untuk setiap orang. Definisi ini
kemudian diterangkan melalui sebelas kriteria yang harus dipenuhi dalam membangun daya saing, yaitu performa ekonomi economic performance,
internasionalisasi internationalization, modal capital, pendidikan education, produktivitas, kompensasi tenaga kerja, dan biaya tenaga kerja per unit
productivity, labour compensation, and unit labour cost, perpajakan taxation, ilmu pengetahuan dan teknologi science and technology, informasi
kemasyarakatan information Society, infrastruktur transportasi transport infrastructure
, serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup environmental protection and management. Kesebelas kriteria tersebut
kemudian dilengkapi dengan dua kriteria krusial lainnya yaitu kondisi regulasi dalam suatu negara regulatory environment, dan kualitas kehidupan quality of
life .
Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara yang memproduksi
menjual dan menyediakan barang-barang kepada pasar. Daya saing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing
bisa juga bisa diterapkan pada suatu komoditi, sektoral atau bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi
suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan
Simanjuntak, 1992
2.5. Teori Keunggulan Kompetitif
Porter 1990 menyatakan empat atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor factor condisions,
kondisi permintaan demand conditions, industri terkait dan pendukung related and supporting industries
, serta setrategi, struktur, dan persaingan firm strategy, structure, and rivalry
. Sementara itu atribut determinan eksternal dikategorikan menjadi pemerintah government dan terdapatnya kesempatan chance events.
Komprehensivitas determinan baik secara internal maupun eksternal ini secara sistemik dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengidentifikasian daya saing
competitiveness nasional.
Sumber: Porter 1990 Gambar 3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif Nat
ional Porter’s Diamond
Penjelasan lebih spesifik mengenai determinan keunggulan kompetitif nat
ional Porter’s Diamond dijelaskan sebagai berikut:
a. Kondisi Faktor factor conditions
Kondisi faktor direpresentasikan dengan factor sumberdaya yang dimiliki suatu negara yang berhubungan dengan proses produksi. Kontribusi sumberdaya
sebagai modal dasar dalam membangun keunggulan kompetitif merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri.
Chance Firm Strategy,
structure And rivalry
Factor conditions
Demand condition
Related And supporting
industries Goverment