Industri Pengolahan Susu GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL

Sumber: Departemen Perindustrian 2009 Gambar 17. Pohon Industri Susu 4.8. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu di Indonesia Pengembangan susu segar dalam negeri SSDN dimulai sejak tahun 1978. Pemasaran SSDN dibantu pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri SKB Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian Nomor: 236KPBVII82; No. 341MSK71982; No. 521KptsUn71982 tanggal 21 Juli 1982, yang mengkaitkan impor susu dengan kewajiban pembelian SSDN Bukti SerapBUSEP melalui sistem Rasio Susu. Kebijakan pembelian SSDN oleh IPS tersebut kemudian dimantapkan dengan Instruksi Presiden Nomo 2 tahun 1985 tanggal 15 Januari 1985 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Tata niaga SSDN dengan sistim rasio yang diterapkan sampai tahun 1998, berjalan dengan baik karena sistim ini sangat fleksibel dalam menghadapi Susu Segar Kepala Susu Yoghurt Susu Dadih Tahu Susu Anhydrose Milk Fat Ice Cream Keju Susu Pasteurisasi Susu UHT Susu Bubuk - Full Milk Powder - Susu Formula Susu Kental Manis Whey Mentega Skim Milk Powder perubahan produksi susu segar, impor bahan baku susu, rencana produksi IPS maupun fluktuasi harga. Kebijakan tersebut mampu mengatur keseimbangan antara impor bahan baku susu dan produksi SSDN, sehingga peternakan sapi perah bisa berkembang sebagai asset nasional. LOI-IMF yang mendesak penghapusan segala bentuk barrier tariff maupun non-tarif dan subsidi, sejak 1 Februari 1998 diberlakukan Inpres No 41998 tentang pencabutan kewajiban IPS membeli SSDN dan penurunan tariff impor bahan baku susu. Tarif impor bahan baku susu menjadi 5 persen, jauh dibawah tariff rata-rata dunia yang nilainya masih sekitar 20 persen UN COMTRADE, 2008 dalam Mulatsih dan Boediyana. 2010. Upaya pemerintah untuk menyelamatkan SSDN, tanpa melanggar LOI- IMF, adalah dengan mengkampanyekan minum susu segar. Melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 2182KPTSPD.42052009, tanggal 1 Juni dicanangkan sebagai Hari Susu Nusantara, dengan Slogan “Hanya Susu Segar Untukku”. Beberapa pemerintah daerah sentra produksi SSDN mencipkan captive market untuk SSDN. Sebagai contoh, Pemda Sukabumi, Jawa Barat membuat program “Gerimis Bagus” gerakan minum susu bagi usia sekolah, dengan membagikan susu pasteurisasi gratis kepada anak sekolah dasar SD. Kebijakan lainnya untuk mengefisienkan produksi SSDN, adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 131PMK05 2009, yang memberikan kredit bersubsidi suku bunga 5 untuk pengadaan sapi perah bibit melalui program KUPS kredit usaha pembibitan sapi. Namun semua kebijakan yang ada belum bisa menekan impor bahan baku susu yang semakin besar.

4.9. Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan

Susu termasuk kedalam 35 sensitive products yang masih banyak diproteksi. Horn et al, dalam Mulatsih dan Boediyana, 2010, mensinyalir tidak kurang dari 38 wilayah di AS dan EU yang tidak mematuhi kesepakatan WTO. Sebagai contoh di EU mengenakan tariff impor susu antara 50 sampai 200 Jean et al, dalam Mulatsih dan Boediyana, 2010. Indonesia sejak recovery ekonomi tahun 1998, harus mematuhi LOI dengan IMF yang isinya antara lain penghapusan tariff impor. Tariff impor produk susu saat ini hanya 5. Akibatnya harga susu impor menjadi sangat kompetitif dibandingkan susu dari peternak local, dan mendorong impor. Menurut PSE-KP Litbang Departemen Pertanian 2009 dalam Feryanto 2010 menyebutkan terdapat lima prilaku negara maju yang berupaya untuk melindungi produksinya dan mengupayakan komoditasnya masuk ke pasar negara-negara berkembang. Adapun kelima perilaku tersebut adalah: pertama, menekan negara berkembang menurunkan tarif, sementara negara maju melakukan non tariff barrier dengan sanitary phytosanitary SPS, Non-Trade Concerns NTCs, lingkungan hidup, dan pandangan masyarakat. Kedua, melakukan lobi dengan pemerintah negara-negara berkembang yang memiliki kemampuan untuk memutuskan agar tercipta kerjasama bilateral untuk menembus pasar negera berkembang. Ketiga, membagi negara-negara berkembang yang sebelumnya bergabung ke dalam G20 dan G33, sehingga kekuatan negara berkembang akan semakin lemah dan dengan demikian akan semakin mudah untuk menembus pasar negara-negara berkembang yang rendah dari segi produksi susu dan pemenuhan asupan nilai gizi. Keempat, negara-negara maju lebih cenderung untuk menurunkan tarif impor minor dan mempertahankan tarif produk utama. Kelima, negara maju ternyata memanfaatkan Multinational Corporation MNC yang memiliki cabang-cabang di negara berkembang untuk mengakses pasar negara berkembang tersebut. Kebijakan yang diterapkan oleh negara maju untuk melindungi komoditas susu dan produk turunannya adalah dengan menetapkan tarif bea masuk ataupun non tarif yang berbentuk hambatan teknis. Menurut Litbang Departemen Perdagangan 2009 dalam Feryanto 2010 negara-negara maju seperti Canada, Amerika Serikat, dan Australi menerapkan kebijakan untuk memproteksi komoditas susu dan turuannya dari serbuan produk sejenis dari negara lain. Faktanya Amerika Serikat menerapkan tarif masuk sebesar 17.50 sampai 18.50 persen untuk produk susu dan turunannya, Canada menerapkan tarif bea masuk sebesar tujuh persen, sedangkan Australia menetapkan zero tariff untuk komoditas susu, namun menetapkan non tariff barrier dalam bentuk sanitary certificate, dan manufacture certificate.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.

Analisis Daya saing Susu Domestik Pendekatan Porter’s Diamond Pendekata n Porter’s Diamond digunakan untuk mengidentifikasi kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing susu domestik sebagai bahan baku produk susu olahan bahan baku susu domestik. 5.1.1. Kondisi Faktor 5.1.1.1. Sumberdaya Alam Kondisi sumberdaya alam yang mendukung peternakan sapi perah dalam kajian ini adalah genetika, jumlah sapi, iklim dan lingkungan serta lahan. Dari sisi genetik bangsa sapi perah yang digunakan di Indonesia ada 2 yaitu Frisian Holstein FH dan persilangannya sekitar 374 ribu ekor, Hissar dan Sahiwal serta persilangannya dengan FH sekitar 3 ribu ekor. Melalui intensifikasi Inseminasi Buatan yang berlangsung lebih dari 5 generasi, maka persentase darah FH sudah lebih dari 97 persen, sehingga sapi-sapi persilangan FH yang ada sekarang lebih tepat disebut sapi FH. Sapi FH sangat unggul di negeri asalnya, namun jika dipelihara di wilayah beriklim serta kondisi sosial budaya yang berbeda maka keunggulan tersebut akan berbeda dalam hal susu yang dihasilkannya Diputra dan Priyanti 2010. Peternak sapi perah rakyat di Indonesia rata-rata kurang memperhatikan silsilah keturunan sapi yang dimilikinya. Tidak memiliki catatan yang rapi tentang silsilah sapinya, sehingga sering terjadi perkawinan dengan kerabat dekat dan menghasilkan anak yang kualitasnya kurang baik. Sumber: Ditjennak 2011 Gambar 18. Jumlah Sapi Perah dan Produksi Susu Tahun 2007 – 2010 374,067 457,577 474,701 488,448 567,682 646,953 827,249 909,533 2007 2008 2009 2010 jumlah sapi ekor produksi susu Ton