IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL
4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia
Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan mengimpor sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari
Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi Fries-Holland FH dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di
Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya Sudono, 1999. Kondisi peternakan sapi perah di
Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil dua sampai lima ekor dilakukan sebagai usaha sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta
didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah Erwidodo,1993.
Yusdja 2005 memaparkan bahwa usaha sapi perah telah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha
– usaha swasta dalam usaha sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mulai
tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi perah ditandai dengan Surat Keputusan Bersama SKB Tiga Menteri. SKB ini merumuskan
kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. Setidaknya terdapat dua dasar yang digunakan yakni agribisnis sapi perah
dikembangkan melalui koperasiKUD sapi perah dan pemasaran susu diatur oleh koperasi dan Industri Pengolahan Susu.
Selain itu Yusdja 2005 juga memperlihatkan bahwa industri sapi perah di Indonesia mempunyai struktur relatif lengkap yakni peternak, pabrik pakan, dan
pengolahan susu yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi, dan tersedianya kelembagaan peternak yakni Gabungan Koperasi Susu Indonesia
GKSI. Sementara itu struktur produksi susu sapi perah terdiri atas UB usaha besar dengan kepemilikan sapi lebih dari 100 ekor. UM usaha menengah
dengan kepemilikan sapi 30 – 100 ekor. UK usaha kecil dengan kepemilikan
sapi 10 – 30 ekor dan UR usaha rakyat dengan kepemilikan sapi 1 – 9 ekor. UR
pada umumnya merupakan anggota koperasi. UK berkembang di Sumatera Utara, sedangkan UB dan UM berkembang di Pulau Jawa. Situasi kontribusi produksi
peternakan sapi perah sekarang adalah US, UM, UK dan UR masing-masing 1, 5, 7, 90 persen. Selanjutnya kelompok US, UM, UK disebut sebagai pihak swasta
atau US. Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia ditunjukkan dari
perkembangan populasi sapi yang terus meningkat. Gambar 6 menunjukkan bahwa sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2010, populasi sapi perah
meningkat dari sekitar 52,000 ekor menjadi 488,448 ekor. Gambar 6 juga menunjukkan bahwa peningkatan populasi yang terjadi
pada tahun 1997 diikuti dengan penurunan pada tahun 1998. Hal ini tidak terlepas dari sifat komoditi ternak yang sangat liquid. Pada saat peternak
membutuhkan uang, maka dengan mudahnya ternak dijual. Apalagi pada saat krisis ekonomi, harga daging sapi sangat menggairahkan. Namun sejak tahun
1999 usaha ternak sapi perah ini sudah kembali meningkat mendekati jumlah pada tahun 1997 Pradana, 2010
Peningkatan jumlah populasi sapi perah ini tidak terlepas dari campur tangan pemerintah dengan disediakannya paket kredit sapi perah yang disalurkan
lewat koperasi sapi perah maupun KUD yang mempunyai unit usaha sapi perah. Namun program kredit sapi perah cenderung mengutamakan aspek pemerataan
dan kurang sekali mempertimbangkan efisiensi dan kesesuaian wilayah. Akibatnya usaha sapi perah yang dirintis menghadapi banyak masalah dan pada
ahirnya terjadi kemacetan dalam pelunasan kredit Erwidodo, 1993 dan Taryoto et al.
, 1993.
Sumber: Statistik Peternakan, Ditjenak 1998 - 2011 Gambar 6. Perkembangan Populasi Sapi Tahun 1998 - 2010
100,000 200,000
300,000 400,000
500,000 600,000
1969 1971
1973 1975
1977 1979
1981 1983
1985 1987
1989 1991
1993 1995
1997 1999
2001 2003
2005 2007
2009 populasi ekorhead