Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia

Dalam usaha meningkatkan populasi sapi perah, pemerintah telah mengimpor bibit unggul sapi perah dari New Zeland, Australia dan USA. Tahun 1979 sapi perah yang diimpor berjumlah 3,467 ekor, tahun 1982 meningkat 30,725 ekor. Tahun 1987 dan 1989 kembali dilakukan impor masing-masing 5,000 ekor dan 14,065 ekor. CIC dalam Suhartini, 2001. Kemudian untuk meningkatkan produktifitas peternak sapi, pemerintah memprogramkan bantuan pengadaan satu juta ekor bibit sapi dalam lima tahun. Program bantuan pengadaan satu juta ekor bibit sapi tersebut dilakukan melalui mekanisme kredit usaha pembibitan sapi terpadu. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Permenkeu Nomor 131PMK.052009 Tentang Kredit Usaha Pembibitan Sapi yang berlaku mulai 18 Agustus 2009. Dalam Permenkeu tersebut dijelaskan bahwa Kredit Usaha Pembibitan Sapi KUPS, adalah kredit yang diberikan bank pelaksana kepada Pelaku Usaha pembibitan sapi yang memperoleh subsidi bunga dari Pemerintah. Pelaku Usaha pembibitan sapi yang dimaksudkan adalah perusahaan pembibitan, koperasi, kelompokgabungan kelompok peternak yang melakukan usaha pembibitan sapi. KUPS untuk pelaku usaha yang berbentuk Perusahaan Pembibitan diberikan selama 2 dua tahun sejak ditetapkannya Permenkeu Nomor 131PMK.052009, dengan subsidi bunga sesuai dengan jangka waktu kredit paling lama 6 enam tahun. KUPS untuk pelaku usaha yang berbentuk Koperasi dan KelompokGabungan Kelompok Peternak diberikan sampai dengan tahun 2014, dengan subsidi bunga berakhir paling lambat tahun 2020. Tingkat bunga KUPS ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku untuk kredit sejenis, dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada Bank Umum yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan ditambah 6 persen. Sedangkan, beban bunga KUPS kepada Pelaku Usaha ditetapkan sebesar 5 persen. Dengan demikian, selisih tingkat bunga KUPS dengan beban bunga pada Pelaku Usaha merupakan subsidi Pemerintah. Sementara itu, ketentuan penetapan tingkat bunga KUPS berlaku selama jangka waktu kredit Kementrian Keuangan, 2009 Usaha peternakan sapi perah masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada tahun 2010 lebih kurang 98.5 persen populasi sapi perah nasional berada di Pulau Jawa. Tabel 4. Sebaran Populasi Sapi Perah di Indonesia Tahun 2006-2010 Ekor Wilayah Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Share 2010 Aceh 28 26 32 35 42 0.0085 Sumut 6,526 2,093 2,290 2,301 2,642 0.5408 Sumbar 608 688 768 826 857 0.1754 Riau 27 49 82 122 110 0.0225 Sumsel 188 109 59 51 86 0.0176 Bengkulu 128 189 599 688 783 0.1603 Lampung 198 230 263 221 140 0.0286 Babel 40 73 99 109 0.0223 DKI Jkt 3,343 3,685 3,355 2,920 3,238 0.6629 Jabar 97,367 103,489 111,250 117,337 120,475 24.664 Jateng 115,158 116,260 118,423 120,677 122,489 25.077 Yogya 7,231 5,811 5,652 5,495 3,466 0.709 Jatim 136,497 139,277 212,322 221,743 231,408 47.376 Banten 7 14 15 28 0.0057 Bali 70 105 126 134 127 0.0260 Kalbar 33 33 173 84 72 0.0147 Kalsel 133 135 124 96 112 0.0229 Kaltim 6 24 0.0049 Sulut 17 0.0034 Sulsel 1,398 1,784 1,919 1,826 2,198 0.4499 Gorontalo 12 17 17 21 0.0042 Sulbar 5 8 5 0.0010 Indonesia 369,008 374,069 457,577 474,701 488.448 100 Sumber: Statistik Peternakan, Ditjennak 2011 Berkaitan dengan pengkonsentrasian usaha peternakan sapi perah tersebut, Sutardi 1981 mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu 1 wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan 2 wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah. Pada dasarnya, tipe wilayah 1 merupakan dataran rendah yang terletak disekitar kota besar dan bersuhu panas; dan tipe wilayah 2 menggambarkan perdesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk. Wilayah yang cocok untuk pengembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia adalah daerah pegunungan dengan ketinggian minimum 800 meter di atas permukaan laut.

4.2. Produksi Susu Nasional

Peternak sapi perah yang memproduksi susu menurut BPS 2009 terdiri dari 12 perusahaan pembibitan, 341 perusahaan peternakan sapi perah skala menengah dan besar serta 127.211 orang peternak rakyat. Peternak rakyat tergabung dalam 95 koperasi sapi perah KPS dibawah naungan GKSI Gabungan Koperasi Susu Indonesia sebagai koperasi sekundernya. Peternak rakyat yang memelihara 2 sampai 4 ekor, menghasilkan produki susu rata-rata 11 literekorhari. Sementara peternak skala menengah dan besar yang memelihara lebih dari 50 ekor sampai 2.000 ekor, produktivitas susunya bisa mencapai 25 literekorhari. Secara nasional produksi susu yang 90 berasal dari peternakan rakyat, perkembangannya berjalan lamban, bahkan cenderung berfluktuasi Gambar 7. Pada tahun 2007 ketika harga susu dunia rendah, produksi susu nasional turun. Beberapa peternak tidak bisa menutupi biaya produksinya karena harga beli IPS ikut turun, sehingga banyak yang bangkrut dan menjual sapi perahnya. Peternak skala menengah dan besar yang memelihara diatas 50 ekor jumlahnya tidak lebih dari 10. Perusahaan peternakan besar umumnya merupakan anak perusahaan dari IPS industri pengolahan susu. Lokasi peternak peternak rakyat anggota koperasi sapi perah dan peternak besar sebagian besar di daerah pegunungan yang dingin pada ketinggian diatas 700m diatas permukaan laut. Peternak skala menengah umumnya mengolah susu sendiri dalam bentuk susu pasteurisasi dan menjual ke konsumen melalui pedagang loper. Umumnya lokasi peternak skala menengah di pinggir kota, dekat dengan konsumen. Mulatsih dan Boediyana. 2010 Sumber: Ditjenak 2011 Gambar 7. Perkembangan Produksi Susu Nasional Tahun 1991-2010 Berfluktuasinya produksi susu nasional diantaranya disebabkan oleh peningkatan populasi sapi perah yang ditempuh melalui impor sapi perah bibit, pengembangan teknologi inseminasi buatan, dan kemudahan akses kredit yang diberikan oleh pemerintah pada usaha peternakan sapi perah. Injeksi modal usaha melalui kredit koperasi ini secara operasional memiliki kelemahan. Program sapi perah cenderung mengutamakan aspek pemerataan dan kurang mempertimbangkan efisiensi dan kesesuaian wilayah. Akibatnya usaha ternak sapi perah menghadapi banyak masalah dan pada ahirnya terjadi kemacetan dalam pelunasan kredit Taryoto et al., 1993. Produksi susu nasional yang cenderung meningkat ini, masih belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional. Lebih kurang 70 persen konsumsi susu dipenuhi dari impor. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terbuka lebar peluang untuk pengembangan agribisnis persususan. 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Produksi ton Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Suhartini 2001, menyebutkan bahwa 30 persen kemampuan berproduksi sapi perah dipengaruhi oleh kemampuan genetiknya, sementara 70 persen lainnya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, tata laksana, iklim, penyakit, dan sebagainya. Tabel 5 menunjukkan bahwa, masing-masing genetik sapi perah menghasilkan produksi susu yang berbeda-beda. Tabel 5. Produksi Susu Berdasarkan Jenis Sapi No Bangsa Sapi Perah Produksi Susu kgtahun Persentase Lemak Susu 1 Ayshire 5000 4,0 2 Brown Swiss 5000 – 5500 4,0 3 Guernsey 4500 4,7 4 Fries Holland 5750 3,7 5 Jersey 4000 5,0 Sumber: Blakely dan Bade 1991 Susu segar mempunyai sifat fisik yang spesifik. Susu segar merupakan komoditi peternakan yang paling mudah rusak perishable dibandingkan dengan komoditi peternakan lainnya. Selain itu, wujudnya yang berbentuk cair dan memakan banyak tempat voluminous mengakibatkan penanganan pasca panen harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian Departemen Pertanian dalam Karliyenna, 1990 Beberapa kualifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh susu segar terlebih pada fungsinya sebagai input Industri Pengolahan Susu IPS, adalah: 1 Warna, bau, rasa, kekentalan: tidak ada perubahan 2 Berat Jenis BJ pada suhu 27.5 sekurang-kurangnya 1.0280 3 Kadar lemak fat 4 Kadar bahan kering tanpa lemak SNF sekurang-kurangnya 8.0 persen 5 Derajat asam: 4.5 – 7 SH 6 Uji alkohol 70 persen: negatif