belanja pegawai dan belanja modal jangka pendek terhadap kegiatan perekonomian di Kota Tangerang relatif besar.
Gambar 23. Kontribusi Sektor Pemerintah Kota Tangerang Pra-otonomi dan Pasca-otonomi
5.4 Pembahasan
5.4.1 Pengaruh Belanja Publik Terhadap IPM: Perbandingan Sebelum dan
Setelah Kebijakan Otonomi Daerah
Terdapat banyak studi tentang otonomi daerah dan desentralisasi, baik dari dimensi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Pada dimensi ekonomi, hasil
studi tentang pengaruh dan dampak pelaksanaan desentralisasi sangat bervariasi. Di satu sisi, hasil studi tersebut menyatakan bahwa kebijakan
otonomi daerah dan desentralisasi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Namun di sisi lain justru menyatakan yang sebaliknya. Variasi
simpulan tersebut tampaknya tergantung pada wilayah dan daerah yang menjadi kasus penelitian yang diambil dan peralatan analisis yang digunakan.
Munculnya variasi simpulan tersebut dapat juga dinyatakan belum meratanya impak impact kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi bagi setiap
kabupatenkota di Indonesia Priyarsono, 2011. Bagi daerah tertentu yang belum merasakan dampak pasti kebijakan
otonomi dan desentralisasi, studi Aziz 2009 dapat disitir. Ia menyatakan
- 0,05
0,10 0,15
0,20 0,25
0,30 0,35
0,40 0,45
bahwa faktor penyebab utama dari kegagalan desentralisasi terletak pada lack of preparation and inappropriate policies, weak local accountability,
widespread local capture, lack of voices or people’s participation, and absence of proper incentive system for local leaders. Tentu, bagi daerah yang
berhasil mendorong pembangunan ekonominya atas hasil dari kebijakan otonomi dan desentralisasi, telah berhasil melakukan pembenahan sejumlah
kelemahan sebagaimana disebutkan oleh Azis 2009 di atas. Di Kota Tangerang, dengan menggunakan model ekonometrika yang
telah dirumuskan pada Bab III ditemukan bahwa kebijakan otonomi dan desentralisasi menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal tersebut terbukti dari
dugaan variabel dummy otonomi daerah terhadap IPM yang signifikan. Artinya, kebijakan otonomi dan desentralisasi mampu mendorong peningkatan
IPM lebih tinggi ketimbang sebelum kebijakan otonomi dan desentralisasi. Dugaan ini tampaknya relevan dengan fakta empiris yang terdapat di Kota
Tangerang. Data menunjukkan, Kota Tangerang memiliki sejumlah prestasi pembangunan yang memuaskan selama kepemimpinan Walikota Wahidin
Halim. Dari aspek kinerja ekonomi dan kesejaheraan sosial,
Di samping itu, Pemerintah Kota Tangerang juga berhasil memperolah penghargaan 1 Citra Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tingkat Nasional
Tahun 2008; 2 BPKP Award 2008 untuk pengelolaan keuangan pemerintahan kota terbaik 2008; 3 Lencana Bhakti Bidang Pendidikan
Presiden RI 2007 anggaran Pendidikan 48 dari APBD dan 4 Piala Citra Abdi Negara dari Presiden RI atas Pelayanan Publik Terbaik Tingkat
Nasional pada tahun 2006. Kota Tangerang
berhasil memiliki pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional yakni 6,8 pada 2008 dan 7,1 pada 2007 dan dengan demikian berhasil mengurangi
tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional dari 20 pada tahun 2007 menjadi 12 pada tahun 2008.
Khusus pada aspek alokasi belanja publik dan PDRB, hasil pendugaan dengan menggunakan teknik ekonometrika juga ditemukan bahwa koefisien
atau slope belanja publik per sektor dan PDRB signifikan. Hal yang menarik
dari hasil pendugaan, meski sektor pertanian memiliki proporsi terendah dari alokasi belanja publik di Kota Tangerang, tetapi sektor ini berpengaruh nyata
terhadap IPM Kota Tangerang dengan tingkat elastisitas kira-kira 158,2. Artinya, setiap peningkatan 1 Rupiah alokasi belanja publik di sektor
pertanian maka akan meningkatkan IPM Kota Tangerang sebesar 158,2. Koefisien ini bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan koefisien alokasi
belanja publik sektor lainnya. Secara deduktif, telah banyak studi yang mengaitkan dan menduga
peran sektor pertanian dengan dan terhadap berbagai indikator pembangunan ekonomi. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Yudhoyono 2004.
Dia menemukan bahwa sektor pertanian secara nyata mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan dengan demikian dapat
mengangkat masyarakat dari jurang kemiskinan. Ketika ekonomi bertumbuh, maka masyarakat memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh akses
kepada sumber-sumber aktivitas ekonomi pekerjaan. Ketika itulah mereka dapat memperoleh pendapatan untuk membiayai semua kebutuhan
konsumsinya. Terpenuhinya konsumsi masyarakat, maka dengan demikian dapat meningkatkan taraf hidupnya. Temuan penelitian ini tentu didasari oleh
logika berpikir dan data empirik kondisi perekonomian nasional dimana sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja tertinggi dibanding sektor-sektor
lainnya. Menurut data Badan Pusat Statistik BPS, secara nasional sampai
dengan Agustus 2008, sektor pertanian masih menyumbang sekitar 40,3 dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini memiliki arti bahwa ketika sektor
pertanian bertumbuh, maka sektor ini dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dalam hal kontribusinya terhadap pembentukan Produk
Domestik Bruto PDB, sektor pertanian, perternakan, kehutanan dan perikanan menempati urutan kedua setelah industri pengolahan. Melihat data
empirik ini, tentulah dapat dipastikan bahwa sektor pertanian menjadi sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional, tidak terkecuali di Kota
Tangerang. Wilayah Neglasari adalah wilayah dengan potensi lahan pertanian
terbesar dibandingkan dengan potensi wilayah pertanian di Kecamatan lain di Kota Tangerang baik untuk lahan sawah maupun untuk lahan kering.
Namun demikian, dari sudut struktur ketenagakerjaan berdasarkan sektor ekonomi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian memang lebih kecil
jika dibandingkan dengan sektor industri, perdangan dan jasa formal maupun informal. Sebagai gambaran berikut ini struktur ketenagakerjaan sektor
ekonomi antara tahun 1995-2005 di Kota Tangerang. Tabel 22. Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi antara
Tahun 1995-2005 di Kota Tangerang dalam persen
Tahun Sektor Ekonomi persen
Pertanian Pertamban
gan Industri
Jasa Formal
Jasa Informal
Lainnya 1995
2,295 0,36
29,435 36,088
23,548 8,308
1996 1,723
0,268 25,258
36,486 26,782
9,482 1997
3,822 -
36,708 39,103
20,111 0,256
1998 2,139
0,223 30,503
47,075 20,061
- 1999
2,046 0,208
32,505 45,629
19,609 -
2000 2,015
0,205 32,749
45,629 19,609
- 2001
2,749 -
33,964 19,762
28,099 15,427
2002 2,746
- 33,778
19,762 28,099
15,471 2003
2,781 -
33,845 19,891
28,101 15,479
2004 2,767
- 33,978
19,913 28,137
15,489 2005
2,778 -
33,991 19,978
29,019 16,490
Sumber: Diolah dari data BPS Publikasi 1998-2005
Secara rata-rata, dari tahun 1995-2005 struktur ketenagakerjaan sektor pertanian mencapai 2,78 dari total angkatan kerja yang terdapat di Kota
Tangerang. Tingkat partisipasi angkatan kerja TPAK ini cukup besar untuk sebuah “kota”. Jika ingin dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta, wilayah
yang langsung berdampingan dengan Kota Tangerang, TPAK sektor pertaniannya hanya mencapai 1,025 pada tahun 2009 dan 1,016 pada
tahun 2010 Sakernas Agustus 2009-Agustus 2010. Melihat data empirik ini, kuat dugaan bahwa belanja sektor pertanian elastis terhadap IPM di Kota
Tangerang salah satunya disebabkan oleh terserapnya sebagian kecil tenaga kerja ke sektor pertanian.
Selain itu, dalam Laporan APBD Pemerintah Kota Tangerang, belanja sektor pertanian didasarkan atas program-program yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat. Meski luas lahan pertanian di Kota Tangerang lebih kecil
ketimbang lahan perumahan dan industri, tetapi pemerintah kota mampu memformulasi program-program pertanian yang mampu mendorong
peningkatan pendapatan petani. Dalam tabel di bawah ini, tergambar alokasi program untuk belanja sektor pertanian belanja publik tahun 2003, 2004,
2006, dan 2007 dalam struktur APBD Pemerintah Kota Tangerang. Tabel 23. Komponen Program Sektor Pertanian
Dalam Struktur APBD Pemerintah Kota Tangerang Tahun 2003, 2004, 2006 dan 2007
Tahun Program-Program
2003 1. Program Sektor Pertanian Rakyat
2. Program Pembangunan Usaha Pertanian 3. Proyek Pengembangan Agribisnis DAU
4. Program Diversifikasi Pangan dan Gizi 5. Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan DAU
6. Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan RPH Bayur
2004 1. Program Diversifikasi Pangan dan Gizi
2. Pengembangan Agribisnis Tanaman Hias dan Sayuran 3. Program Ketahanan Pangan
4. Optimalisasi Lahan Pertanian 5. Pengembangan Budidaya Air Tawar
6. Rehabilitasi dan Pengembangan RPH Bayur
2005 -
2006 Program Dinas Pertanian pada tahun 2006 sama dengan program
tahun-tahun sebelumnya. 2007
1. Program Ketahanan dan Diversifikasi Pangan a. Pembuatan sumur pompa
b. Pengendalian penyakit flu burung c. Penanganan kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban
d. Pengadaan pembibitan dan penggemukan sapi
2. Program Pengembangan Agribisnis Pertanian, Peternakan dan Perikanan
a. Pengembangan TOGA b. Pengembangan agrobisnis tanaman hortikultura
c. Bantuan usaha kelompok tani d. Pengembangan usaha ternak domba
e. Peningkatan pemasaran ikan hias f. Pengambangan usaha ternak itik
g. Budidaya ikan air tawar h. Pembuatan kebun bibit tanaman
i. Pertanian DAK j. Kelautan dan perikanan DAK
Sumber: Laporan APBD Kota Tangerang
Di sektor pendidikan, koefisien belanja sektor ini signifikan di mana koefisiennya mencapai 94,9. Artinya, setiap peningkatan alokasi 1 Rupiah di
sektor pendidikan akan meningkatkan IPM sebesar 94,9. Pendidikan merupakan salah satu komponen dari tiga komponen yang terdapat dalam IPM
di mana indikatornya adalah angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang
bisa membaca dan menulis. Angka melek huruf di Kota Tangerang sudah cukup tinggi yaitu 97,10
2005, 97,50 2006, dan 97,53 2007. Artinya lebih dari 97 penduduk usia 15 tahun ke atas di Kota Tangerang sudah bisa membaca dan menulis, dan
hanya sekitar 2,5 yang buta huruf. Program pemberantasan buta huruf sangat terkait dengan program Wajib Belajar 9 Tahun, artinya peningkatan
APK APM pada jenjang SDMI dan SMPMTs juga akan berpengaruh pada angka melek huruf atau pemberantasan buta huruf.
Sementara, rata-rata lama menyelesaikan pendidikan adalah rata-rata berapa tahun seorang penduduk mengikuti proses pendidikan. Rata-rata lama
menyelesaikan pendidikan di Kota Tangerang mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu rata-rata 10,51 pada tahun 2005, 10,75 pada tahun
2006, dan 10,77 pada tahun 2007. Secara umum seseorang membutuhkan waktu sekitar 9 tahun untuk menyelesaikan pendidikan SDMI hingga
SMPMTs. Sedangkan untuk sampai tingkat SMAMA diperlukan waktu sekitar 12 tahun. Berdasarkan data di atas, rata-rata lama penduduk
menyelesaikan pendidikan di Kota Tangerang adalah 10,7 tahun, artinya secara umum mayoritas penduduk di Kota Tangerang menyelesaikan
pendidikannya hingga tingkat SMPMTs. Hal ini sejalan dengan Program Nasional Wajib Belajar 9 Tahun, yakni target pemerintah agar standar
minimal pendidikan penduduk Indonesia adalah sampai tamat SMPMTs. Sektor yang lain yaitu kesehatan, variabel ini juga signifikan dalam
mendorong peningkatan IPM dengan slope kira-kira 63,7. Slope yang positif berarti setiap 1 Rupiah peningkatan alokasi belanja sektor kesehatan, akan
meningkatkan IPM sebesar 63,7. Sebagaimana ditunjukkan oleh data pada
Gambar 13, belanja sektor ini menempati urutan ketiga setelah belanja infrastruktur dan perumahan. Dalam IPM, indikator lamanya hidup longevity
dapat dinyatakan terkait erat dengan kesehatan masyarakat. Lamanya hidup adalah kehidupan untuk bertahan lebih lama diukur dengan indikator harapan
hidup pada saat lahir life expectancy at birth. Hasil pendugaan ini tampaknya relevan dengan fakta empirik yang ada. Salah satu program Pemerintah Kota
Tangerang dalam rangka memberi akses kesehatan dasar dan pendidikan kepada masyarakat miskin adalah Program Kartu Multi Guna KMG yang
digulirkan pada tahun 2008 lalu. Program KMG didanai 100 dari APBD Pemerintah Kota Tangerang.
Di sektor perumahan, variabel ini signifikan dalam mendorong peningkatan IPM dengan slope sebesar 44,5 yang berarti setiap 1 Rupiah
peningkatan alokasi belanja sektor perumahan akan meningkatkan IPM sebesar 44,5. Meskipun tidak terkait langsung dengan IPM, perumahan
merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat. Hal ini terkait pula dengan amanat Undang Undang Dasar UUD 1945 dan pasal 28 H
Amandemen UUD 1945, dimana dinyatakan bahwa rumah adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk
bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, rumah juga merupakan kebutuhan dasar manusia dalam meningkatkan
harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan taraf hidup.
Menurut publikasi situs internet Pemerintah Kota Tangerang, rumah tinggal layak huni yang berada di Kota Tangerang mengalami peningkatan
pada setiap tahunnya. Pada tahun 2008 hingga Maret 2008 jumlah rumah layak huni yang berada di Kota Tangerang mencapai 286.411 unit, jumlah ini
meningkat sebesar 4 dari tahun 2007. Sebaliknya, kondisi rumah yang tidak layak huni mengalami penurunan, dimana jumlah unit yang tidak layak pada
tahun 2008 hingga maret 2008 sebanyak 2.037 unit. Rasio pemukiman layak huni juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Jika
pada tahun 2004 rasio pemukiman layak huni adalah 99,00, sedangkan pada
tahun 2008 sampai Maret rasio sudah mencapai 99,29. Melihat kondisi ini, ketersediaan perumahan di Kota Tangerang menjadi semakin lebar. Hal ini
juga berarti, kesempatan masyarakat untuk memperoleh rumah yang memadai juga semakin lebar.
Di sektor infrastruktur, koefisen dari variabel ini sekitar 61,3 dan berpengaruh nyata terhadap IPM di Kota Tangerang, yang berarti setiap
peningkatan 1 Rupiah belanja publik sektor infrastruktur akan meningkatkan IPM sebesar 61,3. Menurut logika berpikir umum common sense,
ketertinggalan suatu daerah dalam membangun dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah rendahnya daya tarik suatu daerah yang menyebabkan
tingkat aktivitas ekonomi yang rendah. Suatu daerah yang tidak memiliki sumberdaya baik manusia maupun alam serta kurangnya insentif yang
ditawarkan prasarana infrastruktur, perangkat keras dan lunak, keamanan dan sebagainya dapat menyebabkan suatu daerah tertinggal dalam pembangunan
Aziz, 1994 dalam Lutfi 2008. Oleh sebab itu, dampak dari rendahnya kuantitas dan kualitas
infrastruktur menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau
membatalkan ekspansinya. Karena itu infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk
menarik akumulasi modal sektor swasta. Dalam konteks IPM, hal ini tentu juga merupakan prakondisi bagi peningkatan IPM. Sebab, salah satu
komponen IPM adalah standar hidup standard of living dan paritas daya beli purchasing power parity PPP. Peningkatan standar hidup dan daya beli
masyarakat dapat terjadi jika dan hanya jika terjadi kesempatan memperoleh pekerjaan. Dengan memperoleh pekerjaan berarti masyarakat akan
memperoleh pendapatan yang pada akhirnya dapat membeli semua kebutuhan dasarnya. Logika berpikir ini juga sesuai dengan hasil olah data pada model.
Variabel PDRB berpengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM dengan slope sebesar 70,7 yang berarti peningkatan 1 Rupiah PDRB akan
meningkatkan IPM sebesar 70,7.
Pada beberapa titik tahun, khususnya setelah pelaksanaan otonomi daerah, masalah infrastruktur memang menjadi fokus percepatan
pembangunan Pemerintah Kota Tangerang. Fokus ini dilaksanakan melalui program dan kegiatan yang termuat dalam urusan pekerjaan umum dan urusan
perhubungan. Urusan perhubungan merupakan salah satu sektor pelayanan publik yang vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah. Sektor ini
berfungsi menjamin kelancaran arus lalu lintas orang dan barang di dalam kota serta dari dan ke kota Tangerang. Sebagai wilayah urban, kebutuhan
infrastruktur juga menjadi meningkat. Oleh sebab itu, alokasi belanja publik sektor infrastrukur merupakan salah satu sektor yang penting. Oleh sebab itu
pula, investasi pada bidang social-overhead seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya dapat
menjadi alternatif pembangunan Aziz, 1994 dalam Lutfi 2008.
5.4.2 Persepsi Masyarakat Tentang Pelayanan Publik Bidang Pendidikan