= 1. ∆T, atau
∆Y=1. ∆G, yang berarti ∆Y=∆T=∆G
2.2 Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dengan diterapkannya UU. No. 322004 tentang Pemerintahan Daerah setiap daerah di Indonesia baik provinsi maupun kabupatenkota diberikan
kewenangan dalam melaksanakan pemerintahannya, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai
dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Namun demikian, pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi
dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfataan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara
adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
dan teknologi. Seiring dengan prinsip tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah
harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang berkembang di
masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu
membangun kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimbangan antardaerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan pemerintah pusat, artinya harus mampu
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Membaca uraian tersebut, maka rumusan definitif “desentralisasi“ dan “otonomi daerah” dalam UU. No 322004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah danatau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”.
Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan
penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu
tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni menciptakan system layanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawanb
dan dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dilihat dari perspektif tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki
potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan
publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan akuntabel dalam menjalankan tata kelola kepemerintahan. Beberapa faktor
lain yang dapat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah: Rozi, 2007
1. Dana Alokasi Umum DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant, sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas
yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi
kemiskinan. Dengan kata lain, saat ini pemerintah daerah dapat bertindak
lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya. Hal ini penting
dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin.
2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan
biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah,
sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap
merupakan ilustrasi dan starting point untuk menuju proses perijinan yang lebih cepat, transparan dan murah.
3. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan
relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah
untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang bersifat pro terhadap orang miskin, ada harapan besar
proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun Saefudin, 2005.
2.3 Desentralisasi Fiskal