The Implementation of Autonomy Policy in Kota Tangerang: Financial Management, Public Service Quality and Social Welfare

(1)

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

DI KOTA TANGERANG:

Pengelolaan Keuangan, Mutu Pelayanan Publik dan

Kesejahteraan Masyarakat

PITRI YANDRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Tangerang: Pengelolaan Keuangan, Mutu Pelayanan Publik dan Kesejahteraan Masyarakat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Tangerang Selatan, 2011

Pitri Yandri H152070161


(3)

iii

ABSTRACT

PITRI YANDRI. The Implementation of Autonomy Policy in Kota Tangerang: Financial Management, Public Service Quality and Social Welfare. Under direction D.S. PRIYARSONO, BAMBANG JUANDA

The objectives of the study are to: (1) analyze the effects of public expenditure and the implementation of autonomy policy on Human Development Index (HDI); (2) analyze public perception of education public service before and after the implementation of autonomy policy; (3) analyze the public financial performance before and after implementation of autonomy policy. The values examined in this study used Principal Component Analysis (PCA), Fisher Exact Value Test and the formula of fiscal autonomy. The results of the study show that (1) the elasticity of each coefficient of public expenditure as follows: 1.58 for agriculture sector; 0.94 for education; 0.36 for health, 0.44 for housing, 0.61for infrastructure, and 0.70 for PDRB; (2) public perception of education public service in central city as well as in suburb are equal. There is no perception difference about education public service between before and after the implementation of autonomy policy; (3) public financial performance in Kota Tangerang after the implementation of the policy is not better than that of policy. Key words: public expenditure, HDI, education, principal component analysis, fiscal autonomy


(4)

iv

RINGKASAN

PITRI YANDRI. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Tangerang: Pengelolaan Keuangan, Mutu Pelayanan Publik dan Kesejahteraan Masyarakat. Dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO, BAMBANG JUANDA

Kota Tangerang secara geografis sangat strategis karena merupakan penyangga utama Ibu Kota Negara DKI Jakarta dan kota paling depan di wilayah Banten. Letak geografis seperti itu sangat menguntungkan bagi Kota Tangerang, terutama dalam pengembangan ekonomi wilayah. Tumpahan aktivitas ekonomi dari metropolitan Jakarta selain merupakan modal penggerak ekonomi juga membawa dampak ikutan berupa permasalahan lingkungan, kesediaan lahan dan tingginya angka migrasi. Besarnya arus migrasi yang tidak diikuti oleh ketersediaan lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia serta permasalahan lainnya menjadikan Kota Tangerang menghadapi permasalahan yang kompleks. Secara deduktif, beberapa permasalahan tersebut adalah minimnya fasilitas pelayanan dasar umum, seperti sanitasi, sampah, buruknya tempat tinggal dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, pakar ekonomi pembangunan sependapat diperlukan ukuran yang lebih komprehensif untuk mengukur sampai sejauh mana upaya-upaya pembangunan demi kesejahteraan masyarakat telah dicapai oleh sebuah wilayah. Salah satu indikator pembangunan kesejahteraan masyarakat tersebut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Human Development Index/HDI). Selain itu, mereka sependapat, upaya untuk meningkatkan pembangunan manusia membutuhkan penanganan yang menyeluruh (comprehensive

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis pengaruh belanja publik dan pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang; (2) menganalisis persepsi masyarakat tentang pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan setelah

) yang melibatkan keterkaitan antarsektor, anterpelaku, dan multisumber daya. Salah satu pendekatan yang telah ditempuh adalah pendekatan otonomi daerah dan desentralisasi. Di Indonesia, kerangka otonomi daerah dan desentralisasi ini telah diatur melalui UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kerangka desentralisasi (desentralisasi administratif) ini didasari oleh argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan (Wilopo dan Budiono, 2007). Dengan kata lain, desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pelayanan umum. Tujuan akhirnya adalah tentu mencapai tujuan pembangunan, yaitu peningkatan kapabilitas manusia.


(5)

v

pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang; dan (3) menganalisis kinerja keuangan publik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah Kota Tangerang.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi kualitatif dan kuantitatif. Jenis data yang yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survey dengan menggunakan instrumen kuesioner. Data sekunder yang digunakan adalah data-data Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tangerang periode 1992-2008. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan sampel

purposive/judgement sampling. Rencana wilayah pengambilan sampel di Kota Tangerang dibagi menjadi wilayah pusat kota dan pinggiran kota. Jumlah sampel yang diambil adalah tiga puluh responden.

Pengaruh belanja publik dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap IPM dianalisis dengan menggunakan Analisis Regresi Komponen Utama (Principal Component Analysis). Belanja publik dikelompokkan menjadi belanja publik sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan dan infrastruktur. Persepsi masyarakat tentang pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuensi dan uji Fisher Exact. Kinerja keuangan publik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah dianalisis dengan menggunakan Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.

Belanja publik berpengaruh positif terhadap IPM dan peningkatan ini menjadi lebih signifikan setelah pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Elastisitas belanja publik per sektor adalah 158,2% pada sektor pertanian; 94,9% sektor pendidikan; 36,7% sektor kesehatan, 44,5% sektor perumahan, 61,3% sektor infrastruktur, dan 70,7% PDRB. Dimasukkan PDRB ke dalam model disebabkan PDRB merupakan keluaran barang dan jasa dalam sebuah wilayah yang tidak lain adalah indikator kemakmuran sebuah masyarakat.

Tidak terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat di pusat dan pinggiran kota tentang kinerja pelayanan publik bidang pendidikan di Kota Tangerang. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat baik di pusat kota maupun di pinggiran kota secara rata-rata adalah sama. Menurut penilaian responden, kuantitas dan kualitas pelayanan publik bidang pendidikan di Kota Tangerang telah dilaksanakan secara efektif, efisien, berdaya tanggap dan berkeadilan.

Kondisi kinerja keuangan pemerintah daerah setelah otonomi daerah tidak lebih baik jika dibandingkan sebelum pelaksanaan otonomi dan desentralisasi. Terjadi peningkatan PAD sebagai akibat dari meningkatnya penerimaan pajak dan retribusi, tetapi PAD itu belum dapat mengoptimalkan kemandirian ekonomi di Kota Tangerang. Selain itu, peningkatan PAD tidak diiringi dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membuka keran investasi melalui belanja modal yang lebih ekspansif.

Kata kunci: belanja publik, IPM, pendidikan, analisis komponen utama, otonomi fiskal


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

vii

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

DI KOTA TANGERANG:

Pengelolaan Keuangan, Mutu Pelayanan Publik dan

Kesejahteraan Masyarakat

PITRI YANDRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

(PWD)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

x

PRAKATA

Alhamdulillah, penelitian yang merupakan tugas akhir dari Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor (IPB) telah rampung. Pada aras waktu, tugas ini bisa dibilang terlambat penyelesaiannya. Saya memasuki sayap-sayap (wings) akademik IPB pada 2007, dan baru merampungkan studi ini pada 2011. Curahan waktu tentu menjadi alasan pertama dan utama keterlambatan ini. Namun demikian, better late than ever, lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali.

Atas rampungnya penelitian ini, sudah semestinya saya mengucapkan terima kasih baik institusi maupun pribadi, diantaranya: Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang, Ir. D.S. Priyarsono, Ph.D, Prof. Dr. Bambang Juanda, MS, Dr. Ir. Setia Hadi, MS. dan Prof. Dr. Akhmad Fauzi M.Sc. Khusus, istri tercinta Intan Adhi Perdana Putri Sp. M.Si, Bapak Aan Setiawan dan Ibu Siti Ati Rokayah, terima kasih dan rasa bangga tak terkira bisa mendampingi saya di saat-saat studi ini sudah ‘di ujung tanduk’. Tidak lupa, teman-teman PWD 2007 yang telah memberikan spektrum inspirasi yang sangat luas: Aziz, Herwin, Nurlela, Desi, Sukma, Filzah, Nisa, Jusmun, David dan Lita. Para sahabat dan rekan: Kemas Syamsuddin, Mukhaer Pakkana, Muchtar Rivai, Siti Maryama, Sutia Budi, Engel Hartia Bhayangkara, Robi Binarta, Imal Istimal, Yayat Sujatna dan Tito Siswanto.

Meski penelitian ini telah menempuh prosedur ilmiah yang ketat, namun sebagai sebuah ‘pendugaan dan prediksi’ hasil penelitian ini bisa saja meleset dari apa yang telah ‘diduga dan diprediksi’. Disinilah letak pentingnya asumsi ceteris paribus itu. Dalam kerangka ceteris paribus itulah saya merasa perlu membuka ruang kritik dengan tangan terbuka. Akhir kata, semoga penelitian ini mendatangkan manfaat bagi saya di masa depan, bagi Kota Tangerang, bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tangerang Selatan, Juli 2011

Pitri Yandri


(9)

xi

RIWAYAT HIDUP

Pitri Yandri. Lahir di Medan, 04 Juli 1979. Menyelesaikan pendidikan sarjana di STIE Ahmad Dahlan Jakarta, sebuah Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta pada tahun 2003, Program Studi Manajemen Keuangan dan Perbankan lalu melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada 2007.

Profesi saat ini adalah tenaga ahli bidang sosial dan ekonomi pada Darma Strategic Advisory (DSA), sebuah perusahaan konsultan di Jakarta. Rekreasi intelektual dengan menjadi Pengajar Riset Operasi, Teknik Peramalan Bisnis pada STIE Manajemen Industri dan Jasa Indonesia dan STIE Ahmad Dahlan Jakarta, keduanya di Jakarta. Telah memperoleh Jenjang Jabatan Akademik Lektor pada tahun 2011.

Pernah Kuliah Informal Ekonomi Islam di UI pada tahun 2000-2003. Selain itu, pernah mengikuti pelatihan metodologi penelitian “Teknik Sample dan Penentuan Besar Sample” pada 2005 di Universitas Brawijaya Malang. Pernah menulis pada kolom opini di beberapa koran nasional dan lokal, diantaranya “Respons Parsial Urbanisasi” (Media Indonesia, 16 Oktober 2007), “Harapan Dari Kopenhagen” (Koran Jakarta, 17 Desember 2009), dan “Pasar Bebas dan Modal Sosial” (12 Juni 2010), “Mengkaji Wacana Merger PTM” (Majalah Suara Muhammadiyah No. 14 Edisi 15-31 Juli 2007). Menulis di beberapa jurnal ilmiah diantaranya: “Euphoria Otonomi Daerah: Antara Signifikansi Idealisme dan Pragmatisme” (Jurnal Skolastik, Vol. 1 No. 1 September-Desember 2006), “Masalah Non-Convexity Dalam Perencanaan dan Kebijakan Ekonomi Tata Ruang di Indonesia” (Jurnal Equilibrium, Vol. 5, No. 1, September-Desember 2007), “Perspektif Keterkaitan Rural-Urban Tentang Apartemen Bersubsidi di DKI Jakarta” (Jurnal Equilibrium, Vol. 5 No. 3 Mei-Agustus 2008), “Kebijakan Internet Masuk Desa Perspektif UU. 5/1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” (Jurnal Equilibrium, Vol. 6 No. 1 September-Desember 2008), dan lain-lain. Penulis cerpen dan prosa pada blog Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI 2010 dengan judul Cerpen “Dasi Abu-Abu”.


(10)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL………... i

HALAMAN PERNYATAAN………... ii

ABSTRACT………...………. iii

RINGKASAN………...…………. iv

HALAMAN HAK CIPTA………...………. vi

HALAMAN JUDUL………...……….. vii

HALAMAN PENGESAHAN………...……… viii

HALAMAN PERSEMBAHAN………...………. ix

PRAKATA………...………...….. x

RIWAYAT HIDUP………...……… xi

DAFTAR ISI………...………... xii

DAFTAR TABEL………...……….. xiv

DAFTAR GAMBAR………...………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………...……….. xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………...………. 1

1.2Perumusan Masalah………...…………. 6

1.3Tujuan Penelitian………...………. 8

1.4Manfaat Penelitian………...……… 8

1.5Ruang Lingkup Penelitian………...…… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Teori Pengeluaran Pemerintah………... 11

2.2Desentralisasi dan Otonomi Daerah……… 14

2.3Desentralisasi Fiskal………...…………. 16

2.4Indikator Pembangunan………...……… 22

2.5Pengembangan Wilayah………...……... 24

2.6Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM)………… 2.6.1 Definisi Pembangunan Manusia dan Pengukurannya………... 2.6.2 Metode Perhitungan dan Komponen-Komponen IPM………...……….. 26 27 29 2.7Konsep Pelayanan Publik………...…….. 31


(11)

xiii

2.9Kerangka Pikir Penelitian………...…….. 36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Desain Penelitian………...……….. 41

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian………...… 42

3.3Teknik Pengumpulan Data………...…… 42

3.4Teknik Pengambilan Sampel………...… 42

3.5Definisi Operasional ………...…………. 44

3.6Teknik Analisis………...………. 46

3.6.1 Analisis Deskriptif………...……. 46

3.6.2 Analisis Inferensial ………...…… 49

3.6.2.1 Regresi Komponen Utama (Principal Component Regression) ………. 51

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Sejarah Singkat Kota Tangerang………. 56

4.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi………... 57

4.3 Kondisi Demografi……….. 59

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengaruh Belanja Publik Terhadap IPM………. 62

5.1.1 Deskripsi Data……… 5.1.2 Indikator Kesesuaian Model………... 5.1.3 Regresi Komponen Utama (Principal Componen Regression)………. 62 68 71 5.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Pelayanan Publik Bidang Pendidikan………... 77

5.2.1Karakteristik Responden……… 5.2.2Tanggapan Responden Terhadap Kinerja Pelayanan Publik Bidang Pendidikan……… 77 81 5.3 Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (IKKPD) 89 5.4 Pembahasan………. 98

5.4.1Pengaruh Belanja Publik Terhadap IPM: Perbandingan Sebelum dan Setelah Kebijakan Otonomi Daerah………. 5.4.2Persepsi Masyarakat Tentang Pelayanan Publik Bidang Pendidikan………. 5.4.3Kinerja Keuangan Daerah……….. 98 106 110 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ………..……….. 114

6.2 Saran………..………. 115

DAFTAR PUSTAKA 117


(12)

(13)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Indikator-Indikator Pembangunan……….. 24

2 Matriks Tujuan, Hipotesis, Jenis Data dan Metode Penelitian…….. 41

3 Nilai/Bobot Penilaian Kuesioner……… 48

4 Belanja Publik Per Sektor dan PDRB Pada Harga Berlaku Kota Tangerang Tahun 1992-2008 (Dalam Milyar Rupiah)………. 64 5 Proporsi Alokasi Belanja per Sektor Terhadap Total Belanja Kota Tangerang Tahun 1992-2008……….. 66

6 Indeks Pembangunan Manusia Kota Tangerang 1992-2008……… 67

7 Korelasi Diantara Variabel Bebas……….. 69

8 Nilai VIF Model Implikasi Alokasi Belanja Publik Terhadap IPM Di Kota Tangerang………. 70 9 Akarciri dan Vektorciri………... 71

10 Skor Komponen Utama……….. 71

11 Koefisien Regresi dan ANOVA untuk W1……… 72

12 Analisis Signifikansi Koefisien Regresi Parsial……… 74

13 Hasil Uji Homoskedastisitas……….. 75

14 Hasil Uji Autokorelasi……… 76

15 Pembagian Wilayah Kota Tangerang Berdasarkan Pusat dan Pinggiran Kota……… 77 16 Sebaran Responden Berdasarkan Kecamatan……… 78 17 Total PAD dan Total Pendapatan Kota Tangerang Pra-Otonomi dan

Pasca-Otonomi (dalam milyar rupiah)………...

90 18 PAD dan PDRB serta Kapasitas Penciptaan Pendapatan Kota

Tangerang Pra dan Pasca-Otonomi Daerah (dalam milyar rupiah)…

92 19 Rasio Pos Pajak dan Retribusi Terhadap Total PAD Kota

Tangerang Tahun 2001-2007 (dalam milyar rupiah) ……….

94 20 Proporsi Belanja Modal terhadap Total Belanja Kota Tangerang

Pra-otonomi dan Pasca-otonomi (dalam milyar rupiah)………

95 21 Proporsi Total Belanja terhadap PDRB Kota Tangerang

Pra-otonomi dan Pasca-Pra-otonomi (dalam milyar rupiah)………..


(14)

xv

22 Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi antara Tahun 1995-2005 di Kota Tangerang (dalam persen)………..

101 23 Komponen Program Sektor Pertanian Dalam Struktur APBD

Pemerintah Kota Tangerang Tahun 2004, 2006, 2007……….

102 24 Sebaran Industri di Kota Tangerang Sampai Bulan Juni 2008……... 108 25 Komposisi Jumlah Sekolah Pemerintah-Swasta Di Kota Tangerang. 109


(15)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Output Minitab Regresi Komponen Utama………. 121

2 Kuesioner……….……… 129

3 Tabulasi Kuesioner……….……… 133


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kota Tangerang secara geografis sangat strategis karena merupakan penyangga utama Ibu Kota Negara DKI Jakarta dan kota paling depan di wilayah Banten. Letak geografis seperti itu sangat menguntungkan bagi daerah Kota Tangerang, terutama dalam pengembangan ekonomi wilayah. Selain itu, kota Tangerang andal dalam kegiatan sektor-sektor ekonomi strategis seperti industri, perdagangan, perumahan dan perbankan serta keuangan.

Tumpahan aktivitas ekonomi dari metropolitan Jakarta selain merupakan modal penggerak ekonomi juga membawa dampak ikutan berupa permasalahan lingkungan, kesediaan lahan dan tingginya angka migrasi. Besarnya arus migrasi yang tidak diikuti oleh ketersediaan lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia serta permasalahan lainnya menjadikan Kota Tangerang menghadapi permasalahan yang kompleks.

Brockerhoff dalam laporan Population Brief (1997) dalam Harian Kompas, (18 Juni 2005) mengungkapkan, karena pertumbuhan penduduk yang begitu tidak terkendali, kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya tidak lagi menawarkan kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan di pedesaan. Sejalan dengan Brockerhoff , Todaro (2004) menyatakan “negara berkembang (termasuk Indonesia) dihadapkan pada persoalan perkotaan yang pelik. Beberapa persoalan tersebut adalah minimnya fasilitas pelayanan dasar umum, seperti sanitasi, sampah, buruknya tempat tinggal dan lain sebagainya”.

Melihat sejumlah persoalan tersebut, dengan demikian pendapatan dan distribusi pendapatan tidaklah cukup untuk meng-capture makna pembangunan sebenarnya. Oleh sebab itu, pakar ekonomi pembangunan sependapat diperlukan ukuran yang lebih komprehensif untuk mengukur


(17)

sampai sejauh mana upaya-upaya pembangunan demi kesejahteraan masyarakat telah dicapai oleh sebuah wilayah. Salah satu indikator pembangunan tersebut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Human Development Index/HDI). IPM mencakup tiga indikator yaitu masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup, pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis (literacy), serta standar hidup (standard of living) yang diukur dengan paritas daya beli (PPP).

Dalam situs internet Pemerintah Kota Tangerang dinyatakan bahwa program dan kegiatan yang terkait dengan upaya pembangunan manusia antara lain pelatihan keterampilan PBK bagi anak terlantar, anak jalanan, anak cacat dan anak nakal, penanganan terhadap 232 orang terlantar di Kota Tangerang, dan penyelenggaraan pelatihan keterampilan usaha bagi keluarga miskin. Dampak dari program dan kegiatan ini, Kota Tangerang merupakan wilayah yang nilai IPM-nya tertinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Provinsi Banten. Nilai IPM Kota Tangerang mencapai 75,5 pada 2006. Berdasarkan ranking yang telah disusun oleh United Nation Development Program (UNDP), nilai ini berada pada level indeks pembangunan manusia menengah.

Upaya pencapaian ini memang didukung oleh fakta empirik di Kota Tangerang. Namun demikian, khususnya pada bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni (APM) memang mengalami peningkatan. Tetapi pada masing-masing jenjang terdapat perbedaan APM. Tingkat SMP/MTs dan SMA/MA lebih rendah dibanding SD/MI yaitu 85,25 pada SD/MI, 55,33 pada SMP/MTs dan 23,87 pada SMA/MA

Kota Tangerang terdiri atas sejumlah Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi No. 2/1993 tentang Pembentukan Kotamadya Tangerang pada tanggal


(18)

3

Para pakar ekonomi pembangunan sependapat bahwa upaya untuk meningkatkan pembangunan manusia membutuhkan penanganan yang menyeluruh (comprehensive

Kerangka desentralisasi sebagaimana telah diatur dalam UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah memiliki dua dimensi dasar, yaitu dimensi ekonomi dan dimensi politik. Dari dimensi ekonomi, pelaksanaan desentralisasi merupakan momentum bagi bangkitnya demokrasi ekonomi. Momentum tersebut dapat dilihat dari tujuan otonomi daerah dalam mendorong kemandirian daerah.

). Pendekatan komprehensif diperlukan mengingat tujuan pembangunan sangatlah luas yang melibatkan keterkaitan antarsektor, anterpelaku, dan multisumber daya. Salah satu pendekatan yang telah ditempuh adalah pendekatan otonomi daerah dan desentralisasi.

UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menitikberatkan pada apa yang disebut sebagai desentralisasi administratif (administrative decentralization). Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Pendelegasian tanggung jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).

Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pelayanan umum. Tujuan akhirnya adalah tentu mencapai tujuan pembangunan, yaitu peningkatan kapabilitas manusia.


(19)

UU. No. 33/2004 Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah menitikberatkan pada desentralisasi keuangan yang merupakan komponen inti dari konsep desentralisasi. Adanya desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri. Desentralisasi keuangan dalam prakteknya terdiri dari beberapa bentuk, termasuk (a) pendanaan mandiri; (b) menjalin kerjasama pendanaan dengan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan dan infrastruktur; (c) ekspansi sumber pendapatan daerah melalui berbagai retribusi; (d) dana bagi hasil dari Pemerintah Pusat dan (e) utang luar negeri.

Dengan adanya kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yaitu: (a) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumber daya yang belum optimal melalui bagi hasil dan peningkatan dana transfer; dan (b) lebih berorientasi pada efektifitas pengeluaran yaitu merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan serta program pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Bentuk nyata dari responsifitas tersebut, seyogyanya pemerintah daerah dapat lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya.

Namun pertanyaannya, sampai sejauh mana otonomi bisa dimaknai oleh Pemerintah Kota Tangerang dalam upaya menciptakan pembangunan bagi masyarakat setempat? Pertanyaan ini relevan sebab secara deduktif hampir sebagian besar kalangan menganggap bahwa otonomi daerah dalam kerangka upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat dan kemandirian daerah belum optimal, karena pemahaman masyarakat dan birokrasi pemerintahan daerah masih terjebak dalam diskursus bagaimana mendapatkan taxing power

yang dimiliki daerah yaitu kewenangan dalam menggali sumber-sumber pendapatannya (PAD) dan untuk memanfaatkannya.

Lewis mencatat, Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil (Lewis, 2001). Siregar (2001) juga mengemukakan bahwa bagi banyak


(20)

5

daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama untuk tahun anggaran 2000 (setelah desentralisasi).

Konstatasi ini menunjukkan banyak daerah belum secara optimal menyediakan pelayanan dasar (basic service) kepada masyarakat sehingga berimplikasi pada ketimpangan tingkat kesejahteraan nonpendapatan (nonmoneter) di daerah. Studi Bappenas dan UNDP menunjukkan, secara umum kinerja pelayanan publik di Daerah Otonom Baru (DOB) cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah (i) tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, (ii) ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan (iii) masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik yang diberikan (Bappenas & UNDP, 2008).

Hasil studi ini paralel dengan studi yang dilakukan World Bank (2009) yang menemukan bahwa hampir 25% kondisi infrastruktur pendidikan di sejumlah daerah sangat rendah. Studi World Bank juga menunjukkan, ada perbedaan mencolok antara capaian jenjang pendidikan penduduk di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, dengan perbedaan rata-rata sebesar 2,5 tahun (World Bank, 2006).

Dalam kaitan inilah, faktor yang dapat menciptakan pelaksanaan otonomi kondusif terhadap kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Selain itu, sebagaimana amanat UU. No. 33/2003 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan dana hibah (block grant), yaitu DAU yang memiliki tujuan sebagai dana penyeimbang. Melihat tujuan DAU ini, peningkatan kapabilitas manusia, termasuk di dalamnya pemberian akses terhadap pelayanan publik dasar, seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah.

Kinerja pelayanan pemerintah daerah atas pelayanan dasar umum saat ini antara lain akan tercermin dari kebijakan alokasi sektoral dalam APBD.


(21)

Makin besar anggaran belanja yang dialokasikan ke dalam suatu sektor (baik absolut maupun relatif), makin besar perhatian pemerintah daerah terhadap sektor itu, dan makin terbuka peluang bagi terciptanya kinerja pelayanan yang baik untuk sektor tersebut.

Kebijakan anggaran (budget policy) tampaknya akan menjadi syarat keharusan (necessary condition) bagi pintu masuk pelayanan publik yang berkualitas. Namun demikian, syarat keharusan tersebut bukanlah akhir dari upaya pemerintah daerah untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebab, terdapat syarat lain yang semestinya dipenuhi yaitu antara lain responsifitas pemerintah daerah atas keluhan masyarakat dari pelayanan yang telah diberikan, aksesibilitas pelayanan, debirokratisasi dan efisiensi dalam penggunaan anggaran.

1.2Perumusan Masalah

Tujuan desentralisasi dan otonomi adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, tujuan otonomi secara lebih terukur sebenarnya antara lain meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (growth), mengurangi tingkat pengangguran, dan mengurangi angka kemiskinan. Semua tujuan tersebut menuju satu sasaran akhir, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika pemerintah daerah berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah berhasil mencapai salah satu tujuan pembangunan.

Tujuan tersebut terangkum dalam UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Salah satu penekanan dalam paket undang-undang tersebut adalah adanya desentralisasi administratif yang dimaksudkan sebagai pendistribusian kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya keuangan


(22)

7

sebagai upaya menyediakan pelayanan umum yang efektif dan efisien kepada masyarakat.

Aspek lain yang menjadi penekanan paket undang-undang tersebut adalah adanya desentralisasi fiskal dan desentralisasi administratif. Kedua aspek ini semata-mata ditujukan agar pemerintah daerah lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk, khususnya dalam hal kebutuhan akan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur).

Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan kapabilitas manusia yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat. Indikator kapabilitas manusia diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam konteks semangat desentralisasi fiskal, upaya peningkatan IPM ditempuh melalui fungsi alokasi belanja dan distribusi belanja dari struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD).

Hal yang terpenting dari kedua fungsi tersebut yaitu fungsi alokasi belanja publik. Hal ini disebabkan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti belanja pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur dan lain-lain. Dalam kaitan itulah UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, terdapat komponen anggaran yang diperuntukkan sebagai dana perimbangan (equalization transfer) (Dana Alokasi Umum/DAU). Salah satu tujuan dari DAU ini adalah upaya pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas pelayanan publik kepada masyarakat. Ketersediaan akses terhadap pelayanan publik ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pembangunan manusia di Kota Tangerang.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan difokuskan pada 3 (tiga) rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh belanja publik dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap IPM di Kota Tangerang?

2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang?


(23)

3. Bagaimana kinerja keuangan publik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah Kota Tangerang?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan 3 (tiga) pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh belanja publik dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap IPM di Kota Tangerang.

2. Menganalisis persepsi masyarakat tentang pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang.

3. Menganalisis kinerja keuangan publik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah Kota Tangerang.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi baik yang bersifat akademis maupun praktis.

1. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu ekonomi, khususnya tentang aspek-aspek perekonomian daerah. Secara spesifik, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan substansi desentralisasi fiskal khususnya bidang belanja publik dalam kerangka otonomi daerah. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian di seputar otonomi daerah berserta aspek-aspeknya, seperti desentralisasi fiskal terkait dengan kinerja keuangannya, IPM, dan pelayanan publik bidang pendidikan di Kota Tangerang.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi daerah yang bersangkutan untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan otonomi mereka dalam upaya mempercepat kesejahteraan masyarakat, meningkatkan IPM, meningkatkan kinerja keuangan daerah serta


(24)

9

meningkatkan kinerja pelayanan publik terutama pelayanan publik bidang pendidikan.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian mencakup permasalahan sebagai berikut: 1. Pengaruh Belanja Publik

Lingkup ini membahas pengaruh belanja publik. Belanja publik adalah pos pengeluaran dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Kota Tangerang untuk kepentingan publik. Dalam penelitian ini, alokasi belanja publik dibatasi pada: (a) sektor pertanian, (b) sektor pendidikan, (c) sektor kesehatan, (d) sektor perumahan, dan (e) sektor infrastruktur. Kelima belanja tersebut akan diteliti pengaruhnya terhadap IPM, sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang

2. Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam penelitian ini mengacu pada tiga ukuran, yaitu bidang pendidikan yang diukur oleh kemampuan baca-tulis, kesehatan yang diukur oleh usia harapan hidup dan standar kehidupan yang diukur oleh paritas daya beli. Perlu dijelaskan bahwa terdapat banyak faktor determinan yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan IPM. Namun demikian, dalam penelitian ini faktor determinan yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan IPM tersebut adalah belanja publik di Kota Tangerang.

3. Persepsi Masyarakat Tentang Pelayanan Publik Bidang Pendidikan

Efektifitas pelayanan publik merupakan salah satu indikator berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mengukur sejauh mana keberhasilan pelayanan publik tersebut dijalankan, maka hal itu tergantung dari respons yang diterima masyarakat sebagai penerima manfaat dari pelayanan publik. Dalam penelitian ini, persepsi masyarakat tentang pelayanan publik di Kota Tangerang akan dibatasi pada pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan pelaksanaan otonomi.


(25)

4. Kinerja Keuangan Publik

Kinerja keuangan publik adalah salah satu indikator untuk melihat sampai sejauhmana derajat desentralisasi fiskal dalam desentralisasi fiskal di Kota Tangerang dijalankan. Terdapat empat indikator untuk melihat sampai sejauhmana kinerja keuangan publik di Kota Tangerang, yaitu: (a) derajat desentralisasi fiskal; (b) kapasitas penciptaan pendapatan; (c) proporsi belanja modal; dan (d) kontribusi sektor pemerintah.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Teori Pengeluaran Pemerintah

Dalam konsep ekonomi makro, perekonomian tidak hanya terdiri dari konsumen dan produsen yang dikenal dengan perekonomian 2 sektor seperti yang dikemukakan dalam teori ekonomi klasik. Menurut ekonomi klasik, pelaku ekonomi terdiri dari 2 sektor saja, yaitu produsen (I) dan rumah tangga masyarakat (C). Dari penjumlahan kedua pelaku tersebutlah (C+I) adanya ekonomi (Y). Tetapi setelah terjadinya depresi ekonomi yang besar (great depression) tahun 1929, oleh J.M. Keynes diperkenalkan konsep ekonomi 3 sektor dengan menambahkan variabel pengeluaran pemerintah (government expenditure/G) dalam kegiatan ekonomi, sehingga ekonomi merupakan identitas dari Y = C + I + G.

Pengeluaran atau konsumsi pemerintah merupakan anggaran belanja pemerintah untuk melaksanakan pengeluarannya dalam rangka pembelian barang-barang dan jasa yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan menjalankan organisasi kepemerintahan. Di Indonesia, dalam pengeluaran pemerintah terdapat dua kategori pengeluaran, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan itu misalnya membangun jalan, membangun sekolah dan lain sebagainya. Sedangkan pengeluaran rutin meliputi pengeluaran untuk membayar gaji pegawai pemerintah dan lainnya dalam rangka membiayai organisasi pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk melakukan pengeluaran tersebut disebut dengan kebijakan fiskal (fiscal policy).

Menurut Amir (2007), kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran atau fiskal merupakan kebijakan yang menyangkut tiga hal, yaitu:

1. Kebijakan yang menyangkut pembelian atau pengeluaran pemerintah atas barang dan jasa;


(27)

3. Kebijakan pembayaran transfer: tunjangan sosial, tunjangan keamanan, tunjangan veteran dan tunjangan pengangguran.

Dengan adanya, anggaran yang dikeluarkan pemerintah, maka setidaknya ada beberapa fungsi dari kebijakan belanja negara tersebut yaitu sebagai berikut: (Amir, 2007)

1. Fungsi alokasi

Fungsi alokasi merupakan fungsi pemerintah dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berupa barang dan jasa umum (public goods and services) agar tersedia dengan baik dan merata.

2. Fungsi distribusi

Fungsi distribusi merupakan fungsi pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan nasional dan hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat.

3. Fungsi stabilisasi

Fungsi stabilisasi merupakan fungsi pemerintah dalam mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat kebutuhan pokok yang stabil serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai.

4. Fungsi dinamisatif

Fungsi dinamisatif merupakan fungsi pemerintah untuk menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar cepat tumbuh, berkembang dan maju.

Pengeluaran atau belanja pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu periode tertentu tergantung pada banyak faktor, yang penting diantaranya: (1) proyeksi jumlah pajak yang diterima; (2) tujuan-tujuan ekonomi yang ingin dicapai; dan (3) pertimbangan politik dan keamanan (Sukirno, 2004).

Secara teoritik, kebijakan/politik anggaran (budget policy) dapat dibedakan menjadi anggaran tidak berimbang dan anggaran berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan/politik anggaran merupakan interasi (resultan) dari dampak pajak dan pengeluran pemerintah terhadap output keseimbangan (Rahardja dan Manurung, 2005). Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap


(28)

13

perubahan pendapatan keseimbangan adalah: . Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah: .

Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit (defist budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (T < G atau G > T). Politik anggaran defisit biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah anggaran berimbang (G = T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit maka ∆G > ∆T, dimana ∆G ≥ 0 dan ∆T ≥ 0. Karena ∆G > 0 dan ∆G > ∆T, maka jika pemerintah menempuh kebijakan/politik anggaran defisit, pemerintah dianggap memilih kebijakan fiskal ekspansif.

Kebalikan dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (T > G atau G < T). Dapat juga dikatakan pemerintah menempuh kebijakan/politik anggaran surplus bila ∆C < ∆T, di mana ∆G dan ∆T ≥ 0. Karena itu, kebijakan/politik anggaran surplus sering diidentikkan dengan kebijakan fiskal kontraktif.

Selain itu, pemerintah dikatakan menempuh kebijakan/politik anggaran berimbang bila pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G = T dan atau ∆G = ∆T) . Tidak ada ketentuan pokok dalam kondisi ekonomi seperti apa kebijakan/politik anggaran berimbang ditempuh. Namun bila pemerintah memilih kebijakan/politik anggaran berimbang, dua hal utama yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran. Karena ∆G = ∆T, maka pegaruh anggaran berimbang terhadap keseimbangan ekonomi adalah ∆Y karena ∆G . ∆Y karena ∆T

. Oleh karena ∆G = ∆T, maka: , atau


(29)

= 1. ∆T, atau

∆Y=1. ∆G, yang berarti ∆Y=∆T=∆G

2.2Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Dengan diterapkannya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah setiap daerah di Indonesia baik provinsi maupun kabupaten/kota diberikan kewenangan dalam melaksanakan pemerintahannya, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah.

Namun demikian, pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfataan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi.

Seiring dengan prinsip tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimbangan antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan pemerintah pusat, artinya harus mampu


(30)

15

memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Membaca uraian tersebut, maka rumusan definitif “desentralisasi“ dan “otonomi daerah” dalam UU. No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”.

Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni menciptakan system layanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawanb dan dilakukan oleh pemerintah pusat semata.

Dilihat dari perspektif tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan akuntabel dalam menjalankan tata kelola kepemerintahan. Beberapa faktor lain yang dapat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah: (Rozi, 2007)

1. Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant, sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain, saat ini pemerintah daerah dapat bertindak


(31)

lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya. Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin.

2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan ilustrasi dan starting point untuk menuju proses perijinan yang lebih cepat, transparan dan murah.

3. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pro terhadap orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun (Saefudin, 2005).

2.3Desentralisasi Fiskal

Salah satu permasalahan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah terletak pada realitas penerimaan asli daerah (PAD). Terkait dengan keuangan daerah, dalam UU. No. 32/2004 disebutkan: “perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dokonsentrasi dan tugas pembantuan.


(32)

17

Sebagai gambaran, berikut ini sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, antara lain meliputi:

1. Pendapatan Asli Daerah a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah

c. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro.

2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 3. Pinjaman Daerah

a. Pinjaman Dalam Negeri 1) Pemerintah pusat

2) Lembaga keuangan bank 3) Lembaga keuangan bukan bank

4) Masyarakat (penerbitan obligasi daerah) b. Pinjaman Luar Negeri

1) Pinjaman bilateral 2) Pinjaman multilateral.

4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

a. Hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya.

b. Penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Semangat otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal didasari juga oleh keinginan yang kuat untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan, pembangunan sarana dan


(33)

perekonomian akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat (Pakasi, 2005).

Menurut Tadjoeddin (2005), dalam desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan dan bantuan. Adapun tujuan transfer ini adalah pemerataan vertikal dan pemerataan horizontal, mengatasi efek pelayanan publik, mengarahkan prioritas dan melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilitas dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum (SPM) di setiap daerah.

Pemerataan vertical (Vertical Equalization Transfer)

Pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama Negara. Pemerintah daerah hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang berbasis lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Tadjoeddin, 2005).

Pemerataan Horizontal (HorizontalEqualization Transfer)

Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal. Artinya, dengan transfer yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama antardaerah. Sidik (2002) mengemukakan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah yang bersangkutan, seperti memiliki kekayaan alam atau tidak, intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau tidak, tingkat kemiskinan, penduduk lanjut usia dan lain sebagainya.

Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antartingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peran yang penting dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi. Hubungan antara desentralisasi


(34)

19

dengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dan Grote dalam Usman (2005) seperti yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

Sumber: Usman (2005)

Gambar 1. Hubungan Desentralisasi dengan Kemiskinan

Pada gambar di atas ditunjukkan kaitan antara desentralisasi dengan berbagai bentuknya (desentralisasi politik, administrasi dan fiskal) dengan pengurangan kemiskinan, yang terjadi melalui dua jalur, yaitu: (1) desentralisasi – partisipasi/pemberdayaan/tata kelola – pengurangan kemiskinan; dan (2) desentralisasi – pelayanan publik/investasi yang lebih memihak penduduk miskin – pengurangan kemiskinan. Jalur 1 menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan

predictability dari pengambilan keputusan.

Studi Braun dan Grote dalam Rozi (2007) juga membuktikan bagaimana desentralisasi dengan berbagai bentuknya dapat menyebabkan penurunan pada kemiskinan. Studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi multivarian menemukan bahwa desentralisasi politik yang diukur/diproksi dari election tiers, desentralisasi administratif yang diukur dari

size of population, desentralisasi fiskal yang diukur share of subnational expenditure, semuanya berdampak terhadap penurunan kemiskinan. Namun mereka kembali menekankan pentingnya melihat ketiga bentuk desentralisasi

Participation/Empowerment Government

Desentralisasi politik, administrasi, fiskal

Pengurangan Kemiskinan

Public Service/investment, priotities/efficiency/targeting


(35)

tersebut secara bersama-sama (simultaneously) dan urutan (sequencing), yang mana yang memainkan peranan penting.

Desentralisasi politik dan administratif menurut mereka sebaiknya dilakukan mendahului desentralisasi fiskal. Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin.

Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan desentralisasi fiskal via transfer fiskal antartingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao, et al (1998) menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali (reorienting) dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespons preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Efektifitas pemerintahan desentralisasi (decentralized government) di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan (linking) peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batas-batas tertentu (at the margin).

Selain studi Braun dan Grote dalam Rozi (2007), Usman (2005) juga melakukan penelitian dan menemukan bahwa otonomi daerah via desentralisasi fiskal memiliki arah yang positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian, khususnya tingkat kemiskinan. Hasil simulasi model pada pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta sektor perumahan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari ketiga pengeluaran


(36)

21

tersebut, peningkatan pengeluaran untuk sektor pertanian memberikan pengaruh yang paling besar.

Usman, Siregar dan Sinaga dalam Arifin (2006) mengemukakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Studi Rozi (2007) juga menemukan bahwa otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya di Provinsi Riau mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung rakyat miskin seperti pembukaan lapangan kerja untuk menarik tenaga kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Hasil penelitian Hernawan dan Dudi (2007) juga menemukan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pemerataan keuangan dan kinerja pembangunan daerah.

Namun demikian, sejumlah hasil penelitian yang terkait dengan dampak otonomi daerah via desentralisasi fiskalnya masih bervariasi. Studi Lewis (2001) misalnya, menemukan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil. Siregar (2001) juga mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama untuk tahun anggaran 2000 (setelah desentralisasi). Paralel, studi yang dilakukan Elmi (2005) juga menemukan bahwa selama pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tahun 2004-2008 pengalokasian dana APBD oleh Pemda Kalimantan Selatan belum fokus pada kegiatan penanggulangan kemiskinan penduduk karena sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk membiayai kegiatan birokrasi di daerah.

Studi Nanga (2006) menemukan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan


(37)

kemiskinan. Wilopo dan Budiono (2007) juga menemukan bahwa meski terdapat peningkatan pendapatan daerah dan kebijakan anggaran berimbang yang dialokasikan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Jawa Timur pada periode 2002-2004, tidak secara otomatis terdapat pemerataan dalam pelayanan publik di Jawa Timur.

2.4Indikator Pembangunan

Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan. Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal yang sama dengan pengembangan. Sehingga istilah pembangunan dan pengembangan (development) dapat saling dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development

(Rustiadi, 2007).

Menurut Todaro (2003) pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Karena itu, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti, yaitu:

pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar hidup


(38)

23

yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan.

Mengacu pada berbagai definisi pembangunan di atas, maka para ekonom merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam Todaro (2003) merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: (a) tingkat ketimpangan pendapatan; (b) penurunan jumlah kemiskinan; dan (c) penurunan tingkat pengangguran. Ketiga ukuran keberhasilan di atas jika disimak lebih dalam adalah menuju satu sasaran akhir yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat berarti menurunnya kemiskinan (Amir, 2007).

Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals

(MDGs), yang terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yakni: (a) penghapusan kemiskinan; (b) pendidikan untuk semua; (c) persamaan gender; (d) perlawanan terhadap penyakit menular; (d) penurunan angka kematian anak; (e) peningkatan kesehatan ibu; (f) pelestarian lingkungan hidup; (g) membangun kerjasama global kewilayahan, para pakar pembangunan di tahun 70-an telah berhasil merumuskan tingkat pencapaian pembangunan dari tujuan yang ditetapkan dari suatu wilayah sebagaimana disajikan pada Tabel 1.


(39)

Tabel 1. Indikator-Indikator Pembangunan

Basis/Pendekatan Kelompok Indikator-Indikator

Tujuan Pembangunan

Pertumbuhan, produktivitas dan efisiensi

1. Pendapatan wilayah a. PDRB

b. PDRB Perkapita c. Pertumbuhan PDRB 2. Kelayakan finansial dan ekonomi

a. NVP b. BC Ratio c. IRR d. BEP

3. Spesialisasi, keunggulan komparatif dan kompetitif; LQ dan Shiff Share 4. Produksi-produksi utama: migas Pemerataan, Keberimbangan dan

Keadilan (equity)

1. Distribusi Pendapatan: Gini Ratio

2. Ketenagakerjaan: pengangguran terbuka, pengangguran terselubung, setengah pengangguran

3. Kemiskinan: good-service ratio, persentase konsumsi makanan, garis kemiskinan (pendapatan setara beras, dll)

4. Regional balance: spatial balance, central balance, dan capital balance Keberlanjutan (sustainability) Dimensi lingkungan, dimensi ekonomi dan

dimensi sosial

Sumber daya

1. Sumber daya manusia

2. Sumber daya alam

3. Sumber daya buatan/sarana dan prasaranan

4. Sumberdaya sosial

Pengetahuan, skill, etos kerja kompetensi, pendapatan, kesehatan, HDI dan IPM Degradasi

Skalogram, aksesibilitas terhadap fasilitas Organisasi sosial, aturan adat/budaya

Proses Pembangunan Input, Implementasi, Output, Outcome, Benefit, Impact

Input dasar (SDM, SDA, Infrastruktur, SDS), Input antara

Sumber: Rustiadi (2007)

Paradigma pembangunan baru diarahkan pada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi (Rustiadi, 2007).

2.5Pengembangan Wilayah

Di Indonesia berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang”, dan istilah-istilah sejenis banyak digunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang


(40)

25

berbeda-beda. Secara teoritik, tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region) (Rustiadi, 2006). Selanjutnya, dalam UU. No. 26/2007 dinyatakan bahwa wilayah adalah “ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau fungsional”.

Pada praktiknya, pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintah dan administrasi pembangunan. Menurut Akil (2003) dalam Rustiadi (2006), pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini, mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produktif serta prasarana pendukungnya sebagai satu kawasan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub-urban) adalah saling tergantung dalam konteks perubahan penduduk jangka pandang dan tenaga kerja. Keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan begitu penting di mana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan ideologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.

Menurut Shukla (2003) dalam Rustiadi (2006), melihat adanya keterkaitan dan ketidakseimbangan pengembangan wilayah tersebut diperlukan adanya perencanaan wilayah (regional planning). Melalui perencanaan wilayah ini dapat dicapai dua tujuan yaitu pembangunan dan berkelanjutan dengan:

1. Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumberdaya fisik serta teknologi;

2. Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan di mana akan mengisi kebutuhan local;


(41)

3. Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang kurang berimbang antar dan dalam wilayah.

Untuk menghindari masalah-masalah pembangunan, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan yang berimbang secara spasial karena secara makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Menurut Rustiadi (2006), pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: (1) mengedepankan peranserta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. (2) menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Pembangunan daerah di era otonomi daerah perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah yang terkoordinasi dan terintegrasi, bukan lagi pendekatan sektoral sebagaimana dilakukan pada masa lalu.

Sejak diberlakukannya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral. Pendekatan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antarsektoral, antarspasial (keruangan), serta antarpelaku pembangunan di dalam dan antardaerah.

2.6Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Hasil suatu kegiatan pembangunan dapat dinilai dengan berbagai cara dan tolok ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun pendekatan nonekonomi. Pengukuran atau penilaian dengan pendekatan ekonomi pada umumnya menggunakan tingkat pendapatan sebagai tolok ukur. Tolok ukur pendapatan yang dimaksud antara lain pendapatan per kapita, distribusi pendapatan dan jumlah penduduk miskin atau tingkat kemiskinan (Todaro, 2003).


(42)

27

Namun pada akhirnya, penerapan tolok ukur pembangunan yang murni bersifat ekonomis tersebut, agar lebih akurat dan bermanfaat harus didukung pula oleh indikator-indikator sosial (sosial indicators) nonekonomis. Contoh indikator sosial itu antara lain adalah tingkat melek hurup, tingkat pendidikan, kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan dan sebagainya (Todaro, 2003).

2.6.1 Definisi Pembangunan Manusia dan Pengukurannya

UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan

pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan

akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai

sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Produktivitas

Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah. Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian dari model pembangunan manusia.

2. Pemerataan

Penduduk harus memiliki kesempatan/peluang yang sama untuk mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup.


(43)

3. Kesinambungan

Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya untuk generasi-generasi sekarang, tetapi juga gernerasi yang akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.

4. Pemberdayaan

Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan menentukan (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.

Sebenarnya paradigma pembangunan manusia tidak berhenti sampai disana. Pilihan-pilihan tambahan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat luas seperti kebebasan politik, ekonomi dan sosial, sampai kesempatan untuk menjadi kreatif dan produktif, dan menikmati kehidupa yang sesuai dengan harkat pribadi dan jasmani hak-hak azasi manusia merupakan bagian dari paradigm tersebut. Dengan demikian, paradigma pembangunan manusia memiliki dua sisi. Sisi pertama berupa informasi kapabilitas manusia seperti perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan. Sisi lainnya adalah pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan politik. Jika kedua sisi itu didak seimbang maka hasilnya adalah frustasi masyarakat.

Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan kesejateraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi nasional (GNP). Pembangunan manusia teruatama sebagai input dari proses produksi (sebagai suatu sarana bukan tujuan). Pendekatan kesejahteraan melihat manusia sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Pendekatan kebutuhan dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa kebutuhan hidup.


(44)

29

Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan pembangunan. Tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup/AHH (eo). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak.

Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.

Karena hanya mencakup tiga komponen, maka IPM harus dilihat sebagai penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Oleh karena itu, pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting lainnya (yang tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik, kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.

2.6.2 Metode Perhitungan dan Komponen-Komponen IPM

Komponen IPM disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga), dan tingkat kehidupan yang layak yang diukur dengan pengeluaran perkapita yang


(45)

telah disesuaikan (PPP rupiah), indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga komponen tersebut diatas:

IPM = 1/3 (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3 Dimana:

) X1

X

= Lamanya hidup 2

X

= Tingkat pendidikan 3

Indeks X

= Tingkat kehidupan yang layak

(I,J) = (X(I,J)-X(i-min))/(X(I,J)-X(i-max)

Melihat persamaan di atas, komponen IPM terdiri dari: )

1. Lamanya Hidup (Longevity)

Lamanya hidup adalah kehidupan untuk bertahan lebih lama diukur dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth) (e0), angka e0 yang disajikan pada laporan ini merupakan ekstrapolasi dari angka e0 pada akhir tahun 1992 dan akhir tahun 2008 yang merupakan penyesuaian dari angka kematian bayi (infant mortality rate) dalam periode yang sama.

2. Tingkat Pendidikan

Dalam perhitungan IPM, komponen tingkat pendidikan diukur dari dua indikator, yaitu: angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS). Angka melek huruf adalah persentase dari pendidik usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani. Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki.

3. Standar Hidup

Standar hidup dalam perhitungan IPM didekati dari pengeluaran riil per kapita yang telah disesuaikan.


(46)

31

2.7Konsep Pelayanan Publik

Terdapat sejumlah definisi mengenai pelayanan publik. Lonsdale dan Enyedia misalnya, mengartikan service sebagai assiting or benefiting individuals trough making useful things available to them. Sedangkan public service diberi makna sebagai someting made available to the whole of population, and it involves things which people can not normally provide for themselves i.e people must act collectivelly. (Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan suatu upaya membantu atau memberi manfaat kepada publik melalui penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan oleh mereka Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006).

Sementara itu, Jusuf SK (2006) memberikan definisi pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Menurutnya, pelayanan publik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik.

2. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik.

3. Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan bebagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Misalnya pendidikan, kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.

Masih menurut Jusuf SK (2006), dari berbagai kelompok pelayanan publik diatas, kelompok pelayanan jasa dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yakni (1) pelayanan yang bersifat massal seperti transportasi, pusat-pusat kesehatan, penyediaan lembaga-lembaga pendidikan dan pemeliharaan keamanan; (2) pelayanan yang bersifat individual, seperti pelayanan dalam membuat identitas penduduk, surat izin mengendarai, memeriksa kesehatan dan sebagainya.

Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud pelayanan publik adalah semua barang dan jasa publik (public goods and services) yang diatur dan


(1)

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 1 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.944a 2 .378 .604

Likelihood Ratio 2.003 2 .367 .604

Fisher's Exact Test 2.132 .604

Linear-by-Linear Association .366b 1 .545 .604 .420 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .20. b. The standardized statistic is .605.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 2 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .045a 1 .833 1.000 .622

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .045 1 .833 1.000 .622

Fisher's Exact Test 1.000 .622

Linear-by-Linear Association .042c 1 .838 1.000 .622 N of Valid Cases 15

a. 4 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.80. b. Computed only for a 2x2 table

c. The standardized statistic is .204.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 3 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .714a 1 .398 .608 .378

Continuity Correctionb .100 1 .751

Likelihood Ratio .724 1 .395 .608 .378

Fisher's Exact Test .608 .378

Linear-by-Linear Association .667c 1 .414 .608 .378 N of Valid Cases 15

a. 4 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.80. b. Computed only for a 2x2 table

c. The standardized statistic is .816.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 4 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.364a 2 .506 1.000

Likelihood Ratio 1.750 2 .417 1.000

Fisher's Exact Test 1.388 1.000

Linear-by-Linear Association 1.250b 1 .264 .446 .267 N of Valid Cases 15


(2)

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.364a 2 .506 1.000

Likelihood Ratio 1.750 2 .417 1.000

Fisher's Exact Test 1.388 1.000

Linear-by-Linear Association 1.250b 1 .264 .446 .267 N of Valid Cases 15

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .47. b. The standardized statistic is 1.118.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 5 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.143a 2 .343 .400

Likelihood Ratio 2.344 2 .310 .400

Fisher's Exact Test 2.977 .400

Linear-by-Linear Association .744b 1 .388 .400 .400 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is .863.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 6 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.224a 2 .542 1.000

Likelihood Ratio 1.606 2 .448 1.000

Fisher's Exact Test 2.219 1.000

Linear-by-Linear Association .429b 1 .513 1.000 .533 N of Valid Cases 15

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is .655.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 7

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.607a 2 .448 .622

Likelihood Ratio 2.312 2 .315 .622

Fisher's Exact Test 1.390 .622

Linear-by-Linear Association .530b 1 .466 .720 .364 N of Valid Cases 15

a. 6 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .80. b. The standardized statistic is -.728.


(3)

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efisiensi Pada Pertanyaan Nomor 8 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .938a 2 .626 1.000

Likelihood Ratio 1.320 2 .517 1.000

Fisher's Exact Test 1.972 1.000

Linear-by-Linear Association .744b 1 .388 .600 .533 N of Valid Cases 15

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is -.863.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efektifitas Pada Pertanyaan Nomor 1 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.003a 2 .367 .590

Likelihood Ratio 2.993 2 .224 .361

Fisher's Exact Test 1.922 .590

Linear-by-Linear Association 1.104b 1 .293 .420 .264 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .80. b. The standardized statistic is -1.051.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efektifitas Pada Pertanyaan Nomor 2 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .188a 2 .911 1.000

Likelihood Ratio .193 2 .908 1.000

Fisher's Exact Test .470 1.000

Linear-by-Linear Association .067b 1 .795 1.000 .550 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00. b. The standardized statistic is -.259.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efektifitas Pada Pertanyaan Nomor 3 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 15.462a 4 .004 .133

Likelihood Ratio 8.051 4 .090 .133

Fisher's Exact Test 7.894 .133

Linear-by-Linear Association 1.591b 1 .207 .514 .257 N of Valid Cases 15

a. 8 cells (88.9%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is -1.261.


(4)

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efektifitas Pada Pertanyaan Nomor 4 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.636a 4 .457 .505

Likelihood Ratio 5.032 4 .284 .440

Fisher's Exact Test 4.472 .505

Linear-by-Linear Association .216b 1 .642 .688 .485 N of Valid Cases 15

a. 8 cells (88.9%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is -.465.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Efektifitas Pada Pertanyaan Nomor 5 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.462a 4 .484 .400

Likelihood Ratio 4.142 4 .387 .400

Fisher's Exact Test 4.213 .400

Linear-by-Linear Association .000b 1 1.000 1.000 .676 N of Valid Cases 15

a. 7 cells (77.8%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .13. b. The standardized statistic is .000.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Keadilan Pada Pertanyaan Nomor 1 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.151a 4 .533 .447

Likelihood Ratio 3.747 4 .441 .596

Fisher's Exact Test 4.020 .596

Linear-by-Linear Association 1.367b 1 .242 .313 .212 N of Valid Cases 15

a. 9 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is -1.169.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Keadilan Pada Pertanyaan Nomor 2 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 5.476a 2 .065 .103

Likelihood Ratio 5.451 2 .066 .180

Fisher's Exact Test 4.195 .103

Linear-by-Linear Association 4.345b 1 .037 .070 .048 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .60. b. The standardized statistic is -2.084.


(5)

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Keadilan Pada Pertanyaan Nomor 3 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.762a 4 .313 .353

Likelihood Ratio 5.174 4 .270 .465

Fisher's Exact Test 4.416 .381

Linear-by-Linear Association 1.075b 1 .300 .370 .241 N of Valid Cases 15

a. 9 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .27. b. The standardized statistic is -1.037.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Keadilan Pada Pertanyaan Nomor 4 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.421a 4 .352 .380

Likelihood Ratio 5.961 4 .202 .326

Fisher's Exact Test 3.995 .403

Linear-by-Linear Association .683b 1 .408 .533 .314 N of Valid Cases 15

a. 8 cells (88.9%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .27. b. The standardized statistic is -.827.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Keadilan Pada Pertanyaan Nomor 5 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.354a 4 .118 .129

Likelihood Ratio 9.754 4 .045 .075

Fisher's Exact Test 7.455 .071

Linear-by-Linear Association 1.676b 1 .195 .221 .155 N of Valid Cases 15

a. 9 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .40. b. The standardized statistic is -1.294.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Daya Tanggap Pada Pertanyaan Nomor 1

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .839a 2 .657 1.000

Likelihood Ratio 1.349 2 .509 1.000

Fisher's Exact Test .857 1.000

Linear-by-Linear Association .000b 1 1.000 1.000 .781 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .27. b. The standardized statistic is .000.


(6)

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Daya Tanggap Pada Pertanyaan Nomor 2 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .536a 2 .765 1.000

Likelihood Ratio .846 2 .655 1.000

Fisher's Exact Test 1.708 1.000

Linear-by-Linear Association .136b 1 .712 1.000 .733 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .07. b. The standardized statistic is .369.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Daya Tanggap Pada Pertanyaan Nomor 3 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.121a 4 .713 .802

Likelihood Ratio 3.091 4 .543 .802

Fisher's Exact Test 2.534 1.000

Linear-by-Linear Association .005b 1 .946 1.000 .648 N of Valid Cases 14

a. 8 cells (88.9%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .14. b. The standardized statistic is .068.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Daya Tanggap Pada Pertanyaan Nomor 4 Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.526a 4 .474 .657

Likelihood Ratio 3.775 4 .437 .657

Fisher's Exact Test 4.157 .657

Linear-by-Linear Association 1.221b 1 .269 .590 .295 N of Valid Cases 15

a. 8 cells (88.9%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .13. b. The standardized statistic is -1.105.

Tabel Silang Pusat dan Pinggiran Indikator Daya Tanggap Pada Pertanyaan Nomor 5

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .536a 2 .765 1.000

Likelihood Ratio .846 2 .655 1.000

Fisher's Exact Test 1.303 1.000

Linear-by-Linear Association .014b 1 .907 1.000 .800 N of Valid Cases 15

a. 5 cells (83.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .13. b. The standardized statistic is -.116.