Desentralisasi Fiskal TINJAUAN PUSTAKA

lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya. Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin. 2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan ilustrasi dan starting point untuk menuju proses perijinan yang lebih cepat, transparan dan murah. 3. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang bersifat pro terhadap orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun Saefudin, 2005.

2.3 Desentralisasi Fiskal

Salah satu permasalahan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah terletak pada realitas penerimaan asli daerah PAD. Terkait dengan keuangan daerah, dalam UU. No. 322004 disebutkan: “perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dokonsentrasi dan tugas pembantuan. Sebagai gambaran, berikut ini sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, antara lain meliputi: 1. Pendapatan Asli Daerah a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah c. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro. 2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 3. Pinjaman Daerah a. Pinjaman Dalam Negeri 1 Pemerintah pusat 2 Lembaga keuangan bank 3 Lembaga keuangan bukan bank 4 Masyarakat penerbitan obligasi daerah b. Pinjaman Luar Negeri 1 Pinjaman bilateral 2 Pinjaman multilateral. 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah a. Hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah KabupatenKota lainnya. b. Penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semangat otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal didasari juga oleh keinginan yang kuat untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan, pembangunan sarana dan perekonomian akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat Pakasi, 2005. Menurut Tadjoeddin 2005, dalam desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan dan bantuan. Adapun tujuan transfer ini adalah pemerataan vertikal dan pemerataan horizontal, mengatasi efek pelayanan publik, mengarahkan prioritas dan melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilitas dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum SPM di setiap daerah. Pemerataan vertical Vertical Equalization Transfer Pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan pajak utama Negara. Pemerintah daerah hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang berbasis lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Tadjoeddin, 2005. Pemerataan Horizontal Horizontal Equalization Transfer Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal. Artinya, dengan transfer yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama antardaerah. Sidik 2002 mengemukakan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah yang bersangkutan, seperti memiliki kekayaan alam atau tidak, intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau tidak, tingkat kemiskinan, penduduk lanjut usia dan lain sebagainya. Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti core dari suatu hubungan fiskal antartingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peran yang penting dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi. Hubungan antara desentralisasi dengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dan Grote dalam Usman 2005 seperti yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Sumber: Usman 2005 Gambar 1. Hubungan Desentralisasi dengan Kemiskinan Pada gambar di atas ditunjukkan kaitan antara desentralisasi dengan berbagai bentuknya desentralisasi politik, administrasi dan fiskal dengan pengurangan kemiskinan, yang terjadi melalui dua jalur, yaitu: 1 desentralisasi – partisipasipemberdayaantata kelola – pengurangan kemiskinan; dan 2 desentralisasi – pelayanan publikinvestasi yang lebih memihak penduduk miskin – pengurangan kemiskinan. Jalur 1 menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Studi Braun dan Grote dalam Rozi 2007 juga membuktikan bagaimana desentralisasi dengan berbagai bentuknya dapat menyebabkan penurunan pada kemiskinan. Studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi multivarian menemukan bahwa desentralisasi politik yang diukurdiproksi dari election tiers, desentralisasi administratif yang diukur dari size of population, desentralisasi fiskal yang diukur share of subnational expenditure, semuanya berdampak terhadap penurunan kemiskinan. Namun mereka kembali menekankan pentingnya melihat ketiga bentuk desentralisasi ParticipationEmpowerment Government Desentralisasi politik, administrasi, fiskal Pengurangan Kemiskinan Public Serviceinvestment, priotitiesefficiencytargeting tersebut secara bersama-sama simultaneously dan urutan sequencing, yang mana yang memainkan peranan penting. Desentralisasi politik dan administratif menurut mereka sebaiknya dilakukan mendahului desentralisasi fiskal. Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin. Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan desentralisasi fiskal via transfer fiskal antartingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao, et al 1998 menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali reorienting dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespons preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Efektifitas pemerintahan desentralisasi decentralized government di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan linking peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batas-batas tertentu at the margin. Selain studi Braun dan Grote dalam Rozi 2007, Usman 2005 juga melakukan penelitian dan menemukan bahwa otonomi daerah via desentralisasi fiskal memiliki arah yang positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian, khususnya tingkat kemiskinan. Hasil simulasi model pada pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta sektor perumahan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari ketiga pengeluaran tersebut, peningkatan pengeluaran untuk sektor pertanian memberikan pengaruh yang paling besar. Usman, Siregar dan Sinaga dalam Arifin 2006 mengemukakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Studi Rozi 2007 juga menemukan bahwa otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya di Provinsi Riau mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung rakyat miskin seperti pembukaan lapangan kerja untuk menarik tenaga kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Hasil penelitian Hernawan dan Dudi 2007 juga menemukan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pemerataan keuangan dan kinerja pembangunan daerah. Namun demikian, sejumlah hasil penelitian yang terkait dengan dampak otonomi daerah via desentralisasi fiskalnya masih bervariasi. Studi Lewis 2001 misalnya, menemukan bahwa Dana Alokasi Umum DAU yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil. Siregar 2001 juga mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 setelah otonomi daerahdesentralisasi lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama untuk tahun anggaran 2000 setelah desentralisasi. Paralel, studi yang dilakukan Elmi 2005 juga menemukan bahwa selama pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tahun 2004-2008 pengalokasian dana APBD oleh Pemda Kalimantan Selatan belum fokus pada kegiatan penanggulangan kemiskinan penduduk karena sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk membiayai kegiatan birokrasi di daerah. Studi Nanga 2006 menemukan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Wilopo dan Budiono 2007 juga menemukan bahwa meski terdapat peningkatan pendapatan daerah dan kebijakan anggaran berimbang yang dialokasikan oleh pemerintah daerah kabupatenkota di Jawa Timur pada periode 2002-2004, tidak secara otomatis terdapat pemerataan dalam pelayanan publik di Jawa Timur.

2.4 Indikator Pembangunan