Konsep Pelayanan Publik TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Konsep Pelayanan Publik

Terdapat sejumlah definisi mengenai pelayanan publik. Lonsdale dan Enyedia misalnya, mengartikan service sebagai assiting or benefiting individuals trough making useful things available to them. Sedangkan public service diberi makna sebagai someting made available to the whole of population, and it involves things which people can not normally provide for themselves i.e people must act collectivelly. Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan suatu upaya membantu atau memberi manfaat kepada publik melalui penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan oleh mereka Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006. Sementara itu, Jusuf SK 2006 memberikan definisi pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Menurutnya, pelayanan publik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. 2. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentukjenis barang yang digunakan oleh publik. 3. Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan bebagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Misalnya pendidikan, kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya. Masih menurut Jusuf SK 2006, dari berbagai kelompok pelayanan publik diatas, kelompok pelayanan jasa dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yakni 1 pelayanan yang bersifat massal seperti transportasi, pusat- pusat kesehatan, penyediaan lembaga-lembaga pendidikan dan pemeliharaan keamanan; 2 pelayanan yang bersifat individual, seperti pelayanan dalam membuat identitas penduduk, surat izin mengendarai, memeriksa kesehatan dan sebagainya. Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud pelayanan publik adalah semua barang dan jasa publik public goods and services yang diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah dalam rangka membedakan dengan barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta meskipun pengaturannya dilakukan oleh pemerintah Prasojo, 2006. Dalam UU. No. 252009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, danatau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”. Membaca definisi di atas, maka pelayanan barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara danatau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Mengingat sektor publik sangat terkait dengan keberadaan pemerintah, maka pelayanan publik juga daat disamakan dengan terminologi pelayanan pemerintah government service yang diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen pemerintah melalui pegawainya the delivery of a service by a government agency using its own employees Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006. Pemahaman tentang ciri-ciri pelayanan publik yang baik sangat bermanfaat bagi aparatur pemerintah untuk mempersiapkan sarana pelayanan dan program serta strategi yang akan diterapkan. Hal ini mengingat biaya yang diperlukan dalam penyiapan infrastruktur pelayanan tidaklah kecil. Kebutuhan pelayanan publik dipengaruhi oleh 3 tiga variabel utama Bulkin, 1997: 1. Jumlah penduduk yang dilayani, semakin besar akan semakin besar pula infrastruktur yang dibutuhkan. 2. Luas wilayah, yang ditempati penduduk, semakin luas dan tersebarnya perkotaan, semakin besar pula jumlah infrastruktur publik yang disediakan. 3. Pendapatan per kapita, permintaan akan jasa pelayanan umum bersifat elastis terhadap pendapatan income elastis, seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk cenderung membutuhkan tingkat pelayanan publik perkotaan yang lebih baik, baik kualitas maupun kuantitas. Disebabkan penyelenggaraan pelayanan publik disediakan oleh pemerintah, maka penting untuk diketahui indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu: 1 produktivitas; 2 kualitas layanan; 3 responsifitas; 4 responsibilitas, dan 5 akuntabilitas Dwiyanto, 1995 dalam Dwiyanto, 2002. Lebih khusus, Kumorotomo dalam Dwiyanto, 2002 menggunan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain: 1 efisiensi; 2 efektifitas; 3 keadilan; dan 4 daya tanggap. Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mengalokasikan anggaran yang ada, memanfaatkan faktor- faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomi. Efektifitas menyangkut apakah tujuan dari pelayanan publik tersebut tercapai. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi pelayanan publik serta fungsi agen pembangunan. Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan dan kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektifitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Sementara daya tanggap berkaitan dengan kemampuan organisasi pelayanan publik untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat, daya tanggap ini menunjuk pada keselasaran antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dalam UU. No. 252009 tentang Pelayanan Publik, kriteria standar untuk mengukur kinerja pelayanan publik adalah 1 berkualitas; 2 cepat; 3 mudah; 4 terjangkau; dan 5 terukur. Beberapa pelayanan barangpublik yang saat ini menjadi fokus perhatian adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Bidang ini dianggap krusial dalam upaya mendorong kapabilitas manusia human capital dan oleh karena itu pemerintah di negara-negara berkembang terus berupaya untuk meningkatkan anggaran terhadap kedua bidang ini. Morrison, 2002. Studi yang menarik dilakukan oleh Burchi 2006 menemukan bahwa pendidikan berkontribusi terhadap upaya ‘perlawanan’ terhadap kerentanan pangan di wilayah perdesaan di negara-negara berkembang dan dengan demikian merupakan kunci ketahanan pangan wilayah tersebut. Studi Suryadarma dan Surhayadi 2009 menemukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan dasar SMP terbukti nyata secara statistik berefek negatif terhadap kemiskinan. Studi Bank Dunia World Bank 2007 menemukan bahwa: pertama, anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 17,2 persen telah menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berkembang lainnya, juga negara-negara anggota OECD. Akan tetapi, tingkat pengeluaran di Indonesia tersebut masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan Asia Timur. Kedua, Penafsiran saat ini tentang ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan “20 persen ” untuk anggaran pendidikan, khususnya dengan mengeluarkan gaji guru sebagai komponen 20 persen dalam UU No. 202003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan sesuatu yang tidak realistis dan pada saat yang sama akan menimbulkan masalah. Jika ingin mencapai angka 20 persen untuk anggaran pendidikan, dengan definisi saat ini, pemerintah pusat perlu menaikkan tingkat pengeluaran yang ada sekarang menjadi lebih dari dua kali lipat dan menggunakan kenaikan anggaran itu untuk pengeluaran bukan gaji, sementara itu pengeluaran daerah secara keseluruhan untuk sektor pendidikan termasuk gaji perlu ditingkatkan setidaknya menjadi 45 persen dari total pengeluaran. Ketiga, Ada perbedaan yang cukup besar di bidang akses pendidikan dan mutu pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Penentuan target sumber- sumber daya tambahan yang efektif diperlukan untuk menyediakan dana yang memadai di kabupatenkota dan provinsi yang masih tertinggal agar dapat setara dengan daerah lain. Keempat, Indonesia kini memiliki kelebihan jumlah guru di tingkat sekolah dasar dan di wilayah perkotaan, sementara untuk daerah-daerah terpencil masih terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup besar. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, sejumlah studi telah dilakukan untuk mengkaji pelaksanaan pelayanan publik. Studi-studi tersebut tentu berpijak pada asumsi desentralisasi administratif yang menjadi salah satu kerangka otonomi daerah adalah mendekatkan masyarakat dengan pemerintah setempat. Asumsi ini menekankan bahwa dengan desentralisasi administratif, maka kebijakan pelayanan publik yang sebelum masa otonomi berada di tangan pemerintah pusat kini berada di tangan pemerintah daerah. Tanggung jawab pemerintah daerah bukan hanya menyediakan standar pelayanan minimum SPM, tetapi juga menyediakan anggaran dalam pos APBD untuk pelayanan publik desentralisasi fiskal. Namun demikian, hasil studi yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan publik di era otonomi daerah belum menunjukkan kinerja yang memuskan. Terkait dengan hal tersebut, studi Toyamah, et al 2002 menemukan bahwa setelah pelaksanaan otonomi daerah pelayanan di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur belum berubah, namun kondisi sarana dan prasarana pendukung pelayanan cenderung memburuk. Bappenas dan UNDP 2008 juga menemukan banyak daerah belum secara optimal menyediakan pelayanan dasar basic service kepada masyarakat sehingga berimplikasi pada ketimpangan tingkat kesejahteraan nonpendapatan nonmoneter di daerah. Studi ini menunjukkan, secara umum kinerja pelayanan publik di Daerah Otonom Baru DOB cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah i tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, ii ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan iii masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan. Studi yang dilakukan World Bank 2009 juga menemukan bahwa hampir 25 kondisi infrastruktur pendidikan di sejumlah daerah sangat rendah. Studi World Bank juga menunjukkan, ada perbedaan mencolok antara capaian jenjang pendidikan penduduk di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, dengan perbedaan rata-rata sebesar 2,5 tahun World Bank, 2006.

2.8 Konsep Persepsi