Tabel 22 Komposisi sampah industri
No Komponen
total di daur ulang
dibuang
1 Organik sisa makanan, daun, dll.
1,77 1,77
2 An Organik
2.1 Kertas
20,68 14,18
6,50 2.2
Plastik 16,93
13,53 3,40
2.3 Kayu
4,01 4,01
2.4 Kaintekstil
42,46 42,46
2.5 KaretKulit Tiruan
6,49 6,49
2.6 Logammetal
2,48 2,48
2.7 Gelaskaca
1 1
2.8 Sampah Bongkahan
2.9 Sampah B3
0,18 0,18
2.10 Lain-lain batu, pasir, dll. 4
4
Total 100
84,15 15,85
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta 2005
Tingginya sampah anorganik pada sampah industri merupakan hal yang sangat perlu diwaspadai, mengingat sampah anorganik yang berasal dari kegiatan industri pada
umumnya sulit terurai, bahkan di dalamnya terdapat limbah yang masuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan beracun Abou et al. 2002 dan Napitupulu, 2009. Kondisi
ini sesuai dengan hasil kajian dari Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta 2005 yang mengatakan bahwa pada sampah industri terdapat sampah B3 dan logam Tabel 22. Di
lain pihak bahan berbahaya dan beracun merupakan bahan-bahan yang umumnya bersifat karsinogenik, teratogenik, mutagenic dan bersifat merusak jaringan dan sel-sel tubuh
mahluk hidup Klaassen, Doul and Amdur 1986, Hal ini sesuai dengan pendapat Ahalya, Ramachandra dan Kanamadi 2004 bahwa sampah industri yang mengandung logam
akan dapat membahayakan organisme yang terpapar oleh sampah tersebut, sehingga keberadaan sampah B3 dan logam harus sangat diperhatikan.
e. Komposisi Sampah Rata-rata
Hasil survey Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 tentang komposisi rata-rata timbulan sampah di wilayah Propinsi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa komposisi
timbulan sampah rata-rata didominasi sampah organik kurang lebih 55,37. Sampah lainnya yakni sebanyak 44,63 adalah sampah anorganik, termasuk di dalamnya sampah
B3 sebesar 1,52. Adanyanya sampah B3 harus diperhatikan dengan seksama mengingat sampah B3 akan sangat membahayakan kehidupan dan dapat mengakibatkan
rusaknya lingkungan dan sakitnya manusia yang terpapar oleh limbah B3 tersebut Klaassen et al. 1986 dan Manahan 2005. Komposisi sampah rata-rata DKI dapat dilihat
pada Tabel 23, sedangkan peningkatan timbulan sampah dari masing-masing wilayah DKI pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 23 Komposisi sampah rata-rata di Wilayah DKI Jakarta
No Komponen
total di daur ulang
dibuang
1 Organik sisa makanan, daun, dll.
55,37 55,37
2 An organik
2.1 Kertas
20,57 7,32
13,15 2.2
Plastik 13,25
6,85 6,40
2.3 Kayu
0,07 0,07
2.4 Kaintekstil
0,61 0,61
2.5 Karetkulit tiruan
0,19 0,19
2.6 Logammetal
1,06 1,06
2.7 Gelaskaca
1,91 1,91
2.8 Sampah bongkahan
0,81 0,81
2.9 Sampah B3
1,52 1,52
2.10 Lain-lain batu, pasir, dll. 4,65
4,65
Total 100
19,95 80,05
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005
Tabel 24 Timbulan sampah di DKI Jakarta , tahun 2005dalam m
3
Kotamadya Timbulan per hari
Terangkut per hari Sisa
Jakarta Selatan 5.512
5.437 75
Jakarta Timur 5.523
5.408 115
Jakarta Pusat 5.399
5.272 67
Jakarta Barat 5.500
4.987 513
Jakarta Utara 4.390
4.342 48
Jumlah 26.264
25.446 818
Tahun 2004 27.966
25.925 2.041
Tahun 2003 25.687
24.675 1.012
Tahun 2002 25.912
24.162 1.750
Tahun 2001 25.600
22.196 3.002
Tahun 2000 25.650
22.500 3.150
Tahun 1999 25.771
22.772 2.999
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta 2005
Komponen sampah organik yang berasal permukiman strata pendapatan tinggi mencapai 65,45 Tabel 15, pada strata pendapatan menengah 61,55 Tabel 16, pada
strata pendapatan rendah 60,70 Tabel 17, dari pasar tradisional 83,69 Tabel 18, pertokoan modern 45,48 Tabel 19. Pada dasarnya sampah organik merupakan bahan
yang baik untuk pembuatan kompos. Mengingat kompos merupakan bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan karena adanya interaksi antara
mikroorganisme yang bekerja di dalamnya Murbandono 2005. Menurut Djuarnani et al. 2005, kompos dihasilkan dari proses fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti
tanaman, hewan, atau sampah organik. Namun bahan organik yang cukup tinggi yang
berasal dari kegiatan permukiman dan pasar tersebut belum didaur ulang dibuat kompos seperti yang terlihat pada Tabel 15
– 19 serta dari kegiatan lain Tabel 20 – 24. Adanya pengolahan sampah organik menjadi kompos, pada dasarnya bukan hanya
sekedar menghilangkan masalah sampah, namun juga membantu kesuburan tanah yang saat ini menjadi masalah, mengingat kompos merupakan partikel tanah yang bermuatan
negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah Delgado Follent 2002. Selain itu komos sangat baik untuk tanaman,
karena selain hal tersebut di atas, kompos juga mengandung unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, kalsium, belerang dan magnesium Harada et al. 1993. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tuomela et al. 2000 yang mengatakan bahwa tujuan dari pengomposan adalah merubah bahan organik menjadi produk yang mudah dan aman
untuk ditangani, disimpan, dan diaplikasikan ke lahan pertanian tanpa menimbulkan efek negatif pada lingkungan. Dengan demikian maka pengomposan bahan organik yang
berasal dari berbagai kegiatan akan sangat membantu dalam menghadapi masalah sampah, sekaligus membantu menyuburkan tanah, membuka lapangan pekerjaan dan
meningkatkan nilai ekonomi sampah, sekaligus memperbaiki lingkungan.
4.2.2. Karakteristik Sampah
Karakteristik sampah memegang peranan penting dalam proses pengolahan dan aplikasi teknologi pengolahan sampah, baik pengolahan sampah dengan insinerator,
komposting, phyrolisis ataupun sanitary landfill. Adapun yang dimaksud dengan komposting pada penelitian ini adalah proses pembusukan atau fermentasi atau
dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organic; dengan prinsip menurunkan nilai nisbah CN bahan organik menjadi sama dengan nisbah CN tanah,
sehingga 10-12, sehingga memungkinkan diserap oleh tanaman Talashilkar et al. 1999. Adapun phyrolisis adalah proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon,
baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang, untuk dapat menghasilkan arang karbon dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat asap
cair Paris et al. 2005. Proses phyrolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300
o
C dalam waktu 4-7 jam Demirbas, 2005, namun sangat tergantung pada bahan baku dan
cara pembuatannya Qadeer Akhtar 2005; Machida et al. 2005. Phyrolisis sampah menjadi arang cukup menguntungkan, karena arang yang dihasilkan juga dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energibahan bakar Matsuzawa et al 2007, selain itu juga
dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah Gusmailina Pari 2002. Apabila arang tersebut ditingkatkan mutunya dengan diaktivasi menjadi arang aktif, dapat
berperan sebagai adsorben dan katalis, bahkan dapat dikembangkan sebagai soil conditioner
pada budidaya tanaman holtikultura Gusmailina et al. 2001; Smith et al. 2004.
Pengolahan sampah dengan sanitary landfill merupakan teknologi yang berusaha mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Namun demikian
tidak dapat dibiarkan terus menerus karena dalam waktu yang lama menurut Tchobanoglous et al. 1993 di lokasi pengolahan sampah akan terjadi pencemaran.
Terjadinya pencemaran ini akan mengganggu lingkungan dan kesehatan, karena di sekitar sanitary landfill
bukan saja akan didapatkan gas metan, namun juga bahan pencemar lain baik dalam bentuk bahan pencemar organic, maupun bahan pencemar anorganik,
termasuk di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan beracun. Sampah organik yang dibiarkan cukup lama pada suatu lokasi dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam
bibit penyakit Setiawan 2001. Selain sampah organik, sampah anorganik yang umumnya mengandung bahan berbahaya dan beracun juga dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan lingkungan Abou et al. 2002 dan terjadinya gangguan kesehatan Klaassen and Amdur 1986 serta Ahalya et al. 2004.
Pengolahan sampah dengan menggunakan insinerator pembakaran, biayanya berbeda-beda tergantung pada jenis sampahnya. Sampah yang kandungan kalorinya
rendah, memerlukan biaya operasi yang lebih mahal dibanding sampah yang kandungan kalorinya lebih tinggi. Kondisi kebalikannya terjadi pada sampah yang terlalu kering.
Sampah yang terlalu kering jika diolah dengan proses komposting memerlukan penanganan khusus. Karakteristik sampah yang perlu diperhatikan dalam
mengaplikasikan teknologi pengolahan sampah adalah : a. Nilai kalori yang dinyatakan dalam kkalkg sampah yang merupakan kandungan nilai
panas dari sampah itu sendiri. b. Kadar air yang terkandung dalam sampah yang dinyatakan dalam persen
beratnya. c. Kadar abu yang merupakan sisa dari proses pembakaran yang dinyatakan dalam
persen Hasil penelitian Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 tentang nilai kalor, kadar
air dan kadar abu dari berbagai sampel jenis sampah di Wilayah DKI Jakarta, dapat dilihat pada Tabel 25. Nilai kalor, kadar air dan kadar abu berdasarkan nilai pendekatan
perhitungan BPPT dapat dilihat pada Tabel 25. Perkiraan karakateristik rata-rata sampah
di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 26, dan karakateristik sampah rata-rata di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 25 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKI
Sumber Sampah Hasil Analisis
Kadar Air Kadar Abu
Nilai Kalor Kkalkg
Pasar Modern 18
8,56 2.301
Pemukiman 36,27
4,76 1.785
Perkantoran 19
7,25 1.875
Industri 3
5,25 3.804
Pasar Tradisional 70.4
5,56 1.904
Sekolahan 20.8
5,15 1.609
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta 2005
Di dalam penelitian ini sampah yang diteliti masih tercampur atau dengan kata lain belum dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, dengan nilai kalori 2.146
kkalkg sampah. Perhitungan kadar abu sisa pembakaran dengan mempergunakan insinerator WTE adalah 8,44 . Ada indikasi terdapat kecenderungan terjadinya
perubahan komposisi sampah di masa mendatang selaras dengan kenaikan tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin dari peningkatan PDRB per tahun di wilayah
DKI Jakarta, akan mengakibatkan terjadinya kenaikan komposisi sampah anorganik. Dengan pemanfaatan teknologi WTE incinerator, sampah akan dibakar dan selanjutnya
panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan listrik melalui ketel uap yang menggerakkan turbin pembangkit listrik.
Apabila diasumsikan ada pemilahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah, maka nilai kalori yang dipergunakan dalam menghitung produksi listrik yang
dihasilkan dalam proses pengolahan sampah insinerator WTE adalah sebesar 3.044 kkalkg.
Hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 25 memperlihatkan bahwa nilai kalor sampah
Jakarta dari berbagai sumber timbulan sampah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pengolahan dengan proses pembakaran insinerator. Berdasarkan data karakteristrik
sampah dari berbagai sumber timbulan sampah, maka komposisi sampah yang paling baik untuk dilakukan proses pembakaran adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial
seperti perkantoran, sekolah, pasar modern, serta sampah yang berasal dari industri terutama dari industri dengan input material yang memiliki kandungan kalori tinggi
seperti industri kain konveksi.
Tabel 26 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT
Sumber Sampah Perhitungan Karakteristik
Nilai Kalor KkalKg
Kadar Air Kadar Abu
Industri 3840
31 26.94
Pasar modern 1984
46 26.17
Perkantoran 2466
38 41.62
Pasar 1447
59 10.09
Sekolah 2898
42 24.75
Pemukiman Pendapatan Tinggi 1775
48 27.36
Pemukiman Pendapatan Menengah 1773
51 21.78
Pemukiman Pendapatan Rendah 1945
50 20.30
Rata – Rata
2261 46
24.88
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005
Tabel 27 Prakiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta
Karakteristik Sampah Industri
Pasar Modern Perkantoran
Pasar
Nilai Kalor 3.804
1.646 1.786
1.184 Kadar Air
27,13 39,91
27,85 59,88
Kadar Abu 5,03
7,22 5,53
9,27 Kemungkinan Insinerasi
Sangat baik baik
Sangat baik kurang baik
Karakteristik Sampah Sekolah
Permukiman dengan Pendapatan Tinggi
Sedang Rendah
Nilai Kalor 2.090
2.795 2.332
2.149 Kadar Air
39,72 49,55
51,71 48,61
Kadar Abu 6,38
8,55 8,49
8,35 Kemungkinan Insinerasi
Sangat baik Sangat baik
Sangat baik Sangat baik
Tabel 28 Karakteristik sampah rata-rata di DKI
Karakteristik Sampah Rata-rata Komposisi
Nilai Kalor 2.146
Kadar Air 40,69
Kadar Abu 8,44
Kemungkinan Insinerasi Sangat baik
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005 Sampah dari pasar tradisional merupakan sampah yang kurang baik untuk
direduksi dengan teknologi pembakaran, karena jika dibandingkan dengan sumber timbulan sampah lainnya, sampah tersebut mempunyai kandungan kadar air yang tinggi
dan nilai kalor yang relatif rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Djuarnani et al. 2005 yang mengatakan bahwa sampah pasar mengandung air dalam kisaran 30-60,
namun pada umumnya rata-rata kadar air sampah organik pasar mencapai 58,20. Oleh karena itu maka pengolahan yang paling baik untuk sampah pasar adalah komposting.
Komposting sampah pasar di DKI Jakarta hendaknya dapat dilaksanakan, mengingat setiap hari pasar tradisional akan menghasilkan sampah, dan hingga saat ini hanya
sebagian kecil sampah yang terangkut, karena menurut Haug 1980, sampah yang tidak terangkutnya terangkut akan diuraikan secara anaerobik, sehingga pada akhirnya dapat
menimbulkan bau busuk sebagai akibat terbentuknya gas NH
3
, H
2
S, dan sulfur organik. Bau busuk ini tidak saja mengganggu estetika namun juga dapat berdampak negative
terhadap kesehatan manusia yang berada di sekitar sampah yang terurai secara anaerobic tersebut.
Komposisi dan karakteristik timbulan sampah rumah tangga, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakternya pada 20 tahun yang
lalu. Apabila dilihat dari prasyarat penerapan teknologi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran, maka perubahan karakteristik sampah DKI memiliki kecenderungan
ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan kandungan nilai kalor dan penurunan kadar air yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan
komponen sampah organik dan terjadinya kenaikan pada komponen sampah anorganik seperti kertas dan plastik. Berdasarkan hal itu, maka saat ini karaketristik sampah rumah
tangga dapat dikategorikan dalam sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan proses insinerasipembakaran. Hasil kajian Direktorat Pengkajian Sistem Industri
Jasa BPPT 1994, memperlihatkan bahwa persyaratan karakteristik sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan sistem pembakaran insenirator, seperti yang
dilakukan di Singapura serta negara lain yang telah menerapkan sistem insinerasi adalah: Nilai kalor
: 955 sd 2.150 kkalkg; Kadar air
: 35 sd 55 ; Kadar abu
: 10 sd 30 . Perubahan komposisi timbulan sampah di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 24.
Penerapan instalasi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran sampah skala besar yang disertai dengan pemanfaatan panas yang dihasilkannya untuk pembangkit
energi listrik waste to energy, WTE merupakan salah satu pilihan dalam pengolahan intermediate
. Namun demikian diperlukan pertimbangan lebih lanjut mengenai biaya investasi awal yang mahal capital expenditure CAPEX, biaya operasi dan pemeliharaan
operation expenditure OPEX, serta dampak yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dengan sistem insinerator tersebut.
Tabel 29 Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta
No. Komponen
Tahun 1981
1986 1987
1997 2001
I Organik
79.7 74.7
72.0 65.1
52.7 II
Anorganik Plastik
3.7 5.4
5.4 11.1
12.6 Kertas
7.8 8.3
8.3 10.1
20.1 Styrofoam
0.0 0.0
0.0 0.0
1.9 Karet
0.5 0.6
3.2 0.6
0.9 Kayu
3.7 3.8
3.2 3.1
2.6 Bulu
N.A N.A
N.A N.A
0.8 Kain
2.4 3.2
3.2 2.5
2.6 Kaca
0.5 1.8
1.8 1.6
1.2 Logam
1.4 1.4
2.1 1.9
1.1 Lain-lain
0.3 0.8
0.8 4.0
3.5
Total 100.0
100.0 100.0
100.0 100.0
Sumber : BPPT 1981, Dinas kebersihan DKI 1986,1997, Hasil Penelitian JICA 1987,2001
Pada konteks pengolahan sampah dengan reduksi jumlahvolumeberat sampah, maka proses insinerator menjadi pilihan yang paling effektif, mengingat pengurangan
volumeberat sampah dengan insinerator mencapai 90 . Data tersebut memperlihatkan bahwa insinerator WTE merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan
untuk mereduksi jumlah sampah dalam waktu yang singkat. Selain itu berdasarkan komposisi dari bahan yang tidak dapat terbakar dalam komposisi timbulan sampah di
Jakarta, maka laju pengurangan sampah dengan menggunakan sistem ini dapat mencapai 91, 56 dalam waktu yang relatif singkat. Insinerator WTE ini merupakan pilihan yang
lebih ramah lingkungan, mengingat suhu pembakarannya lebih dari 800 •C. Dalam hal ini
pada insinerator kecil yang suhu pembakarannya kurang dari 800 •C umumnya 200-
400 •C, berpotensi menghasilkan senyawa dioksin dan furan Bramono 2004. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Widyatmoko 1999 yang mengatakan bahwa emisi dioksin dan furan juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA serta Connell dan Miller
1995 yang mengatakan bahwa dioksin dan furan tidak diproduksi secara sengaja, tapi dihasilkan sebagai produk samping pada proses pembakaran dan beberapa proses industri
kimia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan Smit 2004 yang menyatakan bahwa senyawa dioksin dan furan akan terbentuk bila terdapat kondisi suhu pembakaran
antara 200 –800
o
C, namun suhu pembakaran paling ideal untuk menghasilkan dioksin dan
furan adalah 200 - 400
o
C. Adapun yang dimaksud dengan senyawa dioksin dan furan adalah senyawa organoklor yang terdiri atas klor dan fenil gugus cincin benzena.
Senyawa ini mempunyai daya urai baik di tanah, udara, dan air yang sangat lambat Gorman dan Tynan 2003. Namun pada insinerator WTE yang pembakarannya sangat
tinggi pembentukan senyawa dioksin dan furan akan relatif sangat berkurang, oleh karena itu maka pemanfaatan insinerator WTE relatif lebih ramah lingkungan.
4.2.3. Sampah B3 Bahan Berbahaya dan Beracun
Sampah B3 pada umumnya berasal dari berbagai sumber seperti industri, rumah sakit, pertambangan, transportasi, petanian dan perkebunan serta rumah tangga. dari hasil
survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan bahwa industri merupakan sumber terbesar penghasil limbah B3. Hal ini sesuai dengan pendapat Abou
et al . 2002 yang mengatakan bahwa pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan
jumlah umumnya lebih tinggi disbanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri point source relatif lebih
mudah untuk dilakukan pengawasan dan lebih mudah penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal Allenby, 1999. Saat ini masih banyak industri yang lokasinya tersebar,
sehingga agak sulit untuk dilakukan pengawasan. Jumlah industri yang berada di wilayah DKI Jakarta ditunjukkan pada Tabel 30.
Sampah B3 yang berasal dari aktivitas rumah sakit dapat berupa sampah medis dan sampah non medis. Sampah medis ditimbulkan dari kegiatan medis yang tergolong
sebagai limbah B3, yang berpotensi membahayakan baik bagi komunitas rumah sakit ataupun masyarakat jika penanganan dari limbah ini tidak memenuhi persyaratan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Abou et al. 2002 yang mengatakan bahwa pada limbah rumah sakit terdapat limbah B3 yang berasal dari obat-obatan dan bahkan terdapat limbah
radioaktif, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus. Khusus untuk limbah radioaktif harus ditangani lebih serius karena bahan
radioaktif dapat melepaskan sinarnya ke lingkungan secara rutin sehingga dapat membahayakan kehidupan Simmonds, Lawson, dan Mayall, 1995
. Limbah non-medis
adalah limbah domestik yang ditimbulkan dari aktivitas pelayanan administrasi di rumah sakit. Limbah non-medis dari rumah sakit, dapat dibuang dan diolah bersama-sama
dengan limbah domestik dari sumber lainnya. Secara umum limbah yang dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 30 Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta
Klasifikasi Industri 2000
2001 2002
Jumlah Perusahaan
pertumbuhan Jumlah
Perusahaan pertumbuhan
Jumlah Perusahaan
pertumbuhan
Makanan dan Minuman 205
6,22 220
7,32 214
- 2,73 Tekstil, Pakaian Jadi dan
Kulit 913
11,34 861
- 5,70 853
- 0,93 Kayu, Bambu, Rotan,
Furnitur 139
10,31 123
-11,51 115
- 0,07 Kertas, Percetakan, Penerbit,
Reproduksi Media Rekaman 220
5,77 224
1,82 236
5,36 Kimia dan Barang-barang
dari bahan kimia 353
9,97 367
3,97 344
- 6,27 Barang Galian bukan
Logam, Daur Ulang Barang Bukan Logam
41 7,89
33 -19,51
32 - 3,03
Logam Dasar 38
0,00 29
- 23,68 34
17,24 Barang dari Logam, Mesin
dan Peralatannya, Daur Ulang Barang Logam
322 -1,23
325 0,93
298 - 8,31
Industri Pengolahan Lainnya 45
-13,46 41
- 8,89 40
- 2,44
Jumlah 2.276
7,26 2.223
- 2,32 2.166
- 2,56
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta 2002
Tabel 31 Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah
No Unitkegiatan
Jenis Sampah
1 Kantor administrasi
Kertas 2
Unit obstetric dan ruang perawatan obstetric
Pakaian, sponge, placenta, ampul, termasuk kapsul perak nitrat, Jarum syringe , masker sekali pakai, popok sekali pakai, sanitary
napkin, blood lancet disposeble diaper dan underpard, sarung tangan sekali pakai.
3 Unit emergency dan bedah
termasuk ruang perawatan. Dressing,sponge jaringan tubuh,termasuk amputasi, ampul
bekas,masker sekali pakai, jarum dan syringe drapes cabs. Dispossable
blood lancet, kantong emisis sekali pakai, levin tubes catheter
, drainase set, kantong colosiomy, underpads, sarung. 4
Unit laboratorium, ruang mayat, pathologi dan
autopsi Gelas terkontaminasi termasuk pipet petri dish, wadah specimen,
slide specimen, jaringan tubuh, organ, tulang. 5
Unit isolasi Bahan-bahan kertas yang mengandung buangan nasal dan sputum,
dressing, dan bandages, masker sekali pakai, sisa makanan perlengkapan makan.
6 Unit perawatan
Ampul, jarum sekali pakai, dan syringe kertas dan lain-lain. 7
Unit pelayanan Karton kertas bungkus, kaleng, botol, sampah dari ruang umum dan
pasien, sisa makanan, buangan. 8
Unit gizidapur Sisa pembungkus, sisa makananbahan makan, sayur dan lain-lain.
9 Halaman
Sisa pembungkus daun ranting, debu. Sumber: Oviatt V.R. disposal of solid waste, hospital 1968
Berdasarkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari limbah rumah sakit oleh Departemen Kesehatan RI, limbah medis dikelompokkan dalam :
a. Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum
hipodermik , perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas dan pisau bedah;
b. Limbah infeksius, yaitu limbah yang berkaitan dengan pasien penyakit menular yang memerlukan isolasi dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan
mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatanisolasi penyakit menular; c. Limbah jaringan tubuh, yang meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh.
Limbah tersebut biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau autopsi; d. Limbah sitotoksik, yaitu bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama
peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik; e. Limbah farmasi, yang terdiri dari obat-obatan kadaluwarsa, obat yang terbuang karena
batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang
tidak diperlukan lagi atau limbah dari proses produksi obat; f. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam
tindakan medis, veterinary, laboratorium, proses sterilisasi atau riset. Limbah kimia dibedakan dengan buangan kimia yang termasuk dalam limbah farmasi dan sitotoksik;
g. Limbah radioaktif, yaitu bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionuklida.
4.2.4. Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase serta Sungai
Wilayah DKI Jakarta yang memiliki garis pantai sepanjang ±30 km, mengalami persoalan dengan timbulan sampah di sepanjang pantai. Terjadinya timbulan sampah,
baik yang terbawa arus aliran air sungai maupun arus laut, menimbulkan pencemaran yang cukup serius di Teluk Jakarta. Jumlah timbulan sampah di Teluk Jakarta ini
bervariasi, dan belum ada penelitian atau survey yang mendalam mengenai timbulan sampah di Teluk Jakarta. Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara, telah menangani sampah
pantai dengan menggunakan perahu fiber kecil dan satu buah tongkang dengan kapasitas 40 ton. Perahu-perahu kecil tersebut mengangkat sampah dari pantai dan
mengumpulkannya dalam tongkang. Sampah yang telah terkumpul dalam tongkang, diangkut ke Pelabuhan Muara Angke, kemudian dipindahkan ke truk, untuk selanjutnya
dibuang ke TPA Bantargebang. Sampah di wilayah DKI Jakarta juga ditimbulkan dari sistem jaringan drainase
dan sungai yang mengalir di wilayah Jakarta, yaitu sampah yang bersumber dari : a . Sungai atau kali dan saluran makro drainase; b. Saluran sub makro dan mikro drainase,
dan c. Sampah yang mengalir dari sungai yang membawa sampah yang berasal dari luar wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta
memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah volume sampah yang dihasilkan dari sistem drainase dan sungai rata-rata 921 m
3
hari.
4.3 Analisis Kebutuhann dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah.