Implementasi Kebijakam Pengolahan Sampah DKI Jakarta

BAB V ANALISIS KEBIJAKAN

5.1. Implementasi Kebijakam Pengolahan Sampah DKI Jakarta

Kebijakan Pengolahan sampah DKI diawali dengan terjadinya perubahan sistem pemerintahan daerah, yakni sejak era reformasi pada tahun 1999, dengan diberlakukannya Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka pada tahun 1999 Pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW- DKI 2005, yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW DKI Jakarta 2010. Dalam RTRW 2010, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampahnya, yang dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: a Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; b Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90 dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di tempat pembuangan akhir TPA; c Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; d Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun B3 serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat. Pada pasal 71 tentang pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani. Pada kebijakan yang dirumuskan mengenai pengolahan sampah di DKI Jakarta, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah DKI di masa yang akan datang akan menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya dengan menggunakan berbagai teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dalam pengolahan sampahnya, maka DKI mengaplikasikan beberapa teknologi, antara lain pengolahan sampah dengan pembakaran yaitu dengan membangun unit-unit insinerator skala kecil di berbagai wilayahnya, dan mendorong beberapa produksi kompos di berbagai wilayah

5.1.1. Insinerator Skala Kecil

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan pengolahan sampah dengan mempergunakan insinerator, maka DKI Jakarta telah membangun 21 insinerator skala kecil yang diletakkan di masing-masing bagian wilayah DKI. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya 2005 terhadap operasi dan pemeliharaan insinerator skala kecil ini, menunjukkan bahwa dari keseluruhan unit insinerator skala kecil tersebut, terdapat enam unit insinerator yang beroperasi sedangkan lainnya sudah tidak berfungsi. Kapasitas dan jam operasi dari insinerator skala kecil ini bervariasi dari 200 kgjam sampai 500 kgjam dengan lama operasi antara 3 - 14 jam. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan survey JCI, pada tahun 2000 memperlihatkan bahwa total kapasitas pengolahan sampah dari insinerator skala kecil diperkirakan mencapai 21,9 tonhari. Insinerator skala kecil ini dilengkapi dengan sistem perlindungan pencemaran lingkungan berupa cyclone, yang dimaksudkan untuk mereduksi partikulat, namun demikian sistem ini tidak akan mampu menanggulangi timbulnya gas NO x , SO x , CO, HC dan dioxin. Adanya gas NO x , SO x , CO, HC dan dioxin yang dapat dihasilkan dari incinerator skala kecil perlu sangat diwaspadai Talashilkar et al., 1999, karena merupakan gas rumah kaca yang akan menyumbang terjadinya pemanasan global. Hal ini sesuai dengan pendapat Panjiwibowo et al. 2003 yang mengatakan bahwa pada efek rumah kaca ERK gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Dan tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan kembali ke angkasa luar, namun sebagian gelombang akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Hal ini mengakibatkan suhu bumi menjadi lebih hangat. Apabila efek rumah kaca tersebut berlebihan, maka pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Khusus tentang dioksin yang dihasilkan dari incinerator kecil UNEP 2003, juga harus sangat diwaspadai, karena dioksin bersifat karsinogenik Klaassen et al., 1986. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matsushita 2003; NIEHS 2001 yang mendapatkan hasil bahwa dioksin dan furan berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, karena dapat memicu kanker, alergi, dan merusak susunan saraf. Selanjutnya dikatakan bahwa dioksin dan furan juga dapat mengganggu sistem endokrin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan mahluk hidup serta pada janin, sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada bayi yang dilahirkan. Lokasi, kapasitas dan kondisi operasional dari insinerator-insinerator kecil dapat dilihat pada Tabel 52. Dari hasil evaluasi DJCK dikemukakan bahwa kebanyakan dari unit-unit insinerator skala kecil tersebut beroperasi dengan tidak layak atau sudah tidak berfungsi lagi, yang disebabkan oleh: a. Beberapa unit insinerator dibangun untuk mengolah sampah-sampah yang tidak cocok, termasuk sampah basah dari pasar dan zat pencemar tahan api. Kondisi ini menyebabkan tingginya konsumsi bahan bakar, yang menurut hasil evaluasi dari Dinas kebersihan DKI Jakarta 2005, disebutkan bahwa diperlukan bahan bakar kerosen antara 50 – 80 liter per hari dengan lama operasi antara 6-14 jam per hari. Rata-rata kebutuhan bahan bakar berkisar 15-30 liter per kg sampah. b. Banyak unit insinerator yang dioperasikan secara manual seperti pemasukan sampah ke insinerator dan penanganan abu. Kondisi ini dinilai tidak nyaman dan sulit untuk dioperasikan oleh para operator. c. Pengoperasian unit insinerator ini mahal dan secara ekonomi tidak efisien, sehingga sulit untuk mempertahankan fasilitas ini. d. Asap yang dikeluarkan dari insinerator mengganggu masyarakat, yang disebabkan oleh kurang tingginya cerobong asap. Hasil evaluasi oleh Direktorat jenderal Cipta Karya 2005 menunjukkan bahwa pengoperasian insinerator skala kecil memerlukan 15 liter kerosen per kg sampah. Hal ini mengandung arti bahwa untuk mengolah sampah dengan kapasitas 3.000 tonhari jika dilakukan dengan insenerator skala kecil, akan diperlukan 45.000.000 liter kerosen per hari, yang setara dengan Rp 135 milyar,- hari dengan harga kerosen Rp 3000,-liter. Besaran biaya ini sangat tidak efisien jika dibandingkan dengan pengolahan sampah dengan mempergunakan sistem insinerator skala besar dengan kapasitas 3000 tonhari, mengingat biaya tersebut setara besarnya dengan biaya opersi WTE selama satu tahun untuk kapsitas 3000 tonhari.

5.1.2. Komposting dan Daur Ulang

Pengomposan sampah di DKI telah dimulai sejak tahun 1991. Pada tahun 2000 kapasitas pengomposan di wilayah DKI telah mencapai kapasitas 24,2 tonhari yang berasal dari 14 fasilitas pengomposan di Kota Jakarta. Pada dasarnya pengomposan dan daur ulang merupakan pengelolaan sampah yang cukup baik dan sudah dilakukan di DKI, namun pengelolaan sampah dengan cara tersebut di DKI Jakarta relatif belum efektif. Menurut Satori 2002 belum efektifnya proses pendaurulangan sampah seperti sampah pasar tradisional, baik sampah organik maupun anorganik, antara lain disebabkan belum adanya rancangan usaha business plan sistem daur ulang sebagai sebuah industri dengan memperhitungkan berbagai aspek keindustrian; belum adanya sistem jaringan pemasaran produk-produk daur ulang sehingga tidak adanya koneksitas linkage antara produsen- konsumen, produsen-produsen, dan antara konsumen-konsumen; kegiatan daur ulang masih dianggap sebagai usaha sampingan dan alternatif usaha terakhir, karena tidak ada peluang lain. Penyebab lainnya adalah masih terbatasnya anggaran yang disediakan, terutama oleh pemerintah untuk menerapkan berbagai pemikiran yang mengarah pada kegiatan daur ulang sampah; kurangnya sosialisasi sehingga pemahaman masyarakat tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari segi lingkungan maupun ekonomi yang sangat minim; serta karena kegiatan tersebut belum sinergi dan belum terintegrasi dalam sistem manajemen sampah. Adapun lokasi dan kondisi dari tempat-tempat komposting dapat dilihat pada Tabel 53 . Metode komposting yang dipakai di DKI adalah sistem windrow yang dimodifikasi. Persoalan yang dihadapi dalam pengomposan sampah di DKI diakibatkan karena tidak tercapainya keseimbangan antara supply dan demand kompos. Kurangnya volume penjualan kompos di pasar, mengakibatkan menurunnya jumlah produksi kompos. Masalah-masalah yang timbul pada unit komposting antara lain: a. Mahalnya biaya operasional sehubungan dengan pengadaan bak terbuka untuk membantu proses pembusukan. b. Membutuhkan luas tanah yang cukup besar. c. Perlunya status hukum atas tanah yang dipergunakan usaha pengomposan merupakan masalah yang sensitif dan sulit. d. Tidak adanya panduan lingkungan untuk komposting, mengakibatkan tempat- tempat pengolahan kompos berjalan tanpa memperhatikan aspek perlindungan lingkungan. e. Mempersiapkan sampah yang sesuai untuk dikomposting sangat sulit, karena bahan-bahan yang tidak dapat dikomposting seperti metal, plastik dan kaca belum terpisahkan dengan baik. f. Rendahnya permintaan pasar untuk kompos organik. g. Proses komposting yang tidak terkontrol dengan kualitas rendah dan kadang- kadang dengan kandungan metal yang tinggi. h. Komposting yang tidak terkontrol sering kali menyebabkan masalah-masalah lingkungan seperti bau yang menyengat dan terjadinya perkembang biakan hama, organisme patogen yang terkandung dalam sampah organik. i. Program usaha daur ulang dan produksi kompos UDPK untuk mempromosikan unit komposting, kurang mendapatkan respon dari masyarakat dan dunia usaha. Kurangnya partisipasi masyarakat dan kemampuan manajerial dari pemerintah kotamadya menyebabkan gagalnya program UDPK. Karakteristik sampah terutama nilai kalor dan kadar air, merupakan parameter utama yang paling penting dalam menentukan apakah insinerator WTE dapat diterapkan atau tidak. Komponen-komponen yang dapat terbakar dalam sampah kota terdiri dari komponen organik, kertas, plastik, kain, tekstil, dan kayu. Berdasarkan keenam komponen tersebut, komponen organik yang terdiri dari sisa makanan, sayur-sayuran, daun, rumput, dan lain-lain merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor terendah, sedangkan plastik merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor tertinggi. Proses daur ulang sampah non organik akan mengurangi komponen sampah yang mempunyai nilai kalor tinggi, sehingga sisa dari proses tersebut akan mempunyai nilai kalor per kilogram lebih rendah. Kondisi sebaliknya juga terjadi jika sampah organik dipisahkan dan dikomposkan, mengingat sisa proses tersebut akan cenderung mempunyai nilai kalor yang tinggi. Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah dilakukan proses daur ulang dapat dilihat pada Tabel 54. Tabel 52 Kondisi insinerator skala kecil Kota Lokasi Kapasitas Kap.Produksi ton Hari Kondisi Jakarta Pusat 1. Rawasari Selatan Kec. Cempaka Putih 250 kgjam - Sudah tidak beroperasi sejak Juli 2001 2. Dipo Gunung Sahari Utara Kec. Sawah Besar 200 kgjam - Sudah tidak beroperasi sejak 1997 3. Dipo Tanjung Selor Kec. Gambir - - Sudah tidak beroperasi sejak 1997 4. Jl. Galur Selatan 1 200 kgjam 0,6 Beroperasi 18:00-21:00 6 hari seminggu 5. Jl. Jati Petamburan I RW 04 Petamburan I 250 kgjam - Sudah tidak beroperasi sejak Juni 2001 6. Jl. Jati Pinggir, Petamburan I 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan 7. Ps. Nangka RW. 10 Utan Panjang 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan 8. Dipo Siaga, Kec. Ps. Minggu 250 kgjam - Sudah tidak beroperasi sejak Desember 1999 9. Asrama DK, Lentang Agung 2 250 kgjam 2,0 Beroperasi 8:00-16:00 6 hari seminggu 10. Jl. Taman Tebet Barat Raya Tebet Barat 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan 11. Metropolitan Kencana RW. 10 Pondok Pinang 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan Jakarta Barat 12. Asrama DK, Tegal Alur 3 250 kgjam 3,25 Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu 13. Asrama DK, Pegadungan, Cengkareng Barat 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan 14. Perum Citra, Pegadungan 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan Jakarta Utara 15. Asrama DK, Sunter Jl. Gabus, Sunter Jaya 4 500 kgjam 6,5 Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu 16. Asrama DK, Semper Jl. Semper Barat 5 500 kgjam 7,0 Beroperasi 6:00-20:00 6 hari seminggu 17. Jl. BGR, Kepala Gading Barat 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan 18. Jl. Pademangan III Pademangan Timur 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan Jakarta Timur 19. Asrama DK, Pondok Bambu 6 250 kgjam 2,5 Beroperasi 7:00-15:00 6 hari seminggu 20. Jl. Pendidikan RW.04, Cijantung 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan 21. Jl. H. Naman RT.22 Pd. Kelapa 500 kgjam - Dalam Tahap Pembangunan Total 21,85 Sumber: Dinas Kebersihan DKI,2005 Tabel 54 menunjukkan bahwa jika hanya dilakukan daur ulang terhadap sampah dengan kandungan organik yang tinggi, maka nilai kalor sampah sisa akan lebih rendah dari nilai kalor sampah awal. Hal ini disebabkan sebagian komponen yang mengandung nilai kalor tinggi hilang. Apabila pengurangan sampah dilakukan dengan proses daur ulang dan komposting, maupun komposting saja, maka nilai kalor sampah akan naik hampir dua kali lipat. Berdasarkan hal tersebut, maka jika daur ulang komponen non organik akan dilakukan sebesar-besarnya, maka sisa sampah terbesar adalah komponen organik saja, sehingga nilai kalor sampah sisa akan menjadi sangat rendah, yakni kurang lebih 900 kkalkg. Mengingat kandungan kalorinya rendah, maka pengolahan dengan menggunakan insinerator tidak layak untuk digunakan. Tabel 53 Unit-unit komposting di Kota Jakarta No. Lokasi Unit-Unit Komposting Sistem Komposting Harga Jual Rp.kg Kapasitas Produksi tonday 1. Pondok Indah Golf, Jakarta Selatan Pengomposan dengan menggunakan cacing 1.500 0,130 2. Jagakarsa, Jakarta Selatan Kompos sampah kota + bio- aktivator mikro-biologi 300 0,700 3. Cakung, Rumah Jagal, Jakarta Timur Campuran kompos dari sampah rumah jagal, serbuk gergaji, tanah dan lain-lain. 240 16,700 4. Universitas Trisakti, Jakarta Kotoran ayam, kotoran kambing, rumput, kotoran manusia dan bio-aktivor 700 0,300 5. Cakung, Jakarta Timur Campuran kompos dari sampah rumah jagal, rumput, kotoran sapi dan lain-lain. 500-600 1,500 6. Jl. Swadharma Raya, Jakarta Selatan Campuran kompos dari sampah rumah tangga, kotoran kuda, serbuk gergaji, sampah kayu. 1.600 0,030 7. Pasar Tradisional Pluit, Jakarta Utara Sampah tanaman dan buah- buahan dari pasar tradisional Pluit 1.700 0,003 8. Pondok Kopi, Jakarta Timur Kompos dari rumah jagal, sampah permen, serbuk gergaji dan lain-lain. 350 0,017 9. Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan Pengomposan dengan menggunakan cacing 1.500-2.000 0,017 10-14 Hanya total kapasitas dari 5 unit komposting yang tersedia 4,803 Jumlah total produksi kompos 24,200 Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005 Tabel 54 Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting Karakteristik Sampah Awal Daur Ulang Saja Kompos dan daur ulang Kompos Saja Nilai Kalor Kcalkg 1778 1711 3111 3044 Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005 Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya 2003 memperlihatkan bahwa walaupun composting merupakan sasaran utama sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2010 dalam jangka pendek. Namun hingga saat ini diindikasikan bahwa tidak mungkin melakukan perubahan budaya yang diperlukan untuk mendukung hal itu dalam skala besar dan dalam waktu yang singkat jangka pendek. Pada dasarnya komposting merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam rangka mengimplementasikan program 3R reduce, reuse, dan recycle atau lebih dikenal dengan program 3R, yang orientasinya agar tercapai program zero waste. Hal ini sesuai dengan pendapat Bebassari 2000 yang mengatakan bahwa zero waste merupakan konsep pengelolaan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R yaitu reduse, reuse, recycle dengan pengelolaan sedekat mungkin dengan sumbernya. Pengembangan teknologi pengelolaan sampah ini selain lebih bersahabat dengan lingkungan, juga akan memberi nilai tambah secara ekonomi Wibowo dan Djajawinata 2003. Namun demikian sampai saat ini, kelayakan metode reduce and reuse di Jakarta belum terbukti dapat diaplikasikan dalam skala yang berarti. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng pun juga relative kurang memuaskan, karena baru menunjukkan adanya potensi penggunaan kompos. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng menunjukkan bahwa Jakarta tidak dapat menganggap bahwa composting dengan skala kecil dapat diandalkan sebagai solusi utama dalam reduksi sampah, untuk jangka waktu minimal lima tahun ke depan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya sampah domestik. Selain itu juga diperlukan perubahan mindset dari masyarakat luas untuk memandang kompos sebagai produk yang bermanfaat, baik bagi ekonomi maupun lingkungan.

5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah