Teknologi Pengolahan Sampah Sanitary Landfill

sampah; 2 pemulihan material yang dapat dipakai kembali; 3 pemulihan produk konversi seperti kompos dan energi dalam bentuk panas serta biogas untuk pembakaran combustible biogas.

d. Landfilling

Landfilling menempati urutan terakhir dalam hirarki ISWM, karena landfilling umumnya merupakan cara yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Landfilling pada umumnya dilakukan untuk: 1 sampah yang tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat dipakai lagi; 2 sisa sampah, setelah dilakukan pemilahan di unit pemilahan; 3 sisa sampah setelah pemilahan.

2.2. Teknologi Pengolahan Sampah

Pada dasarnya cukup banyak pilihan teknologi dalam pengolahan sampah, antara lain sanitary landfill, incinerator dan composting. Masing-masing teknologi ini masing- masing memiliki keuntungan benefit dan kerugian cost dalam penggunaanya, baik ditinjau dari aspek lingkungan, aspek ekonomi maupun dari aspek sosial.

a. Sanitary Landfill

Lahan urug terkendali sanitary landfill adalah lokasi tempat sampah diisolasi dari lingkungan, sehingga aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan masyarakat Pelligrini dan Klein, 2000. Sanitary landfill merupakan metoda yang biasa dipergunakan dalam pembuangan sampah, dalam hal ini sampah yang sudah tidak terpakai lagi di hampar dan dipadatkan di atas tanah, untuk kemudian ditimbun dengan tanah penutup. Sanitary landfill dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pengolahan air lindi leacheate, timbangan sampah, sumur pemantau kualitas air tanah, unit penangkap gas, dan beberapa fasilitas lainnya, seperti alat-alat berat dan fasilitas lainnya. Metode sanitary landfill tidak effektif untuk membuang dan mengolah sampah plastik, karena sampah plastik tidak mudah terdekomposisi oleh mikroorganismebakteri decomposer. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah plastik yang dibuang di sanitary landfill akan menjadi lapisan yang menghalangi proses pengumpulan air lindi ke dalam pipa penangkap air lindi, yang dipasang di bawah unit sanitary landfill. Aktivitas biologis pada landfill biasanya mengikuti satu bentuk tertentu yaitu sampah mula-mula didekomposisi secara aerobik sampai kandungan oksigennya habis. Pada fase berikutnya mikroorganisme fakultatif dan anaerob mengambil peran, sehingga pada tahap ini dekomposisi sampah akan menghasilkan gas metan yang tidak berbau dan tidak berwarna, dan pada saat tersebut terjadi kenaikan temperatur hingga 65,5 o C. Hal yang sangat sulit untuk dipertahankan pada sanitary landfill adalah mempertahankan kondisi landfill agar selalu tetap dalam keadaan aerobik, atau dengan kata lain pada sanitary landfill keadaan anaerobik merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pada proses anaerobik akan dihasilkan gas metan CH 4 , karbon dioksida CO 2 , ammonia NH 3 , sejumlah kecil hidrogen sulfida H 2 S, dan merkoptan CH 5 SH. Pengoperasian sanitary landfill memerlukan input berupa sampah dan sumber daya, baik sumber daya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbarukan, seperti lahan, bahan bakar dan beberapa material lainnya, untuk mengolah air lindi. Selama pengoperasian landfill, diperlukan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan alat-alat berat di lapangan, dan penggunaan energi listrik untuk mengoperasikan timbangan. Ketika masa penggunaan landfill sudah habis dan ditutup, energi masih diperlukan selama aktifitas pemantauan berlangsung. Pada landfill yang moderen, energi yang ditimbulkan dari landfill, dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk mengolah air lindi. Output dari landfill berupa emisi gas ke udara dan air lindi yang dapat mencemari tanah dan air. Pada landfill yang dilengkapi dengan penangkap gas, biasanya gas dimanfaatkan untuk menghasilkan panas, dan listrik, sedangkan effluent dari pengolahan air lindi dibuang ke badan air. Proses input dan output dalam landfill dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Proses input dan output pada landfill Input sumber daya yang diperlukan dalam proses sanitary landfill antara lain adalah: 1. bahan bakar minyak fosil fuel untuk menggerakkan peralatan-peralatan mekanik seperti dozer dan compactor ; 2. energi listrik untuk menggerakkan timbangan dan aerator untuk pengolahan air lindi, penerangan lingkungan dan gedung operasi; 3. LOKASI LANDFILL Emisi gas ke udara INPUT SAMPAH SUMBER DAYA OUTPUT Energi yang diperoleh dari landfill Emisi air lindi ke tanah dan air Emisi air pengolahan lindi ke air Media porous dengan porousitas α material yang terakumulasi di cairan dalam volume yang porous dan diatas permukaan media granuler Volume Porous lahan yang diperlukan dengan luasan yang bergantung pada jumlah sampah yang dibuang dan masa pelayanan landfill; 4. sumber daya manusia. Adapun output yang dihasilkan dalam sanitary landfill antara lain adalah emisi ke udara, air dan tanah, energi yg dihasilkan dari gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik. Landfill yang dilengkapi dengan pengolahan air lindi, mempunyai emisi ke air dan tanah yang lebih rendah berkurang. Gas yang terbentuk pada landfill memiliki tekanan yang lebih besar dari tekanan udara bebas atmosfir, oleh karenanya maka gas yang terbentuk dalam landfill akan bergerak ke luar melalui lapisan tanah yang porous. Faktor lain yang mempengaruhi pergerakan gas landfill adalah terserapnya gas ke dalam cairan atau komponen padatan dan juga pembentukan atau kosumsi komponen gas melalui reaksi kimia atau aktifitas biologis. Besaran gas yang keluar dari landfill dapat dijelaskan melalui satu dimensi vertikal kontrol volume, dengan formula sebagaimana persamaan berikut dan pada Gambar 8. α 1+ β = - V Z + D Z + G Keterangan: α : total porositas, cm 3 cm 3 ft 3 ft 3 β : faktor retardasi dihitung untuk penyerapan dan perubahan. C A : konsentrasi dari campuran gas A; gcm 3 lb.moleft 3 V Z : Kecepatan perubahan dalam arah vertikal, cmdt fthari D Z : koefisien efektif dari difusi, cm 2 dt ft 2 hari G : Parameter potongan yang digunakan menghitung seluruh produksi gas, gcm 3 .detik lb.moleft 3 hari Z : kedalaman, m ft Gambar 8 Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill ∂ C A ∂t ∂ C A ∂ Z ∂ 2 C A ∂ Z 2 Emisi gas dari landfill bervariasi, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya sepanjang operasi dan pasca operasi landfill. Gas utama yang dihasilkan dalam landfill adalah carbon dioxide CO 2 dan gas metan CH 4 serta sedikit gas-gas lain seperti H 2 S, NO x dan SO x , bergantung pada komposisi sampah yang dibuang ke landfill. Persentase gas yang dihasilkan pada landfill menurut Tchobanoglous et al. 1993 pada umumnya mempunyai besaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill Komponen Persen berdasarkan volume kering Methan 45 – 60 Karbon dioksida 40 – 60 Nitrogen 2 – 5 Oksigen 0,1 – 1,0 Sulfida, disulfida, markaptan, dll. – 1,0 Ammonia 0,1 – 1,0 Hidrogen – 0,2 Karbon monoksida – 0,2 konstituen kecil 0,01 – 0,6 Sumber : Tchobanoglous et al. 1993 Gas pada landfill akan lepas ke udara melalui permukaan atas maupun dari bagian samping landfill. Gas metan dan gas karbon dioksida yang dihasilkan berkontribusi terhadap perubahan temperatur bumi global warming. Gas H 2 S yang dihasilkan, dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan terjadinya penyakit ISPA iritasi saluran pernapasan atas, sedangkan VOC s bersifat karsinogenik. Emisi ke udara lainnya adalah debu yang akan keluar pada saat terjadi proses pengoperasian landfill. Adapun perkiraan kerusakan yang ditimbulkan dalam proses pada instalasi sanitary landfill menurut European Commission , D.G. Environment 2000 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari landfill Sumber : Europian Commission, D.G. Environment 2000. Emisi Kerusakan Medium Dampak kesehatan Produksi Pertanian Kerusakan gedung Dampak pada cuaca Eko- sistem kematian penyakit CH 4 Udara v v CO 2 Udara v v VOCs Udara v Dioxins Udara v v Debu Udara v v Lindi Tanah dan Air v v Menurut Tchobanoglous et al. 1993 produksi gas yang dihasilkan dari landfill pada umumnya melewati 5 fase, yang terdiri dari : 1. Fase I masa penyesuaian. Fase ini disebut masa penyesuaian awal, pada fase pertama ini komponen biodegradable diuraikan oleh mikroorganisme pada kondisi aerob, oleh karena terdapat sedikit oksigen yang terperangkap dalam landfill. 2. Fase II masa transisi. Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam landfill dan kondisi anerob mulai terbentuk. Hal ini ditandai dengan terbentuknya gas nitrat dan sulfat, yang dapat menyediakan elektron akseptor pada reaksi konversi biologis, dan terjadi perubahan menjadi gas nitrogen dan hidrogen sulfide seperti yang terlihat pada reaksi di bawah ini. 2CH 3 CHOHCOOH + SO 4 2-  2CH 3 COOH + S 2- + H 2 O + CO 2 4H 2 + SO 4 2- S 2- + 4H 2 O S 2- + 2H +  H 2 S 3. Fase III masa asam. Pada fase ini mikroba yang aktif pada fase II mempercepat terbentuknya asam organik dan sedikit gas hidrogen. Fase ini melibatkan enzim yang menjadi mediator transformasi hidrolisis, ikatan molekul yang lebih tinggi seperti lipid, polisakarida, protein, dan asam nukleat menjadi ikatan molekul yang sesuai untuk digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bahan pembentuk sel. Tahap berikutnya adalah proses asidogenesis yang melibatkan mikroorganisme yang mengkonversi ikatan molekul dari proses pertama menjadi masa molekul sedang yang lebih rendah dengan peranan asam asetat CH 3 COOH dan sejumlah kecil konsentrasi dari fulvic acid dan asam organik lain yang komplek. Pada phase III gas utama yg terbentuk adalah CO 2 dan sejumlah kecil gas hidrogen H 2 . Mikroorganisme yang berperan dalam proses ini terdiri dari bakteri fakultatif dan bakteri anaerob obligat, yang umumnya dikenal sebagai acidogen atau pembentuk asam . Pada kondisi ini pH lindi leachate akan menurun sampai 5 bahkan bisa lebih rendah, sebagai akibat kehadiran asam organik dan peningkatan volume gas CO 2 di dalam landfill. Nilai biochemical oxygen demand BOD5, chemical oxygen demand COD dan konduktifitas dari leachate meningkat secara signifikan sebagai akibat melarutnya asam organik dalam leachate. Selain itu rendahnya pH juga mengakibatkan tingginya kelarutan zat anorganik, terutama logam-logam berat. 4. Fase IV masa fermentasi methan. Pada fase ini, kedua kelompok mikroorganisme mengkonversi asam asetik dan gas hidrogen yang muncul sebagai akibat lebih dominannya pembentukan asam dalam phase asam ke CH 4 dan CO 2 . Mikroorganisme yang berperan pada fase ini adalah mikroorganisme anaerob yang disebut methanogenic pembentuk methan. Pada phase IV asam dan gas hidrogen yang dibentuk oleh pembentuk asam akan dikonversi menjadi CH 4 dan CO 2 , sehingga pH dalam landfill meningkat menjadi 6,8 – 8, namun nilai BOD 5 dan COD serta konduktifitasnya malah menurun. Pada pH yang lebih tinggi, hanya beberapa bahan anorganik yang masih ada dalam larutan, sehingga kandungan logam berat dalam leachate akan menurun. 5. Fase V masa maturasi. Fase V terjadi setelah seluruh zat organik dikonversi menjadi CH 4 dan CO 2 pada fase IV. Pada fase V kecepatan pembentukan gas mengalami penurunan secara signifikan. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar nutrien yang tersedia telah hilang dalam leachate pada fase sebelumnya, dan substrat yang tersisa pada landfill mengalami degradasi yang lambat. Gas utama yang terbentuk pada fase V adalah CH 4 dan CO 2 dan diduga akan terbentuk gas nitrogen dan oksigen. Lama setiap fase dalam menghasilkan gas bervariasi, tergantung pada distribusi dari komponen zat organik dalam landfill, keberadaan zat hara, kandungan air dalam sampah, aliran ke dalam landfill, dan derajat pemadatan yang dilakukan. Pemadatan sampah pada landfill mengakibatkan rasio antara karbonnitrogen dan keseimbangan nutrien kurang menguntungkan bagi pembentukan gas. Pemadatan landfill akan menurunkan kadar air, sehingga menurunkan biokonfersi pembentukan gas, untuk lebih jelasnya tahapan perubahan gas pada landfill dapat dilihat pada Gambar 9. K o mp o si si Gas , dal am Vo lu me Komposisi dan Karakteristik, Generasi, Perpindahan dan Kontrol dari gas pada Landfill Fase Gambar 9 Tahapan perubahan gas pada landfill Tchobanoglous et al. 1993 Volume produksi gas secara umum dapat dijelaskan pada reaksi kimia untuk dekomposisi anaerob dari sampah, dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Adapun distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel pada landfill dapat dilihat pada Tabel 3. Zat Organik sampah + H 2 O  Zat organik terbiodegradasi + CH 4 +CO 2 +Gas lain Volume gas yang terbentuk selama terjadi dekomposisi secara anaerob dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus umum, dengan memisalkan sampah organik sebagai C a H b O c N d . Adapun total volume gas yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : C a H b O c N d + H 2 O  CH 4 + CO 2 + dNH 3 bakteri 4a-b-2c-3d 4 4a-b-2c-3d 8 4a-b+2c+3d 8 waktu Tabel 3 Distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel Interval waktu, sejak sel selesai bulan Rata-rata, volume Nitrogen N 2 Karbon dioksida CO 2 Methan CH 4 0-3 5,2 88 5 3-6 3,8 76 21 6-12 0,4 65 29 12-18 1,1 52 40 18-24 0,4 53 47 24-30 0,2 52 48 30-36 1,3 46 51 36-42 0,9 50 47 42-48 0,4 51 48 Sumber : Tchobanoglous et al. 1993 Pada umumnya bahan organik yang ada dalam sampah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian , yakni: 1 Materi yang mudah untuk didekomposisi dengan cepat tiga hingga lima tahun dan 2 Materi yang lambat untuk didekomposisi sampai dengan 50 tahun atau lebih. Adapun komponen zat organik yang cepat dan yang lambat dalam biodegradasi dapat dilihat pada Tabel 4 . Tabel 4 Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi Komponen zat organik Cepat dibiodegradasi Lambat dibiodegradasi Sampah makanan X Kertas koran X Kertas kantor X Kardus X Plastik X Kain textil X Karet X Kulit X Sampah halaman X X Kayu X Organik lainnya X Sumber : Tchobanoglous et al. 1993 Komponen zat organik yang mudah terurai dalam proses biodegradasi dapat diasumsikan sebagai C 75 H 122 O 55 N, sehingga apabila kondisi optimal, dengan menggunakan formula tersebut di atas, gas yang terbentuk jumlahnya 14 ft3 lb atau 0,874 m3kg sampah organik biodegradable yang terdekomposisi. Fraksi zat organik biodegradable tergantung pada besarnya kandungan lignin pada sampah. Adapun kandungan lignin dan fraksi biodegradable pada komponen sampah organik Tchobanoglous et al. 1993 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kadar biodegradable sampah organik Komponen sampah organik Kandungan lignin dari volatil padat Fraksi biodegradable volatil padat Sampah makanan 0,4 0,82 Kertas koran 21,9 0,22 Kertas kantor 0,4 0,82 Kardus 12,9 0,47 Sampah taman 4,1 0,72 Sumber : Tchobanoglous et al. 1993 Adapun perhitungan fraksi biodegradable dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut Tchobanoglous et al. 1993. Fraksi biodegradable = 0,83 - 0,028 x LC, dengan LC = volatil padat Menurut Tchobanoglous et al. 1993 dalam kondisi normal, kecepatan dekomposisi dapat diukur dari produksi gas yang terbentuk. Selanjutnya dikatakan bahwa pembentukan gas maksimal akan terjadi pada tahun pertama dan kedua, namun kemudian akan melambat dan terjadi terus sampai 25 tahun atau lebih. Keragaman dari kecepatan produksi gas dari proses dekomposisi secara anaerob terjadi pada lima tahun atau kurang dari lima tahun. Namun demikian untuk jenis sampah yang sangat cepat didegradasi, akan terjadi dekomposisi dan pembentukan gas secara cepat. Pada jenis sampah yang sangat lambat didegradasi, baru akan dihasilkan setelah 5 sampai 50 tahun, sejak di buang ke tempat pembuangan akhir. Adapun pembentukan gas dari sampah organik yang mudah didegradasikan biodegradable – organic maximals dapat dimodelkan seperti yang terlihat pada Gambar 10, sedangkan pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 10 Pembentukan gas selama lebih dari lima tahun pada sampah organik yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill Chobanoglous et al. 1993 Jumlah produksi gas di tempat pembuangan akhir sampah dalam kurun waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Rotenberger dan Tabasaran 1987 dengan formula sebagai berikut: Gas yang diproduksi dari material yang cepat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun Gas yang diproduksi dari material yang lambat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun Tahun Total P ro d u k si g as, ft 3 t h G t = G e x 1 – e -kt Keterangan: G t : Jumlah gas yang dihasilkan dari semenjak sampah 1 ton dibuang sampai waktu t tahun m 3 gaston sampah. G e : Jumlah gas metan yang dapat dihasilkan dari sampah 1 ton dalam kurun waktu lama m 3 det. k: Koefisien kecepatan urai yag diambil dari waktu paruh jumlah total karbon organik dalam limbah sampah 0,05 ≤ k ≤ 0,15, untuk landfill diambil 0,06 t: Lama waktu dalam tahun Ge = 1,868 x C o x 0,014 x T + 0,28 Keterangan: 1,868 : Potensi produksi gas untuk satuan unit organik karbon m 3 kg Co : Jumlah total organik karbon di dalam sampah kgton sampah, tipikal 200 Kgton T : Temperatur di lapisan dalam sampah di TPA 20 °C ≤ 40, tipikel kondisi di Indonesia 40°C Produksi gas dari landfill dengan kandungan air yang cukup untuk mendukung proses anaerobik dari fraksi zat organik dari sampah Produksi gas dari landfill yang sama, dengan kandungan air yang tidak cukup untuk mendukung proses anaerobik secara lengkap P ro d u k si g as , f t3 y Tahun Gambar 11 Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill Tchobanoglous et al. 1993 Sampah yang dibuang ke TPA pada awalnya akan mengalami proses oksidasi karena bersentuhan dengan oksigen di udara. Keberadaan oksigen ini mengakibatkan terjadinya penguraian secara aerobik, dan karbon organik akan diuraikan hingga menjadi CO 2 yang terlepas ke udara bebas. Selain proses oksidasi, karbon organik juga mengalami proses anaerobik, sehingga dari proses tersebut akan dihasilkan gas metan, oleh karena itu maka pembentukan gas metan pada awalnya menggunakan koefisien 0,8 – 0,95. Mengingat tidak seluruh karbon organik dapat berubah menjadi gas metan, maka dipakai koefisien 0,06 atau dengan kata lain 35 – 40 elemen TOC akan melepaskan emisi ke udara sebagai gas metan. Proses pengangkutan sampah ke lokasi TPA dilakukan dengan mempergunakan alat angkut truk tertutup dengan kapasitas 8 ton, yang mempergunakan bahan bakar Solar. Aktivitas pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dengan kondisi arus lalu lintas di wilayah perkotaan memerlukan bahan bakar solar 2,5 liter per kilometer. Menurut penelitian Department of Environment, Food and Rural Affairs 2001, setiap liter solar akan menimbulkan emisi gas CO 2 sebesar 2,64 kg. Adapun reaksi kimia proses pembakaran hidrokarbon dapat dilihat pada persamaan berikut : 4C 12 H 23 + 71O 2  48CO 2 + 46H 2 O Berat emisi CO 2 yang dihasilkan dari 1 liter solar dapat dihitung dengan menggunakan prinsip stoikiometri, seperti perhitungan berikut ini. Berat jenis solar pada suhu 15 C ρ = 0,815 x 10 3 grL 1 mol C 12 H 23 = 167 gr 1 mol CO 2 = 12x44 =528 gr Sehingga volume solar = 0,205 L 1 mol CO 2 = 8x44 = 352 gr ρ = mv Keterangan: ρ = massa jenis m = massa v = volume zat Jumlah CO 2 yang dihasilkan dalam 1 liter solar C 12 H 23 adalah: = 5280,205 = 2.575 grL = 2,6 kgL

b. Composting Pengomposan