BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta DKIJ. DKIJ merupakan kota metropolitan dan kota terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk pada tahun 2005
sebesar 8,8 juta jiwa, dan luas wilayah 65.000 hektar. DKIJ memiliki permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan sampah skala perkotaan,dimana pemerintah daerah DKIJ
telah menetapkan kebijakan dalam pengolahan sampahnya dengan menggunakan kombinasi teknologi komposting, insinerator skala kecil serta sanitary landfill. Penelitian
dilakukan sejak bulan November 2005 hingga akhir 2010.
3.2. Rancangan Penelitian
Penelitian Formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan ini meliputi beberapa tahapan kajian sebagai berikut:
Kajian 1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah Kajian 2. Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan
Kajian 3. Multi kriteria evaluasi multy criteria evaluation Kajian 4. Analisis Sistem Dinamik system dynamic
Kajian 5. Analisis kebijakan
3.2.1 Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah.
Pada penelitian ini dilakukan analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan bagi penempatan masing-masing teknologi pengolahan sampah, yang dilakukan di masing-
masing bagian wilayah DKI Jakarta. Pada kajian ini dianalisis ketersediaan lahan di masing-masing bagian wilayah DKI Jakarta, sebagai tempat pengolahan sampah dengan
menggunakan teknologi high rate komposting HRC, waste to energy WTE incinerator tipe fluidized bed furnace dan teknologi sanitary landfill SLF, dengan menggunakan
data-data pemanfaatan lahan di wilayah administratif DKI dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta 2006. Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan lahan
dilakukan dengan melakukan perhitungan luasan kebutuhan lahan untuk masing-masing teknologi dalam jangka waktu 25 tahun. Indikasi kesesuaian lahan terhadap penggunaan
teknologi pengolahan sampah, dilakukan berdasarkan beberapa kriteria seperti luasan kebutuhan lahan yang diperlukan, tingkat kepadatan penduduk untuk melihat kelayakan
sosial, serta kondisi air tanah dan pemanfaatan air tanah untuk air minum. Pada penelitian ini dilakukan berbagai hal, yakni:
1. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk kajian ini antara lain adalah data-data sekunder
tentang pemanfaatan lahan, jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk. Data-data ini diperoleh dari dinasinstansi terkait, antara lain dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta,
Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pekerjaan Umum. Basis jumlah penduduk yang diambil dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk pada tahun 2008, yang
diproyeksikan dalam 25 tahun ke depan. 2. Analisis ketersediaan lahan
Pada tahapan ini dilakukan analisis ketersediaan lahan dengan cara mengevaluasi kecenderungan pemanfaatan lahan di wilayah DKI Jakarta bagi kebutuhan perumahan,
industri, perkantoran, gudang, dan taman ruang terbuka hijau, serta pemanfaatan lainnya jalan, sungai, saluran dan utilitas perkotaan. Hasil analisis pemanfaatan lahan ini akan
mendapatkan besaran luasan lahan terbuka yang belum terbangun, dan memungkinkan sebagai tempat pengolahan sampah dalam kurun waktu 25 tahun ke depan.
3. Analisis kebutuhan lahan Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan
teknologi pengolahan sampah SLF, insinerator WTE dan HRC, dihitung dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan
mempergunakan program Exel. Perhitungan tersebut dilandasi kaidah-kaidah teknis dalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah. Perhitungan tersebut dilakukan
terhadap timbulan sampah dengan varian besaran sampah masuk 500 tonhari, 1.000 tonhari, 2.000 tonhari dan 3.000 tonhari.
Kebutuhan lahan untuk SLF dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain : umur rencana operasional, yang dalam penelitian ditetapkan 25 tahun, total berat sampah
selama masa operasi, berat jenis sampah setelah compaction pemampatan yang dalam penelitian ini diambil 0,6 tonm
3
, berat jenis sampah setelah decomposition diambil 1,05 tonm
3
, tinggi timbunan sampah untuk kapasitas sampah masuk masing-masing 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 ton hari yaitu 30 m, 36 m, 45m dan 48 m, serta tinggi bukit akhir
yanag merupakan rasio antara berat jenis sampah compaction 0,6 tonm3 dengan berat
jenis sampah decomposition 1,05tonm3 terhadap tinggi timbunan, untuk kapasitas sampah masuk sebesar 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 tonhari masing-masing 17,1 m, 20,6
m, 25,7 m, 27,4 m. Disamping itu kebutuhan lahan aktif SLF untuk kapasitas 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 tonhari diperlukan 43 ha, 71,7 ha, 114,7 ha dan 161,3 ha, serta fasilitas
pendukungnya seperti jalan lingkungan intenal road dan drainase diasumsikan 6,5 dari lahan aktif, kebutuhan buffer zone diasumsikan 50 dari lahan aktif, secara
keseluruhan rasio penggunaan lahan gross per ton kapasitas untuk sampah masuk 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 tonhari sebesar 1.290 m
2
ton, 1.075 m
2
ton, 880 m
2
ton dan 806m
2
ton. Sedangkan untuk WTE insinerator kebutuhan lahan diperlukan untuk fasilitas- fasilaitas antara lain : reception area, burning area, power plant area, rejected material
area, internal road dan drainase, parking area, buffer zone, yang secara keseluruhan
untuk sampah yang belum terpilah memerlukan lahan untuk kapasitas masing-masing 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 tonhari memerlukan 47,9 m
2
ton, 46,9 m2ton, 37,3 m2ton, dan 33,4 m
2
ton. Teknologi HRC memerlukan lahan untuk fasilitas-fasilitas reception area, sorting area, shredding and cutting area, fertilizing area
, dan rejected material area
serta internal road dan parkir, buffer zone area, untuk masing-masing kapasitas 500, 1.000, 2.000, dan 3.000 tonhari memerlukan lahan sebesar 99,2 m
2
ton, 98,2 m
2
ton, 88,3 m
2
ton dan 85,9 tonm
2
. Indikasi kesesuaian lahan untuk lokasi tempat pengolahan sampah, dilakukan
dengan cara menilai beberapa parameter. Parameter dan kriteria pendukung yang dijadikan pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan sebagai tempat
pengolahan sampah, dapat dilihat pada Tabel 11. 4. Kesesuain dengan Kebijakan Penataan Ruang
Penempatan unit pengolahan sampah selain memperhatikan parameter dan kriteria sebagaimana diuraikan pada Tabel 11, juga harus mempertimbangkan kebijakan tata
ruang, baik kebijakan tata ruang nasional, undang-undang penataan ruang nomor 26 tahun 2007, provinsi maupun kebijakan tata ruang kabupatenkota.
5. Rekomendasi ketersediaan dan kesesuaian lahan. Hasil analisis tersebut di atas, selanjutnya diramu menjadi rekomendasi kebutuhan
dan ketersediaan serta idikasi kesesuaian lahan bagi tempat pengolahan dan pembuangan sampah, dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah HRC, WTE incinerator
dan SLF.
Tabel 11 Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah
Parameter Kriteri Kesesuaian Tempat Pengolahan Sampah
Kondisi tanah soil condition Peyediaan air minum perpipaan
Ketinggian air tanah 1m dari permukaan tanah tidak pada lahan yang memiliki kandungan sumber daya alam yg
dimanfaatkan. Cakupan pelayanan 100
Konservasi lingkungan Tidak dapat diletakkan pada wilayah yang dilindungi, hutan
lindung, taman nasional, atau cagar alam. Jarak pada sumber air
Lebih besar dari 500 m dari sumber air Banjir
Tidak dalam wilayah banjir Jarak dari jalan raya
Maksimal 1 Km dari jalan raya Lokasi Wisata
Lebih besar 1 Km dari lokasi pariwisaata, cagar budaya Jarak dari pusat pelayanan
Lebih besar dari 2 Km dari pusat permukiman terkecil Luas lahan yg diperlukan
Dapat untukmenampung sampah selama 25 tahun Kepadatan Penduduk
Untuk Samitary Landfill lebih kecil dari 50 jiwaha Sumber : Diolah dari berbagai sumber.
3.2.2 Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan.
Pada tahap ini dilakukan perhitungan cost benefit analysisCBA, dengan tujuan untuk membandingkan opsi-opsi sistem pengolahan sampah secara parsial. Pada tahap
ini dilihat hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah hingga biaya yang ditimbulkannya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 15.Pada dasarnya rangkaian
dampak yang ditimbulkan pada pengolahan sampah, dimulai sejak masuknya sampah ke lokasi sanitary landfill, incinerator dan composting site. Pada pengolahan sampah akan
dihasilkan emisi yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas dari udara, tanah, dan kualitas air dengan bertambahnya konsentrasi polutan ke dalam media tersebut. Emisi
polutan dapat mengenai exposure manusia, gedung, binatang, tanaman, dsb.yang dalam kuantitas tertentu dan lamanya kontaminasi dosis dapat mengakibatkan dampak pada
kesehatan, dan pada aspek lainnya. Dampak negatif ini pada akhirnya menjadi beban yang harus ditanggung oleh masyarakat social cost, secara skematis hal ini dapat dilihat
pada Gambar 15. Dalam rangka mendapatkan optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah
lingkungan, langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Langkah pertama: Mendefinisikan obyek penelitian.
Pada langkah pertama dilakukan beberapa hal yakni: a Relokasi dari sumber daya yang sedang diusulkan.Dalam penelitian ini
dipergunakan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah WTE incinerator , dan high rate composting HRC, sebagai kelengkapan sistem pengolahan
yang sebelumnya hanya dilakukan dengan sanitary landfill, maka terdapat
relokasi sumber daya untuk pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas WTE insinerator dan HRC;
b Pertimbangan terhadap keuntungan dan kerugian. Pendefinisian ini dimaksudkan untuk memperjelas batasan dari obyek penelitian yang akan dilakukan
penilaiannya dan untuk memberikan batasan dari obyek penelitian yang akan dinilai.
Gambar 15 Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan
2. Langkah kedua: Identifikasi dampak Pada langkah ke dua, setelah obyek penelitian yang akan dinilai, lingkup dan
batasannya ditetapkan, maka langkahberikutnya adalah melakukan identifikasi seluruh dampak yang dihasilkan dari pelaksanaan pengoperasiannya, yang meliputi penggunaan
sumberdaya, dampak tenaga kerja, dampak pergerakan lalulintas, dampak terhadap harga kepemilikan, dampak kualitas landscape, dan eksternalitas lainnya.
3. Langkah ketiga: Menentukan dampak yang relevan secara ekonomi. Pada dasarnya hampir setiap masyarakat tertarik untuk memaksimalkan
kepuasannya utilitasnya terhadap kelompok yang lainnya. Kepuasan ini bergantung kepada beberapa variabel, yakni tingkat konsumsi dari barang yang ada pasarnya
maupun barang yang tidak memilliki pasar. Dalam penelitian ini CBA digunakan untuk memilih pemanfaatan teknologi pengolahan sampah SLF, WTE insinerator, HRC, baik
yang dioperasikan secara individual maupun terintegrasi dari ketiga teknologi tersebut, untuk menentukan pilihan yang terbaik paling efisien dari daftar alternatif sistem
pengolahan sampah portofolio.
Udara, Tanah, Kualitas Air
Faktor emisi Satuan biaya
Sampah Emisi
Biaya sosial
Eksposur Dosis
x
Dampak
4. Langkah keempat: Kuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai. Pada tahap ini dilakukan penentuan besaran fisik dari biaya dan manfaat yang ada
pada obyek penelitian, serta mengidentifikasi sesuatu yang akan terjadi pada saatnya nanti, seperti perubahan terhadap kondisi lingkungan yang dapat merugikan masyarakat
tertentu di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk emisi gas rumah kaca GRK karbon dioksida CO
2
dan gas metan CH
4
yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dari pemanfatan teknologi SLF, WTE insinerator, HRC, serta
kombinasinya dengan sampah yang tidak terpilah, dan yang terpilah antara sampah organik dan anorganik.
5. Langkah kelima: Valuasi moneter dari dampak yang relevan Pada tahap ini dilakukan penakaran dampak dengan menggunakan ukuran yang
biasa dipergunakan.Pada penelitian ini simplifikasi dilakukan dengan hanya menghitung emisi gas yang ditimbulkan dari teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan,
dengan melakukan kuantifikasi timbulnya gas rumah kaca GRK dominan yaitu gas karbon dioksida CO
2
dan gas metan CH
4
. Perhitungan keuntungan maupun kerugian riil di masa yang akan datang harus
dihitung dengan memperhatikan faktor tingkat inflasi. 6. Langkah keenam: Discounting dari aliran cost dan benefit
Pada tahap ini dilakukan perhitungan seluruh cost kerugian ataupun benefit keuntungan, yang dihitung dengan menggunakan nilai uang. Nilai present value PV
harus dikonversikan dalam nilai saat ini, adapun formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
PV X
t
= X
t
1 + i
-t
atau PV X
t
= X
t
1 1 + i
t
Keterangan :
PV : harga pada saat ini present value X
t
: harga X pada tahun t i : interest bunga bank yang berlaku, dalam perhitungan ini diambil 7
Nilai dalam kurung merupakan discount factor yang nilainya antara +1 dan 0.
6. Langkah ketujuh : Menggunakan uji net present value Tujuan utama dari CBA adalah membantu memilih proyek dan memilih kebijakan
yang paling efisien dalam konteks penggunaan sumber daya. Kriteria yang dipergunakan adalah dengan melihat nilainet present valueNPV, yaitu melihat nilai total dari PV
keuntungan benefit dibandingkan dengan nilai total dari PV kerugian cost. Apabila nilai PV keuntungan lebih besar dari nilai PV kerugian maka kegiatan tersebut lebih
effisien dalam menggunakan sumber daya. NPV dapat dihitung dengan menggunakan formula :
NPV = ∑B
t
1 + I
–t
- ∑C
t
1 + I
–t
7. Langkah kedelapan: Analisis sensitifitas Pada tahap ini dilakukan perhitungan analisis sensitifitas, dalam rangka melihat
parameter yang paling sensitif terhadap NPV. Uji sensitifitas dilakukan karena terdapat “ketidakpastian” dalam melakukan prediksi kondisi fisik yang terjadi di masa yang akan
datang. Parameter yang dipergunakan terhadap NPV dalam penelitian ini antara lain: 1. Discount rate,
2. Harga jual beli dari energi listrik yang dihasilkan, 3. Jarak angkut sisa pembakaran sampah
3.2.3 Multi Kriteria Evaluasi Multy Criteria Evaluation
Pada tahap ini dilakukan analisis dengan metoda multi kriteria evaluasi untuk menentukan alternatif terbaik dalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah.Pada
tahapan penelitian ini dipilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKIJ.Sistem tersebut adalah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah High rate composting HRC,
WTE incinerator, dan system sanitary landfill SLF, baik yang dilakukan secara individual maupun dengan teknologi terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang
belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik.Adapun langkah yang dilakukan
untuk tujuan tersebut adalah sebagai berikut: Langkah 1: penetapan alternatif teknologi pengolahan sampah, yang dioperasikan
secara individual dan terintegrasi, sehingga didapat lima alternatif pilihan sistem pengolahan sampah.
Langkah 2: menetapkan kriteria pemilihan teknologi pengolahan sampah dan penetapan bobot untuk masing-masing kriteria.
Langkah 3: melakukan pemilihan alternatif sistem pengolahan sampah berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan bantuan program MCE
TOPSIS.
Penentuan nilai akhir dari multi kriteria didasarkan pada pembentukan dan perhitungan matrik keputusan yang kemudian diolah dengan bantuan program TOPSIS
Technique Ordering Preference Similarity Ideal Situation. Tahap pertama dalam TOPSIS
adalah penentuan
matriks keputusan
dalam bentuk
Dimana D adalah decision matriks, X
11
atau X
ij
adalah alemen matriks yaitu nilai atau angka setiap pilihan dan kriteria, sedan
gkan Ʌ lamda adalah engine vector yakni vector baris atau kolom angka yang merupakan persamaan kuadrat yang akan
mentransformasikan matrik biasa menjadi matrik yang ternormalisasi, dan M adalah matriks identitas yang merupakan matrik penolong untuk membantu mentransformasi
matrik di atas. Matriks keputusan ini kemudian dilakukan normalisasi sehingga diperoleh normalize
rating yakni :
Dimana r
ij
adalah rating dari kolom baris ke i kolom ke j, x
ij
adalah komponen matrik baris ke i dan kolom ke j.
Normalized rating ini kemudian di bobot menjadi:
Dimana V
ij
adalah bobot yang ternormalisasi dengan W
j
adalah bobot. Langkah selanjutnya dalam penentua prioritas adalah penentuan solusi ideal dan solusi
non ideal yang dihitung berdasarkan formula:
Dimana A adalah situasi ideal dan A
-
adalah situasi non-ideal dan J adalah manfaat yang diperoleh dari setiap alternatif.
Langkah berikutnya dari TOPSIS adalah penentuan jarak Euclidian dari situasi ideal
dan non-ideal yang ditulis dalam persamaan:
Dimana S adalah jarak ideal dan adalah jarak non-ideal dan v
ij
bobot yang ternormalisasi.
Langkah terakhir kemudian menentukan rankin yang didasarkan pada rasio jarak ideal dan non ideal yakni:
Dimana 0C1.
3.2.4. Analisis System Dynamic sistem dinamik
Analisis system dynamic digunakan untuk melihat interakasi antar berbagai komponen dalam pengelolaan sampah yakni variabel social pertumbuhan penduduk,
variabel ekonomi PDRB, variabel lingkungan sampah, dan teknologi SLF, WTE, dan HRC. Hasil dari sistim dinamik dapat memprediksi volume sampah dan unit cost yang
dibutuhkan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan volume sampah tersebut. Analisis system dynamic
dilakukan melalui program Vensim dengan komponen sebagaimana pada
diagram Gambar 16.
3.2.5. Analisis Kebijakan
Pada tahap ini dilakukan formulasi kebijakan yang direkomendasikan dalam pengolahan sampah perkotaan dengan mengambil kasus DKIJ. Langkah yang dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut adalah: Langkah 1:melakukan evaluasi implementasi kebijakan pengolahan sampah di
DKIJdalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan teknologi komposting dan insenirator skala kecil.
Langkah 2: melakukan formulasi kebijakan berdasarkan hasil kajian pada langkah sebelumnya, untuk memberikan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan
sampah perkotaan berkelanjutan.
Gambar 16 Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN