Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah

Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya 2003 memperlihatkan bahwa walaupun composting merupakan sasaran utama sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2010 dalam jangka pendek. Namun hingga saat ini diindikasikan bahwa tidak mungkin melakukan perubahan budaya yang diperlukan untuk mendukung hal itu dalam skala besar dan dalam waktu yang singkat jangka pendek. Pada dasarnya komposting merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam rangka mengimplementasikan program 3R reduce, reuse, dan recycle atau lebih dikenal dengan program 3R, yang orientasinya agar tercapai program zero waste. Hal ini sesuai dengan pendapat Bebassari 2000 yang mengatakan bahwa zero waste merupakan konsep pengelolaan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R yaitu reduse, reuse, recycle dengan pengelolaan sedekat mungkin dengan sumbernya. Pengembangan teknologi pengelolaan sampah ini selain lebih bersahabat dengan lingkungan, juga akan memberi nilai tambah secara ekonomi Wibowo dan Djajawinata 2003. Namun demikian sampai saat ini, kelayakan metode reduce and reuse di Jakarta belum terbukti dapat diaplikasikan dalam skala yang berarti. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng pun juga relative kurang memuaskan, karena baru menunjukkan adanya potensi penggunaan kompos. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng menunjukkan bahwa Jakarta tidak dapat menganggap bahwa composting dengan skala kecil dapat diandalkan sebagai solusi utama dalam reduksi sampah, untuk jangka waktu minimal lima tahun ke depan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya sampah domestik. Selain itu juga diperlukan perubahan mindset dari masyarakat luas untuk memandang kompos sebagai produk yang bermanfaat, baik bagi ekonomi maupun lingkungan.

5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah

5.2.1. Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah Hasil analisis CBA mendapatkan hasil bahwa sistem pengolahan sampah yang selayaknya dikembangkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, dalam rangka mengatasi persoalan pengolahan sampah yang terkait dengan keterbatasan lahan serta untuk mendapatkan sisitem pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan dapat diterima oleh masyarakat adalah pengolahan sampah dengan mengaplikasikan integrasi teknologi insinerator WTE dan HRC yang ditempatkan di dalam wilayah DKI, sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Adapun pertimbangan dari pemilihan teknologi tersebut adalah sebagai berikut : a. Teknologi insinerator skala kecil mengeluarkan biaya yang sangat mahal, sehingga memberikan beban yang berat bagi keuangan Pemda DKI, dalam menyediakan biaya operasi dan pemeliharaan. Selain itu juga menimbulkan dampak lingkungan dan berpotensi untuk menurunkan kesehatan masyarakat, sehingga diduga akan menghadapi penolakan masyarakat. Teknologi yang harus dioperasikan oleh Pemda DKI adalah insinerator WTE, dengan kapasitas 3.000 tonhari, mengingat sistem ini yang paling cost efficient dan relative ramah lingkungan . Pemanfaatan teknologi ini dimungkinkan dengan terjadinya perubahan komposisi sampah seiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan tingkat kesejahteraan ini akan merubah komposisi sampah dengan kandungan sampah anorganik yang semakin meningkat. Peningkatan kandungan sampah anorganik juga akan meningkatkan kandungan kalori sampah, yang memberikan keuntungan bagi DKI dalam mengaplikasikan teknologi insinerator WTE dalam pengolahan sampahnya. b. Berdasarkan besarnya volume timbulan sampah dalam 25 tahun ke depan, maka kebijakan pemeintah DKI Jakarta harus diarahkan pada pemanfaatan teknologi yang dapat mengatasi permasalahan kelangkaan lahan sebagai tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Selain itu juga harus mampu melakukan reduksi volume sampah secara cepat, dalam skala besar untuk menurunkan biaya pengangkutan sampah ke lokasi TPA. Di samping itu hasil analisis juga menunjukkan bahwa aplikasi teknologi insinerator WTE skala besar, akan lebih menguntungkan jika diintegrasikan dengan teknologi high rate composting HRC. Hal ini disebabkan residu yang dihasilkan dari proses HRC menjadi input WTE dengan kandungan kalori yang tinggi, sehingga kandungan kalori sampah sebagai input pada proses WTE semakin tinggi, yang pada gilirannya akan menghasilkan produksi listrik yang lebih besar. Pada sistem ini sanitary landfill SLF hanya difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir hasil pengolahan sampah dari sistem WTE insinerator yang berupa abu yang telah stabil dan aman bagi lingkungan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat di sekitar lokasi landfill, karena tidak menimbulkan bau yang mengganggu. Kenaikan produksi listrik akibat naiknya kandungan kalori sampah, akan memberikan pendapatan ekstra yang lebih tinggi yang memberikan keuntungan untuk menutupi ongkos operasi dan pemeliharaan insinerator WTE. c. Adanya aplikasinya teknologi terintegrasi HRC dan insinerator WTE, maka sanitary landfill SLF pada masa yang akan datang hanya akan menerima residu dari hasil pembakaran berupa abu, yang lebih ramah lingkungan dan lebih dapat diterima oleh masyarakat sekitar SLF. Pada sisem ini juga tidak akan menimbulkan bau yang tidak sedap yang selama ini dirasakan oleh masyarakat yang bermukim disekitar SLF. Sistem ini juga akan menghilangkan acaman pencemaran air tanah akibat dari produksi lindi yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah oganik. d. Dengan pertimbangan tersebut, maka kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah DKI dalam pengolahan sampah adalah penerapan aplikasi teknologi pengolahan sampah terintegrsai antara teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF, yang akan mampu mengolah seluruh timbulan sampah DKI Jakarta hingga 25 tahun ke depan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 40. Pemanfaatan teknologi pengolahan sampah insinerator WTE selaras dengan Undang-undang UU Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, yang pada pasal 4 disebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Gambar 40 Sistem pengolahan sampah di DKI saat ini 3000 24,2 21,85 2977 3000 2977 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 2005 Composting 3R Incinerator SLF ton ha ri Organik Anorganik Gambar 41 Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi Gambar 42 Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang

5.2.2. Partisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah

UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara berwawasan lingkungan, dan tata cara pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah. Keberhasilan pengolahan sampah sangat ditentukan oleh adanya partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha. Implementasi teknologi pengolahan sampah akan lebih berhasilguna dan lebih tepatguna jika masyarakat melakukan pemilahan sampah, serta melaksanakan program pengurangan reduce, reuse penggunaan kembali, dan recycling pemanfaatan kembali sedekat mungkin dari sumber timbulan sampah. Pemilahan sampah pada sumbernya akan memberikan dampak positif terutama dalam pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi HRC dan insinerator WTE. Sampah organik yang terpilah dari sampah anorganik akan memberikan kualitas yang baik pada produksi kompos yang terbebaskan dari kandungan logam berat dan bahan berbahaya lainnya. Selain itu pemilahan sampah anorganik akan memberikan kemudahan proses penggunaan kembali ataupun pemanfaatan kembali sampah anorganik. Pemerintah DKI harus mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan pengurangan reduce, pemanfaatan kembali reuse dan pengolahan kembali recycling, sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pada dasarnya Pemerintah DKI Jakarta telah lama mencanangkan kebijakan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No : 1281 tahun 1988 tentang Pola Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Dalam lampiran keputusan tersebut ditekankan bahwa pada pengumpulan sampah di lokasi sumber sampah dilakukan pemisahan menurut jenisnya yaitu yang dapat didaur ulang sampah anorganik dan yang tidak dapat didaur ulang sampah organik. Selain itu juga dinyatakan bahwa petugas pengumpul sampah mengambil sampah sesuai dengan jenis dan jadwal yang telah ditentukan. Namun demikian kebijakan ini pada kenyataanya tidak dapat direalisasikan, mengingat tidak adanya mekanisme insentif reward dan disinsentif punishment, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 21 UU No 18 tahun 2008, sehingga tidak memberikan perbedaan perlakuan antara masyarakat kelompok masyarakat yang melakukan pemilahan sampah sesuai dengan kebijakan tersebut dengan masyarakatkelompok masyarakat yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Selain hal tersebut, keberhasilan pengelolaan sampah juga sangat bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana persampahan, baik dalam skala kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya, yang berdasarkan UU No.18 tahun 2008 pasal 13 wajib disediakan oleh pengelola. Peran pemangku kepentingan dalam sistem pengolahan sampah tersebut ditunjukkan pada bagan Gambar 43. Gambar 43 Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah Implementasi integrasi pemanfaatan teknologi HRC, WTE, dan SLF dalam sistem pengolahan sampah memerlukan keterlibatan sektor swasta. Dalam hal ini private sector didorong untuk melakukan investasi maupun pengoperasian unit pengolahan sampah dengan teknologi tinggi, sehingga memerlukan perawatan dan pengoperasian dengan sumber daya manusia yang handal. Selain itu juga dituntut untuk dapat meningkatkan effisiensi dalam pembiayaan serta pemenuhan kinerja secara effektif. Keterlibatan sektor swasta dapat dilakukan melalui pola kerjasama antar pemerintah dengan swasta public private partnership - PPP, dalam bentuk build operate and transfer BOT, concession konsesi ataupun dalam bentuk business to bussiness B to B. Kerjasama antara pemerintah dengan swasta mendorong terjadinya keterbukan, effisiensi, effektifitas dan keberlanjutan sistem pengolahan sampah. Kajian studi kelayakan yang lebih mendalam diperlukan guna menentukan pola kerjasama yang tepat antara pemerintah dengan swasta KPS, untuk mengetahui resiko Pemilihan Sampah Pengumpulan Transportasi Pengolahan Pengolahan Skala Lingkungan Pengolahan Skala Kota Akhir SLF Skala Kawasan Skala Regional Peran serta masyarakat Peran Dunia Usaha Peran Pemerintah sebagai regulator sampah 6000 tonhari Organik 3.000 tonhari Anorganik 3.000 tonhari HRC 3.000 tonhari Kompos 900 tonhari 3R : 900 tonhari Reject 300 tonhari Input WTE 2400 tonhari 3.044 kkalkg Reject 2.100 tonnhari Listrik 55 Mw WTE 2.400 tonhari Abu 8,44 tonhari SLF 202,56 tonhari risk analysis yang kemungkinan terjadi selama kerjasama berlangsung. Selain itu juga untuk menentukan seberapa besar dukungan dan jaminan pemerintah yang diperlukan guna menciptakan kondisi yang menarik bagi keterlibatan sektor swasta. Indikasi keuntungan dan kerugian bentuk KPS dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta ini, dari sisi pemerintah dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55 Keuntungan dan kerugian dalam pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta No Bentuk Kerjasama Keuntungan Kerugian 1 Build Operate and Transfer BOT pada Unit Pengolahan Sampah Pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD atau Badan layanan Umum BLU masih memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan dibagian yg tidak masuk dalam kerjasama dg swasta, umumnya dibagian yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Model ini lebih menarik bagi swasta. Pemerintah harus menyediakan pembiayaan dibagian yang menjadi tanggung jawabnya 2 BOT Konsesi Pemerintah tidak mengeluarkan biaya dalam pembangunan sarana dan prasarana persampahan, seluruh biaya dibebankan pada swasta Pemerintah tidak memiliki kewenangan di Seluruh bagian wilayah yang dikonsesikan . Model ini kurang diminati oleh swasta Investasi swasta lebih besar membuat kurang layaknya proyek KPS 3 B to B Kerjasama dapat dilakukan dengan waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan BOT atau Konsesi. Model ini lebih disukai oleh swasta, terutama swasta yang memiliki insiatif untuk melakukan kerjasama di bagian tertentu dari sistem pengelolaan sampah. Cenderung kurangnya competitiveness dalam memilih badan usaha kerjasama Sumber : Analisis penulis Kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah diatur di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Di dalam pasal 4 ayat 1 butir e. dijelaskan bahwa jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha mencakup : infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan.

5.2.3. Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah

Keberlanjutan sistem pengolahan sampah dengan pemanfaatan teknologi non konvensional yaitu pemanfaatan teknologi HRC dan incinerator WTE skala besar dan SLF, bergantung kepada tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil analisis sebagaimana dijelaskan oleh Bertz dan Kelly 2005 mengenai kurva lingkungan dari Kuznet, menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sangat berpengaruh terhadap terjadinya tingkat degradasi lingkungan. Kurva ini juga menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat akan semakin menurun tingkat degradasi lingkungan atau dengan kata lain dengan tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi permintaan tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik akan semakin meningkat, dan masyarakat memiliki kemauan yang lebih tinggi untuk membayar. Dalam konteks pengolahan sampah, pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang lebih baik memerlukan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar biaya operasi dan pemeliharaan pemanfaatan teknologi tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barton et al. 1994 pada kota-kota di beberapa negara menunjukkan bahwa jika tingkat pendapatan masyarakat rata-rata per jiwa telah mencapai US 6,500 maka sangat memungkinkan untuk pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan sistem insinertor dan sanitary landfill. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Contreau et al. 1985, memperlihatkan bahwa dengan tingkat pendapatan masyarakat sebesar itu, maka komposisi timbulan sampah perkotaan, sampah anorganiknya akan lebih besar atau sama dengan 50 dari total timbulan sampah perkotaan. Hal ini mengandung arti bahwa sampah memiliki kandungan kalori yang tinggi serta kadar air yang rendah. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik sampahnya, maka teknologi yang memungkinkan untuk diaplikasikan adalah teknologi insinerator WTE. Selain itu adanya listrik yang akan dihasilkan pada teknologi insinerator WTE, menjadi harapan masa depan mengingat energi alternatif merupakan sasaran energi masa depan yang sangat dibutuhkan dunia Simmons 2001. Tingkat kesejahteraan masyarakat di DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata PDRBkapita pada tahun 2007 telah mencapai Rp 62.490.340,-kapita, setara dengan US 6,900kapita dengan nilai Rp 9.000,-US . Trend tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dari tahun ke tahun menunjukkan tingkat kenaikan yang positif yaitu rata-rata sebesar 12,7 tahun, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 56. Data terakhir yang dikemukakan oleh BPS DKI Jakarta memperlihatkan bahwa nilai PDRBkapita DKI pada tahun 2009 telah mencapai Rp 199.390.680,- dan pada tahun 2010 sebesar Rp 201.558.150,- kapita. Hal ini mengandung arti bahwa dengan tingkat kesejahteraan sebesar itu dan dengan kecenderungan yang semakin meningkat, maka dapat diindikasikan bahwa DKI Jakarta layak untuk mengaplikasikan teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF secara terintegrasi. Tabel 56 Pertumbuhan PDRB per kapita DKI Jakarta Sumber : Hasil Perhitungan Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1995, dan data BPS DKI Jakarta 2010 , koefisien Gini Gini ratio untuk DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 57. Tabel 57 Gini rasio Provinsi DKI Jakarta Sumber : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, BPS Gini rasio menunjukkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, yakni semakin merata suatu distribusi pendapatan, maka nilai koefisien gininya mendekati nol. Namun makin tidak meratanya suatu distribusi pendapatan, maka besaran koefisien akan mendekati satu. Berdasarkan patokan yang umum digunakan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki tingkat ketimpangan rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien gini lebih kecil dari 0,4, kecuali pada tahun 1987 yang memiliki nilai rasio 0,94 karena Tahun PDRBkapita Rp US pertumbuhan 2003 38.694.930 4299 2004 42.922.400 4769 10,9 2005 48.966.320 5441 14,1 2006 55.981.200 6220 14,3 2007 62.490.340 6943 11,6 rata-rata 12,7 Pertumbuhan PDRBkapita DKI Jakarta 1980 1981 1984 1987 1990 2007 2008 2009 0,3532 0,354 0,294 0,94 0,305 0,34 0,33 0,36 Gini Rasio Provinsi DKI Jakarta terjadinya devaluasi nilai rupiah terhadap US. Dengan demikian maka DKI Jakarta telah memenuhi syarat untuk mengaplikasikan teknologi HRC, insinerator WTE, dan SLF. 5.2.4. Institusi Pengelola Sampah Pengelolaan sampah di DKI Jakarta diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan, namun sampah taman menjadi tanggung jawab dari Dinas Pertamanan, dan sampah dari sungai menjadi tanggung jawab dari Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu Pemda DKI juga bekerjasama dengan swasta dalam melaksanakan kebersihan di wilayah tertentu dan melakukan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA Bantargebang. Koordinasi dari ketiga penyelenggara pengelola sampah tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1281 tahun 1988 tentang Pengelolaan Sampah DKI Jakarta, namun implementasinya masih menyisakan permasalahan dalam hal batas kewenangan dan tanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah. Pada dasarnya keberadaan beberapa institusi yang berperan dalam bidang dan ruang yang sama seringkali menimbulkan konflik kepentingan dan tanggung jawab. Hal ini juga terindikasi terjadi pada ketiga institusi pengelola sampah. Adapun permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya konflik adalah akibat pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan dan ke TPA Bantargebang yang tidak mencapai 100. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya sampah yang masuk ke Teluk Jakarta yang volume rata-rata mencapai 1.000 m3hari. Dalam rangka menghindari terjadinya saling melempar tanggung jawab, atau yang dikenal dengan not in my term of office NIMTO syndrome, dan untuk mengukur kinerja institusi pelaksana, maka institusi pengelola sampah di DKI Jakarta diserahkan pada satu institusi khusus sebagai penyelenggara, baik dalam bentuk unit pelaksana teknis daerah UPTD atau badan layanan umum daerah BLUD. Kedua institusi ini diberi kewenangan untuk mengelola persampahan, atau melibatkan pihak swasta dengan sistem kontrak kinerja yang disepakati, baik untuk pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir, sedangkan Dinas Kebersihan berperan sebagai regulator pembuat kebijakan. Pengaturan tersebut akan memungkinkan terjadinya pemisahan antara fungsi regulator dan operator, sehingga penilaian kinerja kebersihan dapat dilakukan secara terbuka oleh masing-masing pihak. Selain itu masyarakat luaspun dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja baik operator maupun regulator, dan juga memberikan masukan bagi terselenggaranya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

5.2.5. Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama antar Pemerintah

dengan Swasta Pengelolaan sampah di DKI Jakarta memerlukan keterlibatan sektor swasta, baik dalam pengumpulan, pengangkutan, pengolahan serta operasi dan pemeliharaan. Adanya keterlibatan swasta dalam sistem pengelolaan sampah ini diperlukan kebijakan yang tepat, sehingga kerjasama tersebut dapat lebih menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, agar swasta tertarik berperan serta. Prinsip-prinsip good governance harus ditegakkan, terutama dalam aspek keterbukaan transparansi, efisien, efektif, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perencanaan yang partisipatif. Selain hal tersebut, adanya dukungan pemerintah untuk dapat memberikan akses pendanaan dengan bunga murah BI rate serta jaminan pemerintah government support atas keamanan investasi yang ditanamkan oleh swasta juga akan sangat menentukan masuknya sektor swasta ke dalam pengolahan sampah. Kebijakan pemerintah diarahkan untuk memberikan insentif bagi sektor swasta dalam memanfaatkan sampah sebagai sumber energi listrik energi yang terbarukan melalui aplikasi teknologi insinerator WTE. Keberadaan jaminan pemerintah commitment akan pasokan sampah dengan volume yang disepakati, penetapan harga beli enegi listrik yang menarik yang dihasilkan dari sistem insinerator WTE, serta adanya keringanan pajak atas import peralatan dan penjualan energi terbarukan merupakan faktor-faktor yang menentukan bagi masuknya sektor swasta untuk turut berperanserta dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN