Waste to Energy WTE Incinerator

Gambar 12 Proses input dan output pada komposting

c. Waste to Energy WTE Incinerator

Incinerator insinerator merupakan metoda yang sangat efektif untuk mengurangi volume sampah sampai dengan 80 – 95 , bergantung pada kandungan materi yang tidak dapat terbakar dalam sampah. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, dapat digunakan kembali untuk beberapa kepentingan seperti menghasilkan air panas atau generator listrik yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik dalam unit incinerator ini sendiri, maupun untuk penggunaan energi listrik oleh masyarakat luas. Menurut Brunner 1994 keuntungan penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah antara lain adalah: 1. Dapat menghilangkan komponen sampah yang berbahaya 2. Pengurangan volume dan berat dari sampah 3. Pengurangan sampah secara cepat, tanpa menunggu waktu yang lama seperti pada proses di sanitary landfill. 4. Proses insinerasi pembakaran dapat dilakukan di tempat on site tanpa mentransportasikan ke daerah yang jauh. 5. Emisi udara dapat dikontrol secara efektif sampai tingkat dampak minimum pada lingkungan atmosfir. 6. Limbah abu dapat dikelompokkan bukan sebagai limbah yang berbahaya. INPUT INPUT OUTPUT Sampah Pupuk Sumber Kompos Daya Sisa Sampah KOMPOSTING Emisi air lindi ke tanah dan air Emisi pengolahan lindi ke badan air Emisi gas ke udara 7. Insinerasi memerlukan luas lahan yang relatif lebih kecil, sebagaimana yang diperlukan dalam sistem pengolahan lainnya. 8. Melalui pemulihan panas yang dihasilkan, maka biaya operasi dapat dikurangi atau bisa juga dilakukan penggunaan panas untuk energi listrik yang dapat dijual. Suatu sistem selain mempunyai keuntungan, juga mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan dari sistem ini yang perlu diperhatikan adalah: 1. Beberapa material seperti sampah yang sangat basah atau limbah tanah tidak dapat dibakar dalam incinerator. 2. Kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap unsur logam inorganic material dalam proses pembakaran seperti sampah yang mengandung logam berat timah, kromium, merkuri, nikel, arsenik, dan lain-lain. 3. Incinerator memerlukan biaya investasi yang sangat mahal. 4. Memerlukan tenaga operator yang terdidik. 5. Memerlukan suplemen bahan bakar untuk pembakaran dan untuk menjaga temperatur pembakaran. Kelemahan lain pada sistem ini adalah pembakaran terhadap polyethylene, polyprophylane dan polystyrene akan menghasilkan gas karbondioksida. Pembakaran dari polyvinyl chloride akan menghasilkan gas yang beracun yakni hidrogen klorida HCl. Gas hidrogen klorida ini selain dihasilkan dari pembakaran polyvinyl chloride, juga dapat dihasilkan dari pembakaran sampah domestik seperti kertas, kayu, rumput dan lain sebagainya. Daya racun gas hidrogen klorida dapat muncul jika gas tersebut tercampur dengan uap air, sehingga akan dihasilkan materi yang sangat korosif yaitu chloride acid . Efektifitas dari incinerator tergatung pada kontrol temperatur, waktu, gas oksigen, turbulensi pembakaran dan distribusi dari gas. Pada temperatur rendah, incinerator akan menghasilkan gas karbonmonoksida yang sangat berpotensi mencemari udara. Proses pembakaran senyawa yang mengandung unsur khlor dan karbon pada temperatur 200 - 800 o C akan menghasilkan gas dioxin Brunner, 1994. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat beberapa jenis model insinerator yaitu: a. Tungku pembakar stoker furnace Tungku ini terdiri dari ruang pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat, jeruji pembakaran, corong pengisian sampah, pembawa pembuang abu, dan ketel uap pemulihan panas. Proses insinerasi sampah berlangsung secara terus menerus, dengan temperatur dalam tungku 850 – 900 o C, dengan tingkat kehilangan panas antara 5 – 7. Pada tungku ini, sampah dibakar secara langsung dalam kobaran api di atas jeruji pembakaran. Sampah diuraikan dan gas-gas yang dapat terbakar timbul dalam proses reaksi termal, termasuk gas karbon monoksida CO, yang secara kontinyu dilepaskan dari proses pembakaran yang terjadi di reaktor dan kemudian ditransfer ke dalam ruang pembakaran sekunder. Panas yang ditimbulkan dipulihkan sebagai uap dengan ketel uap, kemudian digunakan sebagai penggerak tenaga listrik. Emisi gas-gas yang dikeluarkan diolah untuk memenuhi standar emisi melalui sistem pengolahan asap gas. b. Pembakar dengan fluida fluidaized bed furnace Tungku ini dibuat dengan kabin pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat yang dilengkapi dengan suatu sistem pasokan bahan bakar, corong pengisian sampah, pembuangan abu, sistem distribusi pasir yang dipanaskan secara fluida heated fluidized sands, dan ketel uap pemulihan panas. Tungku ini merupakan konstruksi vertikal berbentuk silinder dan menggunakan supplai pasir yang dipanaskan secara fluida serta sistem pemulihan panas yang terletak pada dasar ruang pembakaran. Sistem ini memiliki daerah permukaan insinerasi yang luas yang ditunjang dengan butiran pasir panas yang dapat membakar sampah dengan temperatur antara 850 – 900 o C dan tingkat kehilangan panas antar 5 – 7, sehingga dapat membakar sampah dalam waktu yang sangat cepat. Materi sampah dioksidasi akan terbakar dengan sendirinya oleh pasir panas yang mengalir secara fluida. Pasir yang dipanaskan secara fluida berpusar dan dihembuskan oleh udara yang dialirkan dengan pompa dari bawah tungku. Panas akan mengalir dari pasir ke sampah, yang kemudian terbakar dan menjadi abu. Pasir dapat didaur ulang setelah menghilangkan abu dan residu. Asap gas bertemperatur tinggi dikeluarkan ke dalam ketel uap pemulih panas untuk menjadi listrik, dan dilepas dari cerobong melalui sistem pengolahan asap gas untuk memenuhi standar emisi. c. Tungku pembakar berputar rotary kiln type furnace Tungku ini terdiri dari reaktor silinder baja kuat yang terletak horizontal dan dapat membakar sampah secara langsung pada waktu sampah berpindah dari atas ke dasar. Tungku ini dilengkapi dengan ruang sekunder dan sistem pengolahan asap gas. Tungku ini dapat diatur temperaturnya dengan cara memberikan bahan bakar tambahan yang dicampur dengan udara. Pada proses pembakarannya, reaktor ini dipanaskan hingga temperaturnya mencapai 850 – 900 o C, sehingga cukup panas untuk membakar sampah yang dimasukkan ke dalam tungku secara kontinyu. Asap dan gas selanjutnya diolah melalui sistem kontrol emisi yang ada pada tungku hingga dapat memenuhi standar emisi. Proses input dan output pada incenerator dapat dilihat pada Gambar 13. Adapun perkiraan kerusakan yang dapat ditimbulkan dalam proses pembakaran pada instalasi incinerator dapat dilihat pada Tabel 6. Gambar 13 Proses input dan output pada incinerator Energi listrik yang dihasilkan dari WTE insinerator dapat diitung dengan formula sebagai berikut : E kwh = berat sampah masuk kgjam x kandungan kalori sampah kkalkg 860 kkal x effisiensi di ketel uap 18 Tabel 6 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator Sumber : Europian Commission, D.G. Environment 2000 Emisi Kerusakan Medium Dampak kesehatan Produksi pertanian Kerusakan Gedung Dampak Pada cuaca Eko- sistem Kematian Penyakit NOx Udara v v SOx Udara CO Udara VOCs Udara CO2 Udara v v HCl, HF Udara VOCs Udara v Dioxins Udara v v Logam berat Air v v Garam Air v v Dioxin Air Sisa sampah Tanah dan Air Pengolahan di instalasi sanitary landfill INSTALASI INCINERATOR Emisi gas ke udara Melalui cerobong asap INPUT SAMPAH SUMBER DAYA OUTPUT Energi Listrik Sisa sampah yang tidak terbakar Abu sisa pembakaran Menurut Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy Algas, 1997, gas yang dikategorikan ke dalam gas rumah kaca GRK adalah gas-gas yang berpengaruh, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap rumah kaca. Adapun gas tersebut adalah karbondioksida CO 2 , gas metan CH 4 , hydroflurocarbon HFC, karbonmonoksida CO, nitrogenoksida NO x dan gas-gas organik non-metan yang bersifat volatile. Indeks potensi pemanasan global global warming potential: GWP menggunakan CO 2 sebagai tolok ukurnya, yaitu membandingkan efek radiasi GRK di atmosfir terhadap CO 2 dalam jumlah yang sama, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 GWP untuk beberapa GRK terhadap CO 2 Gas Global Warming Potential GWP CO 2 1,0 CO 3,0 CH 4 24,5 NO x 290,0 N 2 O 320,0 Sumber: Algas 1997

2.3. Multi Kriteria Evalusi