Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan Sampah

mengarah pada naiknya jumlah sampah anorganik, dapat memberikan keuntungan bagi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan menggunakan WTE insinerator, mengingat kandungan kalori dari sampah anorganik lebih tinggi dibanding sampah organik.

4.5. Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan Sampah

Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah diperlukan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan penentuan aplikasi teknologi yang sesuai, paling effisien dan effektif. Selain itu hasil analisis optimasi juga dapat memilih teknologi pengolahan yang memberikan dampak lingkungan minimal, untuk dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah di wilayah DKI. Jumlah timbulan sampah dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan, dan timbulan sampah saat ini mencapai 6.000 tonhari, sehingga jika tidak dilakukan upaya-upaya pengurangan sampah di sumber timbulan sampah dalam jangka waktu 25 tahun ke depan, maka timbulan sampah DKI akan menjadi 7.602 tonhari. Timbulan sampah tersebut terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik, serta sampah B3 yang dihasilkan dari berbagai sumber. Pada penelitian ini analisis optimasi pengolahan sampah dilakukan dengan mempergunakan skenario sistem pengolahan dengan mempergunakan teknologi pengolahan secara individual dan terintegrasi dari teknologi high rate komposting HRC, waste to energy incinerator WTE dengan tipe fluidized bed furnace pembakaran dengan fluida, dan sanitary landfill SLF.

4.5.1. Skenario Optimasi Teknologi Sistem Pengolahan Sampah

Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dilakukan dengan skenario sbb : 1. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi teknologi pengolahan sampah secara individual untuk teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF. 2. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik. 3. Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah telah dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik. 4. Masing-masing teknologi dihitung keuntungan dan kerugiannya untuk kapasitas pengolahan sampah 500 ton hari, 1000 ton hari, 2.000 ton hari, dan 3.000 ton hari, untuk melihat tingkat efisiensi dari masing-masing teknologi terhadap perubahan kapasitas pengolahan, baik dari sisi keuangan, lingkungan maupun sosial. 5. Perhitungan CBA dilakukan dengan menggunakan acuan kondisi sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta, yang memiliki luas wilayah 660 km2, dengan timbulan sampah sebesar 6.000 ton per hari, dan komposisi sampah yang terdiri dari 50 sampah organik dan 50 anorganik. DKI Jakarta mengoperasikan sistem pengolahan sampah sanitary landfill yang terletak di Bantargebang yang berada di wilayah administratif kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat yang terletak ± 40 km dari pusat Kota Jakarta. Jarak yang dipergunakan dalam perhitungan adalah 45 km yaitu jumlah jarak dari tempat penampungan sementara, ditambah dengan jarak akses jalan masuk serta jalan lingkungan hingga ke sel penimbunan . Sistem pengolahan sampah WTE insinerator menggunakan tipe pembakar dengan fluida fluidized bed furnish, sedangkan teknologi komposting dipergunakan teknologi high rate composting HRC yang terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah ini dilakukan dengan asumsi bahwa sistem pengolahan sampah secara individual dengan kapasitas 500 tonhari, 1000 tonhari, 2000 tonhari dan 3000 ton per hari. Fariasi kapasitas pengolahan untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat efisiensi pengolahan terhadap perubahan kapasitas pengolahan sampah, dengan demikian dapatlah dibandingkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing teknologi pengolahan sampah yang digunakan di perkotaan. Selain itu juga untuk memahami karakter perubahan pengolahan sampah dari masing-masing teknologi pengolahan sampah. 6. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah didasarkan pada karakteristik dari masing-masing teknologi sistem pengolahan sampah dan timbulan sampah sesuai dengan kota kajian yaitu dalam kota besarmetro, dengan rincian sebagai berikut : a. Sistem sanitary landfill, menggunakan lahan di luar wilayah administratif DKI yang memiliki jarak angkut haulage dari tempat penampungan sementara TPS sampah, hingga ke titik sel SLF 45 km. Selain itu umur rencana operasi SLF 25 tahun, berat jenis sampah setelah penempatan compaction 0,6 tonm 3 , berat jenis sampah setelah dekomposisi 1,05 tonm 3 , rasio tanah penutup 15 dari volume sampah. Tinggi timbunan sampah bergantung pada volume, luas lahan dan daya dukung tanah. Tinggi timbunan untuk kapasitas 500 tonhari umumnya 30 meter, untuk kapasitas 1.000 tonhari 36 meter, untuk kapasitas 2.000 tonhari 45 meter, dan untuk kapasitas 3.000 tonhari 48 meter. Hasil perhitungan kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 tonhari diperlukan luas lahan 64,5 ha, dan untuk kapasitas 1.000 tonhari diperlukan 107,5 ha, untuk kapasitas 2.000 tonhari perlu 172 ha dan untuk kapasitas 3.000 tonhari perlu 241,9 ha. Kebutuhan lahan tersebut termasuk untuk kebutuhan lahan aktif SLF, untuk kebutuhan jalan internal, untuk drainase serta untuk zona penyangga. Biaya pengangkutan sampah sesuai dengan data kontrak antar Dinas Kebersihan DKI dengan swasta tahun 2010, dengan truk tertutup sebesar Rp 6.000,-tonkm. b. Sistem insinerator WTE, terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sampah sementara TPS. Jarak angkut ke unit pengolahan sampah insinerator WTE adalah 10 km. Lokasi fasilitas TPA untuk abu sisa hasil pembakaran insinerator dan pemanfaatan energi ketel uap berjarak 25 km dari lokasi unit pengolahan sampah insinerator WTE. Keberadaan unit pengolahan sampah insinerator WTE masih memungkinkan diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, mengingat kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 tonhari seluas 2,1 ha, kapasitas 1000 tonhari seluas 4,1 ha, kapasitas 1000 tonhari seluas 4,1 ha, kapasitas 2000 tonhari seluas 6,5 ha dan kapasitas 3000 tonhari memerlukan luas lahan 8,6 ha. Nilai kalori dari sampah yang tidak dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, memiliki kandungan kalori rata-rata 2.146 kkal kg sampah. Pada sampah yang dipisahkan dan dilakukan pengomposan, terjadi peningkatan kandungan kalori rata-rata 3.044 kkalkg, dengan effisiensi pembangkit listrik 18 , temperatur pada ketel uap antara 380 – 400 o C dengan tingkat pegurangan sampah 95 dan sisa pembakaran berupa abu sebesar 8,44. Energi listrik hasil perhitungan yang dihasilkan melalui sistem pengolahan sampah WTE, untuk kapasitas 500 ton sampah adalah 7 Mw mega watt, dan 13Mw untuk kapasitas 1.000 tonhari, 26 Mw untuk kapasitas 2.000 tonhari, dan 39 Mw untuk kapasitas 3000 tonhari. Produksi listrik dapat dijual ke PLN dengan tarif Rp 300,-kwh, sebagai pendapatan extra dari sistem insinerator WTE. Biaya pengangkutan sampah Rp 6.000,-tonkm dengan biaya angkut sisa pembakaran untuk dibuang ke TPA sebesar Rp 3.600,-tonkm. c. Sistem pengolahan sampah dengan high rate composting HRC diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, yang diletakkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau TPS. Selain itu berjarak rata-rata 10 km dari sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sementara TPS. Sisa sampah yang tidak dapat diproses, pada sampah yang belum dipisahkan antara sampah organik dan anorganik mencapai 50. Sisa sampah ini selanjutnya dibuang ke TPA dengan jarak 25 km dari unit komposting. Adapun biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan HRC sebesar Rp 6.000,-tonkm dan Rp 5.400,-tonkm untuk sisa sampah yang tidak terolah. Harga kompos rata-rata untuk saat ini adalah Rp 400,-kg. d. Benefit and cost analysis dilakukan dengan menghitung biaya investasi capital expenditure CAPEX, biaya operasi dan pemeliharaan operational expenditureOPEX selama periode design yang dihitung selama 25 tahun operasi. Disamping itu juga dihitung dampak lingkungan yang ditimbulkan dari setiap opsi pengelohan sampah yang ditekankan pada timbulan gas rumah kaca global warming gases, untuk gas karbon dioksida CO 2 dan gas metana CH 4 yang dikonversikan dalam global warming potencial dalam CO 2 . Dampak lain yang dihitung adalah dampak sosial dari setiap opsi pengolahan sampah. Perhitungan tersebut dilakukan dengan beberapa varian kapasitas, mulai dari 500 tonhari sampai dengan 3.000 tonhari beban sampah yang diolah, dengan sistem pemilahan sampah dan tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah. Perhitungan BCA dilakukan untuk membandingkan sistem pengolahan sampah secara terintegrasi yaitu sistem komposting bio fertilizer, incenirator waste to energy WTE dan sanitary landfill, untuk melihat keuntungan dan kerugian dari kedua sistem tersebut. e. Komponen investasi pengolahan sampah, meliputi biaya pengadaan lahan dan biaya konstruksi civil works. Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah terdiri dari lahan untuk keperluan jalan akses menuju lokasi instalasi pengolahan sampah sanitary landfill, waste to energy, ataupun composting ., meliputi :  Kebutuhan lahan akses jalan masuk. Kebutuhan lahan untuk akses jalan masuk bergantung pada volume atau kapasitas pengolahan sampah. Makin besar kapasitas olahan sampah yang diproses, makin tinggi frekwensi angkutan yang masuk ke instalasi, dan makin lebar jalan yang dibutuhkan termasuk sistem drainase.  Kebutuhan lahan dan biaya konstruksi untuk sistem sanitary landfill Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill tergantung pada kapasitas sampah masuk; masa perencanaan; umur rencana opersional diambil 25 tahun; tinggi timbunan sampah; akses internal dan sistem drainase; zona penyangga buffer zone 50 lahan aktif; fasilitas penunjang unit penimbang sampah, kantor operasional, workshop alat berat, gudang dsb.  Biaya untuk membangun konstruksi sistem sanitary landfill terdiri dari biaya untuk konstruksi lahan aktif baik pekerjaan sipil civil works; instalasi mekanikal dan elektrikal mechanical and electrical; konstruksi jalan internal dan drainase operational roads; konstruksi zona penyangga buffer zone; konstruksi jalan masuk acces road; fasilitas penunjang kantor opersional, unit penimbang, pagar pengaman, gudang, bengkel, dll  Kebutuhan lahan untuk sistem insinirator waste to energy incinerator Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah waste to energy, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah. Adapun kelengkapan komponen yang diperlukan untuk sistem ini antara lain adalah lahan penerimaan, sampah tak terbakar reject waste dan abu hasil pembakaran. Selain itu juga diperlukan unit pembakaran sampah; unit pembangkit listrik; dan zona penyangga buffer zone yang diambil 100 dari area effektif; fasilitas penunjang kantor, timbangan sampah, workshop , gudang parkir, dll. Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem waste to energy terdiri dari biaya pembangunan gedung pengolahan; biaya instalasi mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan internal dan drainase; lahan parkir; biaya zona penyangga dan biaya pembangunan jalan akses masuk menuju WTE.  Kebutuhan lahan untuk sistem high rate composting HRC Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah HRC, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah input produksi. Adapun lahan yang diperlukan untuk sistem ini adalah lahan penerima; lahan pemilah; lahan pencacahpenyaringan; lahan sampah tidak terpakai; lahan proses komposting; lahan untuk fasilitas penunjang parkir internal, gudang, dll. Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem HRC, terdiri dari komponen-komponen biaya gedung; biaya mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan operasional dan fasilitas parkir; biaya zona penyangga; biaya konstruksi jalan akses menunju instalasi HRC.  Biaya operasi dan pemeliharaan OP sistem pengolahan sampah Biaya OP dipergunakan untuk membiayai perawatan peralatan dan biaya pengoperasian terdiri dari biaya pegawai; biaya kantor dan administrasi; biaya listrik; biaya bahan kimiabiologis; biaya peralatan; biaya pemeliharaan infrastruktur dan unit- unit instalasi.  Produksi listrik unit pengolahan sampah insinerator WTE, dijual kepada Perusahaan Listrik Negara PLN sebagai pendapatan dari unit Insinerator WTE. Analisis biaya untuk unit pengolahan per ton kapasitas selama 25 tahun, yang diproyeksikan dari tahun 2008 hingga tahun 2033, tidak termasuk biaya-biaya untuk transportasi pengangkutan sampah menuju unit pengolahan dan pengangkutan residu dari hasil proses pengolahan, untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah yang dioperasikan secara individual dengan dan tanpa pemilahan sampah di sumbernya; dihitung berdasarkan biaya sekarang present value dari biaya investasi capital expenditure –CAPEX dan nilai sekarang biaya operasi pemeliharaan, operation and maintenance expenditure – OPEX . Perhitungan didasarkan pada tingkat bunga sebesar 7, menunjukkan bahwa : “ biaya pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE merupakan biaya pengolahan sampah termahal. Hal sebaliknya terjadi pada pengolahan sampah dengan teknologi HRC yang biaya pengolahannya termurah, dalam hal ini, untuk kapasitas pengolahan 500 tonhari memerlukan biaya sebesar Rp 133.880,-ton. Biaya untuk kapasitas 1.000 tonhari adalah Rp 127.870,-ton. Biaya untuk kapasitas 2.000 tonhari Rp 121.190,-ton, dan untuk kapasitas 3000 tonhari memerlukan biaya Rp 120.530,-ton. Pada teknologi WTE insinerator memerlukan biaya pengolahan sebesarRp 284.000,-ton, untuk kapasitas 1.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 245.490,- ton, untuk kapasitas 2000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 226.280,-ton dan untuk kapasitas 3000 tonhari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 213.200,-ton jika dibandingkan dengan unit pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill dengan kapasitas 500 tonhari memerlukan biaya Rp 183,370,-ton, untuk kapasitas 1.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 158.440,-ton, untuk kapasitas 2.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 140.630,-ton dan untuk kapasitas 3.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 136.780,-ton. Secara individu biaya sistem pengolahan termurah adalah pengolahan dengan HRC yakni untuk kapasitas 500 tonhari diperlukan biaya Rp 310.660,-ton, untuk kapasitas 1.000 tonhari diperlukan biaya pengolahan Rp 304.650,-ton, untuk kapasitas 2000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 297.970,-ton dan untuk kapasitas 3.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 297.310,-ton. Hasil perhitunghan tersebut memperlihatkan bahwa WTE secara sistem untuk kapasitas di atas 1.000 tonhari, memiliki biaya yang semakin murah cost efficient. Hal ini diakibatkan karena rendahnya biaya transportasi untuk residu yang ditimbulkan dari sistem insenirator, dan pendapatan dari energi listrik yang dihasilkan. Pada dasarnya adanya transportasi dari wilayah DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang tidak hanya menimbulkan kerugian dari aspek biaya transportasi, namun ada kerugian lain yang dapat ditimbulkan akibat adanya transportasi tersebut. Dalam hal ini pada kegiatan transportasi akan dilakukan pembakaran BBM. Pada proses pembakaran ini akan dihasilkan CO 2 yang pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Di lain pihak adanya pembakaran BBM pun juga akan menghasilkan dioksin dan furan Suminar, 2003. Selain dioksin dan furan dari pembakaran BBM fosil seperti bensin dan solar juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb Volesky, 2000. Terdapatnya dioksin, furan dan logam berat Pb di atmosfir ini dapat berdampak negative pada manusia. Oleh karenanya maka sangat wajar jika adanya pencemaran juga akan berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan sebagai akibat adanya masalah kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk menanggulanginya Syahril et al . 2002. Dengan demikian maka dengan menurunnya transportasi bukan saja akan mengurangi biaya transportasi, namun juga akan memberikan dampak yang lebih baik bagi kesehatan masyarakat. Pengolahan sampah yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 23, dengan timbulan sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, di sumber timbulan sampah memerlukan biaya yang lebih murah. Hasil perhitungan biaya pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi untuk kapasitas 500 tonhari memerlukan biaya sebesar Rp 262770,-ton, kapasitas 1.000 tonhari memerlukan Rp 245.430,-ton, kapasitas 2.000 tonhari memerlukan Rp 223.370,-ton, dan untuk kapasitas 3.000 tonhari memerlukan biaya Rp 212.850,-ton. Pengolahan sampah menjadi lebih murah ketika dilakukan proses pemilahan sampah di sumber timbulan sampah, dan dilakukan pengolahan sampah dengan mengkombinasikan pengolahan sampah sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah dengan pengolahan high rate composting HRC dan pengolahan insinerator WTE yang menunjukkan nilai uang sekarang present value, untuk kapasitas 500 tonton memerlukan biaya Rp 220.960,-ton, untuk kapasitas 1.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 222.760,-ton, untuk kapasitas 2.000 tonhari memerlukan biaya pengolahan Rp 206.740,-ton dan untuk kapasitas 3000 tonhari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 198.870,-ton. Komparasi unit pengolahan sampah secara individual tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah dan kombinasi pengolahan sampah antara pengolahan HRC dengan insinerator WTE dapat dilihat pada Table 40 dan secara grafis dapat dilihat pada Gambar 24, sedangkan perhitungan CBA secara terinci dapat dilihat pada Lampiran 1 – 11. Gambar 24 Biaya pengolahan sampah Rp0 Rp50.000 Rp100.000 Rp150.000 Rp200.000 Rp250.000 Rp300.000 500 TDay 1000 TDay 2000 TDay 3000 TDay SLF WTE HRC Komb Tek 1 Komb Tek 2 U ni t C os tpengolahan s am pah R p to n KAPASITAS PENGOLAHAN Ton Day Tabel 40 Analisis biaya dan manfaat teknologi pengolahan sampah Sumber : Hasil perhitungan Gambar 25 Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah Rp200.000 Rp220.000 Rp240.000 Rp260.000 Rp280.000 Rp300.000 Rp320.000 Rp340.000 Rp360.000 Rp380.000 Rp400.000 Rp420.000 Rp440.000 500 TDay 1000 TDay 2000 TDay 3000 TDay WTE SLF HRC Komb Tek 1 Komb Tek 2 U ni t C os t si st em p ers am pa ha n R p T on KAPASITAS PENGOLAHAN Ton Day Data sampah : Sampah masuk Plant : TonDay 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 500 1.000 2.000 3.000 Kondisi sampah: 269 439 685 983 754 1.415 2.566 3.576 415 738 1.282 1.863 PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7 o PENGOLAHAN : 802 1.389 2.461 3.591 1.242 2.148 3.960 5.596 586 1.119 2.121 3.164 o TRANSPORTASI : 1.032 2.063 4.127 6.190 229 459 917 1.376 229 459 917 1.376 o RESIDU : 45 89 179 268 544 1.088 2.176 3.265 TOTAL SYSTEM: 1.834 3.453 6.588 9.781 1.516 2.696 5.056 7.240 1.359 2.666 5.214 7.804 PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7 : o PENGOLAHAN : 183,37 158,78 140,63 136,78 284,00 245,49 226,28 213,20 133,88 127,87 121,19 120,53 o TRANSPORTASI : 235,83 235,83 235,83 235,83 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 o RESIDU : 0,00 0,00 0,00 0,00 10,21 10,21 10,21 10,21 124,37 124,37 124,37 124,37 TOTAL SYSTEM : 419,20 394,61 376,46 372,61 346,61 308,11 288,89 275,81 310,66 304,65 297,97 297,31 TEKNOLOGI INDIVIDUAL TANPA PEMILAHAN DI SUMBER HRC WTE INSINERATOR Tidak terpilah Tidak terpilah Rp. Milyar Tidak terpilah INITIAL INVESTMENT FOR PLANT: Rp. Milyar Rpx 000ton Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar SLF Rpx 000ton Rpx 000ton Data sampah : Sampah masuk Plant : TonDay 500 1000 2000 3000 500 1000 2000 3000 Kondisi sampah: 603 1.198 1.988 2.669 619 1.208 2.019 2.705 PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7 o PENGOLAHAN : 904 1.663 2.871 4.004 1.171 2.120 3.761 5.283 o TRANSPORTASI : 229 459 917 1.376 287 573 1.146 1.720 o RESIDU : 24 48 96 144 42 84 168 253 TOTAL SYSTEM: 1.157 2.170 3.885 5.524 1.499 2.778 5.076 7.255 PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7 : o PENGOLAHAN : 206,57 190,09 164,08 152,52 203,30 185,95 163,89 153,38 o TRANSPORTASI : 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 52,41 o RESIDU : 5,50 5,50 5,50 5,50 7,07 7,07 7,07 7,07 TOTAL SYSTEM : 251,86 236,61 212,07 201,35 262,77 245,43 223,37 212,85 KOMBINASI TEKNOLOGI COMB.2 HRC WTE Sampah Sudah terpilah Rp. Milyar INITIAL INVESTMENT FOR PLANT: COMB.1 HRC WTE Sampah Belum terpilah Rp. Milyar Rp. Milyar Rpx 000ton Rp. Milyar Rpx 000ton Dari kurva pada Gambar 25 terlihat bahwa secara individual biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, menunjukkan bahwa : 1. Unit pengolahan insinerator WTE menempati posisi termahal jika dibandingkan dengan unit pengolahan dengan sanitary landfill ataupun HRC. 2. Biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, mengalami penurunan atau semakin efisien dengan kenaikan kapasitas pengolahan tonhari. 3. Penurunan biaya unit pengolahan per ton kapasitas selama operasi 25 tahun untuk insinerator WTE mengalami penurunan yang tajam dengan kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 tonhari ke kapasitas 1.000 tonhari, sebesar 16. Penurunan biayanya dari 1.000 tonhari ke 2.000 tonhari sebesar 7,3, dan penurunan 7 dari kenaikan kapasitas 2.000 tonhari menjadi 3000 tonhari. Pada teknologi SLF penurunan biaya cukup tajam untuk kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 tonhari ke 1000 tonhari, yakni sebesar 13,3 dan 12 dari kapasitas 1.000 ton ke 2.000 tonhari. 4. Secara keseluruhan tingkat effisiensi unit pengolahan terjadi pada kapasitas pengolahan lebih besar dari 500 tonhari.

4.5.2. Analisis Dampak Lingkungan

Analisis dampak lingkungan dilakukan untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah, baik secara individual maupun terintegrasi baik untuk input sampah yang sudah terpilah antara sampah organik dan anorganik, maupun yang masih belum dilakukan pemilahan. Analisis ini dilakukan hanya untuk komponen pencemaran gas rumah kaca yaitu gas CO 2 dan gas metan CH 4 .

4.5.2.1. Emisi Gas Rumah Kaca GRK Sistem Pengolahan Sampah Sanitary Landfill

Pemanfaatan teknologi SLF memberikan dampak lingkungan, salah satunya adalah emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah. Analisis dilakukan dengan pembatasan perghitungan emisi gas CO 2 dan gas metan CH 4 yang dikonversikan dalam CO 2, dengan mempergunakan indeks global worming potential GWP yang dirumuskan oleh Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy ALGAS, 1997. Estimasi pembentukan gas sebagai fungsi dari waktu dapat dihitung dengan mempergunakan model matematis sebagaimana dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran 1987 sebagai berikut: G t = 1,868 Co 0,014 T + 0,28 1 – 10 –kt dalam m 3 gaston sampah, Keterangan: G t : volume gas yang terbentuk semenjak sampah 1 satu ton dibuang sampai waktu t tahun dalam m 3 gaston sampah, C o : jumlah total karbon organik dalam sampah kgton sampah, nilai tipikel C o = 200 kgton. T : temperatur di lapisan dalam sampah di SLF dalam o C nilai tipikal untuk kondisi SLF di Indonesia = 40 o C k : konstanta degradasi tipikal untuk landfill antara 0,05 – 0,15, t : waktu dalam tahun. Volume gas CO 2 dan gas CH 4 yang terbentuk, selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan berat tontahun dengan menggunakan faktor konversi berat spesfiknya, yakni untuk CO 2 sebesar 0,1235 lbft 3 atau 1,97835 kgm 3 dan CH 4 sebesar 0,0448 lbft 3 atau 0,7177 kgm 3 . Menurut Chobanoglous et al. 1993 komposisi pembentukan gas landfill rata-rata adalah 46,1 CO 2 dan 48,4 CH 4 , sedangkan gas-gas lain jumlahnya 5,5 . Apabila pada perhitungan ini dipergunakan komposisi volume gas yang dihasilkan dari penelitian yang dikemukakan oleh Chobanoglous et al. 1993, maka dapat dihitung terbentuknya volume dan berat gas CO 2 dan CH 4 dalam proses pengolahan sampah dengan teknologi sanitary landfill. Pada proses dekomposisi zat organic, disamping timbulnya gas CO 2 dan gas metan CH 4 , juga akan dilepaskan emisi gas rumah kaca yang berasal dari pemakaian bahan bakar solar untuk transportasi sampah dari tempat penampungan sampah sementara hingga ke unit pengolahan sampah SLF yang berjarak 45 km, sesuai dengan reaksi sbb: Bahan Bakar + Udara  Panas + Karbon Dioksida + Nitrogen Perhitungan jumlah gas CO 2 yang ditimbulkan akibat dari penggunaan bahan bakar solar, sebagaimana dikemukakan oleh DEFRA 2001 Nurroh, 2010 mengenai analisis pengaruh hutan tropis dalam menurunkan emisi CO 2 disebutkan bahwa setiap liter pemakaian solar sebagai bahan bakar sistem transportasi akan menimbulkan 2,6 kg CO 2 . Selanjutnya dikatakan bahwa untuk satu liter bahan bakar bensin menimbulkan 2,33 kg CO 2 . Atas dasar penelitian tersebut, maka dapat dihitung jumlah emisi gas CO 2 yang dikeluarkan akibat pengangkutan sampah ke lokasi pengolahan sampah sanitary landfill . Jumlah emisi gas CO 2 dan CH 4 yang dikonversikan ke dalam satuan gas CO 2 , baik dari angkutan sampah dan proses pengolahan di sanitary landfill merupakan jumlah emisi GRK yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, dapat dilihat pada Tabel 41 dan Tabel 42. Tabel 41 Emisi transportasi sampah ke unit SLF Satuan TonHr 500 1000 2000 3000 Jarak sumber ke lokasi SLF km 45 45 45 45 Kapasitas Angkut Ton 8 8 8 8 Jumlah Trip TripHr 63 125 250 375 Penggunaan solar ltTrip 36 36 36 36 Penggunaan solar ltTh 821.250 1.642.500 3.285.000 4.927.500 Emisi Solar CO2 Kglt 2,64 2,64 2,64 2,64 TOTAL EMISI CO2 TonTh 2.168 4.336 8.672 13.009 Sumber : Hasil Perhitungan Kapasitas Angkut Tabel 42 Emisi GRK pengolahan sampah di unit SLF Satuan kapasitas TonHr 500 1000 2000 3000 Jumlah sampah selama operasi SLF tontahun 182,500 365,000 730,000 1,095,000 Tipikal Karbon Organik Co kgton 200 200 200 200 Temperatur T o C 40 40 40 40 Vol Gas Organik Ge=1,868 Co0,014 T + 0,28 m3 314 314 314 314 Vol Gas Total Gt =Ge1-10 -kt m3ton 304 304 304 304 Vol Gas Total m3th 55,461,753 110,923,505 221,847,010 332,770,515 Vol Gas CO2 46,1 m3th 25,567,868 51,135,736 102,271,472 153,407,207 Berat Gas CO2 tonth 50,624.38 101,248.76 202,497.51 303,746.27 Vol Gas CH4 48,4 m3th 26,843,488.22 53,686,976.43 107,373,952.86 161,060,929.29 Berat Gas CH4 tonth 19,327.31 38,654.62 77,309.25 115,963.87 Ekuvalent CO2 ton CO2 473,519 947,038 1,894,077 2,841,115 Emisi GRK per Tahun tontahun CO2 524,144 1,048,287 2,096,574 3,144,861 Kapasitas SLF Sumber: Hasil perhitungan

4.5.2.2. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah Waste to Energy

Incinerator Proses pengolahan sampah di insinerator WTE menimbulkan gas CO 2 akibat dari proses pembakaran zat organik , sebagaimana reaksi berikut: Zat organik + O 2  CO 2 + H 2 O Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jhonke 2004, setiap pembakaran satu ton sampah perkotaan akan menghasilkan 0,7 – 1,2 ton CO 2 . Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dihitung emisi gas CO 2 yang ditimbulkan dalam pemanfaatan teknologi Insinerator, sebagaimana tercantum pada Tabel 43 dan Tabel 44. Tabel 43 Emisi transportasi sampah ke unit WTE. Satuan kapasitas TonHr 500 1000 2000 3000 25 50 100 150 Jarak sumber ke lokasi WTE km 10 10 10 10 25 25 25 25 Kapasitas Angkut Ton 8 8 8 8 8 8 8 8 Jumlah Trip TripHr 63 125 250 375 3 6 13 19 Penggunaan solar ltTrip 8 8 8 8 20 20 20 20 Penggunaan solar ltTh 182.500 365.000 730.000 1.095.000 22.813 45.625 91.250 136.875 Emisi Solar CO2 Kglt 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 2,64 EMISI Transp CO2 ke unit WTE TonTh 482 964 1.927 2.891 60 120 241 361 Jumlah emisi CO2 dari Tranportasi TonTh 542 1.084 2.168 3.252 Sumber : Perhitungan KAPASITAS TRANSPORTASI RESIDU KAPASITAS TRANSPORTASI Tabel 44 Emisi GRK pengolahan sampah di unit WTE Sumber : Perhitungan

4.5.2.3. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah High Rate Composting

HRC Proses pengolahan sampah dengan teknologi high rate composting juga menimbulkan Gas CO 2 yang berasal dari proses degradasi zat organik secara aerobik. Proses yang terjadi dalam HRC dapat dikatakan identik dengan proses pada SLF, hanya saja proses dekomposisi zat organik dalam proses HRC berlangsung dalam kondisi aerobik yang tekontrol dan dalam waktu yang relatif singkat yakni ± 2 minggu. Oleh karenanya perhitungan timbulan gas CO 2 dapat dihitung dengan mempergunakan pendekatan formula sebagaimana yang dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran 2000 yaitu: Ge = 1,868 Co 0,014 T + 0,28 , Keterangan: Ge: volume gas yang terbentuk m 3 , Co: karbon organik kgton sampah, tipikel 200 kgton T : temperatur dalam o C, tipikel 50 o C untuk kondisi HRC. Hasil perhitungan emisi gas CO 2 pada proses HRC dapat dilihat pada Tabel 45 dan 46. Satuan Kapasitas tonhari 500 1.000 2.000 3.000 Emisi CO2 proses pembakaran tonton sampah 1,2 1,2 1,2 1,2 Emisi CO2 tonhari 600 1.200 2.400 3.600 Emisi CO2 WTE Insinerator tontahun 216.000 432.000 864.000 1.296.000 Sampah belum terpilah Tabel 45 Emisi transportasi sampah ke unit HRC Tabel 46 Emisi pengolahan sampah di unit HRC

4.5.2.4. Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi

Pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi secara terintegrasi antara HRC, insinerator WTE dan SLF sebagaimana terlihat pada Gambar 24, memberikan keuntungan baik dalam aspek keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada aspek lingkungan, emisi yang ditimbulkan dari pemanfaatan integrasi teknologi akan memberikan dampak yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah secara parsial, baik sampah dengan kondisi yang terpisahkan ataupun yang tidak terpisahkan antara sampah organik dan anorganik. Pemisahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah memberikan dampak yang jauh lebih baik dalam berbagai aspek. Pemilahan sampah di sumbernya akan meningkatkan effisiensi pada pengolahan sampah, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain : a. Naiknya produksi kompos hingga 80, dan menurunnya biaya transport reject material hingga 80 . b. Naiknya kandungan kalori dari 2.146 kkakg menjadi 3.044 kkalkg, yang dapat menaikkan produksi listrik di unit incinerator WTE rata-rata sebesar 42, dan menaikkan pendapatan dari penjualan listrik yang dihasilkan WTE . Emisi Gas CO2 akibat Transportasi sampah ke Unit HRC. Satuan kapasitas TonHr 500 1000 2000 3000 Jarak sumber ke lokasi Bio Fert km 10 10 10 10 Kapasitas Angkut Ton 8 8 8 8 Jumlah Trip TripHr 63 125 250 375 Penggunaan solar ltTrip 8 8 8 8 Penggunaan solar ltTh 182.500 365.000 730.000 1.095.000 Emisi Solar CO2 Kglt 2,64 2,64 2,64 2,64 TOTAL EMISI CO2 TonTh 482 964 1.927 2.891 Jumlah emisi CO2 dari Transportasi TonTh 964 1.927 3.854 5.782 Sumber : Perhitungan KAPASITAS TRANSPORTASI Emisi Gas CO2 pada proses HRC Satuan kapasitas TonHr 500 1000 2000 3000 Jumlah sampah selama operasi HRC tontahun 182.500 365.000 730.000 1.095.000 Tipikal Karbon Organik Co kgton 200 200 200 200 Temperatur T o C 40 40 40 40 Vol Gas Organik Ge=1,868 Co0,014 T + 0,28 m3ton 314 314 314 314 Berat Spesifik Gas CO2 kgm3 1,9783465 1,9783465 1,9783465 1,9783465 Total Berat Emisi Gas CO2 pada HRK tonth 310.426 620.853 1.241.705 1.862.558 Sumber : Perhitungan Kapasitas HRC hingga 42, sebagaimana pada ditampilkan pada Tabel 47 dan dapat menurunkan emisi GRK, hingga 50, sebagaimana terlihat pada Tabel 48 dan kurva Gambar 26. Tabel 47 Produksi listrik pada unit WTE Kapasitas WTE insinerator Tercampur Terpilah tonhari 2.146 kkalkg 3.044 kkalkg kenaikan 500 9,4 13,3 41 1000 19 26,6 40 2000 37 53,1 44 3000 56 79,6 42 Jumlah 167 Rata-rata 42 Sumber: Hasil Perhitungan Produksi Listrik Mw dg kondisi sampah Tabel 48 Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengolahan sampah 500 1,000 2,000 3,000 HRC 125,824 251,648 503,297 754,945 WTE 216,530 433,060 866,120 1,299,180 SLF 526,312 1,052,623 2,105,246 3,157,870 Integrasi Teknologi Sampah tercampur 159,422 315,950 631,901 947,851 Integrasi Teknologi Sampah terpilah 134,173 265,478 530,956 796,434 Kapasitas tontahun Emisi Tonth Sumber : Hasil perhitungan Gambar 26 Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi

4.6. Analisis Sensitifitas Sensitivity Analysis