dan c. Sampah yang mengalir dari sungai yang membawa sampah yang berasal dari luar wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta
memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah volume sampah yang dihasilkan dari sistem drainase dan sungai rata-rata 921 m
3
hari.
4.3 Analisis Kebutuhann dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah.
Kebutuhan dan ketersediaan lahan sebagai tempat pengolahan dan pembuangan sampah di DKI Jakarta, bergantung kepada pertumbuhan dan tingkat kepadatan penduduk
serta pemanfaatan lahan, dan ruang terbuka yang belum terbangun. Analisis dilakukan dengan melakukan perhitungan pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan land use
yang dikaitkan dengan kebijakan rencana tata ruang wilayah RTRW DKI Jakarta, serta pertimbangan kesesuaian tempat pengolahan sampah dengan standar teknis pemilihan
lokasi pengolahan sampah. Dalam aspek ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk lokasi pengolahan dan pembuangan sampah, hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah
dibutuhkannya ruang yang disediakan bukan hanya semata untuk TPA-nya, namun juga harus menyediakan lahan sesuai dengan zonasi dari kawasan TPA itu sendiri
sebagaimana diatur Ditjen Penataan Ruang 2008 dalam Pedoman Pemanfaatan kawasan sekitar TPA sampah. Dalam hal ini selain wilayahnya tersedia dan sesuai, TPA sampah
juga harus mempunyai zona penyangga dan zona budidaya terbatas. Zona penyangga yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari TPA terhadap
masyarakat sehingga akan menjaga keselamatan, kesehatan dan kenyamanan masyarakat, mengingat di TPA sampah dapat terjadi resapan air lindi, ledakan gas metan dan bahaya
penyebaran vektor penyakit.
4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan
Pertumbuhan penduduk di wilayah DKI Jakarta pada perioda tahun 1960 – 1990
mengalami laju pertumbuhan yang sangat cepat, namun setelah tahun 1990 laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan, pada perioda tahun 2000
– 2005 laju pertumbuhan penduduk DKI sebesar 1,13 per tahun, dan dalam perioda tahun 2005
– 2009 laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta hanya 1,06 per tahun BPS DKI, 2010.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk DKI jakarta ini diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan program keluarga berencana BPS DKI, 2010, namun menurut penelitian
yang dilakukan oleh Jepan International Corporation Asistence JICA, 2008
menyampaikan bahwa penurunan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta dipengaruhi oleh cepatnya pembangunan permukiman dan industri skala besar yang dibarengi dengan
pembangunan prasarana jalan toll, yang menghubungkan wilayah DKI Jakarta dengan wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi JABODETABEK. Berdasarkan data dari
BPS Propinsi DKI Jakarta, penduduk DKI Jakarta pada tahun 1980 berjumlah 6.503.449 jiwa, sedangkan pada tahun 2008 telah berkembang menjadi 9.126.758 jiwa.
Pertumbuhan penduduk dan aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya peningkatan timbulan sampah dari tahun ke tahun, selaras dengan jumlah dan
aktifitas penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Jumlah penduduk DKI Jakarta hasil Susenas 2008
Kotamadya Penduduk jiwa
Kepadatan Km2
Jakarta Pusat 849.740
17.729 Jakarta Utara
1.459.360 9.400
Jakarta Barat 2.202.672
15.198 Jakarta Selatan
2.141.773 12.125
Jakarta Timur 2.428.213
12.774
Total 9.126.758
13.800
2007 9.064.591
13.700 2006
8.979.716 13.574
2005 8.842.346
12.666 2004
7.471.866 11.295
2003 7.456.931
11.272 2002
7.461.472 11.279
2001 7.423.379
11.221 2000
7.578.701 11.454
1999 7.831.520
11.836 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2009
Proyeksi pertumbuhan penduduk yang dihitung dengan mempergunakan metoda geometrik : P
n
= P
o
1 + r
n
dengan P
n
= jumlah penduduk pada tahun ke n, dan Po = jumlah penduduk pada saat tahun awal proyeksi, yaitu jumlah penduduk tahun 2008 =
9.146.181 jiwa, dan r = rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk = 1,06tahun. Dengan mempergunakan formula tersebut diperoleh bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta pada
tahun 2033 akan berjumlah 11.877.979 jiwa. Adapun jumlah timbulan sampahnya akan mencapai 7.602 tonhari. Proyeksi jumlah penduduk dan timbulan sampah DKI dapat
dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19.
Gambar 18 Proyeksi jumlah penduduk DKI
Gambar 19 Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta
8,000,000 8,500,000
9,000,000 9,500,000
10,000,000 10,500,000
11,000,000 11,500,000
12,000,000 12,500,000
2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030 2032 2034 2036
jiwa
tahun
jumlah penduduk jiwa
5000 5500
6000
6500
7000 7500
8000
2000 2005
2010 2015
2020 2025
2030 2035
tontahun
tahun
jumlah sampah tonhari
Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat mengakibatkan meningkatnya kebutuhan perumahan, fasilitas komersial, serta fasilitas sosial lainnya, yang pada
gilirannya akan merubah fungsi lahan dari ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun, termasuk di dalamnya pembangunan permukiman baik yang dikembangkan oleh
pengembang maupun masyarakat. Perubahan fungsi lahan yang begitu cepat di Wilayah DKI disamping diakibatkan
oleh pembangunan perumahan dan fasilitas lainnya juga didorong oleh lemahnya pengendalian pemanfaatan lahan oleh pemerintah daerah DKI . Hal ini terlihat dari
alokasi ruang terbuka hijau RTH yang ditetapkan dalam RTRW DKI tahun 1987 yang menetapkan bahwa RTH sebesar 14. Kondisi RTH ini tidak sesuai dengan kebijakan
yang ada, dalam hal ini pada tahun 2006 RTH di DKI hanya tersisa 1,52 dari luas wilayah DKI, atau sebesar 1.007,49 Ha, atau 10,07 km2, dari keseluruhan luas wilayah
DKI Jakarta. Karakteristik penggunaan lahan di masing-masing wilayah kotamadya dapat
dilihat pada Tabel 33. Adapun perubahan penggunaan lahan di DKI Jakarta dari tahun 1972 sampai dengan tahun 2002 dapat dilihat pada Gambar 20, dan proyeksi timbulan
sampah DKI hingga tahun 2033 dapat dilihat pada Gambar 19. Tabel 33 Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006
Sumber : Jakarta Dalam Angka 2007 dan RTRW DKI Jakarta 2010
Gambar 20 Perubahan Pemggunaan Lahan di DKI Tahun 1972-2002
4.3.2. Kebutuhan Lahan sebagai Tempat Pengolahan Sampah
Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah bergantung pada jumlah timbulan sampah dan teknologi yang dipergunakan dalam pengolahan sampah.
Kebutuhan lahan tempat pengolahan sampah di perkotaan seperti DKI Jakarta, pada umumnya menjadi masalah tersendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Satori 2002 yang
mengatakan bahwa persoalan sampah di perkotaan tidak hanya sekedar masalah pencemaran lingkungan saja, sebagai akibat tidak terangkutnya sampah ke TPA, namun
juga karena sulitnya mencari lahan yang dapat digunakan untuk membangun TPA. Selanjutnya dikatakan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh harga tanah yang
cenderung sangat mahal, dan selalu berhadapan dengan reaksi masyarakat yang cenderung negatif.
Hasil perhitungan keperluas luas lahan untuk teknologi pengolahan sampah dengan sistem SLF, dengan timbulan sampah 3.000 tonhari adalah 241 Ha. Hasil
proyeksi timbulan sampah ke depan, memperlihatkan bahwa pada tahun 2033 dengan jumlah sampah sebesar 7.602 tonhari, diperlukan luas lahan untuk sistem SLF sebesar
610 ha. Luasan ini dapat dibagi menjadi dua lokasi, dengan masing-masing unit SLF memerlukan luas lahan 305 ha. Pada sistem pengolahan insinerator WTE, diperlukan
lahan 25,3 ha, yang dapat ditempatkan di masing-masing bagian wilayah DKI, dengan
masing-masing luas 6,33 ha. Sistem HRC memerlukan luas lahan 52 ha, yang dapat ditempatkan dalam masing-masing wilayah kotamadya DKI dengan luas masing-masing
13 ha. Pada sistem pengolahan integrasi teknologi HRC, insinerator WTE, dan SLF, dengan sampah yang telah terpisahkan antara sampah organik dan anorganik, sampai
dengan tahun 2033 dengan timbulan sampah sebesar 7.602 tonhari, DKI hanya memerlukan luas lahan sebesar 4 x 8 ha = 32 ha, yang dapat didistribusikan pada empat
bagian wilayah DKI dengan masing-masing luas lahan 8 ha. Kebutuhan luas lahan berdasarkan perhitungan untuk pengolahan sampah
dengan teknologi insinerator WTE yang memerlukan 25,3 ha, atau 6,33 ha untuk masing- masing bagian wilayah DKI, masih memungkinkan untuk dipenuhi. Kondisi yang sama
juga terjadi pada sistem HRC adalah 52 ha, atau 13 ha untuk masing masing bagian wilayah DKI, masih memungkinkan untuk dilakukan. Kombinasi teknologi antara sistem
HRC dan insinerator WTE, yang memerlukan luas lahan 10 ha di masing-masing wilayah DKI juga masih memungkinkan.
Kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan dan pembuangan sampah di DKI berkaitan erat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI serta pemenuhan terhadap
kriteria teknis penempatan masing-masing teknologi pengolahan sampah . Sebenarnya Pemda DKI Jakarta telah merencanakan sejak awal untuk meletakkan lokasi pengolahan
sampah dengan sistem SLF di luar wilayah DKI. Namun pengolahan antara dengan mempergunakan teknologi komposting dan insinerator direncanakan untuk ditempatkan
di dalam Wilayah DKI, tepatnya di masing-masing bagian wilayahnya. Di samping luas lahan yang dibutuhkan dan ketersediaan lahan, hal yang harus dipertimbangkan untuk
membangun tempat pengolahan dan pembuangan sampah adalah pemenuhan terhadap ketentuan dalam Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Pada pasal 29 ayat1 dijelaskan ba hwa :”Ruang terbuka hijau terdiri
dari ruang ter buka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat” dan selanjutnya pada ayat
2 disebutkan bahwa :” Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen
dari luas wilayah kota.” Pada ayat 3 disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 duapuluh persen dari luas wilayah kota.
Berdasarkan data pemanfaatan lahan di DKI Jakarta hingga akhir tahun 2006, maka ruang terbuka hijau taman di wilayah DKI Jakarta hanya tersisa 1,52 dari luas
wilayah DKI Jakarta, sedangkan selebihnya merupakan lahan yang telah dimanfaatkan
untuk fasilitas perumahan 64,2, industri 5,4, perkantoran dan gudang 11,3, serta lainnya yang berupa jalan, sungai, saluran dan lain-lain 17,6. Berdasarkan data yang
dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta 2007 mengenai luas tanah dan penggunaanya di masing-masing wilayah DKI Jakarta, kecenderungan alih
fungsi lahan dari ruang terbuka hijau taman dari tahun 1999 hingga akhir tahun 2004mengalami peningkatan, penurunan besaran luas ruang terbuka hijau di DKI Jakarta
dapat dilihat pada tabel 34. Tabel 34 Perubahan luas taman di DKI Jakarta
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta 2005,2007 Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1997 sampai dengan
tahun 2003, terjadi alih fungsi lahan taman rata-rata sebesar 0,2tahun, namun demikian dalam tahun 2003 - 2006 ruang terbuka hijau taman mengalami kenaikan
rata-rata sebesar 0,08tahun. Perubahan luas ruang terbuka hijau taman di wilayah DKI Jakarta dari tahun 2004 hingga tahun 2006 di masing-masing bagian wilayah DKI
Jakarta dapat dilihat pada tabel 35. Tabel 35 Perubahan luas taman di DKI dari tahun 2004-2006
Sumber : Diolah dari BPS DKI Jakarta, 2005, 2007. Dengan luasan lahan ruang terbuka hijau yang dimiliki pada saat ini, dan
kecenderungan naiknya jumlah timbulan sampah maka dapat disimpulkan bahwa DKI mengalami kesulitan untuk meletakkan pengolahan dan pembuangan sampah dengan
teknologi SLF di dalam wilayahnya, oleh karenanya teknologi pengolahan sampah yang selayaknya dipergunakan adalah teknologi yang dapat dengan cepat mereduksi volume
Tahun Luas Taman
ha terhadap luas wilayah DKI Jakarta
1997 1.435,50
2,17 1999
1.328,00 2,01
2000 1.314,23
1,99 2001
1.270,11 1,92
2002 1.009,56
1,53 2003
800,91 1,21
2004 914,69
1,38 2006
1.007,49 1,52
Kotamadyakabupaten Perubahan luas
2004 2006
ha Jakarta Selatan
190,91 190,91
Jakarta Timur 217,77
262,14 44,37
Jakarta Pusat 170,04
248,6 78,56
Jakarta Barat 209,41
189,23 -20,18
Jakarta Utara 126,56
116,61 -9,95
Kep. Seribu Perubahan total
2918,69 3013,49
92,8 Taman ha tahun
sampah seperti teknologi WTE Insinerator atau HRC atau integrasi dari kedua teknologi tersebut.
4.4. Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah