66 campuran tersebut. Campuran tersebut diaduk dan selanjutnya mortar segar
siap untuk dicetak. Selama penuangan mortar segar ke dalam cetakan, udara akan ikut
masuk ke dalam cetakan tersebut. Oleh sebab itu, untuk memperkecil kandungan rongga udara yang terjebak dalam mortar, maka selama proses
penuangan harus disertai dengan pemadatan. Banyaknya rongga udara di dalam mortar akan mengakibatkan penurunan kekuatan tekan. Proses
pemadatan dilakukan sebelum terjadinya initial setting time. Setelah mortar padat, maka dilakukan pembukaan cetakan. Setelah itu, proses curing
dilakukan selama 28 hari. Proses tersebut bertujuan agar proses hidrasi tidak mengalami gangguan yang dapat mengakibatkan kehilangan air yang terlalu
cepat, sehingga mortar mengalami keretakan. Proses curing ini dilakukan setelah terjadinya final setting time.
Pengujian yang dilakukan adalah bobot, kuat tekan dan kuat lentur mortar yang telah dibuat dari setiap jenis lateks dengan dosis yang berbeda-
beda. Bobot yang ditimbang adalah bobot awal dan bobot akhir mortar tersebut.
4.4.1 Pengaruh Lateks Terhadap Bobot Mortar
Bobot mortar dipengaruhi oleh susunan dan kandungan zat-zat yang menyusun di dalamnya. Bahan yang akan mempengaruhi bobot adalah
agregat, semen dan lateks. Agregat itu sendiri disebut juga pasir. Agregat secara alami mempunyai rongga-rongga udara di dalamnya atau yang
disebut juga pori-pori bawaan. Dengan adanya semen, maka pori-pori tersebut akan terisi oleh semen. Oleh karena itu, jumlah semen yang
digunakan dalam mortar akan menentukan bobot mortar. Apabila komposisi perbandingan semen dengan pasir tidak tepat, maka terdapat pori bawaan
yang tidak terisi oleh semen. Hal ini mengakibatkan bobot mortar semakin ringan karena terdapat banyak rongga-rongga udara di dalam mortar. Selain
itu, banyak tidaknya rongga udara di dalam mortar amat ditentukan oleh proses pencetakan mortar segar. Dalam proses penuangan mortar segar ke
dalam cetakan, udara akan ikut masuk ke dalam ruangan cetakan tersebut.
67 Oleh sebab itu, untuk memperkecil kandungan udara yang terjebak di dalam
mortar selama proses penuangan maka perlu dilakukan pemadatan. Apabila pemadatan ini tidak dilakukan ataupun kurang, maka udara yang ada di
dalam mortar akan bertambah dan mengakibatkan bobot mortar menjadi ringan dan kekuatan menurun. Lateks juga akan mempengaruhi bobot
mortar. Lateks yang mempunyai banyak ikatan silang di dalamya akan menghasilkan densitas lateks itu sendiri besar. Semakin banyak ikatan
silang di dalam lateks maka, semakin besar densitasnya. Dengan besarnya densitas di dalam lateks, maka bobot mortar yang dihasilkan semakin berat.
Pada penelitian ini, lateks yang digunakan tidak terdapat ikatan silang sehingga bobot mortar yang dihasilkan lebih rendah daripada kontrol.
Hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap bobot awal mortar dapat dilihat pada Gambar 23, sedangkan hubungan dosis karet dan jenis
lateks terhadap bobot akhir dapat dilihat pada Gambar 24. Data lengkap pengamatan tentang bobot awal dan bobot akhir mortar dapat dilihat pada
Lampiran 11, 12 dan 13. Berdasarkan data pengamatan tersebut, terlihat bahwa bobot akhir mortar akan lebih berat dibandingkan dengan bobot awal
mortar. Hal ini disebabkan bobot akhir mortar telah mengalami proses curing
selama 28 hari. Selain itu juga, pada bobot akhir telah mengalami proses hidrasi lebih lama dibandingkan dengan bobot awal. Dengan semakin
lama proses hidrasi maka semakin berat bobot mortar yang dihasilkan. Hal ini karena semakin banyak ikatan yang terjadi di dalam mortar dan semakin
banyak semen yang mengeras. Pada awalnya, pasta semen akan menyimpan air yang berada dalam pori-pori kapiler. Reaksi hidrasi berjalan secara terus-
menerus, sehingga lama-kelamaan jumlah air menipis. Hal ini mengakibatkan kandungan pori-pori kapiler akan berkurang sejalan
bertambahnya umur mortar. Dengan berkurangnya jumlah pori-pori kapiler, maka bobot yang dihasilkan akan semakin berat.
Penurunan bobot pada lateks pekat lebih banyak dengan semakin bertambahnya dosis karet dibandingkan dengan lateks DS dan lateks DPNR.
Hal ini mungkin karena lateks pekat tidak dilakukan modifikasi, seperti lateks DS dan lateks DPNR. Dengan demikian, lateks pekat masih
68 mengandung bahan-bahan non karet yang lebih banyak dibandingkan
dengan lateks lainnya. Seperti yang telah diketahui bahwa lateks DS mengandung karbohidrat dan protein yang lebih rendah dibandingkan
dengan lateks pekat, sedangkan lateks DPNR mengandung kadar protein yang lebih rendah pula. Pada bobot mortar lateks DS dan lateks DPNR tidak
terlalu tinggi penurunan terhadap bobot dengan semakin meningkatnya dosis karet.
Gambar 23. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap bobot awal mortar
Gambar 24. Histogram hubungan dosis karet dan jenis lateks terhadap bobot akhir mortar
69 Lateks yang berada di fase sinambung bersama semen akan memutus
ikatan antar semen. Hal ini mengakibatkan bobot mortar lebih rendah, karena terdapat lateks yang memiliki densitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan semen. Berat jenis semen berkisar antara 3050 kgm
3
sampai 3250 kgm
3
Mulyono, 2003, sedangkan berat jenis lateks 0,945 gcm
3
Gountara et al., 1985. Perbedaan berat jenis tersebut akan mempengaruhi bobot mortar yang dihasilkan. Berdasarkan data pengamatan
didapatkan bahwa penambahan lateks akan membuat bobot semakin ringan dibandingkan dengan mortar tanpa penambahan lateks. Hal tersebut dapat
terjadi karena dengan penambahan lateks, maka terdapat rongga-rongga udara yang berada di dalam agregat akan terisi oleh lateks yang mempunyai
densitas lebih rendah dibandingkan dengan semen. Dengan demikian, bobot yang dihasilkan lebih ringan dibandingkan dengan mortar tanpa
penambahan lateks yang mengisi rongga-rongga udara tersebut dengan semen yang memiliki densitas lebih tinggi.
Untuk mengetahui pengaruh dosis karet dan jenis lateks terhadap bobot mortar, maka dilakukan analisis keragaman. Hasil analisis keragaman
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 14.1 untuk bobot awal dan Lampiran 15.1 untuk bobot akhir. Berdasarkan analisis ragam, jenis lateks, dosis karet
dan interaksi jenis lateks dengan dosis karet berpengaruh nyata terhadap bobot awal mortar, begitu pula sama halnya dengan bobot akhir mortar. Hal
ini bisa dilihat dari nilai p α 5. Pada bobot awal mortar mempunyai nilai
R
2
sebesar 88,49 artinya 88,49 keragaman dari bobot awal mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model jenis lateks dan dosis karet,
sedangkan sisanya 11,51 dijelaskan oleh faktor lainnya di luar model. Nilai koefisien keragaman dari bobot awal mortar sebesar 2,45 yang artinya
data relatif homogen. Nilai
R
2
yang dimiliki oleh bobot akhir mortar sebesar 89,32 yang artinya 89,32 keragaman dari bobot akhir mampu dijelaskan oleh faktor-
faktor dalam model jenis lateks dan dosis karet, sedangkan sisanya 10,68 dipengaruhi oleh faktor lainnya di luar model tersebut. Untuk nilai
koefisien keragaman dari bobot akhir mortar sebesar 2,43 yang artinya data
70 relatif homogen. Analisis keragaman untuk bobot awal dan bobot akhir
mortar menunjukkan berpengaruh nyata maka dapat dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
Hasil uji lanjut Duncan bobot awal mortar dapat dilihat pada Lampiran 14.1.1 – 14.1.3, sedangkan uji lanjut bobot akhir mortar dapat
dilihat pada Lampiran 15.1.1 – 15.1.3. Berdasarkan uji lanjut bobot awal, lateks DS tidak berbeda nyata dengan lateks DPNR, sedangkan lateks
DPNR tidak berbeda nyata dengan lateks pekat. Bobot yang paling tinggi nilainya terdapat pada lateks DS sebesar 261,25 g. Dosis karet 1, 3 dan 5
saling tidak berbeda nyata, sedangkan dosis karet 7 dan 9 juga saling tidak berbeda nyata. Dosis karet 1 menghasilkan bobot tertinggi sebesar
268,70 g. Bobot awal mortar dengan kombinasi lateks DS 3 tidak berbeda nyata dengan lateks DS 1, lateks pekat 1 dan lateks DPNR 5 dan
mempunyai nilai bobot hampir sama serta lebih tinggi bobotnya dibandingkan dengan yang lainnya. Kombinasi lateks DS 7, lateks pekat
7 dan lateks pekat 9 saling tidak berbeda nyata dan mempunyai nilai yang hampir sama dengan bobot terendah dibandingkan dengan dosis
lainnya. Untuk uji lanjut bobot akhir mortar didapatkan bahwa lateks DS
berbeda nyata dengan lateks DPNR dan lateks pekat, lateks pekat tidak berbeda nyata dengan lateks DPNR. Mortar dengan penambahan lateks DS
mempunyai bobot tertinggi sebesar 266,70 g, sedangkan dosis karet tertinggi dihasilkan pada dosis karet 1 sebesar 272,83 g. Dosis karet 1
dan 3 saling tidak berbeda nyata tetapi mempunyai nilai bobot akhir yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Pada dosis karet 3 dan 5
saling berbeda nyata, sedangkan dosis karet 7 dan 9 juga tidak berbeda nyata. Nilai bobot akhir mortar paling rendah terdapat pada dosis 9 dan
7 dan mempunyai nilai yang hampir sama. Berdasarkan hasil yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan
semakin banyak dosis karet yang ditambahkan ke dalam campuran mortar, maka bobot yang dihasilkan akan semakin ringan Gambar 25 dan 26.
71 Mortar dengan penambahan lateks tersebut akan lebih ringan bobotnya
dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 25. Grafik antara bobot awal mortar g dan dosis karet yang ditambahkan
Gambar 26. Grafik antara bobot akhir mortar g dan dosis karet yang ditambahkan
Persamaan hubungan antara bobot awal mortar dan dosis karet yang ditambahkan ke dalam mortar yaitu y = -3,592x + 274,6 dengan nilai R
2
sebesar 92, sedangkan persamaan hubungan antara bobot akhir mortar dan dosis karet yaitu y = -3,687x + 279,1 dengan nilai R
2
sebesar 92,6.
72 Peningkatan dosis karet yang digunakan sebanyak satu persen akan
menurunkan bobot awal mortar sebesar 3,592 gram dan bobot akhir mortar sebesar 3,687 gram. Dosis karet di dalam lateks mempengaruhi bobot awal
mortar sebesar 92, sementara 8 lainnya dipengaruhi oleh faktor lain, sedangkan dosis karet mempengaruhi bobot akhir mortar sebesar 92,6 dan
7,4 dipengaruhi faktor lain.
4.4.2 Pengaruh Lateks Terhadap Kuat Tekan