62 Semakin tinggi bilangan asam lemak eteris juga semakin rendah waktu
kemantapan mekanisnya. Hal ini terbukti dengan WKM pada lateks DPNR yang paling rendah dibandingkan dengan lateks pekat dan DS.
Pengujian yang terakhir adalah kadar nitrogen. Kadar nitrogen yang dihasilkan oleh lateks ini sebesar 0,02 lebih rendah bila dibandingkan
dengan lateks DPNR yang dihasilkan Alfa 2003 sebesar 0,08. Rendahnya kadar nitrogen ini disebabkan karena terdapat penambahan
enzim papain yang dapat menghidrolisis protein lateks dan juga karena terdapat proses sentrifugasi. Pada proses sentrifugasi, senyawa nitrogen
hasil hidrolisis protein yang larut dalam air akan terbuang bersama serum. Kadar nitrogen lateks DPNR ini paling rendah dibandingkan dengan lateks
pekat dan DS.
4.3 Analisis Semen
Semen amat penting peranannya dalam pembuatan mortar. Fungsi utama dari semen adalah mengikat agregat-agregat yang ada dan mengisi
rongga-rongga udara yang terdapat dalam agregat tersebut. Semen yang digunakan pada pembuatan mortar ini adalah semen portland komposit
dengan merk dagang Holcim. Kandungan semen yang ada akan menentukan sifat dari mortar yang dihasilkan termasuk sifat kekuatannya. Sebelum
digunakan semen ini dianalisis terlebih dahulu. Pengujian yang dilakukan terhadap semen ini adalah konsistensi normal dan waktu pengikatan awal
initial setting time. Konsistensi normal menunjukkan jumlah air yang dibutuhkan semen
untuk melakukan hidrasi dan sedikit sebagai pelumas. Dari analisis, semen Holcim mempunyai nilai konsistensi normal sebesar 30,4. Menurut
Mulyono 2003, jumlah air yang dibutuhkan untuk proses hidrasi adalah sekitar 25 dari bobot semen yang digunakan. Nilai tersebut di atas nilai
yang dinyatakan oleh Mulyono. Hal ini berarti lebih banyak air yang dibutuhkan oleh semen Holcim tersebut untuk melakukan hidrasi.
Konsistensi normal berpengaruh pada saat pencampuran awal, yaitu ketika terjadinya pengikatan sampai pada saat mortar mengeras.
63 Pengujian semen selanjutnya adalah uji waktu pengikatan awal.
Pengujian ini menggunakan kebutuhan air sesuai dengan uji konsistensi normal. Dari analisis yang telah dilakukan, waktu pengikatan awal semen
adalah sebesar 182 menit. Waktu pengikatan awal adalah waktu dari pencampuran semen dengan air menjadi pasta semen sampai terjadi
kehilangan sifat keplastisan dan biasanya berkisar antara satu sampai dua jam Mulyono, 2003. Waktu hasil analisis lebih tinggi daripada Mulyono.
Hal ini berarti waktu yang diperlukan semen sampai hilang sifat keplastisannya lebih lama dibandingkan dengan biasanya. Hal ini bagus
karena proses pencampuran bahan sampai pencetakan lebih lama daripada yang biasanya. Waktu yang panjang diperlukan untuk transportasi,
penuangan, pemadatan, dan penyelesaiannya finishing. Waktu ikat yang lama ini juga dikarenakan semen yang digunakan merupakan semen
portland komposit. Di dalam semen tersebut mengandung bahan abu terbang fly ash yang dapat memperlambat waktu ikat.
Sebelum dilakukan penelitian utama, maka dilakukan pencarian kandungan air yang sesuai dengan campuran mortar lateks. Kandungan air
yang terdapat di dalam campuran tersebut dapat dilihat dari workability yang dihasilkan. Apabila workability yang dihasilkan kurang baik, maka
akan ditambahkan air sedikit demi sedikit sampai workability tercapai. Workability
menunjukkan kemudahan mortar segar untuk diaduk dan dicetak. Hal ini amat dipengaruhi oleh banyaknya air yang digunakan di
dalam campuran tersebut. Penggunaan air untuk tiap jenis lateks dan dosis karet berbeda-beda tergantung pada workability dari mortar segar yang
dihasilkan. Penggunaan air yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan
pengurangan kekuatan, khususnya kuat tekan pada mortar, sedangkan apabila penggunaan air yang terlalu sedikit, maka akan mengakibatkan
kesulitan dalam pengerjaannya workability rendah. Menurut Mulyono 2003, nilai perbandingan air dengan semen yang baik adalah berkisar
antara 40 – 70. Workability pada penelitian ini hanya dilihat dengan pengamatan visual saja secara langsung dan dipengaruhi oleh nilai
64 perbandingan air dengan semen FAS. Nilai FAS dan pengamatan
workability pada mortar segar dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Nilai FAS dan Workability pada mortar segar yang dihasilkan
Jenis Lateks Dosis Karet Nilai FAS
Workability
Kontrol 0 55
Baik
Lateks Pekat 1
3 5
7 9
60 60
55 55
55 Baik
Baik Baik
Baik Baik
Lateks DS 1
3 5
7 9
60 55
50 45
45 Baik
Baik Baik
Baik Baik
Lateks DPNR 1
3 5
7 9
65 65
60 55
55 Baik
Baik Baik
Baik Baik
Catatan: Workability
dikatakan baik ketika nilai FAS antara 40 – 70 Nilai FAS yang diperlukan untuk mortar yang tidak ditambahkan
lateks sebesar 55. Mortar segar yang dihasilkan dari penambahan lateks pekat pada dosis karet 5, 7 dan 9 membutuhkan FAS yang sama dengan
mortar tanpa penambahan lateks, sedangkan pada dosis karet 1 dan 3 membutuhkan FAS yang lebih tinggi dibandingkan dengan mortar tanpa
penambahan lateks, yaitu sebesar 60. Pada lateks DS, nilai FAS yang sama dengan kontrol adalah pada dosis 3, sedangkan pada dosis 5, 7 dan
9, nilai FAS yang dibutuhkan di bawah kontrol. Pada dosis 1, nilai FAS yang dibutuhkan oleh mortar yang ditambahkan dengan lateks DS sebesar
60. Pada lateks DPNR, dosis karet 1, 3 dan 5 membutuhkan nilai FAS lebih tinggi dibandingkan kontrol yaitu sebesar 65 untuk dosis karet 1 dan
3 dan 60 untuk dosis karet 5. Dosis karet DPNR 7 dan 9 membutuhkan nilai FAS yang sama dengan kontrol.
65 Workability
yang dihasilkan dari semua penambahan jenis lateks dan dosis karet pada mortar segar dapat tercapai dan tidak melebihi 70 yang
dapat mengakibatkan penurunan kekuatan pada mortar yang dihasilkan. Hal ini berarti dalam pembuatan mortar terdapat kemudahan dalam
pengerjaannya atau workability tidak rendah. Workability tersebut dapat tercapai karena semen yang digunakan merupakan semen portland komposit
yang didalamnya mengandung kalsium karbonat yang dapat meningkatkan workability
, menurunkan bleeding dan juga mengurangi kebutuhan air yang digunakan. Selain itu, juga terdapat bahan silica fume yang juga dapat
mengurangi bleeding. Bleeding adalah air akan berada di atas adukan setelah beberapa saat dan dapat juga meningkatkan penguapan air yang
akhirnya dapat menimbulkan retak-retak Hidayat, 2009. Pada mortar ini tidak terjadi bleeding.
Dari hasil nilai FAS ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi KKK pada lateks, maka semakin tinggi pula FAS yang dibutuhkan. Nilai FAS ini
juga dipengaruhi oleh tekstur agregat halus yang digunakan. Apabila tekstur yang digunakan halus maka lebih sedikit air yang digunakan. Dengan
demikian, kekuatan akan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan air yang banyak.
4.4 Penelitian Utama