39 Di Kabupaten Bogor, sebagian besar sayur dan buah dikonsumsi untuk keluarga.
Sedangkan di Kabupaten Bandung dan Cirebon, buah dominan untuk dijual. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih belum mengetahui pola pergiliran tanaman di
lahan pekarangan yang efektif untuk penganekaragaman pangan.
4.4 Dampak Program P2KP Terhadap Pemanfaatan Pekarangan
Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan P2KP adalah program yang diluncurkan oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian
RI. Program ini sebagai salah satu bentuk intervensi pemenrintah terhadap pemanfaatan pekarangan untuk mendukung penganekaragaman konsumsi pangan
di perdesaan. Penerima bantuan program P2KP haruslah kelompok wanita tani KWT yang memenuhi syarat-syarat berikut: 1 beranggotakan minimal 10 orang
per kelompok; 2 memiliki kebun bibit untuk penggunaan kelompok; dan 3 memiliki rekening bank kelompok untuk menerima bantuan uang tunai langsung
dari BKP. Hasil survei dan wawancara menginformasikan bahwa KWT didirikan antara tahun 2008 – 2011 Tabel 30. Anggota KWT pada umumnya merupakan
penduduk desa yang pada umumnya bertempat tinggal saling berdekatan dalam satu desa. Sehingga, tanpa adanya KWT pun para ibu rumah tangga telah melakukan
aktivitas sosial yang cenderung intensif karena lokasi rumah yang berdekatan. Adapun kegiatan yang dilakukan KWT pada saat pelaksanaan program adalah
pertemuan rutin KWT satu minggu sekali. Pertemuan tersebut diinisiasi oleh penyuluh KWT masing-masing desa. Pertemuan rutin ini pada umumnya akan
membahas pemanfaatan bantuan serta sesi konsultasi anggota KWT dengan para penyuluh. Di samping evaluasi, pertemuan mingguan juga sering dilaksanaan
bersamaan dengan kegiatan membuat kue dari hasil pangan kebun berlebih, ataupun sekedar ngaliwet, atau makan nasi liwet bersama.
Setiap KWT memiliki produk utama yang siap dijual. Produk tersebut ada yang berasal dari pekarangan maupun dari luar pekarangan. Adapun produk yang
berasal dari pekarangan adalah jambu biji, jambu kristal, dan stroberi. Perkumpulan KWT juga pada umumnya membahas terkait keberlanjutan produk unggulan KWT.
Adapun yang dibicarakan dapat berupa sistem pembuatan produk yang butuh pengolahan, pengemasan, pemasaran, hingga pembagian keuntungan hasil
penjualan. Adapun KWT yang belum terlihat memiliki produk utama KWT masih Tabel 30 Karakteristik KWT di lokasi penelitian
Kabupaten Desa
Nama KWT Tahun Berdiri
Jumlah Anggota
Produk Utama KWT Bandung
Patrolsari Mawar
2010 10
Tepung Hanjeli Girimekar Sauyunan
2009 16
- Bojong
Emas Melati 2
2008 20
- Bogor
Situ Udik Teratai
2009 15
Stroberi Cikarawang Mawar
2011 10
Jambu kristal, Keripik pisang Bantarsari Rukun Tani
2011 25
Jambu biji, Rengginang Cirebon
Bakung Lor Jambu Alas 2011
20 Jambu biji dan Tape ketan
Grogol Bina Sri Lestari 2009
25 Olahan buah-buahan dalam
bentuk sirup, keripik dan manisan Pegagan Lor Harum Sari
2009 11
Kue basah dan keripik keong
40
Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan lanjutan
mengandalkan pendapatan dari produk utama desa. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya pendampingan dari penyuluh untuk menggerakkan KWT setempat.
KWT di Kabupaten Bogor masih mengusakan produk unggulannya berasal dari pekarangan, seperti jambu kristal, jambu biji, pisang, dan stroberi Gambar 28.
Sementara untuk produk unggulan di Kabupaten Cirebon sudah merupakan produk olahan yang bahan bakunya berasal dari luar pekarangan. Contohnya adalah produk
utama KWT Bina Sri Lestari di Desa Grogol, membuat makanan olahan dari pangan yang berasal dari bukan pekarangan sendiri.
Berdasarkan wawancara, penyuluh di Kabupaten Bogor tidak hanya bertemu anggota KWT di pertemuan mingguan. Namun banyak kunjungan lapang
insidental dari penyuluh yang sifatnya lebih mengevaluasi pelaksanaan program, sehingga bisa disampaikan di pertemuan mingguan. Hal ini dilakukan atas inisiatif
penyuluh agar pemanfaatan bantuan di pekarangan bisa terpantau dengan baik. Penyuluh di Kabupaten Bandung, terutama penyuluh di Desa Patrolsari dan
Bojongemas kurang intensif dan rutin berkunjung ke desa. Hal ini salah satunya disebabkan oleh lokasi desa yang relatif jauh dari kota sehingga tidak bisa lebih
intensif dan inisiatif daripada penyuluh di Kabupaten Bogor. Kondisi ini menyebabkan penyuluh kurang mendampingi KWT dalam pelaksanaan program,
sehingga bantuan dari P2KP tidak termanfaatkan secara optimal. Sementara itu, penyuluh di Kabupaten Cirebon, lebih menggerakkan KWT untuk membuat produk
olahan dari pangan, bukan terfokus lagi untuk optimalisasi fungsi pekarangan untuk penganekaragaman pangan. Sebagai contoh produk pangan olahan yang dibuat
KWT Bina Sri Lestari hampir seluruhnya berasal dari luar pekarangan anggota KWT Gambar 29.
Syarat suatu KWT untuk mendapatkan bantuan program P2KP lainnya adalah memiliki kebun bibit dan memanfaatkannya untuk keperluan kelompok
Gambar 28 Pemanfaatan pekarangan untuk penyedia pangan sekaligus menjadi produk unggulan KWT kiri-kanan: Stroberi di Desa Situ Udik, Jambu kristal di
Desa Cikarawang, dan Jambu kristal di Desa Bantarsari
Gambar 29 Produk unggulan KWT Bina Sri Lestari, Desa Grogol
41 dalam hal budidaya tanaman pekarangan. Berdasarkan hasil survei, kebun bibit
biasa digunakan sebagai area pembibitan untuk tanaman-tanaman kepemilikan anggota KWT. Tanaman yang dibibitkan di kebun bibit antara lain tanaman bumbu
dan sayur. Tanaman buah pada umumnya langsung ditanam di rumah sendiri jika bantuan berupa bibit. Lokasi dari kebun bibit terjangkau untuk semua anggota
KWT. Namun semenjak pemberian dana bantuan dihentikan, maka pemanfaatan kebun bibit menjadi tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pendampingan dari pemerintah, serta kurangnya inisiatif kelompok untuk membeli benih baru.
Bantuan P2KP ke KWT berwujud uang tunai yang diberikan melalui rekening bank KWT. Penggunaan dana tersebut diberikan kebebasan penuh oleh
BKP setiap kabupaten untuk dimusyawarahkan di dalam KWT, ataupun mendapat saran dari penyuluh. Pangan pekarangan yang diberikan kepada anggota KWT
sebagai bentuk bantuan dari Program P2KP sebagian besar berupa bibit tanaman sayur, buah dan bumbu. Bantuan yang diberikan kepada anggota P2KP di ketiga
kabupaten didominasi oleh tanaman semusim dengan diawali pembibitan di kebun bibit. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penggunaan bantuan P2KP adalah
pemilihan jenis bibit tanaman yang terkadang syarat tumbuhnya tidak sesuai dengan kondisi iklim setempat. Seperti contohnya pemberian bibit mangga di
Kabupaten Bandung, meskipun akan tumbuh namun tidak akan optimal. Permasalahan berikutnya adalah kurangnya pendampingan penyuluh dalam teknis
pemeliharaan pekarangan untuk mendukung terwujudnya penganekaragaman konsumsi pangan. Hal ini yang menjadi faktor paling utama yang menyebabkan
bibit tanaman tidak tumbuh dengan baik meski kondisi ikilmnya sesuai. Ketidaktahuan KWT dalam pemeliharaan tanaman pekarangan sangat
mempengaruhi tidak efektifnya penggunaan lahan dan juga rak tanaman di pekarangan Gambar 30.
4.5 Analisis Pemenuhan Kebutuhan Gizi dari Pangan Pekarangan 4.5.1 Analisis Komposisi Keluarga dan Pola Konsumsi Pangan
Berdasarkan hasil wawancara, didapat jumlah rata-rata anggota keluarga dalam satu rumah pada setiap kabupaten berjumlah 5 orang, dengan komposisi dua
laki-laki, dua orang wanita, dan satu orang anak 0-9 tahun. Pola masak harian yang dilakukan ibu rumah tangga setiap harinya adalah dengan memasak nasi di
pagi hari untuk memenuhi kebutuhan nasi satu hari penuh. Sementara untuk lauk pauk serta sayur tergantung pada masing-masing keluarga. Ada ibu yang memasak
hanya di pagi hari saja, dan ada pula yang memasak di waktu pagi dan sore hari. Kebutuhan pangan untuk konsumsi sehari-hari sebagian besar diperoleh dari
warung terdekat untuk pangan yang habis sekali masak, serta pasar untuk pangan Gambar 30 Rak tanaman yang pemanfaatannya tidak efektif