44
Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan lanjutan
4.5.3 Analisis Pemenuhan Angka Kecukupan Gizi dari Pekarangan
Konsumsi pangan bagi rumah tangga yang ideal adalah saat konsumsi pangan memenuhi nilai angka kecukupan gizi AKG harian seluruh anggota rumah
tangga. Analisis bermula dari pengolahan data hasil wawancara konsumsi pangan rumah tangga dengan menggunakan Tabel Komposisi Pangan Indonesia Persagi
2009 dan juga Daftar Komposisi Bahan Makanan DKBM Depkes 2005. Adapun zat gizi yang dianalisis adalah meliputi energi, karbohidrat, protein, lemak,
vitamin A, vitamin C, dan zat besi dari setiap bahan makanan yang dikonsumsi oleh setiap rumah tangga. Perhitungan jumlah zat gizi dilakukan secara total dari seluruh
konsumsi pangan, dan juga analisis terpisah antara pangan dari pekarangan maupun non-pekarangan.
Analisis diawali dengan mengetahui zat gizi apa yang masih minim pemenuhannya dari pola konsumsi pangan sehari-hari. Perlu diketahui bahwa
persentase yang didapat dari hasil suvei konsumsi pangan pada penelitian ini terbatas pasa analisis makanan yang disajikan di dalam rumah. Selain itu, informasi
terkait pola makan bergantung seutuhnya pada penjelasan dan ingatan ibu rumah tangga dalam mengingat-ingat konsumsi keluarganya terhitung dari 24 jam yang
lalu. Ibu rumah tangga merupakan responden tunggal yang diharapkan dapat menjelaskan pola makan keluarga dengan rinci, sehingga hasil wawancara pola
makan dapat valid. Tabel 32 menginformasikan bahwa ketiga kabupaten masih butuh konsumsi pangan yang dapat meningkatkan pemenuhan vitamin C, lemak,
dan energi. Perolehan vitamin A sangat tinggi di Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan perhitungan analisis konsumsi pangan rumah tangga pada penelitian ini
mengasumsikan semua pangan berada pada kualitas gizi 100 sesuai dengan perolehan gizi ideal yang ada pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia maupun
DKBM. Perolehan vitamin A yang tinggi di Kabupaten Bogor antara lain disebabkan jumlah konsumsi cabai rawit, katuk, daging ayam, dan daging bebek
yang sangat tinggi dibandingkan dua kabupaten lainnya. Sementara empat bahan pangan tersebut memiliki kandungan vitamin A yang sangat tinggi.
Untuk mengetahui kontribusi pekarangan dalam pemenuhan gizi ideal rumah tangga, maka dilakukan perbandingan dengan nilai pemenuhan enam zat gizi
tersebut yang telah diperoleh dari pangan pekarangan. Adapun hasil yang diperoleh dari melakukan analisis pemenuhan AKG dari pangan pekarangan dapat dilihat
pada Tabel 33. Dari Tabel 33 dapat terlihat bahwa rata-rata keseluruhan perolehan gizi dari
pangan pekarangan berada pada rentang nilai 0.91 – 9.46. Sementara untuk perbandingan perolehan gizi antar kabupaten, maka pemanfaatan pangan
pekarangan tertinggi adalah di Kabupaten Bogor dengan angka pemenuhan energi 3.18, karbohidrat 4.02, protein 3.75, lemak 2.19, vitamin A 14.90,
vitamin C 2.11, dan zat besi 2.84. Sementara untuk kedua kabupaten lainnya memiliki nilai bervariasi untuk setiap gizi.
Tabel 32 Persentase pemenuhan AKG dari konsumsi
Lokasi Pemenuhan Gizi
Energi Karbohidrat Protein Lemak Vit.A Vit.C Zat Besi Kab. Bandung
51.21 69.24
88.09 26.09
49.36 21.15 97.36
Kab. Bogor 50.55
56.63 84.29
37.50 318.81 34.44 69.90
Kab. Cirebon 46.08
61.57 87.67
29.85 69.12 29.50
98.76
45
Hasil analisis konsumsi pangan dari pekarangan menyatakan bahwa pemanfaatan pangan pekarangan di Kabupaten Bogor lebih tinggi dibandingkan
kedua kabupaten lainnya. Hal ini berkorelasi positif dengan analisis keragaman Shannon-Wiener pada bahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa Kabupaten
Bogor memiliki nilai keragaman pangan yang lebih tinggi pula dibadingan dengan dia kabupaten lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa potensi pemanfaatan
pangan dari pekarangan pun dapat lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bandung dan juga Kabupaten Cirebon. Kabupaten Cirebon memiliki persentase
terendah dalam hal pemenuhan AKG dari pangan pekarangan. Hal ini sangat dipangaruhi akibat rendahnya keragaman pangan yang ada di pekarangan.
4.5.4 Analisis Potensi Penganekaragaman Konsumsi Pangan dari Pekarangan
Hasil analisis pemenuhan gizi dari pekarangan membuktikan bahwa gizi yang masih perlu ditingkatkan lagi merupakan zat gizi mikro vitamin C dan juga
zat gizi makro energi dan lemak. Adapun jika dikaitkan dengan jenis pangan yang ditemui di pekarangan, maka keragaman pangan di pekarangan dapat menjadi
potensi untuk mendukung pemenuhan gizi. Semakin banyak jenis tanaman dan ternak yang dibudidayakan di pekarangan, maka akan semakin besar pula potensi
perolehan gizi dan pemenuhan gizi ideal setiap anggota per harinya. Terlebih lagi jika pangan yang dibudidayakan di pekarangan merupakan pangan yang dapat
memenuhi zat gizi yang masih kurang dipenuhi dari pola konsumsi pangan sehari- hari. Perolehan zat gizi makro bisa ditingkatkan dengan pemanfaatan tanaman
penghasil pati, ternak, serta ikan di pekarangan untuk konsumsi Lampiran 2. Sedangkan zat gizi mikro vitamin A, vitamin C, dan zat besi bisa dipenuhi dengan
memperkaya konsumsi pangan dengan beragam jenis sayur dan buah Lampiran 3. Sayur dan buah yang beragam di pekarangan dapat menjadi potensi untuk
peningkatan keragaman konsumsi pangan. Semakin banyak pergiliran tanam dan panen pangan yang dalam satu tahun, maka potensi perolehan pangan di
pekarangan juga semakin besar. Perolehan pangan dalam jumlah besar secara kontinu, dapat mendukung perolehan gizi dari pekarangan bagi keluarga sepanjang
tahunnya. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan jadwal ideal masa tanam dan panen, sehingga pangan yang diperoleh bisa lebih terprediksi sesuai perolehan gizi
yang diinginkan oleh keluarga. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan teknik pemeliharaan tanaman serta ternak yang baik, dan juga penggunaan kalender tanam
untuk tanaman semusim, serta kalender panen untuk tanaman tahunan. Tabel 33 Persentase pemenuhan AKG dari pangan pekarangan
Kabupaten Desa
Energi Karbohidrat Protein Lemak Vit. A Vit. C Zat Besi Kab. Bandung Patrolsari
0.85 0.41
4.15 0.69
9.03 0.31
2.68 Girimekar
0.03 0.05
0.10 0.02
2.48 0.08
0.38 Bojongemas
0.05 0.07
0.08 0.03
2.49 0.00
0.24 Rata-rata
0.31 0.17
1.44 0.25
4.66 0.13
1.10 Kab. Bogor
Situ Udik 4.15
6.16 4.27
0.72 17.10
0.06 3.70
Cikarawang 4.32
4.42 6.22
4.98 18.04
5.91 3.44
Bantarsari 1.07
1.48 0.77
0.89 9.56
0.36 1.38
Rata-rata 3.18
4.02 3.75
2.19 14.90
2.11 2.84
Kab. Cirebon Bakung Lor
0.78 1.32
0.32 0.06
0.75 2.36
0.57 Grogol
0.06 0.09
0.12 0.03
3.73 3.36
0.35 Pegagan Lor
0.21 0.20
0.75 0.18
21.32 5.01
1.83 Rata-rata
0.35 0.54
0.40 0.09
8.60 3.58
0.92 Rata-rata keseluruhan
1.28 1.67
2.00 0.91
9.46 1.79
1.68
46
Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan lanjutan
4.6 Evaluasi Pencapaian Target Program Percepatan Penganekaragaman Pangan P2KP
Berdasarkan pedoman pelaksanaan gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan P2KP Kementerian Pertanian 2012, indikator keberhasilan
P2KP terlihat dari empat indikator, yaitu: 1 Meningkatnya jumlah kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan keluarga yang beragam, bergizi seimbang
dan aman; 2 Meningkatnya jumlah usaha pengolahan pangan khas daerah berbasis tepung-tepungan dan penyediaan pangan sumber karbohidrat dari bahan pangan
lokal; 3 Meningkatnya motivasi, partisipasi dan aktivitas masyarakat dan anak usia dini dalam penganekaragaman konsumsi pangan, dan 4 Tumbuhnya Rumah
Pangan Lestari pada kawasan P2KP berbasis sumber daya lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan gerakan P2KP di pekarangan Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon belum ada yang memenuhi empat indikator keberhasilan secara menyeluruh. Namun jika dilakukan perbandingan antara
kabupaten, maka Kabupaten Bogor memiliki hasil pencapaian indikator yang lebih baik dibandingkan dua kabupaten lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
keragaman pangan yang dibudidayakan di pekarangan masing-masing anggota Kelompok Wanita Tani KWT di pekarangan-pekarangan Kabupaten Bogor
dibandingkan dengan pekarangan di dua kabupaten lainnya. Selain itu, hasil analisis konsumsi pangan juga menginformasikan bahwa pemanfaatan pangan pekarangan
untuk konsumsi keluarga yang paling tinggi adalah dari pekarangan anggota KWT di Kabupaten Bogor. Keberhasilan program P2KP di Kabupaten Bogor antara lain
didukung oleh inisiatif para anggota KWT dalam pemanfaatan lahan pekarangan masing-masing, tingkat pengetahuan pertanian para anggota P2KP dan
pendampingan yang intensif dari penyuluh dan pendamping KWT. Kabupaten Cirebon masih terbilang jauh dari pencapaian keberhasilan P2KP
dibandingkan dua kabupaten lainnya. Hal ini dapat dilihat dari keragaman pangan di pekarangan, pemanfaatan pekarangan untuk konsumsi pangan yang rendah, dan
kurangnya intensitas pendampingan yang intensif terkait program P2KP oleh penyuluh kepada para anggota P2KP. Pemanfaatan lahan pekarangan yang tidak
optimal sangat dipengaruhi oleh rendahnya inisiatif para anggota KWT, terutama dalam aspek budidaya tanaman dan ternak di pekarangan. Kondisi iklim yang relatif
kurang menguntungkan seharusnya dapat diatasi dengan penggunaan tanaman yang sesuai dengan kondisi iklim setempat. Selain itu perlunya penggunaan teknik
penanaman dalam wadah atau penanaman secara vertikal, terutama untuk tanaman- tanaman yang tidak bisa ditanam pada tanah berpasir. Hal lainnya yang menjadi
sebab dari rendahnya pencapaian P2KP di Kabupaten Cirebon adalah kurangnya intensitas pendampingan dari para penyuluh. Sehingga para anggota KWT kurang
merasa diarahkan dan dipantau pemanfaatan dana bantuannya. Sementara itu, pekarangan Kabupaten Bandung memiliki tingkat keragaman sedang, namun masih
belum dimanfaatkan optimal untuk konsumsi pangan. Hal ini dapat dilihat dari angka persentase penggunaan produk pangan pekarangan yang sebagiannya
dimanfaatkan sebagai komoditas untuk dijual, bukan diprioritaskan untuk konsumsi pangan keluarga. Jika ditinjau berdasarkan potensi luasan lahan pekarangan, maka
seharusnya Kabupaten Bandung memiliki tingkat keberhasilan P2KP paling tinggi. Terutama jika ada peningkatan intensitas pendampingan penyuluh dan inisiatif dari
ibu rumah tangga dalam mengelola produksi pangan di pekarangan.