Analisis Situasional Kabupaten Cirebon

28 Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan lanjutan hampir tidak pernah ditemukan. Masyarakat lebih suka menggunakan lahan pekarangan untuk budidaya ternak kecil dan juga ikan jika terdapat kolam. Berdasarkan pola penggunaan lahan pekarangan, seluruh zonasi digunakan untuk penanaman area pangan, kecuali Desa Bakung Lor yang lebih menyukai pola penanaman padat di satu zonasi saja. Hal ini dapat dilihat pada contoh penggunaan lahan pekarangan berdasarkan zonasi depan-samping-belakang di Desa Bakung Lor Gambar 20, pekarangan di Desa Grogol Gambar 21, dan pekarangan di Desa Pegagan Lor Gambar 22. Keanekaragaman pangan di pekarangan berupa jumlah jenis tanaman dan ternak yang dapat ditemui di ketiga desa sampel dapat dilihat di Tabel 16. Jenis Tabel 15 Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon Nama Desa Luas m 2 Zonasi Fasilitas Maksimal Rata-rata Minimal Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol Bakung Lor 625 88.3 6 100 60 0 10 50 20 Grogol 600 163.0 18 100 10 20 50 60 30 Pegagan Lor 311 182.4 40 100 70 50 60 10 60 60 Keterangan: a. Zonasi: Depan Dpn, Belakang Blk, Samping Kiri Ki dan Samping Kanan Ka b. Fasilitas: Kandang Ternak Besar KTB, Kandang Ternak Kecil KTK, Kolam Kol Gambar 20 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Bakung Lor Gambar 21 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Grogol Gambar 22 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Pegagan Lor 29 tanaman dikelompokkan berdasarkan keragaman strata vertikal dan juga keragaman fungsinya horizontal. Berdasarkan tabel tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya jumlah tanaman pangan tanaman obat, sayur, buah, bumbu dan penghasil pati masih lebih dominan dibandingkan jumlah jenis tanaman non pangan. Strata tanaman yang paling banyak ditemukan adalah tanaman yang tergolong strata I. Jenis fungsi pangan yang paling banyak ditemukan di pekarangan adalah jenis buah. Sementara berdasarkan ternak yang banyak dibudidayakan merupakan ternak kecil, seperti ayam dan bebek. Jika ditinjau dari pengelola pekarangan di ketiga desa sampel, maka pengelola utama pekarangan merupakan ibu rumah tangga di setiap pekarangan yang sekaligus merupakan anggota Kelompok Wanita Tani KWT yang mendapatkan bantuan P2KP. Adapun karakteristik para ibu rumah tangga tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu rumah tangga merupakan penduduk asli dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Selain menjadi ibu rumah tangga, para ibu juga ada yang berprofesi wirausaha maupun menjadi pedagang kebutuhan sehari-hari seperti membuka warung nasi, dan toko kelontong. Karakteristik Kelompok Wanita Tani KWT di Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor dapat dilihat pada Tabel 18. Pada umumnya kebun bibit kelompok merupakan kepemilikan yang relatif permanen karena kepemilikannya bersifat mendukung kegiatan KWT. Sementara dari aspek sosialnya, setiap KWT memiliki kegiatan rutin yang dilakukan, meski tidak semuanya berbasis kegiatan pertanian. Tabel 16 Jumlah jenis tanaman, ternak dan ikan di pekarangan Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon Nama Desa Strata Fungsi Ternak V IV III II I a b c d e f g h B K I Bakung Lor 5 1 12 13 18 18 0 7 14 8 1 0 1 2 Grogol 4 0 7 9 18 22 3 1 10 2 0 0 0 6 Pegagan Lor 6 1 12 13 20 21 4 4 14 4 2 0 3 2 1 Rata-rata 5 1 10 12 19 20 2 4 13 5 1 0 1 3 Keterangan: a. Keragaman Vertikal: Tinggi 1m I, 1-2m II, 2-5m III, 5-10m IV, dan 10m V b. Keragaman Horizontal: Tanaman Hias a, Obat b, Sayur c, Buah d, Bumbu e, Penghasil Pati f, Industri g, dan lainnya h c. Ternak: Besar B, Kecil K, dan Ikan I Tabel 17 Karakteristik pengelola pekarangan di Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon Nama Desa Kependudukan Mata Pencaharian Asli Pendatang IRT Petani Wirausaha PNS Pedagang Lainnya Bakung Lor 100 30 30 20 20 Grogol 90 10 70 10 10 10 Pegagan Lor 80 20 70 10 20 Keterangan: IRT Ibu Rumah Tangga; PNS Pegawai Negeri Sipil 30 Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan lanjutan 4.2 Analisis Karakteristik Pekarangan 4.2.1 Analisis Ukuran Pekarangan Ukuran lahan sebagai media usaha tani akan menentukan intensitas produksi dalam pekarangan Arifin et al. 2013. Ukuran pekarangan di ketiga kabupaten telah diklasifikasikan ke dalam empat tipe ukuran pekarangan Arifin 1998 yang dapat dilihat di Tabel 19. Dapat terlihat bahwa sebagian besar pekarangan sampel merupakan pekarangan dengan luasan sempit 50. Pekarangan di Kabupaten Bandung memiliki rata-rata luas lebih besar dikarenakan infrastruktur desa yang rendah, aksesnya yang relatif jauh ke kawasan kota. Sementara pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki luasan paling kecil karena ketiga desa sampel memiliki akses ke kawasan kota yang lebih mudah, sehingga terjadi dampak urbanisasi nyata. Begitu pula dengan desa sampel di Kabupaten Cirebon, kondisi infrastruktur desa masih kurang layak dibandingkan Kabupaten Bandung. Namun karena Kabupaten Cirebon terletak di kawasan Pantura yang intensitas penggunaan kawasannya tinggi, maka lebih mudah untuk terkena dampak urbanisasi. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi penanaman tanaman di lahan sempit, pekarangan di Kabupaten Bogor dan Cirebon mengupayakan penggunaan teknik penanaman vertikal vertikultur dan juga penanaman di dalam wadah. Dalam mengatasi keterbatasan lahan, sebanyak 60 sampel pekarangan di Kabupaten Bogor menggunakan teknik penanaman vertikultur, sementara di Kabupaten Cirebon lebih cenderung memanfaatkan teknik penanaman di dalam wadah 86.67 Tabel 20. Pekarangan di Kabupaten Bandung jarang yang menggunakan vertikultur karena ketersediaan lahan yang relatif lebih besar dibandingkan dua kabupaten lainnya. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat menggunakan teknik penanaman di dalam wadah untuk mengatasi keterbatasan lahan dalam membudidayakan tanaman, serta untuk kemudahan dalam pemeliharaan tanaman. Tabel 18 Karakteristik Kelompok Wanita Tani KWT di Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon Nama Desa Nama KWT Waktu berdiri Kepemilikan kebun bibit Produk unggulan Kegiatan rutin Bakung Lor Jambu Alas 2011 Desa Jambu dan tape ketan Membuat tape ketan Grogol Bina Sri Lestari 2009 Ibu Ketua KWT Aneka olahan buah Membuat aneka olahan buah Pegagan Lor Harum Sari 2009 Ibu Ketua KWT Kue basah dan kering Kegiatan PKK Tabel 19 Persentase jumlah pekarangan berdasarkan klasifikasi ukuran Lokasi Kategori Luasan Pekarangan Luas Pekarangan m 2 Sempit Sedang Besar Sangat Besar Mini- mum Rata- rata Maksi- mum Kab. Bandung 27 50 23 20 286.31 950 Kab. Bogor 67 20 13 6 142.93 600 Kab. Cirebon 57 37 7 6 144.56 625 Rata-rata 50 36 14 31 Penanaman secara vertikultur ini dapat terbilang efektif untuk digunakan pada pekarangan sempit karena dalam satu petakan lahan dapat lebih banyak tanaman yang diakomodasi. Salah satu contohnya adalah penggunaan vertikultur untuk penanaman tanaman cabai rawit. Berdasarkan standar penanaman, cabai rawit memerlukan jarak tanam sebesar 50 x 90 cm setiap individu jika penanamannya di tanah secara langsung. Sedangkan jika penanaman dilakukan secara vertikal penanaman di dalam pot atau polybag, hanya membutuhkan luasan wadah berdiameter lebih kurang 30 cm untuk setiap individu, sehingga dapat disetarakan dengan jarak tanam 30 x 50 cm dilebihkan 20 cm untuk jarak antar tanaman. Jika diasumsikan terdapat lahan dengan luasan yang sama, maka untuk memperoleh lebih banyak cabai rawit di pekarangan akan lebih efektif menggunakan teknik vertikultur.

4.2.2 Analisis Zonasi Pekarangan

Analisis zonasi pekarangan dilakukan dengan cara mengklasifikasikan pekarangan menjadi 4 zonasi, yaitu pekarangan depan, belakang, samping kiri dan samping kanan Arifin 1998. Nilai persentase keberadaan zonasi pekarangan pada ketiga kabupaten dapat dilihat di Tabel 21. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pekarangan memiliki pekarangan depan. Hal ini dibuktikan dengan persentase yang tinggi pada pekarangan depan di Kabupaten Bandung 100, Kabupaten Cirebon 96.67 dan diikuti oleh Kabupaten Bogor 86.67. Jika dilihat dari rata-rata persentase keberadaan pekarangan, maka tiga zona pekarangan lainnya memiliki nilai persentase yang tidak terlalu jauh satu sama lainnya, yaitu pekarangan belakang 48.89, pekarangan samping kiri 46.67 dan pekarangan samping kanan 41.11. Hal ini dikarenakan pada umumnya lahan pekarangan samping dan belakang diprioritaskan untuk penggunaan lain dibandingkan tetap dijadikan lahan pekarangan terbuka. Contohnya adalah pembangunan garasi kendaraan, dijadikan warung, atau perluasan bangunan rumah. Keberadaan zonasi eksisting mempengaruhi pola pemanfaatan lahan pekarangan. Jika dikaitkan dengan pemanfaatan pekarangan untuk penyedia pangan, maka survei membuktikan bahwa ketersediaan zonasi mempengaruhi area penanaman tanaman pekarangan dan juga ternak di pekarangan. Secara data statistik pada Gambar 23, dapat terlihat bahwa seluruh zonasi dapat berfungsi sebagai area penyedia pangan. Di Kabupaten Bandung dan Cirebon yang hampir Tabel 20 Persentase keberadaan vertikultur dan penanaman dalam wadah Lokasi Keberadaan Vertikultur Keberadaan penanaman dalam wadah Ya Tidak Ya Tidak Kab. Bandung 20.00 80.00 80.00 20.00 Kab. Bogor 60.00 40.00 83.33 16.67 Kab. Cirebon 23.33 76.67 86.67 13.33 Tabel 21 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan Lokasi Keberadaan zonasi pekarangan Depan Belakang Kiri Kanan Kab. Bandung 100 57 63 47 Kab. Bogor 87 43 53 37 Kab. Cirebon 97 47 23 40 Rata-rata 94 49 47 41 32 Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan lanjutan seluruhnya memiliki pekarangan depan, maka sebagian besar pekarangan depan itulah yang menjadi area tanam pangan. 4.2.3 Analisis Keragaman Tanaman Pekarangan 4.2.3.1 Analisis Keragaman Fungsi Tanaman di Pekarangan Komposisi spesies pembentuk keragaman fungsi horizontal yang ada di dalam satu pekarangan dengan pekarangan lainnya dapat berbeda-beda. Namun secara umum, pekarangan-pekarangan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu altitude, tipe tanah, iklim dan status sosial-ekonomi serta latar belakang budaya Karyono 1990. Pada penelitian ini, tanaman dikelompokkan berdasarkan delapan fungsi tanaman menurut Arifin 1998, yaitu tanaman hias, obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati, industri dan lainnya. Pengelompokan tanaman ke dalam delapan fungsi tanaman pekarangan dapat dilihat pada Tabel 22. Fungsi tanaman akan dikelompokkan menjadi tanaman pangan tanaman obat, sayur, buah, bumbu, dan penghasil pati, serta tanaman non-pangan tanaman hias, industri, dan lainnya. Berdasarkan hasil survei, jumlah jenis tanaman yang teridentifikasi adalah sebanyak 199 jenis tanaman yang terdiri atas 108 jenis tanaman pangan 17 jenis tanaman obat, 32 jenis tanaman sayur, 34 jenis tanaman buah, 18 jenis tanaman bumbu, dan 7 jenis tanaman penghasil pati, dan 91 jenis tanaman non pangan 76 jenis tanaman hias, 6 jenis tanaman industri, dan 19 jenis tanaman lainnya Lampiran 1. Jumlah jenis tanaman pangan lebih banyak daripada jenis tanaman non pangan. Berdasarkan keragaman fungsi tanaman, masyarakat sudah memanfaatkan pekarangan untuk budidaya tanaman pangan. Hal ini dapat terlihat dari keanekaragaman spesies pangan pada Tabel 28. Tanaman pangan pada umumnya dapat diperoleh dari keragaman tanaman obat, sayur, buah, bumbu, dan penghasil pati. Tanaman hias memiliki keragaman jenis tertinggi, dan di antaranya ada yang Gambar 23 Preferensi zonasi pekarangan untuk penanaman pangan 10 20 30 40 50 Kab. Bandung 10 20 30 40 50 Kab. Bogor pangan non-pangan 10 20 30 40 50 Kab. Cirebon Tabel 22 Keragaman strata tanaman pekarangan berdasarkan rata-rata jumlah Lokasi Fungsi Tanaman Hias Obat Sayur Buah Bumbu Penghasil Pati Industri Lainnya Kab. Bandung 48 12 21 26 11 6 6 4 Kab. Bogor 45 7 22 22 20 7 2 1 Kab. Cirebon 37 4 11 22 9 3 5