Kedua,   Dilakukan   dalam   area   dibawah   kompetensi   suatu   organisasi   pengelolaan
perikanan   regional   yang   tidak   dilaporkan   atau   dilaporkan   dengan   tidak   benar, bertentangan dengan prosedur peraturan dari organisasi tersebut.
Unregulated fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang terjadi: Pertama,   di   area   suatu   organisasi   pengelolaan   perikanan   regional   yang   dilakukan
oleh kapal tanpa nasionalitas,  atau oleh kapal dengan bendera suatu  negara bukan anggota dari organisasi tersebut atau oleh suau fishing entity dengan cara yang tidak
kensisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengellolaan dari organisasi tersebut, atau
Kedua, di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tidak adanya aturan
tindakan   konservasi   dan   pengelolaan   yang   diaplikasikan   dan   dimana   aktivitas penangkapan   dilakukan   dengan   cara-cara   yang   tidak   konsisten   dengan   tanggung
jawab   negara   bagi   konservasi   atas   sumberdaya   hayati   marine   dibawah   hukum internasional.
2.3.2. Dampak IUU Fishing
Maraknya  IUU   fishing  di   perairan   Indonesia   akan   berdampak   terhadap keterpurukan   ekonomi   nasional   dan   meningkatnya   permasalahan   sosial.   Menurut
Adrianto 2004, bagi Indonesia, tekanan internasional terhadap masalah IUU fishing menimbulkan konsekuensi ke dalam dan ke luar sekaligus double effects, yaitu:
Pertama,   kosekuensi   ke   dalam   berhubungan   dengan   fakta   bahwa   dari   kacamata
sebagai negara berdaulat, di perairana Indonesia praktek poaching penangkapan ikan oleh   negara   lain   tanpa   ijin   dari  negara   yang   bersangkutan   sangat   marajalela   baik
yang nekat menggunakan bendera asing maupun yang menggunakan bendera lokal bekerja   sama   dengan   pelaku   lokal.   Menurut   Cunningham   diacu   dalam   Adrianto
2004 Dalam konteks ini Indonesia sangat dirugikan karena ada economic rent yang hilang dari sebuah kepemilikan sumberdaya perikanan.
Kedua, konsekuensi ke luar lebih terkait dengan praktek unreported dan unregulated
fishing  dimana   sebagai   negara   berkembang   developing   country   dua   hal   ini merupakan kelemahan utama. Khususnya dalam praktek flag of conveniece dan non
member fishing, yaitu penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah suatu organisasi perikanan regional tertentu di mana Indonesia bukan menjadi anggota dari organisasi
tersebut.   Sebagai   contoh,   Indonesia   memiliki   areal   penangkapan   di   Lautan   Hindia baik dalam tataran teritorial maupun ZEE. Tetapi saat ini Indonesia tidak termasuk
anggota   IOTC   Indian   Ocean   Tuna   Comission.   Sehingga   apabila   Indonesia menangkap   tuna   di   wilayah   Lautan   Hindia   walaupun   masih   dalam   koridor
teritorialnya  maka  praktek  tersebut dapat  dikategorikan  sebagai  flag of conveniece atau non member fishing. Kedua praktek ini mulai dilarang karena dianggap tidak ada
kemauan untuk turut mengelola kelestarian sumberdaya perikanan secara bersama. Menurut Suhana 2005, permasalahan IUU fishing dapat dilihat dari beberapa
parameter, yaitu:
Pertama,   kontribusi  perikanan   tangkap  ke   PDB   porduk  domestik  bruto.   Dengan
adanya   aktivitas  IUU   fishing  diperairan   Indonesia   akan   mengurangi   kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah
hilangnya rent sumber daya perikanan. Menurut laporan FAO 2001, Indonesia setiap tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar USD
2,3-4 milyar.
Kedua,   ketenaga   kerjaan.  IUU   fishing  akan   mengurangi   potensi   ketenagakerjaan
nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Misalnya pertengahan Juni 2005, ketua
Umum  Asosiasi  Pengalengan  Ikan  Indonesia  APII  Hendri  Sutandinata  mendesak kapada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan
ikan   tuna   yang   baru   di   Pulau   Jawa,   Bali,   Sumatera   Utara   dan   Sulawsi   Utara. Alasannya,   kehadiran   industri   di   keempat   daerah   tersebut   sudah   terlalu   banyak,
sedangkan   suplai   bahan   baku   sangat   terbatas   sehingga   tidak   sedikit   industri pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh
industri   pengalenganikan   tuna  di  jawa   timur.   Tetapi,   kini   empat   unit   di   antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi utara, yang semula memiliki empat industri yang
sama,   sekarang   tinggal   dua   industri   yang   beroperasi.   Itupun   setelah   diambil   alih investor   dari   Filipina.   Sementara   itu,   di   Bali   juga   tinggal   satu   unit,   padahal
sebelumnya  ada  dua  industri  pengalengan  ikan  tuna  Kompas,  18  juni  2005 diacu dalam Suhana 2005. Kurangnya suplai bahan baku ikan tuna tersebut diduga kuat
disebabkan oleh maraknya illegal fishing di Indonesia. Karena kalau kita lihat dari data   potensi   sumber   daya   ikan   yang   ada   diwilayah   perairan   Indonesia   khususnya
Zona   Ekonomi   Eksklusif   Indonesia   ZEEI   sangat   memungkinkan   untuk berkembangnya   industri   pengalengan   ikan   tuna   di   Indonesia.   Misalnya   menurut
catatan Departeman Kelautan dan Perikanan 2003 potensi sumber daya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah  samudera Hindia yang  dominan adalah Albakora yaitu
sebesar   3,9   juta   ton   per   tahun.   Setelah   itu   disusul   oleh   jenis   ikan   tuna   sirip   biru 84.000  ton,  Cakalang 21.000  ton,  tuna  mata besar  13.000 ton dan madidihan
10.000 ton. Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar diseluruh wilayah Samudera Hindia. Bahkan menurut data FAO dari 1990 sampai 2003 menunjukkan
adanya   peningkatan   produksi   ikan   pelagis   besar   jenis   tuna   diwilayah   perairan samudera Hindia, khususnya ZEEI. Produksi ikan pelagis besar di Samudera Hindia
setiap tahunnya rata-rata untuk masing-masing jenis adalah 1.408,64 ton Albacore, 37.769 ton Skipjak Tuna, 1.077 ton Southern Bluefin Tuna, 24.613 ton yellowfin
Tuna dan 17.836 ton Bigeye Tuna.
Ketiga, pendapatan  ekspor. Maraknya  IUU  fishing  akan mengurangi peran  tempat
pendaratan   ikan   na-sional   dan   pembayaran   uang   pandu   pelabuhan.   Hal   ini   akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini
akan   berimplikasi   serius   terhadap   aktivitas   pengawasan,   dimana   jika   aktivitas pengawasan   tersebut   didukung   secara   keseluruhan   atau   sebagian   oleh   pendapatan
ekspor atau pendapatan pelabuhan.
Keempat,  pendapatan  pelabuhan  perikanan.  IUU   fishing  akan  mengurangi  potensi
untuk   tempat   pendaratan   ikan   nasional   pelabuhan   perikanan   nasional   dan   nilai tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya
tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional.
Kelima,   pendapatan   dari   jasa   dan   pajak   dari   operasi   yang   sah.  IUU   fishing  akan
mengurangi   sumber   daya   perikanan   yang   pada   gilirannya   akan   mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yangsah.
Keenam,  multiplier effects. Langsung ataupun tidak dampak multiplier  IUU fishing
ini   memiliki   hubungan   dengan   penangkapan   ikan   nasional.   Karena   aktivitas penangkapan ikan nasional akan terhurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas
IUU fishing.
Ketujuh,   pengeluaran   untuk   MCS  Monitoring   Controlling   and   Surveillance.
Keberdaan IUU fishing akan memaksa anggaran untuk manajemen MCS.
Kedelapan, kerusakan ekosistem. Hilangnya niali dari kawasan pantai dan dari area
bakau yang boleh jadi dirusakkan oleh  IUU fishing. Pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ika diwilayah pantai.
Kesembilan,   konflik   dengan   armada   nelayan   tradisional.   Maraknya   illegal   fishing
mengganggu   keamanan   nelayan   Indonesia   khususnya   nelayan   tradisional   dalam menangkap   ikan   diperairan   Indonesia   khususnya   nelayan   tradisional   yang   lagi
melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki nelayan- nelayan tradisional yang  lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang
sama.
Kesepuluh, keamanan makanan. Pegurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan
mengurangi   ketersediaan   protein   dan   keamanan   makanan   nasional.   Hal   ini   akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat.
2.4. Pendekatan Surplus Produsen