Analisis ekonomi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara

(1)

PROVINSI MALUKU UTARA

BAHAR KAIDATI

PEMBIMBING:

DR. IR. LUKY ADRIANTO, MSc.

DR. IR. ACHMAD FAHRUDIN, MS.

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK

DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI

MALUKU UTARA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin meningkat. Demand

perdagangan ikan cukup tinggi, diperkirakan dunia masih kekurangan stok ikan hingga tahun 2010 sebesar 2 juta ton per tahun dan diperkirakan perdagangan ikan dunia mencapai USD 100 milyar per tahun ( DPP Gapindo 2005). Wilayah Indonesia yang terdiri dari 70 % wilayah laut merupakan suatu kekuatan potensi sebagai supplier produk perikanan yang patut diperhitungkan di kawasan Asia dan dunia, sebagaimana diketahui bahwa pasokan ekspor perikanan Indonesia yang terus meningkat dengan market share yang dicapai dari total pasar dunia kurang lebih 5 % dengan tujuan ekspor ke 90 negara di dunia dan tujuan pasar utama adalah Jepang sebesar 50 %, Amerika Serikat sebesar 17 % dan Uni Eropa sebesar 13 % (DPP Gapindo 2005).

Pasar domestik juga cukup kuat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin tinggi. Dengan demikian nampak bahwa prospek pasar perikanan secara global memiliki potensi yang sangat menjanjikan, hal ini memicu usaha untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan terus meningkat, yang didukung dengan teknologi penangkapan yang semakin canggih. Salah satu kemajuan yang nampak dalam bisnis perikanan dalam merespon pasar global adalah modernisasi armada perikanan, pengenalan teknologi yang canggih untuk penangkapan ikan serta pembangunan infrastrukur. Namun demikian, potensi yang besar dengan pasar yang menjanjikan dan kemajuan teknologi terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menghalakan segala cara yang semata-mata untuk mengejar keuntungan sepihak,


(3)

sehingga menimbulkan berbaga masalah antara lain adalah IUU (Illegal Unreported Unregulation) fishing.

Telah terjadi praktek IUU fishing yang melibatkan nelayan dari sejumlah negara asing yang marajalela di hampir seluruh wilayah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia mencakup pencurian ikan (illegal fishing), perikanan yang tidak dilaporkan

(unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing) yang mengakibatkan negara dirugikan hingga jutaan US dolar dan besarnya kerugian akibat dari praktek IUU fishing yang diderita oleh negara Indonesia mencapai USD 2.136 juta, yang terdiri dari (i) penangkapan ikan di ZEE Indonesia dan ekspor yang tidak termonitor oleh kapal asing diperkirakan mencapai 4.000 kapal dengan jumlah kerugian sebesar USD 1.200 juta, (ii) kapal-kapal ilegal yang melanggar daerah penangkapan diperkirakan mencapai 1.275 kapal dengan jumlah kerugian sebesar USD 574 juta, (iii) selisih harga BBM dengan jumlah kerugian USD 240 juta, (iv) selisih iuran DPKK sebesar USD 22 juta dan (v) fee yang harus dibayar sebesar USD 100 juta (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Selain itu, Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa, jumlah ikan yang ditangkap secara ilegal mencapai kurang lebih 1 juta ton setiap tahunnya dengan nilai kerugian mencapai USD 1 sampai dengan 4 miliar.

Unreported fisheries merupakan bagian dari IUU fishing yang terjadi karena dilakukan oleh nelayan asing maupun nelayan lokal. Nelayan asing yang beroperasi secara ilegal (illegal fishing) sudah pasti melakukan unreported fisheries karena hasil yang diperoleh dari fishing ground di wilayah ZEEI langsung diekspor ke luar negeri dimana nelayan tersebut berasal atau ke negara lain tanpa dilaporkan (unreported)

sebagaimana mestinya, praktek ini mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar karena terjadinya kehilangan nilai ekonomi (economic loss) yang nilainya mencapai jutaan US dolar dan kesalahan data tentang kondisi biologis atau stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya serta kerugian secara sosial maupun politik.


(4)

Unrepoted fisheries juga dilakukan oleh nelayan lokal yang melakukan penangkapan secara legal tetapi tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan pelaporan (misreported) dan pelaporan yang tidak sebenarnya (undereported). Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang potensial mempengaruhi terjadinya unreported fisheries antara lain adalah kondisi sosial dan struktural yang berkembang dalam suatu wilayah, misalnya : keberadaan nelayan yang jauh dari Pangkalan Pendaratarn Ikan (PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), sehingga sulit bagi mereka untuk melaporkan hasil tangkapannya. Kebanyakan nelayan masih beroperasi secara tradisional dan menggunakan perahu tanpa motor, nelayan langsung menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat disekitarnya dan disekitar wilayah nelayan berada terdapat tangkahan (tauke) yang siap membeli hasil tangkapan nelayan untuk di jual kemudian dengan harga yang lebih tinggi dan lain-lain.

Provinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 145.891,1 km2 dimana 69,08 % merupakan wilayah laut, memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang sangat menunjang pembangunan daerah. Wilayah perairan Maluku Utara berada dalam wilayah pengelolaan Laut Seram dan Laut Maluku dengan jumlah potensi sumberdaya ikan (standing stock) diperkirakan mencapai 1.035.230,00 ton dengan jumlah potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) yang dapat dimanfaatkan sebesar 828.180,00 ton per tahun terdiri dari, ikan pelagis 621.135,00 ton per tahun dan ikan demersal 207.045,00 ton per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2005).

Kota Ternate merupakan bagian dari provinsi Maluku Utara yang luas wilayahnya didominasi oleh perairan sebesar 97% (5.544,55 km2) dan luas daratan sebesar 4,3 % (250,85 km2). Dengan luas wilayah yang didominasi oleh perairan, Kota Ternate memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ternate (2006), potensi lestari sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kota Ternate mencapai 47.838,25 ton per tahun dari standing stock yang dimiliki sebesar 71.757,38 ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, cucut, tenggiri dan pelagis kecil seperti


(5)

layang dan tembang, serta ikan demersal seperti kakap merah, skuda, ekor kuning serta berbagai jenis ikan kerapu. Sebagai wilayah yang memiliki potensi perikanan yang begitu besar, maka sudah pasti menjadi target praktek IUU fishing, hal ini ditandai dengan ditangkapnya sejumlah kapal dan nelayan asing oleh aparat Angkatan Laut dan laporan nelayan lokal tentang keberadaan nelayan asing yang sering beroperasi di wilayah perairan sekitar Maluku Utara dan khususnya wilayah Kota Ternate yaitu di sekitar Pulau Batangdua dan Pulau Hiri. Selain terjadi illegal fishing oleh nelayan asing yang sangat merugikan negara, juga terjadi unreported fisheries yaitu hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh nelayan lokal. Secara ekonomi hal ini sangat merugikan pemerintah karena terjadinya economic loss dan kehilangan rente sumberdaya (resource rent) perikanan yang ada serta tidak jelasnya data tentang stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (misscalculation). Terjadinya unreported fisheries oleh nelayan lokal dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor sosial budaya, ekonomi, geografis maupun struktural. Sebagaimana yang terjadi di wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya dan khususnya di Kota Ternate, sebagian hasil tangkapan nelayan tidak di daratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) sebagaimana mestinya. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kerugian secara ekonomi (economic loss)

atas pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh para nelayan yang beroperasi di sekitar wilayah perairan Kota Ternate.

1.2. Rumusan Masalah

Wilayah Kota Ternate yang terdiri dari empat kecamatan dan dua kecamatan pembantu, yaitu Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kecamatan Pulau Moti, Kecamatan Pembantu Batang dua dan Kecamatan Pembantu Pulau Hiri. Pengaruh dari berbagai kondisi, baik kondisi ekonomi, geografis, sosial budaya, dan kebijakan menyebabkan hasil tangkapan para nelayan tidak bisa didaratkan di PPN atau PPI sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate.


(6)

Kebiasaan para nelayan menjual hasil tangkapannya dilakukan langsung kepada masyarakat konsumen di sekitarnya atau kepada tangkahan (tauke). Hal ini mengakibatkan terjadinya unreported fisheries yang merupakan bagian dari IUU Fishing yang telah mengakibatkan terjadinya kerugian ekonomi (economic loss) dan hilangnya rente sumberdaya perikanan yang berpengaruh terhadap pendapatan pemerintah yang di dalam hal ini dianggap sebagai pemilik tunggal (single owner)

dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga berpengaruh terhadap keadaan data tentang jumlah stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (faktual) khususnya di wilayah perairan Kota Ternate dan wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya, untuk mengetahui hal tersebut, maka dalam penelitian ini dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

1) Berapa nilai kerugian ekonomi (economic loss) akibat dari unreported fisheries

yang terjadi di Kota Ternate.

2) Berapa peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries.

3) Berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota Ternate dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

4) Apa yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan bagaimana solusinya.

5) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanana yang ekonomis dan lestari di Kota Ternate.

6) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.

7) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :


(7)

1) Mengestimasi berapa besar kerugian ekonomi yang disebabkan oleh unreported fisheries yang terjadidi wilayah Kota Ternate.

2) Mengestimasi berapa besar peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries

3) Mengestimasi berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota Ternate dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate.

4) Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan bagaimana solusinya.

5) Mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ekonomis dan lestari di Kota Ternate.

6) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.

7) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan perbaikan kebijakan di bidang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan nelayan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah, menciptakan lapangan kerja dan pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Otonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada di daerah seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan daerah. Sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 10 ayat 2 mengatur tentang, kewenangan daerah propinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, dan ayat 3 mengatur tentang Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sedangkan dalam UU. No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah pada pasal 6 ayat 5 mengatur tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan laut. Mengacu pada aturan perundangan tersebut, maka bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar khususnya sumberdaya kelautan dan pesisir, berkesempatan untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin dan diperuntukan untuk pembangunan ekonomi yang tertinggal sebagai akibat kebijakan pembangunan yang sentralistik pada masa pemerintahan orde baru. Masalahnya adalah jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi konsekwensinya akan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi sumberdaya dan lingkungan itu sendiri, baik kondisi ekologi maupun ekonomi yang akan berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being) (Kusumastanto 2003). Dengan demikian maka kebijakan yang ditempuh dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dipertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga bisa bermanfaat secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan


(9)

ekonomi demi tercapai kesejahteaan dan disisi yang lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustanaibility).

Menurut Adrianto (2005), perikanan sebagai sebuah sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi setiap penduduk Indonesia, membutuhkan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang (sustainable), tidak hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Dalam konteks ini pengelolaan yang bertanggungjawab (responsible management) menjadi salah satu kunci jawaban untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan berkelanjutan

(susstainable fisheries development). Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan hal yang cukup sulit dan menantang. Pemanfaatan tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengabaikan kemunduran kualitas sumberdaya dan lingkungan tetapi juga berdampak dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah akan makin berkurang dan akhirnya hilang (Nikijuluw 1995).

Mengingat kawasan pesisir dan lautan yang sedemikian luas dengan multi fungsi dari berbagai kepentingan yang berbeda, hal ini telah menimbulkan dampak terhadap lingkungan kawasan pesisir dan lautan. Dalam rangka pembangunan dan mempertahankan kehidupan, sumberdaya alam perlu dimanfaatkan secara berkualitas. Sumberdaya alam adalah tidak tak terbatas, baik jumlah maupun kualitasnya. Di lain pihak, kebutuhun akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk serta perubahan gaya hidup, sejalan dengan itu pemanfaatan sumberdaya secara tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan mutu lingkungan serta daya dukung lingkungan.

Dalam memahami sumberdaya alam, terdapat dua pandangan yang umumnya digunakan. Pertama adalah pandangan konservatif atau sering disebut juga pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam pandangan ini resiko akan terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama. Sumberdaya ini dianggap sebagai sumberdaya tidak terpulihkan (exhaustible) dimana memiliki supply yang


(10)

terbatas sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Dengan demikian dalam pandangan ini, sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang akan terjadi untuk generasi mendatang. Pandangan kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikenal dengan “flow” atau sumberdaya yang dapat diperbaharui dimana sumberdaya diasumsikan memiliki supply yang infinite atau tak terbatas. Dalam pandangan ini sumberdaya ada yang tergantung pada proses biologi untuk regenerasinya dan ada yang tidak. Meskipun demikian, untuk sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi jika telah melewati batas titik kritis kapasitas maksimum secara diagramatik akan berubah menjadi sumberdaya yang tidak diperbaharui, secara diagramatik klasifikasi sumberdaya alam dapat dilihat pada gambar berikut (Anwar 2002; Fauzi 2000c).

Gambar 2.1. Klasifikasi Sumberdaya Alam ( sumber : Fauzi 2000c )

Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam

Sumberdaya Alam

habis terkonsumsi

dapat didaur ulangkan

Stok/Dapat Diperbaharui Stok/Tidak Dapat

Diperbaharui

contoh : sumberdaya

metalik contoh :

minyak, gas, batubara

dsb.

contoh : energi surya,

pasut, angin. tidak memiliki

zona kritis memiliki

zona kritis

SD ini akan menjadi stok jika telah melewati kapasitas

regenerasinya contoh :

perikanan, kehutanan,

tanah, air dari mata air.


(11)

yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumberdaya milik bersama dimana terjadinya deplesi stok lebih disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa ”ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”, sehingga konsekuensinya sumberdaya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini didukung juga oleh Anwar (2002), pada keadaan sumberdaya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan sumberdaya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumberdaya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau memelihara kelestariannya. Oleh karena itu, sifat “open access resource”

tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan (res comune is res nullius).

Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainability Yield (tangkapan yang lestari maksimum) atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap


(12)

species memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahannya pendekatan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi 2000b). Lebih jauh menurut Conrad dan Clark (1987), menyatakan bahwa pendekatan MSY meliputi antara lain : (1) tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion); (2) tidak memperhitungkan imputed value yaitu nilai ekonomi apabila stok ikan tidak dipanen); (3) sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri-ciri ragam jenis (multi species). Dengan adanya kelemahan tersebut, maka pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal digunakan pendekatan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan ini akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan diversitas yang besar.

Dalam mengkaji kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat dilakukan dengan bioekonomi model statik. Menurut Gordon di dalam Fauzi (2000b), model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input yaitu upaya. Dalam mengkaji bagaimana pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomis, bisa dilakukan dengan pendekatan faktor output (yield) yang pertama kali dikembangkan oleh Copes (1972), berdasarkan pada kriteria optimasi kesejahteraan (Welfare optimization) dengan menggunakan analisis surplus konsumen (consumer’s surplus), surplus produsen (producer’s surplus) dan rente sumberdaya (resource rent).

Model Copes dengan model Gordon memiliki perbedaan dalam hal penggunaan asumsi harga. Model Gordon mengasumsikan harga per unit output konstan, sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen. Sebaliknya dalam Model Copes harga per unit output mengikuti kurva permintaan yang memiliki kemiringan yang negatif, sehingga memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen. Ketiga aspek yang diperoleh dalam analisis


(13)

model Copes ini yaitu surplus produsen, surplus konsumen dan rente sumberdaya diharapkan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan dalam pemanfataan sumberdaya perikanan laut (Fauzi 2004).

2.2. Konsep Penilaian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan sangatlah bervariasi, tetapi para ekonom mengkonsentrasi pada nilai moneter yang dinyatakan melalui preference

konsumen. Pada dasarnya, nilai hanya terjadi karena adanya interaksi antara subjek dan objek dalam bentuk penjelasan bukan dari kualitasnya (Peace dan Turner 1990). Secara umum nilai ekonomi (economic value) menurut Fauzi (2004), didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) sehingga nilai ekologis dari ekosistem bisa diterjemahkan kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa.

Prinsip dasar dari nilai ekonomi dapat ditetapkan untuk mengukur tingkat kesejahteraan individu. Tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh perubahan dalam harga dan kualitas barang dan jasa. Jika barang dan jasa yang subtitutif maka trade-off dapat dicapai dan nilai mencapai keseimbangan (Kula 1997). Sependapat dengan hal tersebut menurut Fauzi (2002), pengukuran nilai ekonomi sumberdaya adalah seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa atau bisa diukur dari sisi lain yaitu seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Salah satu konsep yang dapat digunaka untuk mengukur nilai ekonomi sumberdaya adalah konsep suply-demand.

Konsep suply demand merupakan suatu konsep yang memiliki peran sangat penting dalam ilmu ekonomi, karena dapat digunakan untuk menilai fungsi dari suatu ekosistem (nilai sumberdaya), menilai tingkat kesejahteraan dan aktivitas ekonomi lainnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu ekosistem memiliki fungsi sebagai penyuplai berbagai macam produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomis, dengan


(14)

pendekatan Willingness To Pay (WTP) maka barang dan jasa yang disuplai oleh suatu ekosistem dapat dinilai manfaat ekonominya, baik manfaat langsung maupun tidak langsung dan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, yang didekati dengan market value dan non market value. Agar lebih jelas penggunaan konsep suply-demand dalam penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilihat pada gambar berikut.

Price

a p b

Net Rent Cost

c q Quantity

Gambar 2.2 Konsep supply-demand konvensional (Constanza et al.1997).

Gambar 2.2 menjelaskan tentang konsep suply demand konvensional, yaitu

suply = marginal cost dan Demand = marginal benefit yang menunjukkan ciri khas pasar barang dan jasa. Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari Gambar 2.2, antara lain adalah area pbqc menunjukkan nilai GNP (gross National Product), area di bawah kurva suply (cbq) menunjukkan biaya produksi, area pbc menunjukkan produsen surplus atau net rent dan area pba menunjukkan nilai konsumen surplus atau tingkat kesejahteraan masyarakat sedangkan nilai total sumberdaya ditunjukkan oleh jumlah antara produsen surplus dan konsumen surplus atau area abc.

Terkait dengan sumberdaya kelautan tropika, yang pada umumnya memiliki sumberdaya yang bersifat renewable resource (dapat diperbaharui), seperti sumberdaya perikanan. Namun perlu diketahui bahwa kurva suplai dalam kasus sumberdaya perikanan tidak dapat diasumsikan bersifat linear tetapi horizontal atau

Produsen surplus

Konsumen surplus

Suply= Marginal Cost

Demand = Marginal Benefit


(15)

tegak lurus yang menunjukkan keterbatasan daya dukung lingkungan (Carrying Capasity) terhadap pertumbuhan sumberdaya perikanan, jadi eksploitasi sumberdaya perikanan harus memperhatikan beberapa aspek yang sangat urgen antara lain aspek ekologi, biologi maupun ekonomi demi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Berkaitan dengan fenomena carrying capacity dan pertumbuhan sumberdaya perikanan maka konsep supply dan demand dalam kerangka fungsi kelautan dan tropika dapat digambarkan sebagai berikut :

Price

a

P b

Quantity 0 q

Gambar 2.3. Konsep supply-demand dalam pendekatan sumberdaya perikanan (Constanza et al. 1997).

Kurva supply yang horizontal menggambarkan bahwa pertumbuhan sumberdaya kelautan tropika dibatasi oleh daya dukung lingkungan yang terbatas, surplus produsen yang ditunjukan dari gambar tersebut meliputi area pbqo sedangkan konsumen surplus meliputi area pba dan nilai total dari sumberdaya adalah jumlah dari produsen surplus dan konsumen surplus yang meliputi area abqo.

Dalam konsep valuasi ekonomi yang kovensional, nilai ekonomi diartikan sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non pemanfaatan (non-use value). Use value adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa sementara non-use value

Demand = Marginal Benefit Net rent

Consumen Surplus

Suply= Marginal Cost


(16)

merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Secara umum memang sulit untuk mengukur dengan pasti kedua konsep tersebut, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2002).

Berkaitan dengan uraian di atas, seyogyanya pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan pendekatan biologi dan ekonomi haruslah mempertahankan keberlanjutannya. Menurut Hicks yang dikutip Anwar dan Rustiadi (2000), bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang menghasilkan pendapatan dan kemudian dipergunakan menjadi barang-barang konsumsi masa kini, jangan mengganggu potensi pendapatan (dari sumberdaya modal) generasi mendatang, terutama yang menurunkan kapasitas sumberdaya tersebut perlu dihindari.

2.3. Praktek IUU (Illegal Unreported Unregulated) Fishing

Praktek terbesar dalam IUU fishing seperti ditulis oleh Bray (diacu dalam Adrianto 2004) pada dasarnya adalah poaching yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan. Praktek pencurian ikan oleh pihak asing menurut Adrianto (2004) dapat digolongkan menjadi dua yaitu:

Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan dengan memanfaatkan SIUP legal yang dimiliki pengusaha lokal, namun tetap dikategorikan pencurian karena langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah Indonesia. Praktek ini sering disebut sebagai praktek “pinjam bendera” (Flag of Convenience).

Kedua, adalah pencurian murni ilegal dihasilkan dari proses penangkapan ikan yang juga ilegal di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia.

Praktek IUU fishing kini menjadi masalah global karena mengancam eksistensi sumberdaya perikanan serta secara lokal telah mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi, sosial, politik dan hukum pada daerah-daerah yang menjadi sasaran praktek


(17)

IUU fishing. IUU fishing merupakan suatu masalah yang sangat kompleks dan upaya penanggulangannya pun sangat rumit sehingga kita harus benar-benar mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya praktek IUU fishing. Menurut Dahuri (2004), akar permasalahan praktek IUU fishing di Indonesia diantaranya disebabkan oleh sejumlah faktor sebagai berikut :

- Penyalahgunaan perizinan merupakan salah satu praktek IUU fishing yang banyak terdapat di wilayah ZEE Indonesia. Pada saat belum dibentuknya Deprtemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dari sekitar 7000 kapal perikanan berbendera Indonesia berbobot > 30 GT ternyata masih dimiliki oleh pihak asing (palsu). Hal ini terjadi karena penyalah gunaan kebijakan pemerintah dalam deregulasi perikanan yang antara lain tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 508/Kpts/PL.810/96 tentang pengadaan kapal perikanan dan penghapusan sistem sewa kapal perikanan berbendera asing.

- Lemahnya sistem dan mekanisme perizinan perikanan ; Kapal-kapal penangkap ikan, baik kapal ikan Indonesia maupun kapal ikan asing yang beroperasi di ZEE Indonesia mendapatkan izin menangkap dari pusat (Menteri Kelautan dan Perikanan atau Pejabat yang ditunjuknya). Khusus kapal asing terlebih dahulu perlu perjanjian kerja sama dengan perusahaan Indonesia. Kapal-kapal yang beroperasi kebanyakan tidak memiliki izin operasi yang sah, banyak terjadi pelanggaran

fishing ground maupun penyalah gunaan izin kapal ikan. Hal ini disebabkan masih lemahnya sistim dan mekanisme perizinan di bidang penangkapan ikan. Penataan penggunaan kapal-kapal asing melalui sistem lisensi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No KEP.60/MEN/2001 tentang penataan penggunaan kapal perikanan di ZEE Indonesia, ternyata belum dapat mengendalikan kegiatan kapal-kapal asing tersebut.

- Lemahnya komitmen dan kemampuan pengawasan (penegakan hukum) di laut; Penegakan hukum bagi pelanggaran perikanan yang terjadi di wilayah ZEE Indonesia ditangani oleh banyak pihak seperti kejaksaan, Dinas PerikananTNI-AL dan pihak-pihak lainnya. Kewenangan untuk pengawasan belum terkoordinasi dengan baik dan cenderung bersifat sesuai dengan kepentingan masing-masing.


(18)

Aparat yang berwenang menggunakan landasan kerja dengan dasar hukum yang berbeda, dampaknya adalah tidak terintegrasinya aturan dan lemahnya kemampuan pengawasan secara keseluruhan.

- Lemahnya peradilan perikanan; sanksi terhadap pelanggaran masih lemah, sehingga pelaku pelanggaran tidak jera dan akan tertarik untuk mengulanginya.

- Banyak wilayah perairan laut Indonesia, terutama di wilayah perbatasan dan ZEE Indonesia tidak ada nelayan Indonesia; Secara umum kapasitas armada perikanan Indonesia masih didominasi oleh kapal-kapal kecil yang dimiliki oleh nelayan skala kecil. Dampaknya adalah, fungsi sabuk pengaman oleh nelayan yang diharapkan dapat untuk melengkapi upaya pengawasan dan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan diwilayah ZEE Indonesia, tidak dapat dipenuhi.

2.3.1. Kategori IUU fishing

Widodo (2003) menyajikan kategori IUU fishing berdasarkan kata kunci di dalam istilah tersebut, yaitu illegal fishing, unreported fishing dan unregulated fishing.

Illegal fishingmengacu kepada berbagai kegiatan yang :

Pertama, dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari suatu negara tersebut, atau dalam keadaan melawan hukum dan regulasi negara

Kedua, dilakukan oleh kapal-kapal berbendera negara-negara anggota dari suatu organisasi pengelolaan sumberdaya yang diadopsi oleh organisasi tersebut dimana negara-tersebut terikat, atau melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerja sama dengan suatu organisasi pengelolaan yang relevan.

Unreported fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang:

Pertama, tidak dilaporkan, atau dilaporkan secara tidak benar kepada otoritas nasional yang relevan, bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan; atau


(19)

Kedua, Dilakukan dalam area dibawah kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan dengan tidak benar, bertentangan dengan prosedur peraturan dari organisasi tersebut.

Unregulated fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang terjadi:

Pertama, di area suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang dilakukan oleh kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan anggota dari organisasi tersebut atau oleh suau fishing entity dengan cara yang tidak kensisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengellolaan dari organisasi tersebut, atau

Kedua, di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tidak adanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara bagi konservasi atas sumberdaya hayati marine dibawah hukum internasional.

2.3.2. Dampak IUU Fishing

Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial. Menurut Adrianto (2004), bagi Indonesia, tekanan internasional terhadap masalah IUU fishing

menimbulkan konsekuensi ke dalam dan ke luar sekaligus (double effects), yaitu:

Pertama, kosekuensi ke dalam berhubungan dengan fakta bahwa dari kacamata sebagai negara berdaulat, di perairana Indonesia praktek poaching (penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan) sangat marajalela baik yang nekat menggunakan bendera asing maupun yang menggunakan bendera lokal bekerja sama dengan pelaku lokal. Menurut Cunningham (diacu dalam Adrianto 2004) Dalam konteks ini Indonesia sangat dirugikan karena ada economic rent yang hilang dari sebuah kepemilikan sumberdaya perikanan.

Kedua, konsekuensi ke luar lebih terkait dengan praktek unreported dan unregulated fishing dimana sebagai negara berkembang (developing country) dua hal ini merupakan kelemahan utama. Khususnya dalam praktek flag of conveniece dan non


(20)

member fishing, yaitu penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah suatu organisasi perikanan regional tertentu di mana Indonesia bukan menjadi anggota dari organisasi tersebut. Sebagai contoh, Indonesia memiliki areal penangkapan di Lautan Hindia baik dalam tataran teritorial maupun ZEE. Tetapi saat ini Indonesia tidak termasuk anggota IOTC (Indian Ocean Tuna Comission). Sehingga apabila Indonesia menangkap tuna di wilayah Lautan Hindia walaupun masih dalam koridor teritorialnya maka praktek tersebut dapat dikategorikan sebagai flag of conveniece

atau non member fishing. Kedua praktek ini mulai dilarang karena dianggap tidak ada kemauan untuk turut mengelola kelestarian sumberdaya perikanan secara bersama.

Menurut Suhana (2005), permasalahan IUU fishing dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu:

Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB (porduk domestik bruto). Dengan adanya aktivitas IUU fishing diperairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah hilangnya rent sumber daya perikanan. Menurut laporan FAO 2001, Indonesia setiap tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar USD 2,3-4 milyar.

Kedua, ketenaga kerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Misalnya pertengahan Juni 2005, ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) Hendri Sutandinata mendesak kapada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara dan Sulawsi Utara. Alasannya, kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak, sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalenganikan tuna di jawa timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itupun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal


(21)

sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna (Kompas, 18 juni 2005 diacu dalam Suhana 2005). Kurangnya suplai bahan baku ikan tuna tersebut diduga kuat disebabkan oleh maraknya illegal fishing di Indonesia. Karena kalau kita lihat dari data potensi sumber daya ikan yang ada diwilayah perairan Indonesia khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya menurut catatan Departeman Kelautan dan Perikanan (2003) potensi sumber daya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu sebesar 3,9 juta ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan tuna sirip biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), tuna mata besar (13.000 ton) dan madidihan (10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar diseluruh wilayah Samudera Hindia. Bahkan menurut data FAO dari 1990 sampai 2003 menunjukkan adanya peningkatan produksi ikan pelagis besar jenis tuna diwilayah perairan samudera Hindia, khususnya ZEEI. Produksi ikan pelagis besar di Samudera Hindia setiap tahunnya rata-rata untuk masing-masing jenis adalah 1.408,64 ton (Albacore), 37.769 ton (Skipjak Tuna), 1.077 ton (Southern Bluefin Tuna), 24.613 ton (yellowfin Tuna) dan 17.836 ton (Bigeye Tuna).

Ketiga, pendapatan ekspor. Maraknya IUU fishing akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan na-sional dan pembayaran uang pandu pelabuhan. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini akan berimplikasi serius terhadap aktivitas pengawasan, dimana jika aktivitas pengawasan tersebut didukung secara keseluruhan atau sebagian oleh pendapatan ekspor (atau pendapatan pelabuhan).

Keempat, pendapatan pelabuhan perikanan. IUU fishing akan mengurangi potensi untuk tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan nilai tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional.

Kelima, pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yangsah.


(22)

Keenam, multiplier effects. Langsung ataupun tidak dampak multiplier IUU fishing

ini memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan terhurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas

IUU fishing.

Ketujuh, pengeluaran untuk MCS (Monitoring Controlling and Surveillance). Keberdaan IUU fishing akan memaksa anggaran untuk manajemen MCS.

Kedelapan, kerusakan ekosistem. Hilangnya niali dari kawasan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusakkan oleh IUU fishing. Pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ika diwilayah pantai.

Kesembilan, konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya illegal fishing mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan diperairan Indonesia khususnya nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki nelayan-nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama.

Kesepuluh, keamanan makanan. Pegurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat.

2.4. Pendekatan Surplus Produsen

Surplus produsen adalah suatu pendekatan tradisional untuk menentukan kesejahteraan produsen yang dikembangkan oleh Marshall. Surplus produsen meliputi area di atas kurva suply dan di bawah titik harga (Hanley dan L.Spash 1993). Suatu prusahaan di dalam pasar persaingan sempurna baik pasar input maupun output, Kurva suply untuk semua variabel input adalah sangat elastis, yaitu karena kemampuan perusahan untuk membeli semua variabel input yang dibutuhkan dengan harga yang telah ditetapkan dan biaya tetap diasumsikan semakin menurun pada kondisi short-run.

Menurut Adrianto (2006), Surplus produsen terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi


(23)

suatu barang atau jasa. Misalnya suatu perusahaan pengalengan ikan yang memproduksi satu kaleng ikan dengan biaya produksi sebesar Rp.3.000.- dan harga jual ikan kaleng tersebut per kaleng adalah Rp.5.000., maka surplus produsen dari contoh tersebut adalah Rp.5.000.-Rp.3.000. = Rp.2.000.

Dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap unreported fishing mengakibatkan nilai surplus produsen yang diperoleh produsen dalam hal ini pemerintah sebagai single agent dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin menurun, jadi pengaruhnya berbanding negatif yaitu jika nilai unreported fishing

semakin besar maka surplus produsen yang diperoleh semakin menurun, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.

P

Sa

Ss

CS

P0 B0

P1 B1

C0

D

C1 Q0 Q1 Q

Gambar 2.4. Perubahan Nilai Surplus Produsen akibat Pengaruh Kurva Suplai

Dari gambar tersebut menjelaskan bahwa surplus produsen berdasarkan produksi aktual (Sa) adalah pada titik P0, B0, C0 kemudian setelah diketahui produksi sesungguhnya (Ss) yang diperoleh dari produksi aktual ditambah dengan produksi yang tidak dilaporkan/unreported, maka nilai surplus produsen bergeser pada titik P1, B1, C1 dengan perubahan sebesar P0B0P1B1, sehingga untuk mengoptimalkan rent

CS


(24)

resource dari sumberdaya perikanan, maka besar perubahan tersebut harus diminimalkan, yaitu dengan meminimalisir praktek unreported fisheries agar nilai produksi aktual sama dengan nilai produksi sesungguhnya.

2.5. Konsep Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Ekonomis dan Lestari

Menurut Adrianto (2005), Kesadaran akan pentingnya membangun ekonomi nasional berbasis sumberdaya alam (natural resources based economy) pasca reformasi hingga saat ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan akselarasinya mengingat natural resources endowment yang dimiliki bangsa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai ”ciri khas” sekaligus menjadi advantage comparative bangsa. Salah satu endowment yang kita miliki adalah sumberdaya perikanan dan kelautan yang pada awal pemerintahan pasca reformasi disebut-sebut sebagai raksasa yang sedang tidur bagi pemulihan ekonomi Indonesia.

Sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resource), dan dalam kepemilikannya sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia memakai rezim kepemilikan yang bersifat common property yaitu kepemilikan bersama, sedangkan dalam pemanfaatannya menganut rezim open acces

yaitu dimana dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ijin dari siapapun. Akan tetapi dalam pemanfaatan bukanlah open acces secara murni ini terlihat saat nelayan (bukan nelayan kecil) yang akan berusaha paling tidak harus memperoleh ijin (permit) dari pemerintah, baik daerah maupun pusat.

Didalam penggunaan kedua kebijakan tersebut masih belum adanya kebijakan lain yang mendukung, sehingga dengan penggunaan kedua kebijakan tersebut tidak mengakibatkan terjadinya eksploitasi secara berlebih, dalam hal ini perlu dipikirkan secara bersama tentang penggunaan sumberdaya yang menunjang sustainability development. Pada saat ini sudah ada gejala terjadinya tangkap lebih (over fishing) seperti yang terjadi di perairan selat malaka, dimana dalam pemanfaatanya mencapai 112,38% dan laut jawa yang terindikasi akan terjadinya over fishing yaitu 88,98 % sehingga di kedua perairan tersebut perlu adanya rehabilitasi sumberdaya dan lingkungan dengan cara pengurangan jumlah produksi hasil tangkapan.


(25)

Agar tercapainya sustainability development dan sumberdaya tetap terjaga kelestariannya dengan demikian kegiatan eksploitasi yang dilakukan perlu adanya kebijakan lain seperti pengkenaan pajak (tax) yang nantinya sebagai pemasukan negara yang diperuntukkan sebagai rehabilitasi lingkungan dan pembangunan sarana seperti pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dll, sesuai dengan UU. No. 31 2004 pasal 50. Akan tetapi penerapan pajak harus dikaji secara mendalam jangan sampai penerapan dari pada pajak akan mengakibatkan disinsentif sehingga penerapan pajak malah akan menjadikan pengeksploitasian secara berlebihan untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal.

Penerapan pajak yang tidak sesuai mengakibatkan penambahan jumlah tangkapan nelayan sehingga tujuan pajak itu sendiri dalam pengurangan jumlah tangkapan tidak terjadi. Dan untuk daerah yang telah terindikasi atau terjadi over fishing dengan adanya pajak akan dapat mengurangi jumlah hasil tangkapan yang bertujuan agar diperairan tersebut akan terjadi rehabilitasi secara alamiah. Penerapan pajak selain dapat dikenakan pada input produksi juga dapat dilakukan terhadap

output produksi. Penerapan pada output dapat dilakukan dengan mengalikan besaran pajak dengan volume hasil tangkapan (Rp/kg). Dalam penerapan pajak pada input sangatlah sulit dalam menentukan tingkat pajak yang diterapkan, hal ini dikarenakan banyaknya komponen input itu sendiri (tenaga kerja, mesin, gross tonage, jumlah

trip) dan bila pajak dikenakan terhadap salah satu input hal ini akan menjadi substitusi terhadap komponen input yang lainnya, sehingga para nelayan akan menambah komponen input yang lainnya, pajak seperti ini tidak akan berlaku efektif terhadap pengurangan upaya pada perikanan. Selanjutnya pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 2.5.


(26)

Gambar 2.5. Pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan

Dari kurva diatas dapat diketahui bahwa pajak mengakibatkan biaya total (TC) akan bergeser sebesar TC = (c+T)E sehingga pajak per satuan upaya dapat mengurangi jumlah upaya dari E∞ ke tingkat upaya sebesar ET∞. Dan besarnya pajak yang diterima oleh pemerintah sebesar AB. Sehingga pajak yang dikenakan pada input produksi akan mengakibatkan adanya sebagian pengalihan biaya produksi kepada pajak sehingga hal tersebut mengakibatkan berkurangnya usaha untuk produksi.

Gambar 2.6. Kurva pengaruh pajak per output terhadap hasil tangkapan Rp

Upaya (Effort)

E∞ E

msy

B

ia

ya

Pe

ne

ri

m

aa

n

ET

TR TC

B

A

∏ max

TC’

Rp

Upaya (Effort)

E∞ E

msy

B

ia

ya

Pe

ne

ri

m

aa

n

ET

TR

TC

B

A

T


(27)

Dari kurva diatas didapatkan akibat penerapan pajak kepada output, kurva TR akan bergerak turun menjadi TRT. titik pertemuan antara kurva TC dan kurva TRT menghasilkan keseimbangan upaya setelah pajak. Dalam hal ini upaya berkurang dari E∞ menjadi ET∞ dan pemerintah memperoleh penerimaan pajak sebesar jarak AB.

Disisi lain dalam pemanfaatan sumberdaya kita juga harus mengetahui titik

Maximum Sustainable Yield (MSY) yang pertama kali dikemukakan oleh Gordon-Schaefer. Menurut Fauzi (2004) ada beberapa asumsi yang akan digunakan untuk mempermudah pemahaman, asumsi-asumsi tersebut antara lain :

1. Harga persatuan output, (Rp/Kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

2. Biaya persatuan upaya ( c ) dianggap konstan.

3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif.

5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya).

Gambar 2.7. Kurva produksi lestari-upaya (yield-effort curve)

Dari kurva diatas terlihat bahwa saat aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi juga akan nol. Ketika upaya tersebut ditingkatkan pada titik Emsy akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik tersebut disebut sebagai titik Maximum

h (E)

h

msy

Upaya (Effort) Emax

Emsy

P

roduksi

l

es

ta


(28)

Sustainable Yield (MSY) dan bila terus dilakukan penambahan aktivitas (upaya) maka produksi akan turun kembali bahkan akan mencapai titik nol (Emax) atau dengan kata lain pada saat penambahan upaya mengakibatkan penurunan jumlah produksi maka pada saat tersebut kita telah terjadi over fishing.

Gambar 2.8. Kurva Model Gordon-schaefer

Pada saat tingkat upaya lebih rendah dari E∞ (sebelah kiri dari E∞), penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi open acces maka akan mengakibatkan adanya pertambahan pelaku perikanan baru masuk sehingga akan terjadi tingkat upaya yang lebih tinggi dari (disebelah kanan E∞ ) sehingga total biaya lebih besar dari total penerimaan dan hal ini akan mengakibatkan pelaku perikanan keluar. Bila kita lihat maka keuntungan maksimum dan tidak menghilangkan dari pada sumberdaya itu sendiri terjadi pada saat dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC).

Rp

Upaya (Effort)

E∞ Emsy

B

ia

ya

Pe

ne

ri

m

aa

n

E0

TR TC

C B ∏

max


(29)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia berupaya mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Ketergantungan manusia terhadap sumberdaya alam telah terjadi sejak manusia ada di bumi ini. Sumberdaya alam dapat dibagi menjadi sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources)

seperti sumberdaya perikanan, hutan dan lain-lain dan sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resource) seperti minyak, mineral dan lain-lain. Sumberdaya dapat pulih (renewable resources) baik terjadi secara alamiah maupun melalui upaya manusia membutuhkan ruang dan waktu untuk melakukan hal tersebut. Artinya kapasitas ruang dan waktu merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan sumberdaya alam yang dapat pulih. Pandangan ekonomi bahwa kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak terbatas menyebabkan manusia mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu sebagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhannya, maka kini mulai terjadi krisis kelangkaan (scarcity) berbagai jenis sumberdaya yang nilainya sangat stratgis untuk kebutuhan hidup manusia.

Sumberdaya perikanan pun tidak luput dari fenomena diatas, usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, sehingga sumberdaya perikanan dieksploitasi dengan berbagai cara untuk mengejar keuntungan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang menimbulkan sejumlah masalah yang dikenal dengan berbagai istilahnya masing-masing, seperti IUU fishing, destructive fishing, over fishing, depletion, colaps dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut menggambarkan masalah yang telah terjadi dan ancaman yang dihadapi oleh keberadaan sumberdaya perikanan pada saat sekarang dan pada masa yag akan datang.


(30)

Unreported fisheries atau perikanan yang “tidak terlaporkan”merupakan bagian dari IUU (Illegal Unreported Unregulated) fishing. Istilah unreported dalam kajian ini dimaknai dengan “tidak terlaporkan” (bukan tidak dilaporan), karena kajian ini dibatasi pada unreported fisheries yang terjadi dari nelayan lokal (kebanyakan nelayan tradisional) yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat fenomenal dan terjadi secara sistematis (tidak disengaja), antara lain faktor ekonomi, sosial budaya, geografis dan kebijakan. Konsekuensi dari unreported fisheries adalah dapat menimbulkan masalah dari berbagai bidang antara lain bidang hukum, politik dan bidang ekonomi, yaitu kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah dan terjadi pendugaan stok yang keliru (misscalculation) dan akan berpengaruh terhadap kualitas kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal. Dewasa ini IUU fishing lebih banyak dibicarakan dalam pendekatan hukum dan politik sedangkan pendekatan ekonomi hanya sekedar wacana dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang sangat kurang.

Kajian ini mencoba mendekati kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah akibat unreported fisheries. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa unreported fisheries adalah hasil tangkapan nelayan yang tidak terlaporkan, hal ini terjadi ketika nelayan terdesak dengan berbagai kondisi yang menghambat pemasaran hasil tangkapan mereka, maka dibo-dibo (tauke/tangkahan) akan menjadi pasar alternatif yang efisien dan efektif bagi para nelayan. Dibo-dibo (tauke) adalah rent seeker yang membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga yang lebih murah kemudian menjualnya dengan harga pasar yang lebih mahal. Dapat dipastikan bahwa para taukelah yang menikmati manfaat (benefit) dari hasil sumberdaya perikanan yang lebih besar, jika hasil tangkapan tersebut didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), maka disana pemerintah akan mendapatkan retribusi yang menjadi income bagi pemerintah yang dapat digunakan sebagai managament cost dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Selain itu di PPI atau PPN terjadi interaksi ekonomi yang melibatkan masyarakat yang lebih banyak sehingga benefit dari sumberdaya perikanan tidak


(31)

semata-mata dinikmati oleh para tauke tetapi terdistribusi kepada masyarakat yang lebih luas, inilah yang disebut dengan economic/social benefit dari reported fisheries.

Dari permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kota Ternate dengan mengacu kepada beberapa indikator yang berhubungan dengan unreported fisheries

antara lain : profil dan system yang menyebabkan telah terjadinya unreported fisheries, estimasi tentang besarnya jumlah economic loss yang dialami oleh pemerintah akibat unreported fisheries, menilai perkembangan rente sumberdaya yang telah dihasilkan oleh pemerintah, mengkaji hubungan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap serta mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan terjadinya unreported fisheries, kemudian dianalisis untuk menghasilkan suatu solusi yang dapat dijadikan sebagai indikator kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Kota Ternate yang dapat menguntungkan semua pihak yaitu para nelayan, masyarakat di sekitarnya dan pemerintah daerah. Selanjutnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Kebijakan

pengelolaan perikanan

tangkap

Sumberdaya perikanan

Pemanfaatan sumberdaya

perikanan

IUU fishing

Unreported fisheries

- Economic loss

- Data tentang stok

Evaluasi kebijakan

-

Estimasi economic loss

-

Resource rent

-

Faktor-faktor penyebab unreported fisheries

-

Perikanan yang optimal

-

Unreported fisheries dan pemanfaatan optimal

-

Unreported fisheries dan rezim pengelolaan


(32)

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

IV. METODOLOGI

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara (peta lokasi penelitian terlampir), dimulai pada bulan Januari-Maret 2007.

4.2. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan observasi. Dalam penelitian survey, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Umumnya, pengertian survey dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi.

4.2.1. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah dirancang sebelumnya. Data-data yang dibutuhkan antara lain adalah jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan

(unreported fisheries), jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang dilaporkan

(reported fisheries), faktor-faktor yang yang mempengaruhi terjadinya unreported

fisheries, perkembangan harga ikan dan biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam

aktivitas penangkapan ikan.

4.2.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, pengisian kuesioner oleh responden. Data primer dikumpulkan melalui

Alternatif kebijakan


(33)

pengambilan contoh responden nelayan sesuai dengan tujuan penelitian ini. Penentuan responden dilakukan berdasarkan jenis armada dan alat tangkap yang beroperasi di wilayah Kota Ternate. Kerangka pengambilan sampel responden dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Kerangka Pengambilan Sampel Responden

No Jenis Armada dan Alat Tangkap

Jumlah Populasi (unit)

Jumlah Sampel

(unit)

Prosentasi (%)

1 2 3 4 5

Kapal Motor+Pancing Motor Tempel+Jaring Motor Tempel+Pancing Ketinting+Jaring

Ketinting+Pancing

16 24 35 83 114

5 7 9 16 22

31 25 26 18 17

Jumlah 272 59 22

Sumber : Hasil survey (Januari – Maret 2007)

Data sekunder diperoleh dari penelusuran data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, Kantor Statistik Kota Ternate, Kantor Unit Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, Unit Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI Ternate), Bappeda Kota Ternate, serta data dari Kecamatan dan Kelurahan se Kota Tenrnate dan hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder yang diperlukan berkaitan erat dengan kinerja ekonomi wilayah, keragaan perikanan wilayah, deskripsi wilayah penelitian yang meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan (formal/informal) yang mampu menjelaskan dinamika sosial ekonomi dan struktur kelembagaan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Kota Ternate.

4.3. Metode Analisis


(34)

1) Analisis Kerugian ekonomi (economic loss) untuk mengetahu jumlah kerugian ekonomi akibat unreported fisheries, yang merupakan persentase jumlah retribusi terhadap jumlah nilai produksi perikanan yang tidak dilaporkan.

EL = Pr x NUF ………(4.2)

Dimana :

EL = Economic loss, yaitu besarnya nilai kerugian ekonomi Pr = Persentase jumlah retribusi

NUF = Jumlah nilai Produksi yang tidak dilaporkan

2) Analisis perubahan nilai, digunakan untuk mengetahui besarnya peluang ekonomi yang dimiliki pemerintah sebagai akibat dari perikanan yang tidak dilaporkan

(unreported fisheries).

( )

= =

− = n

i

n i

UF P

UF NP NP

EO

1 1

……….. ( 4.1 )

dimana :

EO(UF) = Besarnya peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah atas terjadinya unreported fisheries.

NPP = Nilai produksi pasar

NPUF = Nilai Produksi unreported fishing

3) Resource rent, untuk mengetahui jumlah rente yang seharusnya diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Rr = TVPSTCPS ... (4. 3)

dimana :

Rr = Resourcerent

TVPS = Nilai produksi perikanan yang dilaporkan (reported fisheries)

TCPS = Total biaya yang diperoleh dari Pembiayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate.

4). Analisis deskriptif yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries serta bagaimana profile dan sistem


(35)

5) Korelasi Rank Spearman untuk mengetahui tingkat hubungan antara pasangan beberapa variabel (unreported fisheries, variable ekonomi, pendidikan dan geografis)

(

)

1 6 1 2 2 − Σ − = n n d r i S ………(4.4) dimana:

Σdi2 = Σ

[

R

( ) ( )

XiRYi

]

2

6). Standarisasi Alat Tangkap

Mengingat ada beberapa alat tangkap yang digunakan dalam kegiatan penangkapan di wilayah penelitian, maka untuk mengukur dengan satuan yang setara, perlu dilakukan standarisasi effort antar alat tangkap dengan teknik standarisasi yang dikembangkan oleh King (1995) diacu dalam Anna (2003), yaitu : ) 5 . 4 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... it it it D

E = ϕ

Dengan std it it U U = ϕ dimana :

Eit = effort dari alat tangkap yang distandarisasi

Dit = jumlah trip dari alat tangkap I pada waktu t

ϕit = nilai kekuatan menangkap dari alat tangkap i pada periode t

Uit = CPUE dari alat tangkap i pada waktu t

Ustd = CPUE dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi

7). Model Bioekonomi Sumberdaya Perikanan

Estimasi nilai tangkapan lestari dari stok ikan merupakan hal penting dalam penilaian sumberdaya perikanan yang idealnya dilakukan per setiap stok ikan

(stock by stock basis). Estimasi nilai tangkapan lestari dapat diketahui dengan lebih dahulu mengestimasi tingkat produktifitas dari stok ikan, yang biasanya


(36)

diestimasi dengan model kuantitatif. Produktifitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologi, iklim, maupun aktifitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan pencemaran, perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan mata rantai makanan.

Dalam penelitian ini, untuk menganalisis stok ikan akan digunakan model surplus produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan :

( )

Xt ht...(4.6)

F t

X =

∂ ∂

dimana :

F(Xt) = laju pertumbuhan alami ht = laju penangkapan

Ada dua bentuk model fungsional yang menggambarkan stok biomasa, yaitu bentuk logistik dan bentuk Gompertz, namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk logistik, yaitu :

) 7 . 4 ...( ... ... ... ... ... ... ... ...

1 t t

t h K X rX t X −       − = ∂ ∂ dimana :

r = tingkat pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate)

K = daya dukung lingkungan ( carrying capacity)

Jika stok sumber daya perikanan mulai dieksploitasi oleh nelayan, maka laju eksploitasi sumber daya perikaan dalam satuan waktu tertentu diasumsikan sebagai fungsi dari effort yang digunakan dalam menangkap ikan dan stok sumber daya yang tersedia. Dalam bentuk fungsional hubungan itu dapat dituliskan sebagai berikut :

H (t) = H (E(t),X(t) ………(4.8)

Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan

effort sebagaimana ditulis berikut :


(37)

Dimana q adalah koefisien kemampuan daya tangkap (catchability coefficient) dan Etadalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan upaya lestari (yield-effort curve) dari fungsi tersebut di atas dapat ditulis sebagai berikut :

2 2 E r K q qKE

ht t

    − = ...(4.10) Estimasi parameter r, K, dan q untuk persaman yield-effort menggunakan teknik non-linear. Namun demikian dengan menuliskan Ut=ht/Et persamaan (4.4.5) dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga model regresi biasa dapat digunakan untuk mengistimasi parameter biologi dari fungsi diatas. Teknik estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering di kenal dengan metode CYP dengan persamaan :

(

)

(

)

( ) (

(

)

) ( ) (

) (

)

...(4.11) 2 ln 2 2 ln ~ 2 2

ln +1 + +1

+ − + − + +

= t t t

t E E

r q U r r qK t r U

Dengan neregresikan hasil tangkap per unit input (effort), yang disimbolkan dengan U pada periode t+I, akan diperoleh koefisien r, q dan K secara terpisah. Selanjutnya setelah disederhanakan persamaan (4.4.6) dapat diestimasikan dengan OLS melalui :

(

Un+1

)

= C1+C2ln

( )

Un + C3

(

En+En+1

)

...(4.12)

Ln

Sehingga nilai parameter r, q dan K pada persamaan (4.9) dapat dipeolah melalui persaman berikut :

(

) (

)

(

)

( ) ( ) q

e K r C q C C r r r

Ct /

) 13 . 4 ...( ... ... ... ... ... ... ... 2 3 1 / 1 2 2 / 2 2 2 + = + − = + − =

Nilai parameter r, q dan K kemudian disubstitusikan kedalam persamaan 4.4.5 untuk memperoleh tingkat pemanfaatan lestari antar waktu. Dengan mengetahui koefisien ini, maka manfaat ekonomi dari ekstraksi sumber daya ikan ditulis menjadi :


(38)

cE E r q

pqKE  −

     − = 1 π ...(4.14) Memaksimalkan persamaan di atas terhadap effort (E) akan menghasilkan :

    = ∗ pqK c q r E 1 2 ...(4.15)

Dengan tingkat panen optimal sebesar :

        + = ∗ pqK c pqK c rK

h 1 1

4 ...(4.16)

Kemudian dengan mensubstitusikan kedua hasil perhitungan optimasi tersebut ke dalam persamaan (4.4.9), maka akan diperoleh manfaat ekonomi yang optimal. Langkah-Langkah dalam Pemodelan Bioekonomi

Untuk melakukan pemodelan bioekonomi ada beberapa langkah yang harus dilakukan (Fauzi dan Anna, 2005):

1. Menyusun data produksi dan upaya (effort) dalam bentuk urut waktu (series), sedapat mungkin data 15 tahun yang lalu. Jika menyangkut multigear multispecies, terlebih dahulu harus dipisahkan menurut jenis alat tangkap dan produksi tersebut diusahakan merupakan target species dari alat tangkap yang dianalisis.

2. Melakukan standarisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap.

3. Melakukan pendugaan terhadap parameter biologi dengan teknik Ordinary Lest Square (OLS).

4. Melakukan estimasi parameter ekonomi berupa harga per kg atau per ton dan biaya memanan per trip atau per hari melaut, sebaiknya diukur dalam ukuran riil (disesuaikan dengan indeks harga konsumen). Jadi, harga nominal pada periode t (Pm), misalnya, bisa dikonversi dengan harga riel (Prt) berdasarkan formula berikut ) 17 . 4 ( ... ... ... ... ... ... ... ... 100 x IHK P P t nt rt     =


(39)

Melakukan perhitungan nilai optimal berdasarkan formula yang sudah ditetapkan. Langkah ini dapat dilakukan dengan software EXCELL maupun

MAPLE yang memudahkan repetisi (untuk analisis sensitivitas) maupun untuk keperluan pembuatan grafik

5. Melakukan analisis kontras dengan data riil untuk melihat sejumlah mana hasil pemodelan bisa diterima sesuai dengan data riil yang ada.

7). Deskripsi perbandingan hasil analisis untuk mengetahui keterkaitan antara

unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

8). Deskripsi analisis “ambiguitas kapasitas perikanan” untuk mengoreksi kapasiatas kurang (under-capacity) ke kapasitas lebih (over-capacity) pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.


(40)

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah

Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km2 atau 4,3 % yang tersebar pada delapan pulau. Jarak antara pulau Ternate ke pulau lain adalah sebagai berikut :

– Pulau Hiri 1,5 Mil laut. – Pulau Moti 11 Mil laut

– Pulau Mayau 90 Mil laut

– Pulau Tifure 106 Mil laut – Pulau Maka 1,6 Mil laut – Pulau Mano 1,6 Mil laut – Pulau Gurida 106,1 Mil Laut

Wilayah Kota Ternate terletak antara 30 Lintang Utara dan 30 Lintang selatan serta 1240 ,1280 Bujur Timur, dan berbatasan dengan :

- Sebelah Utara dengan Samudera Pasifik. - Sebelah Selatan dengan Laut Maluku.

- Sebelah Timur dengan Laut Halmahera.

- Sebelah Barat dengan Laut Maluku.

Secara detil, peta Kota Ternate (tanpa skala) dapat dilihat pada Lampiran 1.


(1)

yang mutlak dilakukan guna keakuratan analisis kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang optimal.

6.4.2. Unreported Fisheries dan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Hasil analisis bioekonomi menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dalam berbagai rezim, yaitu rezim Maximum Sustainable Yield (MSY), open acess dan sole owner atau Maximum Economic Yield (MEY). Kondisi pemanfaatan pada masing-masing rezim sebagaimana hasil analisis, yaitu pada kondisi MSY dengan tingkat produksi sebesar 2.800,83 ton per tahun dan biomasa sebesar 8.226,46 ton per tahun, kondisi open accsess dengan tingkat produksi sebesar 1.851,19 ton per tahun dan biomasa sebesar 3.436,31 ton per tahun sedangkan pada kondisi MEY atau sole owner dengan tingkat produksi sebesar 2.678,65 ton per tahun dan biomassa sebesar 9.944,62 ton per tahun. Dalam kondisi ceteris paribus, maka jumlah produksi masing-masing rezim rata-rata per bulan adalah ; pada kondisi MSY = 233,403 ton per bulan, kondisi open accsess = 154,266 ton per bulan dan pada kondisi MEY = 223,221 ton per bulan. Sedangkan jumlah produksi perikanan yang tidak dilaporkan (ureported fisheries) berdasarkan data primer dalam kondisi ceteris paribus, yaitu rata-rata produksi per bulan adalah sebesar 268,335 ton, lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan produksi pada kondisi MSY dan MEY. Perbandingan antara produksi perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) terhadap jumlah produksi pada masing-masing rezim dapat dilihat pada Gambar 6.13.

0.000 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000

MSY=233,403 OA=154,266 MEY=223,221 UF=268,335 Rezim Pengelolaan dan Unreported Fisheries

P

ro

d

u

k

s

i

p

e

r

B

u

la

Gambar 6.13 Perbandingan produksi masing-masing rezim pengelolaan sumberdaya perikanan terhadap produksi unreported fisheries


(2)

Gambar 6.13 menunjukkan bahwa tingkat produksi sumberdaya perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) di Kota Ternate telah memasuki kategori pemanfaatan sumberdaya yang over fishing (tangkap lebih), karena jumlah produksi yang tidak dilaporkan telah melewati titik kontrol produksi maksimum yang menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan (titk MSY) dan titik pemanfaatan yang ekonomis (MEY). Hal ini tidak nampak bagi pengambil kebijakan karena kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan diambil berdasarkan pendekatan analisis data perikanan yang dilaporkan (reported fisheries), sedangkan perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fisheries) diabaikan karena prosesnya tidak terkontrol, antara lain terjadi melalui IUU fishing, destructive fishing dan lain-lain. Sehingga nampak terjadi kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak jelas (ambigu), atau dalam pendekatan riset ini disebut dengan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak faktual. Jika fenomena ini dibiarkan berjalan terus menerus, maka dalam jangka panjang (in the long run) akan terjadi suatu ancaman kelangkaan (scarcity) bahkan menuju pada kolapsnya sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis “ambiguitas” pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang dapat dilihat dalam Gambar 6.14.

Gambar 6.14 “Ambiguitas” pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap

hMSY

hact

Eact EMSY E*

Upaya (Effort)

h

hΔ1

Aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol (IUU Fishing)

E Δ1 TR


(3)

Gambar 6.14 menjelaskan bahwa produksi aktual terjadi pada titik hact yang cenderung meningkat karena dianggap masih under-capacity (kapasitas kurang), yang ditunjukkan oleh hact yang berada di bawah titik hMSY dengan effort sebesar Eact yang

masih dapat ditingkatkan dengan asumsi bahwa effort masih berada di bawah titik

EMSY. Pendekatan ini mengabaikan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol (area yang diarsir), yang merupakan kondisi pemanfaatan faktual (yang sebenarnya terjadi), dengan jumlah produksi yang sama yaitu hact namun cenderung menurun karena telah terjadi over-capacity (kapasitas lebih), yang ditunjukkan oleh hact yang telah melewati titik hMSY, dengan effort yang berada pada titik E*

, adalah effort maksimum yang telah melewati titik EMSY. Kondisi yang tidak

tampak (ambigu) tersebut maka kebijakan yang diambil adalah meningkatkan effort dari Eact ke dengan harapan produksi akan meningkat dari hact ke hΔ, namun faktanya adalah effort meningkat dari E*

ke EΔ1 yang menyebabkan produksi menurun dari hact ke hΔ1, karena telah terjadi over fishing, baik ekonomi over fishing maupun biologi over fishing. Gejala over fishing, sangat nampak pada keluhan para nelayan dengan jumlah hasil tangkapannya yang tidak stabil dan cenderung menurun serta jarak fishing ground yang ditempuh semakin jauh dari fishing base dengan konsekwensi tambahan biaya operasional yang semakin tinggi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L. 2004. Quo Vadis ”Illegal Fishing” Bagi Indonesia. Working Paper, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. PKSPL IPB, 16 Juli 2004. ---. 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya

Pesisir dan Laut. PKSPL IPB.

Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-Pencemaran (Disertasi). Bogor. Program Studi PSL, Sekolah Pascasarjana IPB.

Anwar A. 2002. Konsepsi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Pembangunan Wilayah dan Otonomi Daerah. Bahan Makalah pada Seminar Peluang Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hotel Indonesia 10 Oktober 2002, Jakarta.

Anwar A, Siregar H. 1993. Memahami Kelembagaan Asuransi Pertanian Dalam Kegiatan Agribisnis di Wilayah Pedesaan. Disampaikan Pada Simposium Nasional Asuransi Agribisnis Di Aula GMSK Dramaga, Bogor, Tanggal 4 Desember 1993.

Asian Productivity Organization. 2002. Sustainable Fshery Management In Asia, Tokyo.

Badan Pusat Statistik Kota Ternate. 2002. Kota Ternate Dalam Angka. Pemerintah Daerah Kota Ternate.

Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku Utara. 2003. Propinsi Maluku Utara Dalam Angka. Pemerintah Daerah Propinsi Maluku Utara.

Bin Syeh Abubakar M. 2004. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Kota Ternate (Tesis). Bogor. Program Studi PWD, Sekolah Pascasarjana IPB.

Clark CW. 1990. Mathematical Bioeconomic. The Optimal Management Of Renewable Resources. Second Edition. A Wiley-Interscience Publication, Canada.

Conrad JM, Clark CW. 1987. Natural Resources Economics. Cambridge University Press, Cambridge.


(5)

Constanza R et al. 1997. The Value of World’s Ecosystem Services and Natural Capital. The Copyright Licensing Agency (CLA) Limited. Nature. Vol. 387. 15 May 1997. London.

Dahuri R. 1998. Strategi Pengelolaan Kawasan Pesisir Indonesia. Kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PK-SPL) dengan PMO-SACDP Pemda Tk. II Cilacap.

Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (DPP GAPPINDO). 2006. Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan. Bahan Seminar Pengelolaan Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Rektorat IPB Dramaga. 27 april 2006.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ternate. 2005 & 2006. Laporan Tahunan Tahun Anggaran 2005 & 2006. Pemerintah Kota Ternate.

---, 2004, 2005 ,2006. Statistik Perikanan Dinas Kelautan Perikanan Kota Ternate. Pemerintah Kota Ternate.

.Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Ternate. 2003. Laporan Tahunan Perkembangan Perikanan, Pemerintah Daerah Kota Ternate.

Dinas Tenaga Kerja Kota Ternate. 2003. Laporan Tahunan Tenaga Kerja di Kota Ternate.

Diane Erceg, 2004. Detering IUU fishing trough state control over national. Institut of Antartic and Southern Ocean Studies, University of Tasmania. Doulman David J. 2000. Illegal Unreported and Unregulated Fishing: Mandate For

An International Plan of Action. Document AUS:IUU/2000/4. 2000. 16p.

Dornsbush, Fisher. 1977. Ekonomi Makro, Edisi Kelima Penerbit Erlangga, Jakarta. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi.

Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

---. 2000c. Konsep dan Pengertian Sumberdaya Alam. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk

Analisis dan Kebijakan. Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gilland JA. 1969. Manual Of Methods For Fish Stock Assessment, Part I Fish

Population Analysis. Malta. St Paul’s Press Ltd.

Hanley N, Spash Clive L. 1993. Cost Benefit Analisis and the Enviromental, Edward Elgar Publishing Limited. England.

Hoff K et al. 1993. The Economics of Rural Organization. Published for the World Bank, Oxford University Press.

Hoover EM, Giarratani F. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third Edition, New York.


(6)

Huntsberger DV, Billingsley P. 1973. Element of Statistical Inference. Allyn and Bacon, Inc, Boston.

Jhingan ML. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Kula E. 1992. Economics of Natural Resources and the Environment. Chapman and Hall, India.

---.1997. Economics Values and the Environment in the World. Edward Edgard Published Limited, UK.

Kusumuastanto T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama.

Mukherjee dkk. 2002. Masyarakat, Kemiskinan dan Mata Pencaharian: Mata Rantai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama dengan The World Bank dan Department for International Development (DFID), Jakarta. Nicholson W. 1998. Microecomics Theory. Basic Principles and Extensions. Sevent

Edition, The Dryden Press, Harcourt Brace College Publisher.

Peace DW, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and the Environment. A Division of Simon and Schuster International Group.

Steel RGD, Torie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistics. Second Edition, McGraw-Hill, Inc.

Sudariyono dan Henk U. 1999. Kebijaksanaan Pengelolaan Terpadu dan Pembangunan Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir dan Lautan. Kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PK-SPL) dengan PMO-SACDP Pemda Tk. II Cilacap.

Suhana, 2005. IUU Fishing dan Kerentanan Sosial Nelayan. Suara Karya Online. Jakarta.

Thomas. 1997. Modern Econometrics. An Introduction. Departement of Economics, Manchester Metropolitan University.

Todaro MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ketujuh. Erlangga, Jakarta.