II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Otonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada di daerah seoptimal mungkin
untuk   kepentingan   pembangunan   daerah.   Sebagaimana   diatur   dalam   UU   No.   25 Tahun   1999   yang   kemudian   diganti   dengan   UU.   No.   32   tahun   2004   tentang
Pemerintahan Daerah, pada pasal 10 ayat  2 mengatur tentang, kewenangan daerah propinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis
pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan  kepulauan, dan ayat  3 mengatur tentang Pemerintah KotaKabupaten berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut.
Sedangkan  dalam UU. No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No.33 tahun   2004   tentang   perimbangan   keuangan   pusat   dan   daerah   pada   pasal   6   ayat   5
mengatur tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang  berasal dari pemanfaatan sumberdaya  alam termasuk sumberdaya pesisir dan
laut. Mengacu pada aturan perundangan tersebut, maka bagi daerah yang memiliki potensi   sumberdaya   yang   besar   khususnya   sumberdaya   kelautan   dan   pesisir,
berkesempatan untuk memanfaatkannya  seoptimal mungkin dan diperuntukan untuk pembangunan ekonomi yang tertinggal sebagai akibat kebijakan pembangunan yang
sentralistik   pada   masa   pemerintahan   orde   baru.   Masalahnya   adalah   jika   kebijakan pembangunan yang  lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi konsekwensinya
akan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi  sumberdaya dan lingkungan itu sendiri,   baik   kondisi   ekologi   maupun   ekonomi   yang   akan   berakibat   pada   gejolak
sosial.   Kebijakan   kelautan   ocean   policy   adalah   kebijakan-kebijakan   yang   dibuat oleh  policy   makers  dalam   mendayagunakan   sumberdaya  kelautan   secara  bijaksana
untuk   kepentingan   publik   dalam   rangka   meningkatkan   kesejahteraan   masyarakat social   well   being   Kusumastanto   2003.   Dengan   demikian   maka   kebijakan   yang
ditempuh   dalam   pemanfaatan   sumberdaya   kelautan   dan   perikanan   harus dipertimbangkan   berbagai   aspek   antara   lain   aspek   ekologi   dan  ekonomi,   sehingga
bisa bermanfaat secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan 8
ekonomi demi tercapai kesejahteaan dan disisi yang  lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan sustanaibility.
Menurut Adrianto 2005, perikanan sebagai sebuah sistem yang memiliki peran penting   dalam  penyediaan   bahan  pangan,  kesempatan   kerja,  rekreasi,   perdagangan
dan   kesejahteraan   ekonomi   bagi   setiap   penduduk   Indonesia,   membutuhkan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang  sustainable, tidak
hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Dalam konteks ini pengelolaan  yang   bertanggungjawab  responsible   management  menjadi  salah  satu
kunci   jawaban   untuk   menjawab   tantangan   pembangunan   perikanan   berkelanjutan susstainable   fisheries   development.      Pemanfaatan   dan   pengelolaan   sumberdaya
pesisir merupakan hal yang cukup sulit dan menantang.  Pemanfaatan tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengabaikan kemunduran kualitas sumberdaya
dan   lingkungan   tetapi   juga   berdampak   dalam   hal   distribusi   pendapatan   dan kesejahteraan masyarakat.  Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya
kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah akan makin berkurang dan akhirnya hilang Nikijuluw 1995.
Mengingat   kawasan   pesisir   dan   lautan   yang   sedemikian   luas   dengan   multi fungsi dari berbagai kepentingan yang berbeda, hal ini telah menimbulkan dampak
terhadap lingkungan kawasan pesisir dan lautan.   Dalam rangka pembangunan dan mempertahankan kehidupan, sumberdaya alam perlu dimanfaatkan secara berkualitas.
Sumberdaya alam adalah tidak tak terbatas, baik jumlah maupun kualitasnya.  Di lain pihak,   kebutuhun   akan   sumberdaya   alam   semakin   meningkat   sebagai   akibat
pertambahan penduduk serta perubahan gaya hidup, sejalan dengan itu pemanfaatan sumberdaya   secara   tidak   terkontrol   dapat   menyebabkan   kerusakan  lingkungan   dan
penurunan mutu lingkungan serta daya dukung lingkungan. Dalam memahami sumberdaya alam, terdapat dua pandangan yang umumnya
digunakan.     Pertama   adalah   pandangan   konservatif   atau   sering   disebut   juga pandangan  pesimis  atau  perspektif  Malthusian.    Dalam pandangan ini  resiko  akan
terkurasnya sumberdaya  alam menjadi perhatian utama.   Sumberdaya  ini dianggap sebagai   sumberdaya   tidak   terpulihkan   exhaustible  dimana   memiliki  supply  yang
terbatas   sehingga   eksploitasi   terhadap   sumberdaya   tersebut   akan   menghabiskan cadangan   sumberdaya.     Dengan   demikian   dalam   pandangan   ini,  sumberdaya   alam
harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang  akan terjadi untuk generasi mendatang.   Pandangan kedua adalah pandangan
eksploitatif atau sering disebut sebagai perspektif  Ricardian.   Dalam pandangan ini dikenal dengan “flow” atau sumberdaya yang dapat diperbaharui dimana sumberdaya
diasumsikan memiliki  supply  yang  infinite  atau tak terbatas.   Dalam pandangan ini sumberdaya  ada yang  tergantung pada proses biologi untuk regenerasinya  dan ada
yang   tidak.     Meskipun   demikian,   untuk   sumberdaya   yang   bisa   melakukan   proses regenerasi   jika   telah   melewati   batas   titik   kritis   kapasitas   maksimum   secara
diagramatik   akan   berubah   menjadi   sumberdaya   yang   tidak   diperbaharui,   secara diagramatik klasifikasi sumberdaya alam dapat dilihat pada gambar berikut Anwar
2002; Fauzi 2000c.
Gambar 2.1.  Klasifikasi Sumberdaya Alam  sumber : Fauzi 2000c Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan
kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa.  Sebagai salah satu sumberdaya alam Sumberdaya Alam
habis terkonsumsi
dapat didaur ulangkan
StokDapat Diperbaharui
StokTidak Dapat Diperbaharui
contoh : sumberdaya
metalik contoh :
minyak, gas,
batubara dsb.
contoh : energi surya,
pasut, angin.
tidak memiliki zona kritis
memiliki zona kritis
SD ini akan menjadi stok jika telah
melewati kapasitas regenerasinya
contoh : perikanan,
kehutanan, tanah,
air dari mata air.
yang   bersifat   dapat   diperbaharui   renewable,   pengelolaan   sumberdaya   ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati.  Mengingat sifat dari
sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa   setiap   orang   atau   individu     merasa   memiliki   sumberdaya   tersebut   secara
bersama   common   property.   Menurut   Kula   1992,   terdapat   banyak   kasus   yang terjadi   pada   sumberdaya   milik   bersama   dimana   terjadinya   deplesi   stok   lebih
disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa ”ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”,
sehingga konsekuensinya sumberdaya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini didukung juga oleh Anwar 2002, pada keadaan sumberdaya  yang  bersifat “open
access   resource”  akan   terjadi   pengurasan   sumberdaya   yang   pada   akhirnya   akan terjadi   kerusakan  sumberdaya.   Hal  ini   terjadi  karena   semua   individu   baik  nelayan
maupun   pengusaha   perikanan   laut   akan   merasa   mempunyai   hak   untuk mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka
masing-masing memaksimumkan bagian share keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau   memelihara   kelestariannya.     Oleh   karena   itu,   sifat   “open   access   resource”
tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan res comune is res nullius.
Menurut Dahuri et al. 2001, dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama common property, keseimbangan jangka panjang dalam
usaha   perikanan   tidak   dapat   dipertahankan   karena   adanya   peluang   untuk meningkatkan   keuntungan   excess   profit   bagi   usaha   penangkapan   ikan   sehingga
terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai  rent  yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan lautan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah
ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya.   Pada mulanya pengelolaan   sumberdaya   ini   banyak   didasarkan   pada   faktor-faktor   biologi   semata
dengan   pendekatan   yang   disebut  Maximum   Sustainability   Yield  tangkapan   yang lestari   maksimum   atau   disingkat   MSY.     Inti   pendekatan   ini   adalah   bahwa   setiap
species   memiliki   kemampuan  untuk  berproduksi  yang  melebihi  kapasitas  produksi surplus, sehingga apabila surplus ini di panen tidak lebih dan tidak kurang, maka
stok   ikan   mampu   bertahan   secara   berkesinambungan   sustainable.  Kelemahannya pendekatan   MSY   tidak   mempertimbangkan   aspek   sosial   ekonomi   pengelolaan
sumberdaya   alam   Fauzi   2000b.     Lebih   jauh   menurut   Conrad   dan   Clark   1987, menyatakan bahwa pendekatan MSY meliputi antara lain : 1 tidak stabil, karena
perkiraan stok yang  meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok stock depletion;   2   tidak   memperhitungkan  imputed   value  yaitu   nilai   ekonomi   apabila
stok ikan tidak dipanen; 3 sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri-ciri   ragam   jenis   multi   species.   Dengan   adanya   kelemahan   tersebut,   maka
pendekatan   pengelolaan   sumberdaya   perikanan   untuk   mengetahui   tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal digunakan pendekatan  Maximum Economic Yield
MEY.  Pendekatan ini akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan
diversitas yang besar. Dalam   mengkaji   kondisi   pemanfaatan   sumberdaya   perikanan   laut   dapat
dilakukan   dengan   bioekonomi   model   statik.     Menurut   Gordon   di  dalam  Fauzi 2000b, model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan
pada faktor input yaitu upaya.   Dalam mengkaji bagaimana pengelolaan perikanan yang   optimal   secara   ekonomis,   bisa   dilakukan   dengan   pendekatan   faktor   output
yield yang pertama kali dikembangkan oleh Copes 1972, berdasarkan pada kriteria optimasi kesejahteraan  Welfare optimization dengan menggunakan analisis surplus
konsumen  consumer’s   surplus,   surplus   produsen  producer’s   surplus  dan   rente sumberdaya resource rent.
Model Copes dengan model Gordon memiliki perbedaan dalam hal penggunaan asumsi   harga.     Model   Gordon   mengasumsikan   harga   per   unit   output   konstan,
sehingga   tidak   memungkinkan   dilakukan   pengukuran   terhadap   surplus   konsumen. Sebaliknya dalam Model Copes harga per unit output mengikuti kurva permintaan
yang   memiliki   kemiringan   yang   negatif,   sehingga   memungkinkan   dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen.  Ketiga aspek yang diperoleh dalam analisis
model  Copes  ini   yaitu   surplus   produsen,   surplus   konsumen   dan   rente  sumberdaya diharapkan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan  dalam
pemanfataan sumberdaya perikanan laut Fauzi 2004.
2.2.   Konsep Penilaian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan