Memudarnya sistem kepercayaan lokal asli, tentu memberikan pemahaman bahwa kehadiran agama sebagai ideologi mampu membawa
perubahan terhadap masyarakat di daerah penelitian. Hal ini memperkuat kesimpulan Dove 1985 yang menyatakan, bahwa tergusurnya agama lokal di
suku Wana sebagai akibat dari modernisasi, berhasil membawa masuk agama baru dan menggusur agama lokal. Dengan demikian sangat keliru jika
memandang agama hanya mampu memperlambat proses perubahan. Ini adalah suatu kesimpulan yang keliru. Justru sebaliknya ideologi, termasuk ideologi
agama juga dapat mempermudah perubahan. Demikian tesis Max Weber 2002 dalam studinya tentang etika protestan dan semangat kapitalisme
Komunitas Sahu mengenal ikrar ”galib se likudi”. Makna ikrar tersebut
adalah suatu kesepakatan dan perjanjian masyarakat Sahu atas pilihan agama yang di anut. Perbedaan agama kemudian membuat komunitas yang memeluk
islam lebih memilih keluar dari kampong aslinya Sahu meninggalkan kerabatnya, saudaranya untuk pindah dan membuat suatu pemukiman tersendiri
di daerah Saroang . Daerah Saroang dapat ditempuh dengan waktu 15 menit jalan kaki dari desa Balisoang. Saroang merupakan bukti sejarah masjid
pertama kali dibangun sebagai tempat ibadah umat islam di Kecamatan Sahu. Penyiar agama Islam di daerah Sahu adalah berasal dari Bangsa Arab
yang bernama Bafagehe. Bafagehe mengajarkan Islam di daratan Sahu dengan metode pengajaran menggunakan syair-syair Islam dan diterjemahkan dengan
bahasa Ternate, yang dikenal masyarakat sebagai ”dola bololo”. Bafagehe
meninggal pada usia yang ke 120 tahun dan di makamkan di wilayah Sahu. Makamnya telah dijadikan sebagai jere tempat keramat oleh masyarakat
masyarakat setempat. Ada dua alasan mengapa masyarakat yang memeluk Islam memilih
berpindah ke pesisir pantai Barat Sahu. Versi pertama adalah karena perbedaan keyakinan. Versi kedua mengatakan bahwa keluarnya masyarakat
dari pedalaman Sahu ke pantai pesisir Barat Sahu, merupakan keinginan untuk mengembangkan variasi mata pencaharian sebagai nelayan.
4.2. Potret dua Desa
Ada baiknya menggambarkan lebih dahulu mengenai kampong ini secara sekilas. Kecamatan Sahu berada di Kabupaten Halmahera Barat, Propinsi
Maluku Utara. Sebagaimana diketahui, Maluku dan Maluku Utara merupakan
gugusan kepulauan, banyak pulau betebaran di Maluku dan Maluku Utara, satu di antaranya adalah Pulau Halmahera. Halmahera adalah pulau terbesar di
gugusan Kepulauan Maluku. Pemekaran daerah di Maluku Utara pada tahun 2001, menjadikan wilayah Maluku Utara secara administratif terbagi dalam
beberapa kabupaten, yakni Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Barat. Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan
Tidore Kepulauan Untuk mencapai daerah ini, harus melintasi jalan udara, darat, dan laut.
Dari Jakarta menggunakan pesawat terbang dengan lama perjalanan 3 sampai 5 jam, atau dapat pula menggunakan kapal laut selama kurang lebih 5 hari
perjalanan. Ternate adalah gerbang menuju Halmahera. Ternate merupakan pulau tersendiri, terlihat gunung tinggi menjulang di tengah-tengah laut dan di
antara gugusan kepulauan yang tampak bertebaran bila dilihat dari udara. Di bagian tepi gunung itulah kota Ternate terhampar.
Bandara terletak di tepi laut. Dari bandara, terdapat angkutan oto rental yang siap menghantar menuju pelabuhan penyeberangan di Dufa-Dufa Ternate
menuju Halmahera Barat. Oto rental adalah sebutan mobil yang disewakan untuk umum, missal jenis mobilnya Avanza, Panther, Honda Jazz. Tidak banyak
penumpang dapat dimuat di mobil ini, oleh karenanya harga sewa penumpangnya mahal. Di pelabuhan penyeberangan hampir setiap 5 menit
angkutan penyeberangan muncul. Speed Boat, orang menyebut jenis angkutan laut itu, perahu dengan 2 motor pendorong berkapasitas besar. Speed boat ada
dalam beberapa ukuran, ada yang dapat dimuati hingga 50 orang, ada yang berkapasitas penumpang 25 orang, dan ada pula yang berkapasitas penumpang
5 orang. Untuk naik ke dalam speed penumpang harus membayar tiket
penyeberangan di sebuah loket kecil di tepi jembatan penyeberangan. Harga tiketnya berbeda disesuaikan dengan jenis speed yang ditumpangi, yang
berkapasitas 50 orang, kita membayar Rp 38.000,00 per orang, berkapasitas 25 orang membayar Rp 40.000,00 dan untuk berkapasitas 5 orang penumpang
membayar Rp 55.000,00 per orang. Perjalanan dengan speed dari Ternate menuju Jailolo memakan waktu 1 hingga 1,5 jam. Sementara pelabuhan
penyeberangan ini hanya dibuka dari jam 07.00, wit sampai dengan jam 18.00,wit.
Jailolo, adalah pintu gerbang Halmahera, merupakan kota pelabuhan yang relatif ramai sebagai daerah pemekaran. Untuk menuju Halmahera Utara,
Timur, Halmahera Tengah dan Halmahera Barat, maka Jailolo-lah pintu gerbangnya. Secara administratif pelabuhan ini termasuk dalam wilayah
Kabupaten Halmahera Barat. Di dekat pelabuhan Jailolo, terdapat angkot dan ojeg, serta oto rental yang siap mengantarkan penumpang menuju daerah-
daerah tujuan di dalam pulau Halmahera. Jailolo dapat dikatakan sebagai pusat perekonomian pulau ini. Di sini terdapat pasar yang cukup besar, sinyal
handphone masih dapat tertangkap, dan fasilitas publik lainnya, seperti; kantor birokrasi, karena Jailolo sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera
Barat, di daerah ini memiliki bank BRI dan BPD, pusat perbelenjaan, dll. Dari Jailolo menuju Susupu, dapat ditempuh dengan angkot di mana
penumpang dapat membayar Rp 25.000,00, atau oti rental Rp 30.000,00 per orang. Perjalanan menuju Susupu ditempuh sekitar 30 menit. Pasar yang terakhir
dapat kita jumpai di gerbang keluar Jailolo yakni pasar Akediri dan pasar Akelamo, setelah itu, kita sama sekali tidak akan menjumpai pasar hingga ujung
Barat pantai Sahu. Untuk sampai ke Desa Susupu harus melewati daratan Sahu pedalaman
yang mayoritasnya beragama Kristen dan juga merupakan cikal bakal masyarakat Desa Susupu. Sepanjang perjalanan secara selintas terlihat
perkampungan di wilayah Kecamatan Sahu bukan merupakan model perkampungan masyarakat yang mengakomodasi percampuran agama. Selalu
saja terlihat pemisahan desa antara desa muslim dengan desa nasrani. Susupu adalah ibukota Kecamatan Sahu. Susupu merupakan
perkampungan yang berpenghuni kurang lebih 1500 Kepala Keluarga KK. Oleh karena dianggap sebagai kampung yang besar, maka Susupu dimekarkan
menjadi enam desa kecil pada tahun 1985 oleh pemerintah Kecamatan Sahu. Keenam desa itu adalah Desa Susupu sebagai desa induk, Desa Lako Akelamo,
Tacim, Ropu Tengah Balu, Jarakore, dan Desa Taruba. Dengan demikian, Susupu adalah desa induk dari komunitas desa-desa muslim yang berada di
pesisir pantai Barat Sahu. Lokasi penelitian adalah dua desa, Desa Susupu sebagai desa induk dan
Desa Lako Akelamo yang merupakan desa pemekaran. Sebagai ibukota kecamatan, kantor-kantor pemerintah setingkat Kecamatan berpusat di Susupu.
Di sepanjang jalan utama terdapat kantor dinas pemerintahan kabupaten, sepeti
Kantor Dinas Pengawas Sekolah, Kantor Urusan Agama KUA, Kantor Kecamatan, Kantor Danramil. Sementara Desa Lako Akelamo berada di sebelah
utara Desa Susupu, sebagai desa pemekaran di Lako Akelamo nyaris tidak terdapat kantor-kantor pemerintah kecuali Kantor Desa saja, itu pun nyaris sepi
karena semua aktivitas administrasi desa dilakukan di rumah Kepala Desa. Di Kota kecamatan maupun di kedua desa lokasi penelitian tidak
terdapat bank maupun pasar. Akses terhadap lembaga keuangan terutama bank hanya terdapat di Jailolo. Meskipun demikian, akses keuangan kecil melalui
kredit didapatkan melalui simpan pinjam pada koperasi yang terdapat di kedua desa.
Fasilitas jalan utama kecamatan terdapat di Desa Susupu, sementara di Lako Akelamo hanya fasilitas jalan desa. Fasilitas listrik ada di desa sejak tahun
1988, dan sempat terhenti selama kerusuhan 1999, dan dinyalakan kembali pada tahun 2001. Sekolah setingkat SMA terdapat di Susupu, di jalan desa, cabang
dari jalan utama ke arah perkebunan kelapa. Taman Pendidikan Al- Qur’an TPQ
dibangun melalui program pemerintah P2DTK, demikian pula dengan fasilitas MCK masyarakat dibangun melalui program yang sama, sementara fasilitas air
bersih dibangun melalui dana kompensasi BBM. Bagian penting lain dari dua desa atau kampong---sebutan masyarakat ini
adalah kebun kelapa. Kebun kelapa berada di bagian luar kampung. Apabila di perhatikan secara seksama lanskap kedua desa ini, maka secara pokok desa
terbagi dalam dua lokasi. Pertama, perkampungan sebagai tempat tinggal dan aktivitas keseharian masyarakat. Kedua, lahan produksi masyarakat, terutama
kebun kelapa yang berada terpisah dari perkampungan. Khusus untuk Desa Lako Akelamo, selain perkebunan kelapa, di perbatasan desa Bagian Selatan
terdapat Muara Sungai Akelamo yang di manfaatkan oleh masyarakat sebagai tambak ikan, dan ladang sayur-mayur. Walaupun kedua desa berada di pesisir
pantai selatan dekat dengan laut, namun laut bukanlah akses sumber nafkah utama masyarakat setempat, kebanyakan penduduk mengandalkan kehidupan
sebagai petani kelapa. Di Ujung Desa Susupu merupakan pantai pesisir Barat Sahu. Di sana
terdapat bangunan baru yang telah diperuntukan sebagai tempat pariwisata. Sebagai tempat rekreasi lokal, tempat ini menjadi ramai bila hari libur.
Melihat peta wilayah Kabupaten Halmahera Barat desa Susupu dan Lako Akelamo berada di wilayah barat dengan jarak 16 kilo meter dari ibu kota
kabupaten yaitu Jailolo. Sebelah selatan Desa Susupu berbatasan dengan perkebunanlahan pertanian masyarakat, sebelah tengah berbatasan dengan
Desa Jarakore, Sebelah utara berbatasan dengan desa Ropu Tengah Balu, dan sebelah timur berbatasan dengan desa Tacim. Sementara di desa Lako Akelamo
adalah sebelah selatan berbatasan dengan desa Lako Akediri, sebelah timur berbatasan dengan lahan pertanianperkebunan masyarakat, sebelah utara
berbatasan dengan Desa Jarakore, dan sebelah barat berbatasan dengan laut Maluku. Jalan antar kedua desa tersebut umumnya sudah aspal, hanya 0,5 km
yang belum diaspal. Prasarana komunikasi seperti telepon umum, wartel, warnet belum ada.
Terdapat beberapa media informasi yang digunakan oleh masyarakat di dua desa ini. Media-media informasi tersebut diantaranya adalah radio, dan televisi.
Kegunaan radio digunakan untuk mengakses informasi tentang perkembangan lokal yang bersifat kedaerahan di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan televisi,
bagi masyarakat setempat sebagai media untuk mengkases informasi nasional dan hiburan seperti halnya film senetron dan sebagainya. Di desa Susupu
pengguna televisi menggunakan televisi kabel, dengan biaya perbulan sebesar 150 ribu rupiah disetor kepada pengusaha jaringan televisi kabel. Sementara
khususnya di desa Lako Akelamo, mereka tidak menggunakan jaringan televisi kabel, tetapi menggunakan parabola. Menurut masyarakat di Desa Lako
Akelamo parabola harganya kurang lebih dua juta rupiah, tetapi lebih ekonomis dibandingkan dengan memakai televisi kabel dengan setoran per bulan 150 ribu
rupiah.
4.3. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Hubungan Feodal