BAB VI MABARI
DALAM POLA PRODUKSI PETANI KELAPA DI DUA KOMUNITAS
Dukungan komunitas di doa lokasi penelitian terhadap nilai bari dan terus menghidupkan kelembagaan mabari berbeda. Bab ini berupaya menunjukkan
bukti tentang dinamika mabari yang masih mewarnai kehidupan masyarakat, khususnya didalam kegiatan perkebunan kelapa rakyat. Maksud dari uraian
tersebut ingin ditunjukkan, bahwa bari sebagai nilai yang melandasi kelembagaan
mabari sebenarnya
masih perlu
difungsikan didalam
pembangunan. Oleh karena, mabari masih berpotensi menjadi proses sosial yang mendekatkan semua pihak didalam kehidupan masyarakat pedesaan di
Kabupaten Halmahera Barat.
6.1. Petani Kelapa Di Dua Desa
Kehidupan petani kelapa di kedua desa akan di potret dari beberapa orang petani kelapa. Sebagai potret tidak akan mampu mencakup semua
keseluruhan sudut dari landscape sosial dua desa, namun kedalaman menelusuri beberapa sosok ini diharapkan memberikan gambaran aktifitas
kehidupan sehari-hari para petani kelapa di dua Desa. Keberadaan beberapa sosok, dimaksudkan memberikan deskripsi kualitatif bersifat mendalam guna
mengatasi keterbatasan dari keluasan jarak pandang. Kebun kelapa di Desa Susupu berada terpisah dari perkampungan
penduduk, kebun berada di bagian luar desa, sementara perumahan penduduk mengumpul di tengah desa. Hanya ada jalan setapak untuk menuju kebun para
petani kelapa. Di depan gubuk para petani di buatkan para-para besar sebagai tempat mengasapi kelapa untuk dijadikan kopra. Para-para sebagai tempat
pengasapan kelapa terdapat dua lubang di bagian bawah sebagai tempat sabut dan batok kelapa yang akan dibakar sebagai pengganti kayu bakar. Para-para
tersebut dibuat dari potongan bambu,sementara atapnya dari anyaman daun kelapa.
Rata-rata petani kelapa di Desa Susupu memiliki luas lahan lebih dari 1 hektar, dan mereka juga memiliki 0,5 hektar lahan untuk tanaman bulanan.
Sebagaimana yang dilihat pada setiap lahan para petani terdapat sepetak lahan yang ditanami tanaman-tanaman bulanan berbaris rapi. Hasil dari tanaman
bulanan ini sebagai penghasilan tambahan, bila pohon kelapa belum dapat di panen.
Para petani kelapa di Desa Susupu rata-rata memiliki 300 pohon kelapa. Lahan pohon kelapa sebagian merupakan warisan dari orang tua. Usia pohon
kelapa mencapai lebih dari 50 tahun bahkan ada yang di atas 100 tahun dan karenanya batang pohon kelapa cukup tinggi .
Lahan petani kelapa umumnya tidak memiliki sertifikat. Walaupun demikian, tetap mendapatkan pengakuan sosial pemilikan lahan. Apabila di
kemudian hari terdapat masalah sengketa atas penguasaan lahan tersebut, maka penyelesaian sengketa itu dilakukan di dalam masjid. Penyelesaian
sengketa yang dimaksud adalah dengan sasi, suatu upacara pengucapan sumpah yang tekait dengan konflik tanah, dan lain-lain.
Untuk meningkatkan produktifitas petani kelapa, Pemerintah Halmahera Barat pernah memberikan bantuan kelapa hibrida, kelapanya lebih pendek dan
hasilnya sedikit lebih banyak, umur kelapa mencapai 25 tahun. Berbeda dengan kelapa lokal yang bisa mencapai ratusan tahun umurnya. Program kelapa hibrida
tidak diminati para petani, mereka memilih mempertahankkan varietas lokal. Kehidupan petani kelapa di Susupu dapat dipotret dari pak Haler. Dalam
memulai aktivitas kebun kelapanya, selalu di dampingi oleh istri. Keseharian mereka mencerminkan kehidupan masyarakat petani kelapa di desa Susupu.
Dalam mencurahkan waktu dalam beraktifitas di kebun, kaum perempuan yang telah bersuami, memiliki waktu yang sangat terbatas, berbeda halnya dengan
kaum laki-laki. pak Haler misalnya, pergi ke kebun bersama istri pada pukul 06. Mereka telah menyiapkan bekal makanan dan minuman untuk keseharian
aktivitasnya di kebun. Istrinya akan kembali ke rumah kurang lebih pukul 12 siang. Selama di kebun perempuan di desa Susupu sebagaimana yang
ditunjukan oleh istri pak haler, membersihkan dan merwat tanaman-tanaman bulanan seperti halnya kacang panjang, tomat, fofoki terong, pisang, kasbi,
ubi. Pekerjaan menanam dan merawat tanaman dilakukannya tidak lain adalah untuk menambah pendapatan suaminya dalam rangka pemenuhan kehidupan
sehari-hari mereka. Pendapatan mereka, umumnya sangat tergantung pada penghasilan kopra dalam setiap tiga bulan sekali panen. Disela-sela waktunya di
kebun, aktifitas mengumpulkan buah kelapa kering yang jatuh dari pohon kelapa selalu di lakukan pak Haler. Setiap hari bisa memporoleh kurang lebih dari 100
buah kelapa. Buah-buah kelapa yang dipungut, tidak di ambil dari lahan orang
lain, melainkan lahannya sendiri dan lahan-lahan yang merupakan milik keluarganya. Kelapa yang kumpulkan umumnya di jual dengan harga 350 per-
buah kelapa. Oleh karenanya dapat dihitung pendapatan per hari pak haler dari hasil jualan kelapa hasil ware mengumpul sebesar 35000 rupiah. Jika buah
kelapa yang jatuh dari pohonnya berkurang dalam sehari, akan berimbas pada pendapatan hariannya. Untuk mengatasi masalah ini, pak Haler begitupun
petani-petani kelapa yang lain meminjam uang kepada pengumpul kopra langganan penjualan kopra, , dengan perjanjian pemotongan disaat
pembayaran hasil panen kopranya nanti. Langganan kopra para petani kelapa di dua Desa ini umumnya adalah orang Cina.
Masyarakat petani kelapa termasuk yang berada di Desa Susupu dan Lako Akelamo mendapatkan lahan kebun kelapa melalui pewarisan dari nenek
moyangnya. Mulanya warga mendapatkan kebun sesuai dengan tingkat hubungan sosialnya dengan Sultan Ternate, yaitu sesuai dengan soa. Mereka
yang berada dalam soa sangaji sebagai perwakilan Sultan di wilayah tentu saja memiliki luas tanah yang lebih besar dibanding soa lainnya. Selama berabad
kemudian kepemilikan tanah tersebut diwariskan kepada anak cucu. Di atas tanah warisan itulah para petani kelapa berproduksi.
Proses pembagian warisan ini dilakukan dengan cara berembug beberapa saudara mereka kakak beradik dan menyepakati luas bidang lahan
yang harus mereka bagikan secara merata. Sebagaimana Muhammad dan Radjab adalah dua kakak beradik dari sekian banyak orang petani di Desa
Susupu yang mendapatkan warisan sebidang lahan masing-masing seluas satu hektar lebih yang diberikan orang tuanya. Lahan pertanian warisan yang mereka
dapatkan, umumya telah ditanami pohon kelapa. Tugas pewaris hanya merawat, membersihkan, sehingga pohon kelapanya dapat berbuah, bebas dari hama
sexsava, sehingga hasil kelapanya nanti dapat dinikamati keluarga. Hal yang sama juga terjadi pada Haler dan Ibrahim, mereka adalah kakak adik, berlima
dengan satu saudara perempuan. Orangtua mereka memiliki 12 hektar kebun kelapa, pada akhirnya lahan dibagi lima orang anaknya, masing-masing
mendapatkan du hektar. Ibrahim menandai batas mereka sampai dengan rawa. Di Desa Susupu, tak semua orang menjadi petani kelapa, ada pula mereka yang
mendapatkan pekerjaan lain seperti pegawai negeri, guru, aparat Polri, dan lain- lain. Bagi yang telah mimiliki pekerjaankeahlian lain, idak lagi mendapatkan hasil
pembagian warisan. Mereka hanya mendapatkan sedikit hasil panen yang
biasanya disebut sebagai “pipi hena” uang pinang dari penjualan hasil panen kelapa.
6.2. Mabari dan Pola Produksi Petani Kelapa