Perbedaan Praktek Bari Dalam Pola Produksi Kelapa di Dua Desa

kg, maka bila dikalikan 1000 kg 1 ton, maka setiap 3 bulan mendapatkan Rp 2,5 juta rupiah. Rajab hanya mengeluarkan biaya untuk pengangkutan, menyewa kendaraan, besaran sewa kendaraan dihitung dari banyaknya kopra yang di bawa. Hitungannya per sak, 1 sak = Rp 10.000,-, 1 ton sama dengan kurang lebih 10 hingga 12 sak, jadi ia hanya membayar sekitar Rp 100.000,- saja. Bentuk-bentuk kegiatan kerja bersama dalam setiap tahapan produksi kelapa dari pembukaan dan penyiapan lahan hingga pemanenan inilah yang disebut dengan bari atau mabari. Para petani kelapa yang terlibat dalam kerja bersama tersebut mengelompokkan diri dan menyebut diri mereka sebagai kelompok bari. Biasanya pengelompokan bari dilakukan atas dasar kedekatan lokasi lahan mereka satu sama lain serta hubungan kekerabatan sebab biasanya hubungan kekerabatan menyebabkan lokasi lahan mereka berdekatan.

6.3. Perbedaan Praktek Bari Dalam Pola Produksi Kelapa di Dua Desa

Khususnya di Desa Lako Akelamo sebagaimana diceritakan oleh D Kepala Desa Lako Akelamo yang juga seorang petani kelapa, mempunyai tradisi unik pada saat penanaman bibit kelapa. Menjelang kegiatan manyigu, sering diwarnai dengan tradisi “tori gura” pencuri bibit. Tadisi ini, berlangsung pada kegiatan penanaman kelapa dan padi, atau tanaman bulanan lainnya. Sehari menjelang kegiatan menanam, bibit yang hendak ditanam akan dicuridiambil pada waktu subuh di lokasi pembibitan. Kegiatan mencuri bibit dilakukan para petani secara bersama-sama, tanpa sepengetahuan pemilik lahanbibit. Bibit yang diambil, kemudian ditanam pada lahan yang telah dibersihkan oleh mereka. Pemberitahuan bahwa bibitnya telah diambil dan telah ditanam di sampaikan melalui bunyi tifa beduk bernada tarian gala lala atau togal. Tradisi ini bertujuan untuk menyenangkan atau memberikan surprise bagi pemilik lahan atau pemilik bibit tersebut. Berbeda dengan masyarakat petani Lako Akelamo, pada masyarakat petani Desa Susupu saat ini tradisi tori gura sudah hilang. Hilangnya tradisi ”tori gura” di Desa Susupu, tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya menurut Rjb adalah munculnya ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan ini didasarkan atas perilaku mencuri bibit oleh orang-orang tertentu sesama petani yang tidak bertanggung jawab. Orang yang melakukan pencurian bibit, tidak memiliki kepentingan untuk di jual, melainkan bibitnya di bawa ke lokasi miliknya untuk di tanam. Menurut Rjb : … pernah ada yang kehilangan tiga puluh bibit pohon kelapa pada tempat pembibitan ketika digelarnya tradisi tori gura oleh teman- temannya sesama petani. Bibit yang diangkut tidak sampai di dusun yang hendak ditanami, tetapi di bawa pergi. Menurut M, faktor kemalasan untuk melakukan pembibitan, menyebabkan yang bersangkutan lebih suka mendapatkan bibit dengan cara mencuri, hal tersebut diduga menyebabkan hilangnya bibit kelapanya pada tradisi tori gura. Kejadian tersebut menyebabkan para petani akhirnya memilih untuk memindahkan tempat pembibitan kelapa ke dusunnya dengan menyewa orang untuk mengangkutnya. Ongkos pengangkutan bibit sebesar Rp 100 per buah. Jika diamati lebih jauh, maka bukan hanya faktor kemalasan yang membuat berubahnya atau hilangnya tradisi torigura, namun karena factor ketidakpercayaan sebagaian para petani di desa susupu kepada orang-orang yang terlibat dalam tradisi tori gura. Mengikuti mabari dalam kegiatan panen kelapa di Desa Susupu, terlihat perempuan-perempuan berdatangan di lokasi pemanenan kelapa. Mereka datang membawakan konsumsi untuk seluruh petani yang mengikuti kegiatan bari. Itu artinya bahwa penarapan aktifitas mabari di Desa Susupu, pemilik kebun yang melaksanakan proses panen mendapat tanggungjawab untuk menanggung semua konsumsi petani yang mengikuti kegiatan bari. Biasanya pekerjaan penyediaan konsumsi ini menjadi tugas perempuan istri. Seperti yang diceritakan istri Rjb di bawah ini ”saya harus mempersiapkan konsumsi untuk kebutuhan makan, minum, termasuk rokok para anggota bari. Aktifitas bari ini, saya harus keluarkan uang Rp 600.000,00 sampai Rp 700.000,00. untuk memenuhi kebutuhan rokok dan konsumsi makan dan minuman mereka. kebiasaan ini sangat memberatkan apalagi situasi harga kopra yang hanya Rp 2.500,00kg. Kebun kami hanya mampu menghasilkan 1000 kg kelapa, maka keuntungan penjualan kelapa tidak akan kami dapatkan, karena terbagi habis dengan biaya konsumsi dan rokok yang diberikan disaat kegiatan panen Ini gambaran fenomena “bari” ala D esa Susupu. Di Desa Lako Akelamo, tidak pernah di temukan tradisi makan yang ditanggung sepenuhnya oleh orang yang melaksanakan kegiatan bari . Bagi mereka yang melaksanakan ”hajatan” bari, mereka hanya cukup menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Sementara konsumsi makan dan minuman serta rokok disediakan sendiri oleh orang-orang yang datang membantunya. Situasi ini sudah berlangsung kurang kebih 10 tahun terakhir. Dahulu di Desa Lako Akelamo, masih menggunakan praktek seperti yang ada pada masyarakat di Desa Susupu. Namun saat ini tak diberlakukan lagi, karena dianggap menyusahkan masyarakat petani kelapa itu sendiri, terutama di tengah situasi harga barang-barang yang naik. Kesadaran akan hal ini, berpuncak pada suatu pertemuan yang melibatkan seluruh petani pemilik lahan, kelapa di Desa Lako Akelamo, beserta tokoh masyarakat dan unsur pemeritah desa. Mereka menyepakati bahwa, pada setiap kegiatan panen konsumsi setiap orang harus dibawa sendiri-sendiri dari rumah mereka masing-masing, tanpa harus dibebankan oleh orang yang melaksanakan kegiatan panen tersebut. Kesepakatan ini masyarakat di Desa Lako Akelamo didasarkan pada pertimbangan bahwa, terdapat petani kelapa di Desa Lako Akelamo yang tidak berkecukupan secara ekonomi, tentu menjadi suatu masalah yang cukup berat ditengah-tengah harga sembako yang meningkat. Pertimbangan yang kedua adalah menginginkan terciptanya hubungan masyarakat setempat yang tidak saling membedakan berdasarkan status sosial ekonomi dalam kegiatan usaha panen kelapa. Tabel.4. Perbedaan mabari di dua desa lokasi penelitian No Mabari di Desa Susupu No Mabari di Desa Lako Akelamo 1 Hilangnya tradisi tori gura 1 Masih terdapat Tradisi tori gura 2 Konsumsi di tangung oleh yang melakanakan panen 2 Konsumsi ditanggung oleh masing- masing anggota bari. 3 Anggota bari yang tidak datang bekerja, dapat di ganti dengan uangbarang 3 Anggota bari yang tidak hadir, harus mengutus orang sebagai pengganti, tenaga tidak diganti dengan uangbarang Sabagaimana halnya D kepala kampongkades di Desa Lako Akelamo juga memiliki dusun kelapa, menyatakan bahwa di dalam proses panen dan produksi kelapa dibebaskan dari tanggungan konsumsi, serta mendapatkan tenaga sukarela bari dari anggota masyarakatnya. Kondisi inipun dapat terjadi pada semua anggota masyarakat, walau pun kedudukan sosial ekonomi diantara mereka berbeda. Di Desa Lako Akelamo, masyarakat petani kelapa secara bersama-sama menyelesaikan setiap tahapan kegiatan dari penanaman hingga pada proses panen. Tidak terdapat ganti rugi materi kopi, gula, beras dengan tenaga dalam suatu pekerjaan, namun tenaga harus dibayar dengan tenaga. Mereka yang tidak terlibat pada kegiatan bersama dapat mengutus orang lain sebagai pengganti pada kegiatan panen tersebut.. Perbedaan mencolok antara petani Desa Susupu dan Lako Akelamo juga terjadi pada kegiatan panjat kelapa.. Komunitas petani di Desa Susupu dahulunya, bari dilakukan dalam semua tahap pengelolaan kelapa, sejak penanaman hingga panen, akan tetapi kegiatan bari sekarang hanya dapat ditemukan pada proses pengasapan atau pengolahan kopra dengan tahap membelah, mengeluarkan isinya, dan proses pengasapan kelapa. Di Desa Susupu kegiatan pemanjatan kelapa dilakukan dengan menyewa tenaga panjat. Dibawah ini adalah kutipan pengakuan dan alasan pak Ibrahim tentang penggunaan tenaga sewa panjat : Torang di Desa Susupu sebenarnya tara pake sewa orang untuk banae kalapa. Tapi, torang sering pake mabari. Skarang ini torang pe petani- petani dorang juga sibuk deng dorang p karja-karja laeng yang dapa doi. Jadi kalo harap gratis banae torang p kalapa, dorang juga pasti mau, tapi dorang p karja juga dap alia rupa kabarang. Abis dorang so ada karja sampingan. Blum lagi torang p tetangga kabong yang rata-rata orang punya doi, dorang juga so kase biasa deng bayar kong. Kalu bayar orang, dia p sewa Rp 1.500,-. Satu pohon kalapa. Artinya : Di Desa kami sebenarya tidak menggunakan tenaga sewa dalam panjat kelapa, biasanya mereka menggunaka kelompok mabari. Sekarang ini para petani juga sibuk dengan pekerjaan sampingan mereka yang menghasilkan uang. Mereka bias dating membantu kita secara gratis, tapi hasil dari pekerjaan nanti tidak memuaskan. Di tambah lagi dengan tetangga-tetangga kebun yang rata-rata memiliki uang sering membiasakan kerja tenaga sewaan. Untuk tenaga sewaan, satu pohon kelapa di bayar sebesar Rp 1500. Munculnya tenaga sewa panjat kelapa di sebabkan oleh variasi pekerjaan lain yang dimiliki oleh para petani. Variasi pekerjaan itu antara lain, seperti kegiatan pertukangan, ojeg sepeda motor yang dapat memberikan penghasilan harian buat masyarakat setempat. Mengikuti mabari dapat dilakukan namun memiliki konsekwensi terhadap pendapatan harian mereka sebagai tukang ojeg, dll. Kesibukan tugas dan pekerjaan, para PNS dan pengusaha yang memiliki kebun kelapa turut menyuburkan praktek tenaga panjat sewaan di Desa Susupu. Umumnya para petani kelapa mempraktekan tenaga kerja sewaan pada saat harga kopra dipasaran meningkat. Sewa-menyewa ini hanya terdapat pada proses mafere memanjat kelapa, namun ada juga yang berlangsung hingga pada proses mapopo, masiu, dan proses pengasapan kelapa mafufu. Di Desa Susupu mulai mengenal teknologi berupa alat pemotong rumput. Bila biasanya pembersihan lahan kelapa dikerjakan dengan mabari, saat ini telah menggunakan mesin pemotong rumput. Mesin tersebut di pinjam dari sekolah, atau kantor dinas lainnya. Di Desa Susupu pemilik mesin pemotong rumput dimilki oleh desa, sekolah, dan sebagaian warga Desa. Ongkos sewa mesin potong rumput untuk 1 hektar lahan adalah Rp 600.000,00. Tentu saja jumlah yang tidak sedikit, apalagi di tengah harga kopra yang jatuh. Bila dihitung ongkos panen petani Desa Susupu jumlahnya sangat besar. Untuk pohon sebanyak 300 pohon, petani harus menyewa 3 tenaga panjat dalam hitungannya 300 X Rp 1.500,00 = Rp 750.000,00, ongkos itu masih ditambah dengan sewa mesin, 1 hektar lahan terdapat 150 pohon kelapa, berarti lahan untuk 300 pohon kelapa adalah 2 hektar, maka sewa mesin untuk 2 hektar lahan dapat mencapai Rp 1.200.000,00, ongkos tersbut belum ditambah dengan biaya pengangkutan, biaya konsumsi, dan rokok. Untuk harga kopra yang hanya mencapai Rp 2.500,00kg saat ini, tentu ongkos panen petani kelapa menjadi sangat besar dan memberatkan. Fenomena tenaga panjat sewaan di atas, tidak dijumpai pada masyarakat petani kelapa di Desa Lako Akelamo. Masyarakat petani di Desa ini tetap melibatkan bari dalam seluruh tahap pemanenan, termasuk panjat kelapa. Menurut masyarakat petani di Desa Lako Akelamo, menggunakan mabari lebih menghemat biaya produksi petani. Tabel 6 memperlihatkan tentang perubahan bari dan kelembagaan mabari di Desa Sususpu dan Lako Akelamo kecamatan Sahu kabupaten Halmahera Barat.

6.4. Mekanisme Sosial Penyelesaian Konflik Produksi