pergantian kerja dengan upah yang dengan demikian mengubah kolektifikas menjadi hubungan produksi berdasar spesialisasi keahlian. Sementara di Lako
Akelamo pembangunan tidak serta merta menghilangkan kelembagaan sosial yang berintikan kolektivisme.
Penjelasan berikut ini adalah fase pembangunan rumah di Dua Desa yang mengalami beberapa perubahan konstruksi dari masa ke masa, . Pertama,
model rumah ”gaba” berbahan pelepah pohon sagu. Model rumah ini cukup
sederhana, murah, nyaman, tetapi tidak bertahan lama. Tembok rumah ini dibuat dengan mengunakan pelepah pohon sagu, atau
“gaba”. Sementara atap rumah menggunakan katu. Katu adalah daun pohon sagu yang kemudian diambil dan
di anyam berbentuk seperempat segi dengan panjang kurang lebih satu meter.Lantai rumah gaba digunakan bambu tua yang dibelah kemudian dianyam.
Kedua, rumah batu karang. Model rumah dengan konstruksi permanen ala batu karang. Dampak dari pembangunan rumah ala batu karang ini
berdampak terhadap hancurnya ekosistem terumbu karang di pesisir Sahu. Rumah ini dapat bertahan cukup lama, hingga pada tahun 1970-an masyarakat
kemudian diperkenalkan dengan bahan bangunan beton berbahan semen. Dimulai saat inilah konstruksi bangunan masyarakat di Desa Susupu dan Lako
Akelamo kemudian mengalami perubahan dari rumah gaba, rumah batu karang menjadi rumah permanen.
Di Desa Susupu dan Lako Akelamo orang yang ingin membuat rumah permanen ala batu karang maupu rumah gaba harus membicarakan dengan
pihak keluarga tentang keinginan dan kesiapannya untuk membangun rumah. Pertemuan keluarga adalah salah satu media untuk menyampaikan maksud
tersebut. Apa yang dibicarakan pada pertemuan keluarga itu terkait dengan pembagian kerja, konsumsi, transportasi, dan siapa-siapa yang akan terlibat di
dalamnya. Biasanya pekerjaan mengangkut material bahan bangunan dilaksanakan secara bari terdiri dari keluarga, kerabat, maupun orang-orang
yang secara sukarela ingin melibatkan diri. Kerja mabari dapat di laksanakan saat bahan-bahan banguannnya sudah disiapkan.
5.4. Bari Pasca Kerusuhan 1999
Pada saat mengunjungi panen kelapa di kebun, sambil melakukan mabari, para angota mabari bercerita mengenai kerusuhan yang terjadi di
kampongnya pada tahun 1999. Menurut pak Ibrahim, kerusuhan tersebut
merupakan imbas dari konflik Ambon, karena pada dasarnya masyarakat yang berbeda agama Kristen dan islam di Kec. Sahu adalah bersaudara. Umumnya
masyarakat melihat konflik bukan dari sisi SARA, melainkan provokasi orang- orang yang tidak bertangungjawab. Pada saat kerusuhan berlangsung semua
warga muslim yang berada di Sahu di evakuasi di Ternate selama 2 tahun, dan kembali lagi ke Susupu pada tahu 2001.
Pada saat itu keadaan desa masih hancur, sehingga banyak masyarakat memilih masjid sebagai tempat tinggal sementara. Terdapat beberapa barak
yang dibangun oleh pihak kontraktor, namun pekerjaan itu belum selesai, sehingga belum siap untuk di huni. Penduduk berada di barak rata-rata hingga 3
bulan. Pemerintah menyediakan makanan selama masa pemulihan konflik. Pembangunan rumah kembali dilakukan dalam 3 tahap dengan bantuan
pemerintah yang menyediakan bahan bangunan, kecuali kayu yang tidak disediakan pemerintah, sebagai ganti pemerintah menyediakan uang pengganti
kayu. Dalam pembangunan rumah tahap kedua, rumah Pak Ibm termasuk dalam daftar rumah yang turut dibantu untuk dibangun. Dalam proses pembangunan
rumah pasca konflik milik Pak Ibm sebagai contoh, masyarakat menggunakan mabari. Mereka berkelompok 10 hingga 15 keluarga saling bergantian
membangun rumah. Mereka adalah kelompok bari yang didasarkan pada keberadaan rumah yang saling berdekatan. Dalam waktu 1 bulan Ibm dapat
membangun kembali rumahnya, atas bantuan kerja dari kelompok bari tersebut.
5.5. Penetrasi Program Pemerintah
Program Pengembangan Kecamatan PPK merupakan salah satu upaya Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Barat. PPK telah dimulai sejak Indonesia
mengalami krisis multidimensi dan perubahan politik pada tahun 1998. Namun di Maluku Utara program pengembangan Kecamatan sempat terhenti pada tahun
– tahun berikutnya ketika konflik horizontal sedang melanda daerah itu pada tahun
1999 hingga penghujung tahun 2000. Program tersebut dilanjutkan pada tahun 20012002.
Melalui PPK dapat dilaksanakan program-program pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan,Oleh karenya PPK telah menyediakan dana
bantuan secara langsung bagi masyarakat BLM sekitar Rp 500 juta hingga Rp
1 miliar per kecamatan, tergantung dari jumlah penduduk. Masyarakat desa kemudian bersama-sama terlibat dalam proses perencanaan partisipatif dan
pengambilan keputusan untuk mengalokasikan sumber dana tersebut. Perencanaan itu dilakukan atas dasar kebutuhan pembangunan dan prioritas
yang ditentukan bersama dalam sejumlah forum musyawarah di Kecamatan pada tingkat masing-masing desa.
Sementara itu, yang ingin dicapai oleh PPK sendiri adalah memperkuat kelembagaan masyarakat dalam menyelenggarakan pembangunan desa atau
antar desa; yakni pengadaan sarana dan prasarana dasar perdesaan yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya masyarakat miskin, paling prioritas dan
mendesak, serta mendorong kegiatan sosial dan ekonomi sesuai kebutuhan masyarakat.
Desa Lako Akelamo dan Susupu merupakan dua desa yang juga tersentuh dengan PPK. Di Desa Susupu wujud dari kehadiran program ini, dapat
dilihat dari direnovasinya sebuah bangunan fisik Puskemas Pusat Kesehatan Masyarakat dan terbentuknya kelompok usaha kecil pengumpul hasil bumi
yang modalnya didapat dari program bantuan simpan pinjam yang merupakan bagian dari salah satu program PPK. Berbeda dengan Desa Susupu yang tidak
mendapatkan bantuan simpan pinjam dari program pengembangan kecamatan, Desa Lako Akelamo mendapatkan bantuan simpan pinjam oleh PPK yang di
berikan kepada asosiasi ibu rumah tangga yang menggalakkan usaha kecil menengah yaitu usaha anyaman tikar yang dibuat dari daun bobo, dan para
pengusaha kecil lainnya seperti usaha pembelian hasil-hasil bumi masyarakat setempat. Menurut Koordinator PPK Kecamatan Sahu Bernat Barulia, di Desa
Lako Akelamo adalah salah satu contoh desa penerima program PPK yang sukses mempergunakan anggarannya untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat di desanya. Ketrampilan kelompok ibu-ibu rumah tangga dalam membuat anyaman tikar, hasilnya telah mereka pasarkan sampai ke Ternate.
Sementara polindes merupakan program prioritas yang dibutuhkan oleh masyarakat Desa Lako Akelamo diputuskan melalui mekanisme musyawarah di
tingkat RT yang kemudian dibawa pada pengambilan keputusan tingkat musyawarah desa. Melalui musyawarah desa, program-program yang digodok
pada tingkat RT ditetapkan menjadi program prioritas. Dengan demikian hadirnya PPK pada kedua desa ini setidaknya
merupakan pelajaran berharga bagi masyarakat mengenai cara pengambilan
keputusan, yaitu bahwa keputusan tersebut diambil di antara berbagai macam pilihan keputusan. Sebelumnya masyarakat telah mengenal mekanisme
pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat, namun demikian musyawarah mufakat yang menjadi ciri khas masyarakat di Desa Lako Akelamo
dan Susupu, dalam banyak hal menunjukkan bahwa tokoh agama, tokoh adat, pegawai adalah orang-orang yang begitu dominan untuk memaksakan kehendak
terhadap suatu keputusan yang diambil. Oleh karena itu maka belum tentu keputusan yang diambil melalui musyawarah mufakat tersebut dapat dikatakan
representatif bagi masyarakat. Masyarakat di Desa Lako Akelamo menganggap Polindes sangat
dibutuhkan bagi masyarakat setempat, karena membantu kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih efektif. Kehadiran Polindes akan memperpendek akses
pelayanan kesehatan yang dulunya masih berpusat di Kecamatan. Walau pun dari sisi sarana dan prasarana kesehatan belum memadai, namun aktivitas
pelayanan di polides dengan kehadiran dua orang petugas kesehatan, dianggap sangat membantu melayani kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat
setempat. Sebagai Ibu Kota Kecamatan, Desa Susupu memiliki sebuah puskesmas
dilengkapi dengan peralatan medis yang modern. Masuknya metode pengobatan modern, perlahan-lahan menggeser praktek pengobatan tradisional masyarakat
setempat. Masyarakat di Desa Susupu masih memanfaatkan tumbuh-tumbuhan, daun-daunan, kulit pohon, sebagai ramuan obat. Masyarakat masih percaya
pada kekuatan doa “orang pintar” untuk mengobati atau menyembuhkan
penyakit. Masyarakat saat ini mengenal mantri atau bidan. Pada masa lalu,
mereka lebih mengenal dengan nama “sou-sou” atau tukang obat. Yang
termasuk dalam kategori tukang obat di Desa Susupu adalah, para dukun, tokoh agama termasuk imam, ustad, dll. Mereka mendapatkan kedudukan khusus
sebagai tukang obat. Pengetahuan tenaga medis menurut anggapan masyarakat seringkali menjadikan pasien sebagai kelinci percobaan, selalu gonta-ganti obat
tapi penyakit tidak berakhir sembuh, sementara biaya pengobatan terus mengalir.
Situasi perebutan tugas dan fungsi pelayanan kesehatan dapat diamati pada kedua wilayah ini antara dukun dan mantri, Terkadang terjadi “pelarian
pasien” dari pengobatan moderntenaga medis puskesmas ke pengobatan ala
dukun, maupun sebaliknya, namun ada pula pasien yang menggunakan kedua metode pengobatan dimaksud.
Walaupun demikian sebagian masyarakat meyakini bahwa sakit mebutuhkan pelayanan medis namun harus disertai juga dengan pengobatan
tradisonal seperti halnya dukun, karena sakitnya sesorang biasanya sering dikaitkan dengan faktor gangguan kekuatan roh-roh halus dan guna-gunapelet.
Kepercayaan terhadap dukun, dan kekuatan-kekuatan roh halus lainnya seperti, wonge jin, dll telah menciptakan kehidupan masyarakat yang penuh
kecurigaan antara satu dengan yang lain. Misalnya setelah didiagnosa oleh dukun A, orang kemudian saling mencurigai atau menuding dukun A atau B yang
telah membuat keluarga atau saudaranya menjadi sakit. Situasi ini kadang menjadi kericuhan antara keluarga pasien dengan keluarga dukun. Menurut
mereka, faktor ini jugalah yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi bari di Desa Susupu. Saling curiga dan menuding antar sesama kelompokkeluarga
yang membuat semangat bari hari demi hari kian memudar. Hubungan kekerabatan antara masyarakat menjadi terancam, akibat dari saling menuding,
mencurigai antara keluarga dukun dengan masyarakat pengguna jasa pengobatan alternative itu.
Fenomena di Desa Susupu tentu sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Desa Lako Akelamo. Desa yang juga kebagian program pengembangan
Kecamatan menggunakan dana PKK dalam bentuk pembangunan polindes poli klinik desa. Walaupun sedikit masih mempercayai pengobatan tradisional dalam
pelayanan kesehatan namun dengan berdirinya sebuah instutusi polindes, sedikit demi sedikit telah mengubah atau menggeser sistem pengobatan alternatif yang
dahulu sering dilakukan masyarakat. Ungkapan seorang tokoh masyarakat bahwa;,
torang kalo tetap pertahankan torang pa model ba obat deng dukun, torang pe desa akan tara maju, karena saling baku curiga artinya, jika
kita tetap mempertahankan tradisi pengobatan dengan menggunakan dukun, desa kita tidak akan maju, karena saling curiga antara satu
dengan yang lainnya.
Dahulu sebelum adanya polindes dan puskesmas menurut Jamrud di desanya terdapat beberapa orang dukun tanpa menyebutkan namanya, tetapi
mereka sudah hijrah keluar desa. Kehadiran polindes bukanlah salah satu alasan” kabur”nya para dukun itu, akan tetapi beberapa kejadian rumah dukun
dibakar oleh massa karena dianggap meresahkan masyarakat di Desa Lako
Akelamo. Tekanan sosial masyarakat di Lako Akelamolah yang membuat dukun hengkang keluar dari desa. Berbagai macam penyuluhan kesehatan gencar
dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas kesehatan dan Puskesmas setempat. Kepala Puskesmas Sahu mengatakan bahwa dengan penyuluhan
kesehatan pihaknya akan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat di tingkat Kecamatan dan desa tidak saja sadar, tahu dan
mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan pelayanan kesehatan modern.
Topik kesehatan yang diungkap masyarakat in, menunjukkan, bahwa modernisasi melalui metode dan praktek pengobatan modern sesungguhnya
tidak serta-merta diterima dengan baik oleh masyarakat. Masyarakat menunjukkan reaksi yang beragam atas masuknya unsur modern ini. Sebagian
menerima metode pengobatan modern ditunjukkan dengan perubahan perilaku mereka dengan memilih berobat ke polindes atau pun puskesmas. Sebagian
lainnya menolak dan membangun resistensi dengan alasan bahwa pengobatan modern yang dilakukan dokter seringkali tidak tepat diagnosanya dan mereka
merasa digunakan sebagai ujicoba saja. Sementara sebagian lainnya mengadopsi kedua metode pengobatan baik tradisional maupun medis.
Menurunnya perilaku masyarakat yang mendatangi dukun di saat sakit di mana mereka mempraktekkan metode pengobatan mistis melalui mantra-mantra,
disebabkan oleh tercederainya kepercayaan sosial masyarakat. Hal ini ditambah dengan segera masuknya metode pengobatan modern.
Keberadaan fisik puskesmas, polindes, adanya tenaga kesehatan medis, dokter dan bidan medis, kemudian kegiatan penyuluhan kesehatan serta praktek
pengobatan medis telah mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Segala yang baru dan datang dari luar itu tak hanya membawa serta atribut modernitas
melainkan lebih dari itu mereka membawa serta pengetahuan. Pengetahuan sesungguhnya adalah hal yang sangat penting mempengaruhi perkembangan
sosial masyarakat. Pengetahuan bahkan menyimpan power kekuasaan. Proses transformasi pengetahuan modern itu menggeser posisi pengetahuan lokal
masyarakat yang selama ini ditunjukkan dengan mantra- mantra, do’a-do’a, dan
tradisi ramuan obat-obatan tradisional. Sebagaimana Foucoult 1980 mempercayai bahwa pengetahuan adalah juga alat hegemoni bagi kekuasaan.
Dalam kenyataannya ini ditunjukkan oleh semakin melunturnya metode pengobatan lama.
Masuknya program-program pemerintah termasuk melalui pembangunan infrastruktur, birokrasi, bantuan donasi melalui pembangunan jalan, penempatan
kantor-kantor pemerintah beserta perangkat sumber daya manusianya, program PPK dan sejenisnya dalam kasus ini menunjukkan bahwa penetrasi negara ke
dalam masyarakat terjadi menggunakan unsur-unsur birokrasi, donasi dana bantuan, dan bahkan penetrasi pengetahuan baru yang dianggap lebih logis,
masuk akal dan karenanya disebut modern. Sikap masyarakat yang menerima, menolak, menerima sebagian, atau memadukannya, menunjukkan bahwa
penetrasi unsur-unsur baru tersebut tidak serta merta dapat diadaptasi, melainkan dapat pula diresistensi. Resistensi dilakukan masyarakat dalam kasus
ini disebabkan oleh persoalan akses masyarakat terhadap unsur-unsur baru tersebut terbatas. Dalam kasus praktek pengobatan, penolakan pada
pengobatan modern dokter disebabkan akses terhadap lokasi dan mahalnya biaya pengobatan medis dibanding non medis yang jauh lebih murah.
5.6. Tragedi Bantuan Subsidi dan Uang Saku.