3. Bagaimana proses perkembangan bari dan mabari terjadi, dan dinamika unsur-unsur perubahannya?.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan memberikan kajian menyeluruh terhadap bari sebagai nilai sosial masyarakat yang mendasari kegiatan mabari
kelembagaan sosial masyarakat. Penelitian diharapkan membantu menemukan kenyataan di lapangan yang akan dikaji, yaitu: Pertama : Mengetahui bari dan
mabari dalam konteks situasi sosial komunitas di lokasi penelitian pada masa kini. Kedua; menggambarkan pembangunan membawa perubahan pada
komunitas, dan dampaknya terhadap bari dan kelembagaan mabari pada masing-masing lokasi penelitian. Ketiga; Menggambarkan tentang proses
mabari dan pola produksi petani kelapa di dua desa dan unsur-unsur perubahannya
Hasil penelitian diharapkan memberikan masukan kepada Pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan sehingga dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat lokal dan lebih menghargai kelembagaan masyarakat lokal sebagai lembaga sosial yang efektif dalam menggerakan pembangunan di
desa.
1.4. Sistematika Tulisan
Pada Bab 1 tesis ini sebagaimana telah diuraikan disampaikan mengenai latar belakang ketertarikan terhadap studi mengenai bari dan kelembagaan
mabari di Kabupaten Halmahera Barat. Tema kelembagaan sosial selanjutnya dibicarakan kembali dengan mengingat semakin menipisnya kohesifitas sosial
masyarakat akibat derasnya modernisasi dan penetrasi modal yang membawa serta pengaruh materialnya ke dalam kehidupan sosial masyarakat. Kondisi yang
mengancam kohesifitas sosial oleh konflik demi konflik yang berimplikasi secara horisontal, sedemikian rupa merapuhkan solidaritas nasional dan mereduksinya
dalam kesadaran homogenetik berdasar agama, ras, dan etnis. Dinamika mabari sebagai kelembagaan masyarakat yang berintikan nilai bari yang berintikan
kebersamaan, solidaritas diungkap menjadi penting diangkat sebagai pembelajaran sosial.
Dalam bab kedua nanti akan diungkapkan beberapa teori pada tinjauan pustaka dimulai dari teori kelembagaan sosial, teori tentang strukur sosial dan
stratifikasi sosial serta, teori tentang perubahan sosial. Dari beberapa teori itu digunakan untuk meneropong realitas kelembagaan dan masyarakat.
Bab ketiga akan menjelaskan tentang metodologi yang digunakan untuk meneliti memudarnya
”bari” dan kelembagaan ”mabari” di dua desa komunitas kelapa di Kabupaten Halmahera Barat.
Di
Bagian keempat, peneliti menjabarkan keadaan umum situasi komunitas dua desa, Bagian ini diungkap
kondisi masyarakat yang di lokasi penelitian. Mulai dari cerita asal usul masyarakat Sahu terutama di desa tersebut. Gambaran bagaimana kita dapat
mencapai masyarakat tersebut, kemudian mengenali siapa yang ada dalam desa-desa tersebut baik mereka yang berada dalam identitas kedudukan dalam
stratifikasi sosial feodal yang kenyataannya masih tetap ada maupun mereka yang termasuk dalam kategori penggolongan-pengolongan baru masyarakat.
Pada bagian ini juga di jelasakan mata pencarian pokok masyarakat di dua desa. Bab kelima dari tesis ini menggambarkan tentang bagaimana
pembangunan membawa perubahan pada komunitas. Proses perubahan satu per satu, dimulai dari penetrasi modernisasi akibat pembangunan yang
diperlihatkan oleh masuknya pembangunan infrastruktur jalan dan listrik, pendirian gedung-gedung sekolah, fasilitas umum, Kantor birokrasi, dll.
Dilanjutkan dengan kehadiran program-program bantuan pemerintah lainnya. Konflik 1999 juga memberikan pengaruh yang penting bagi perubahan
masyarakat Sahu. Bagian ini juga memperlihatkan bagaimana implikasi pengaruh masuknya unsur-unsur dari luar tersebut terhadap masyarakat desa.
Bab keenam akan menjelaskan tentang mabari dan pola produksi petani kelapa di dua komunitas. Penjelasan dari bagian ini lebih awalnya diceritakan
tentang eksistensi petani kelapa didua desa dalam pola produksi kelapa dengan menggunakan nilai-nilai bari. Pada bagian ini juga di jelasakan terkait dengan
perbedaan praktek bari dalam pola produksi kelapa di dua desa, serta mekanisme sosial penyelesaian konflik produksi, variasi pekerjaan dan mabari
dalam proses sosial yang berlangsung di dua desa. Bab ketujuh dari tesis ini berisikan simpulan dan saran. Di sini akan
diuraikan sejumlah hal yaitu mengenai apa sesungguhnya terjadi pada kelembagaan sosial yang disebut mabari itu dan bagaimana mabari terintegrasi
dalam keseluruhan aktivitas sosial masyarakat. Selanjutnya adalah kesimpulan mengenai unsur-unsur yang mempengaruhi perubahan terhadap mabari maupun
unsur-unsur yang membuatnya tetap bertahan dalam masyarakat.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka.
Posisi teori dan konsep adalah sebagai elemen dasar yang memberikan batasan-batasan pengertian di dalam penelitian sosiologi. Konsep-konsep yang
saling berhubungan akan membentuk proposisi. Sementara itu teori merupakan sebuah sistem dari antar hubungan interrelated antara konsep dan proposisi.
Teori ini berfungsi memberikan penjelasan pola logis logical pattern terhadap perilaku manusia.
1
Oleh karena itu, untuk memberi gambaran kesamaan pemahaman teori dan konsep didalam penelitian, maka Bab ini menguraikan
kedua hal tersebut.
2.1.1. Nilai-Nilai Budaya, Pembangunan dan Modernisasi
Modernisasi merupakan sebuah isyu dalam rangka pencapaian proses pembangunan pasca berakhirnya perang dunia PD II, yang melibatkan
beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di negara barat. Pada
awal 1950-an mulai muncul berbagai varian dari konsep modernisasi dan pada akhir 1960-an berbagai disiplin ilmu berhasil mengembangkan konsep
modernisasi ini. Namun menjelang akhir 1970-an perkembangan konsep modernisasi mulai menurun. Kekurangan dan kelemahan konsep modernisasi
semakin tampak nyata sehingga kaum ilmuan sosial mulai mencari paradigma alternatif.
Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah
dialami oleh negara dunia kedua. Negara maju semakin banyak menjadi sponsor pembangunan negara berkembang. Konsep modernisasi ternyata mempunyai
beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia
kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal yang sama pada negara
dunia kedua. Bagi negara dunia ketiga modernisasi tak ubahnya dianggap
1
Peltoand pelto, Anthropological Research, 1984, hal 9-11.
sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah menghilangkan nilai - nilai budaya yang ada. Modern dipandang sebagai perilaku hidup yang digambarkan
oleh masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara dimana terdapat pandangan yang rasional terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Selanjutnya modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan
pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-
nilai ‘modern’, teknologi, keahlian, dan modal. Disisi lain, industrilasiasi, ekspansi modal yang merupakan bagian dari
modernisasi adalah merupakan salah satu faktor penyebab yang akan mentarnsformasikan secara cepat ketertinggalan, atau kemunduran tradisi
dalam suatu
komunitas pedelaman
pedesaan. Pemikiran
mengenai pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang
melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Di sisi lain penganut teori modernisasi melihat industrialisasi kapitalis
sebagai jalur paling efektif dari pembangunan, kurang tulus dan bermoral dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia daripada penganut teori
underdevelopment dan teori lainnya yang menekankan kesamaan dalam distribusi dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar.
Kemudian, apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi? Pembangunan adalah sebuah perubahan menuju status yang dihargai, yang
mungkin atau tidak mungkin diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan yang tidak mungkin terjangkau. Modernisasi merupakan suatu proses yang
sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi secara aktual, baik atau buruk: rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang dapat digambarkan,
diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik atau progresif, perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap pembangunan, namun
tidak perlu dievaluasi dengan cara ini. Menurut Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak.
Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju.
Hal ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik. Michael dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia
maju. Namun, tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam beberapa hal terdapat adaptasi.Hal ini dasarkan pada kajian historis. Padahal,
jangan-jangan proses modern itu tidak seperti di negara-negara maju. Namun, kenyataannya modernisasi memang telah menggerus tatanan tradisional
masyarakat. Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses
modernisasi seperti
industrialisasi, pertumbuhan
ekonomi, kapitalisasi,
perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk, perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan.
Menurut Schoorl asumsi-asumsi dasar modernisasi sesuatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-
aspeknya. Batasan gejala modernisasi dapat dilihat dari pertanggungjawaban ilmiah
dalam menerapkan pengetahuan, sejauh mana struktur sosio-politik masyarakat dan lainnya. Modernisasi sama artinya dengan evolusi bila dibatasi pada
perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan. Namun menurut Linton, modernisasi dan masyarakat modern itu dapat bermacam-macam arahnya.
Tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma yang digunakan apakah modernisasi tertentu itu juga dipandang sebagai kemajuan atau bukan.
Proses evolusi merupakan pertumbuhan yang mutlak dan manusia sesuai dengan posisi dan situasinya, sampai batas-batas tertentu bertanggung jawab
atas perkembangan masyarakat dan kebudayaannya. Dube 1988, mengatakan Ciri manusia modern ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai
pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan
kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan istem sosial
budaya. . Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan
untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan mengaanggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan
bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang
bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge
masyarakat lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia
tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini,
oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilbatkan secara
langsung. Masuknya beragam program pemerintah untuk mengubah kondisi masyarakat dari keadaan terbelakang menuju kepada sebuah kemajuan,
menjadikan masyarakat
terpaksa meninggalkan
nilai-nilai kulturalnya.
Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan
pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program
pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, di jelaskan oleh penulis
sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada akhirnya, perhatian khusus yang menjadi fokus adalah kultur masyarakat lokal yang sebenarnya tidak bertentangan dengan pembangunan
bahkan lebih bijak dibandingkan program-program bentukan pemerintah, selalu terlupakan. Oleh karenanya kita mencoba membuktikan bagaimana kultural
masyarakat dalam berbagai aspek, ternyata lebih bermanfaat dibandingkan nilai baru yang bahkan menyebabkan kehancuran masyarakat
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan
satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang
modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo 1982 dan Dove 1988. Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah
Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai
akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang
masuk bersama dengan modernisasi. Dove Michael R 1985, dalam penelitiannya di membagi dampak
modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di
daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan
tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu
membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas
jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh
pengetahuan baru yang dianggap lebih superior. Sajogyo justru kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang
menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”.
Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan
wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang
membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara
petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
2.1.2. Kelembagaan Pembangunan dan Komunitas Petani
Kehidupan masyarakat mengenal seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di
kalangan masyarakat pedesaan, lembaga-lembaga ini dikembangkan melalui tradisi, yang berbeda dengan ciri pengembangan organisasi atau kelembagaan
modern yang dibawa oleh penguatan birokrasi pemerintahan. Oleh karena pemerintah memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah
atau saluran pembangunan bahkan sarana yang efektif untuk percepatan pengorganisasian pembangunan pedesaan. Uphoff 1986 memberikan
gambaran bahwa selama kurun waktu yang panjang lembaga donor internasional mengakui akan pentingnya pengembangan kelembagaan pembangunan di
pedesaan untuk mencapai tujuan pembangunan. Pengertian atau konsep kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam
sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi
karena kini mulai banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam
bidang sosiologi, kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan adat istiadat.
Secara umum, lembaga, apakah itu organisasi atau bukan merupakan kompleks dari norma dan kebiasaan yang telah berlangsung sepanjang waktu
melalui kegunaan nilai pelayanan kolektif. Studi lembaga memfokuskan pada peraturan yang tajam dari kebiasaan dari pada pada peranan. Uphoff, 1986
mengatakan bahwa kelembagaan meruapakan suatu himpunanan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu
untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Menurut Uphoff, 1986 institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat
istiadat. Menjelaskan
tentang kelembagaan,
atau institusi,
umumnya mengarahkan pandangan orang lebih kearah sebuah organisasi, wadah maupun
pranata. Akan tetapi organisasi adalah wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga atau kelembagaan mencakup juga mengenai aturan main, etika, kode
etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau sistem. Terdapat beberapa kelembagaan dalam masyarakat desa, yang dilaksanakan
dengan keras, terutama melalui paksaan sosial yang didasarkan pada interaksi sosial. Selanjutnya kelembagaan itu berubah sebagai reaksi terhadap
berubahnya kelangkaan relatif sumber-sumber daya yang di dalam komunitas tidak hanya tergantung pada penyediaan sumberdaya, tetapi juga pada kondisi
teknologi dan pasar. Kelembagaan memudahkan koordinasi dan kerjasama diantara masyarakat desa dalam pemakaian sumber daya, dan merupakan
aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sangsi oleh anggota masyarakat, Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi. 1987. Beberapa kelembagaan ketenagakerjaan
yang mengatur hubungan antar majikan atau pemilik lahan dengan buruh antara lain dikenal dengan anama hunusan di pedesaan Philipina, mapalus dipedesaan
Sulawesi Utara, KedokanCeblokanngepak ngedok dan Lebotan di daerah pedesaan jawa tengah dan barat. Menurut Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi
1987, untuk melihat aspek kelembagaan juga di analisis pada cirri-ciri organisasi dan kelembagaan masyarakat desa yang melatarbelakangi dinamika
ekonomi yang hidup di pedesaan. Dinamika tersebut dapat dilacak dari gaya desa dalam produksi dan pertukaran, interaksi sosial, pendekatan ekonomi dari
sudut moral, dan struktur sosial yang terbentuk. Kelembagaan yang di analisis Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi secara khsusus adalah hubungan kontrak
antara petani dan buruh tani yang dikembangkan dalam satuan usahatani keluarga rumah tangga petani. Hubungan “bapak anak buah” antara petani dan
buruh tani itu digambarkan sebagai kompleks beragam kaitan pasaran dengan
saling mengenal pribadi dimana syarat ekonomi dan efisiensi dapat terjamin. Ada beberapa definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari
berbagai perspektif keilmuan. Misal, Ruttan dan Hayami 1984 menyatakan, bahwa kelembagaan sebagai aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka denagn harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang di inginkan. Sedangkan Uphoff, 1986 membatasi pengertian sebagai suatu
himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai
bersama, insitusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Pendefinisian lembaga ini dapat juga merujuk pengertian sebagai aturan
rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
tergantung satu sama lain Ostrom, 1985. Umumnya definisi kelembagaan mencakup konsep pola perilaku sosial
yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga
pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan
perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai
dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Dengan demikian, menjadi penting memahami kelembagaan didalam konteks pembangunan.
2.1.2.1. Komunitas Petani.
Tiga konsep tentang petani yang pada umumnya masih berbeda. Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara umum,
tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas dibanding konsep pertama, seperti dalam James C. Scott 1976. Menurutnya definisi
petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya petani
adalah orang yang bercocok tanam melakukan budidaya di lahan pertanian. Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan
orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan dijual Wolf,
1985. Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya
jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Berkaitan dengan hal tersebut
Marzali 1999,
memberikan konsep
petani peasant
agar dapat
dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya, petani ditinjau dari proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat manusia, maka dapat
dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum petani berada di antara masyarakat primitif dan kota moderen. Kedua, petani adalah masyarakat yang
hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga, dipandang dari sudut tipe produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata pencaharian, maka petani
berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani moderen farmers. Petani primitif dan petani peasant perbedaannya pada teknologi yang
digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan golok, sedangkan petani telah menggunakan cangkul pacul, garu dan bajak.
Perbedaan antara petani dengan petani modern terletak pada sifat usahatani yang dilakukan. Petani berusahatani dengan bantuan keluarga dan
hasilnya juga untuk keluarga. Sedangkan petani modern berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan mencari keuntungan. Produksi tidak
hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf 1985 bahwa, petani berusahatani
keluarga, sedangkan petani modern berusahatani dengan prinsip ekonomi perusahaan komersil. sedangkan, kesamaannya dari keduanya adalah sama-
sama mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural. Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak
lepas dari komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi pengertiannya mempunyai arti yang sama penting. Redfield dalam
Koentjaraningrat 1990 mengatakan bahwa, umumnya antropolog memandang komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut pandang ini komunitas
didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan
kesatuan hidup setempat, yaitu yang lebih terikat pada ikatan tempat kehidupan daripada ikatan lain seperti kekerabatan, kepercayaan dan sejenisnya. Tinjauan
aspek ekologis menekankan pada segi ruang spasial dari komunitas. Sehingga penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan dengah hal itu
Sanders 1958 membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama, komunitas pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kedua,
komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang keempat, sub- komunitas metropolitan. Dari keempat jenis komunitas tersebut, biasanya
komunitas pedesaan yang banyak menarik perhatian. Umumnya hal ini dikarenakan komunitas pedesaan lebih memiliki sifat isolasi dan swadaya
dibandingkan dengan komunitas lainnya. Berbeda dengan Redfield, selain menekankan aspek ekologis Sanders
juga menekankan komunitas sebagai sistem sosial. Konsep ini tidak hanya membatasi komunitas pedesaan yang cenderung terisolasi, namun aspek
ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi lain yang membentuk pengertian komunitas juga dikemukakan. Misalnya komunitas sebagai suatu ruang maka,
dalam dirinya juga terbentuk suatu arena interaksi. Artinya sebagai suatu tempat untuk berinteraksi maka, komunitas tidak hanya melibatkan sebatas pria dan
wanita, orang tua dan anak-anak, tetapi melibatkan setiap pelaku dalam komunitas yang mencakup seluruh segi kehidupan dari kategori seperti umur,
jenis kelamin, suku, ras dan berbagai latar belakang lainnya. Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sanders 1958
mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh lima faktor yaitu: 1. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup
dengan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai
fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.
2. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru
muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk
kelangsungan hidupnya. 3. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan
tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri.
Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa
kelompok di dalam komunitas. 4. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan
anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.
5. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat
kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya.
2.1.2.2. PelapisanStratifikasi Sosial
Memahami komunitas atau masyarakat terkecil tidak lepas dari pemahaman pelapisan atau stratifikasi sosial. Oleh karena, stratifikasi sosial
menjadi penting untuk melihat adanya pembagian peran di kalangan kelompok masyarakat yang berbeda. Pengertian stratifikasi sendiri secara definitif
sebagaimana dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin adalah suatu pelapisan sosial yang merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat dalam kelas-kelas
secara bertingkat hierarkis. Perwujuadannya adalah adanya lapisan-lapisan didalam masyarakat ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan
dibawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. Menurut Soerjono Soekanto stratifikasi sosial merupakan suatu jenis
diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara bertingkat. Jenjang secara bertingkat tersebut akan menghasilkan strata tertentu,
dan kedalam strata itulah masyarakat dimasukkan. Menurut Hewitt dan Mitchell menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah tingkat perbedaan individu dalam
masyarakat yang mana dalam sistem sosial tertentu sebagai superior maupum inferior. Sedangkan menurut Marx Dan Weber mengatakan bahwa stratifikasi
sosial merupakan pencerminan dari organisasi sosial suatu masyaraakat. Dari ketiga pengertian diatas saya mengambil kesimpulan bahwa strtatifikasi sosial
adalah cara pembedaan masyarakat berdasarkan jenjang atau strata tertentu yang betingkat-tingkat,dari mulai strata inferior sampai dengan superior.
Pembedaan masyarakat secara bertingkat tersebut dikarenakan tiga hal menurut Weber:
1. Dimensi Ekonomi Tingkat kesejahteraan ekonomi setiap induvidu dalam masyarakat berbeda-beda. Dinegara-negara kapitalis dimensi
ekonomi dalam kaitannya dengan steratifikasi sosial mudah dijumpai. Disatu sisi terdapat individu yang borjuis,kekayaan melimpah,dan
menguasai beberapa sektor ekonomi.Namun disisi lain terdapat individu yang melarat,sehingga antara keduanya terdapat jurang
pemisah yang sering disebut kesenjangan sosial social distance. Sedangkan dinegara-negara sosialis, dimensi tersebut sedikit bahkan
tidak. 2. Dimensi Sosial Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali orang
yang mempermasalahkan tentang ras,agama,maupun suku yang dikaitkan dengan stratifikasi social. Kelompok ini menganggap bahwa
ras,suku,agama mereka berada pada kelas superior. Di Afrika Selatan pernah terjadi pembedaan ini dengan adanya politik apartheid yang
menganaktirikan ras kulit hitam. Hal ini juga terjadi di Amerika Latin,ras kulit hitam hanya dijadikan budak ras kulit putih. Tapi semua
itu tidak terlepas pada prinsip yang dimiliki setiap individunya masing- masing. Anggapan tersebut dapat terjadi apabila disuatu daerah
terdapat ras,suku,maupun agama yang dominan. 3. Dimensi Politik. Bagian terpenting dari dimensi politik yaitu jabatan
dalam lembaga-lembaga politik termasuk parpol. Hierarkhi antara pimpinan dengan bawahan sangat mencolok, disini kedudukan
tertinggi yang berwenang mengambil keputusan dalam masalah- masalah tertentu dalm lembaganya adalah pimpinan,sedang bawahan
hanyalah sebagai pelaksana dari keputusan tersebut. Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar
pembentukan pelapisan sosial adalah ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran kekayaan mencakup
kekayaan materi atau kebendaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki
kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah । Kekayaan tersebut
dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
Ukuran kekuasaan atau wewenang menunjukkan segi-segi seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati
lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya
dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Sedangkan, ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan
atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati
orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran keempat adalam ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota- anggota masyarakat yang menghargai ilmu. Seseorang yang paling menguasai
ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya
terdapat dalam gelar-gelar akademik kesarjanaan, atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar
profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada
ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan
membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
2.1.2.3. Perubahan Struktur dan Organisasi Sosial
Perhatian terhadap stratifikasi sosial menjadi menarik apabila dikaitkan dengan dinamika dan perubahan masyarakat akibat pembangunan sebagai
perubahan sosial yang direncanakan. Pembahasannya berkait dengan perubahan struktur dan organisasi sosial. Menurut Douglas 1973,
mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan
struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari. Sedangkan Gerhard Lenski, lebih menekankan pada struktur masyarakat yang
diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai
kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau
masyarakat. Kornblum 1988 menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang
yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang
menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku
sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Linton 1967, dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan
kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang
merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh ascribed status dan status
yang diraih achieved status. Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu
yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada
individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait.
Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi
dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan
pandangan yang disampaikan oleh Max Weber Beteille, 1970. Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang
menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan
tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam
hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti ras, usia dan agama Beteille, 1970. Konsep struktur dan organisasi sosial didalam penelitian ini menjadi
penting didalam kaitan peubahan sosial akibat pembangunan. Perubahan sosial yang dimaksudkan adalah perubahan mabari dalam masyarakat. Masuknya
unsur-unsur materi pada berikutnya mempengaruhi terjadinya perubahan sosial, dengan demikian materi adalah pemicu terjadinya perubahan sosial yang
ditandai dengan gejala-gejala tertentu dalam masyarakat. Secara khusus Kuntowijoyo 2002 menyebutkan gejala-gejala perubahan sosial yang dapat
dilihat dari ikatan-ikatan tradisi yang semakin longgar, dan digantikan oleh hubungan-hubungan yang bersifat rasional, legal, dan kontraktual. Materi adalah
sentrum dari perubahan. Gejolak perubahan tidak berasal dari pergeseran gagasansistem nilai di dalam masyarakat itu sendiri, melainkan terpengaruh oleh
masuknya materi ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian perubahan sikap dan perilaku menjadi implikasi dari perubahan materi.
Beberapa pusataka tentang perubahan sosial didefinisikan dengan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan konsep perubahan itu. Konsep
perubahan sosial sebagai perubahan penting apabila terjadi perubahan dari struktur sosial, termasuk pola perilaku dan interaksi sosial. Oleh karenanya
perubahan sosial juga termasuk didalamnya perubahan pada nilai, norma dan fenomena kultural yang terdapat pada sebuah komunitas masyarakat. Untuk
melihat bagaimana sesungguhnya perubahan-perubahan sosial yang dijelaskan oleh beberapa penulis seperti halnya Sosrodihardjo 1972, Wertheim W.F.
1999. Dalam konteks penjelasan perubahan sosial tersebut baik melihat matriks
yang mencoba memudahkan kita untuk memahami beberapa perspektif dari perubahan-perubahan sosial. Dari Tabel 1 diketahui bagaimana dalam kaitannya
antara perubahan struktur dan startifikasi sosial pada masyarakat didalam konteks studi di Indonesia dan Asia. Dari table tersebut daoat juga dirujuk
beberapa variable sosiologi yang penting menjadi perhatian dalam konteks perubahan struktur dan organisasi sosial akibat pembangunan.
Tabel 2 selanjutnya, juga memperlihatkan pengelompokkan teori perubahan sosial yang dilakukan oleh Strasser dan Randall 1981. Perubahan
sosial dapat diliha t dari empat teori, yaitu: kemunculan diktator dan demokrasi,
Tabel.1. Matriks tentang proses perubahan sosial serta variabel perubahan. Berdasarkan peneliti, Sosrodihardjo 1972 dan Wertheim W.F. 1999,
Peneliti Fokus dan
daerah yang
diteliti Proses
Perubahan Yang terjadi
Konsep Variabel
perubahan
Sosrodihardjo Masyarakat
Jawa Adanya kelas
pemasaran justru merubah
struktur sosial masyarakat
adanya pelapisan didalam
masyarakat, makin besar pengaruhnya
suatu kelompok, semakin tinggi pula
kedudukannya dalam struktur
masyarakat Stratifikasi
sosial status
sosial, Konflik
,gaya hidup, dan
pola konsumsi.
Wertheim Kawasan
Asia Selatan
dan Tenggara
Masuknya ekonomi
keuangan kapitalisme
Barat menyebabkan
perubahan struktur sosial
pada Negara Asisa Selatan
dan tenggara. infra-suprastruktur
Masyarakat Asia Selatan dan
Tenggara juga dipengaruhi oleh
dampak kapitalisme.
Stratifikasi sosial
status sosial,
hubunagn kelas
sosial, antara
superioritas dan
inferioritas.
Kuntowijoyo Perubahan
Sosial di Madura
Pasang surutnya pola
produksi petani tembaku
dalam perkembangan
zaman colonial,
jepang, orde lama dan baru,
menyebakan peruabahan
sosial ditingkat struktur sosial
masyarakat khususnya
pada masyarakat
Madura.
teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial. Matriks di Tabel 2 ini penting untuk memberikan gambaran
terkait dengan ketiga teori tersebut diatas.
Tabel 2. Pengelompokan teori perubahan sosial oleh Strasser dan Randall 1981
Perspektif teori Penjelasan Teortik
teori kemunculan diktator dan demokrasi
Teori ini adalah sebuah pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang mengalami
sebuah proses transformasi pada basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.
Teori perilaku kolektif menekankan pada proses perubahan daripada
sumber perubahan sosial. Teori inkonsistensi status Dalam penjelasan teori ini, individu sepetinya dilihat
sebagai bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang
didasarkan pada perubahan.
Analisis organisasi
sebagai subsistem sosial kemunculan teori ini tentu didsarkan pada sebuah
anggapan bahwa organisasi birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil
transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan
hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.
Pada sisi lain menurut Lewin 1951, perubahan juga terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Ia
berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan driving force akan berhadapan dengan penolakan resistences untuk berubah. perubahan dapat terjadi dengan
memperkuat driving force dan melemahkan resistences to hange. Langkah- langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu :a.nfreezing,
merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah. b.Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat
driving force maupun memperlemah resistences.c Refreesing, membawa kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru a new dynamic
equilibrium. Dahrendorf dalam Robert H. Lauer 1993 melihat hubungan erat antara konflik dan perubahan, ia mengemukakan bahwa seluruh kreativitas,
inovasi dan perkembangan dalam kehidupan individu, kelompoknya dan masyarakatnya, disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok,
individu dan individu serta antar emosi dan emosi dalam diri individu. Pemikiran Dahredorf terkandung beberepa proposisi diantaranya adalah; setiap masyarakat
dalam segala hal tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terjadi di mana saja; setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksuaian
dan konflik, konflik sosial terdapat dimana saja; setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya;
setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagaian anggita terhadap anggota lain.
Selanjutnya tulisan Christianita L. Day dalam Cristina EGHENTER dan Bernard SELLATO 1999 tentang perubahan sosial dan dampaknya terhadap
organisasi pertanian di Long alango secara singkat di jelasakan bahwa perubahan-perubahan itu terjadi akibat dari masuknya agama kristen, hadirnya
para pendatang dan masuknya beberapa teknologi moderen. Pada masyarakat di Long Alango, seperti yang di ceritkan sebelum masuknya agama kristen, dan
belum tersentuhnya teknologi pada masyarakat tersebut, sepertinya masih terdapat sistem pengelolaan perswahaan yang cenderung masih menggunakan
nilai-nilai budaya dan tradisi mereka. Akan tetapi, nilai-nilai dan tradisi yang terdapat pada masyarakat atau komunitas di Long Alango, dan hilangnya
pengaruh paren atau paren lipu yang biasanya disebut sebagai kepala desa, sepertinya akibat dari pengaruh dari faktor-faktor yang membawa perubahan
seperti yang dijelaskan diatas sebelumnya. Pada sisi lain, fenomena konflik juga mewarnai masyarakat di Long
Alango ketika keberadaan pemerintah kecamatan di wilayahnya. Konflik itu terjadi ketika ketidaksukaan pemerintah kecamatan terhadap keberadaan rumah
panjang uma’dado di Long Alango. Alasan pembongkaran secara paksa ini
dilakukan dengan alasan dari aspek kesehatan sangat tidak mendukung. Namun disis lain, alasan yang perlu disangsikan adalah bahwa keberadaan rumah
panjang dengan sebuah kehidupan kumunal uma’dado dekat sifatnya dengan
praktek komunis. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa keberadaan pemerintah disatu sisi membawa perubahan untuk mengatur tata kehidupan
masyarakat menuju pada sebuah kehidupan masyarakt yang tentram dan teratur, dan disisi lain keberadaannya justru membawa pengaruh terhadap struktur
pemerintahan tradisonal di Long Alango. Selanjutnya Marx secara ringkas telah merangkum beberapa pandangan
materialistik mengenai mekanisme perubahan dalam pernyataan terkenalnya”
kincir-angin menimbulkan masyarakat feodal, dan mesin uap melahirkan masyarakat kapitalis-industri. Dan di lain sisi, Thorstein Veblen dalam Robert H
Lauer 1993, dalam konteks ini pemikirannya lebih dipengaruhi oleh Marx dan pemikiran evolusioner, melihat tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh
teknologi. Dia mengatakan bahwa proses mesin justru merembesi kehidupan moderen dan menentukannya dalam artian mekanik..Itu artinya bahwa mesin
telah menjadi tuan manusia yang bekerja dengannya dan telah menjadi hakim yang menentukan nasib kebudayaan komunitas yang hidup dengannya. Mesin
adalah alat yang membuat orang menjadi sama rata dan kasar yang bertujuan menghancurkan segala yang dihormati, dimuliakan dan dihargai dalam pergaulan
dan yang dicita-citakan manusia. Namun dalam konteks ini Verben sepertinya lebih memusatkan perhatian pada pengaruh teknologi khususnya pada pikiran
dan perilaku manusia.
2.2. Kerangka Pemikiran.