Umumnya para petani kelapa mempraktekan tenaga kerja sewaan pada saat harga kopra dipasaran meningkat. Sewa-menyewa ini hanya terdapat pada
proses mafere memanjat kelapa, namun ada juga yang berlangsung hingga pada proses mapopo, masiu, dan proses pengasapan kelapa mafufu.
Di Desa Susupu mulai mengenal teknologi berupa alat pemotong rumput. Bila biasanya pembersihan lahan kelapa dikerjakan dengan mabari, saat ini telah
menggunakan mesin pemotong rumput. Mesin tersebut di pinjam dari sekolah, atau kantor dinas lainnya. Di Desa Susupu pemilik mesin pemotong rumput
dimilki oleh desa, sekolah, dan sebagaian warga Desa. Ongkos sewa mesin potong rumput untuk 1 hektar lahan adalah Rp 600.000,00. Tentu saja jumlah
yang tidak sedikit, apalagi di tengah harga kopra yang jatuh. Bila dihitung ongkos panen petani Desa Susupu jumlahnya sangat besar.
Untuk pohon sebanyak 300 pohon, petani harus menyewa 3 tenaga panjat dalam hitungannya 300 X Rp 1.500,00 = Rp 750.000,00, ongkos itu masih ditambah
dengan sewa mesin, 1 hektar lahan terdapat 150 pohon kelapa, berarti lahan untuk 300 pohon kelapa adalah 2 hektar, maka sewa mesin untuk 2 hektar lahan
dapat mencapai Rp 1.200.000,00, ongkos tersbut belum ditambah dengan biaya pengangkutan, biaya konsumsi, dan rokok. Untuk harga kopra yang hanya
mencapai Rp 2.500,00kg saat ini, tentu ongkos panen petani kelapa menjadi sangat besar dan memberatkan.
Fenomena tenaga panjat sewaan di atas, tidak dijumpai pada masyarakat petani kelapa di Desa Lako Akelamo. Masyarakat petani di Desa ini tetap
melibatkan bari dalam seluruh tahap pemanenan, termasuk panjat kelapa. Menurut masyarakat petani di Desa Lako Akelamo, menggunakan mabari lebih
menghemat biaya produksi petani. Tabel 6 memperlihatkan tentang perubahan bari dan kelembagaan mabari di
Desa Sususpu dan Lako Akelamo kecamatan Sahu kabupaten Halmahera Barat.
6.4. Mekanisme Sosial Penyelesaian Konflik Produksi
Komunitas petani kelapa dua desa, memiliki pilihan tersendiri terkait dengan
mekanisme sosial
penyelesaian konflik
produksi. Terdapat
kecenderungan menggunakan kemampuan magic untuk mengantisipasi hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak
bertanggungjawab. Bagi masyarakat di dua desa sering menyebut sebagai matakau. Cara membuatnya tentu berbeda-beda dan sangat sederhana
Tabel 5. Ciri aktifitas mabari dan wujud baru kelembagaan mabari.
No Ciri Aktifitas Mabari
Ciri Yang Berubah Wujud
Baru Kelembagaan mabari
1 Mempunyai Tujuan
Kerja sama,Tolong menolong dalam ,
pembukaan kebun kelapa, pembersihan
kelapa, dll. Terlihat penggunaan
teknologi alat pemotong rumput pada
pembersihan lahan,
hadirnya “kelompok tani baru”-bisa dipakai dgn
bayaran tertentu. Terdapat
kelompok organisasi modern
2 Memiliki Nilai
Reciprocity orogia, orowange,
Hadirnya tenaga sewa dalam aktifitas mabari
Memilik schedule kerja
3 Mempunya tradisi ritual
dalam aktifitas mabari Sudah hilangnya tradisi
ritual dalam kegiatan mabari.
Terdapat kegiatan “jojobo” dalam
keanggotaan kelompok tani
4 Tokoh adat ,atau pemilik
lahan dipercayakan sebagai pimpinan dalam
kegiatan mabari. struktur organisasi
tradisonal Telah ada kelompok tani
yang memiliki struktur organisasi yang modern
Kelompok tani ini bisa dipekerjakan
disewa dengan bayaran tertentu
untuk suatu pekerjaan kebun.
pembuatannya. Umumnya mereka sering menggunakan botol. Di dalam botol terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantar, diujung botol diikat kain
berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat di dua desa, dan pada
umumnya masyarakat Halmahera Barat. Keberadaan matakau di salah satu dusun, maka dusun itu akan aman
gangguan pengrusakan atau pencurian. Masyarakat setempat meyakini bahwa apabila seseorang mempunyai niat mencuri tanamanbuah-buahan di daerah
dusun yang telah dipasang matakau, maka orang yang hendak mencuri akan terkena sakit perut dan tidak bisa jalan, atau terdiam di bawah pohon. Terkecuali
pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan penawar mantra yang digunakan. Korban matakau kemudian diadili oleh si pemilik dusun dan
selanjutnya di bawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum.
Pada sisi lain, budaya sasi bukan saja berlaku pada tardisi masyarakat Maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam. Sasi
sebagai bagian dari otoritas lokal, terdapat pada masyarakat di Kecamatan Sahu,
khususnya di desa Susupu dan Lako Akelamo. Menurut Corolus Djawa sebagai tokoh budaya di Halmahera Barat, mengatakan bahwa istilah sasi dipakai oleh
masyarakat ambon karena saat itu ekspansi kerajaan Ternate sampai pada wilayah Ambon dan mempengaruhi strukur sosial budaya masyarakatnya. Dilihat
dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa Ternate yang artinya, sumpah. Sumpah atau sasi bagi masyarakat Maluku Utara, khususnya di desa
Susupu dan Lako Akelamo diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar ketidakpuasan atas suatu masalah hak kepemilikan atau pengaturan sumber
daya alam, dan perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu, seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat
melihat masalah tersebut sebagai “harbata” atau perselisihan yang tidak ada
akhir penyelesaiannya secara damai. Penyelesaian terhadap suatu masalah yang memiliki kaitannya dengan tanah, dusun, pohon kelapa, biasanya masalah
tersebut di bawa kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan. Dalam penyelesaian masalah yang dimediasi pemerintah desa tidak berhasil,
maka kedua belah pihak akan digiring oleh pihak pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamo atau
masjid besar, dan jomodingpetugas harian masjid, beserta para khatib untuk diselenggarakannya proses sasi di dalam masjid.
Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapan mihrab masjid merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi
yang menghadiri proses itu terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid besar, dan para jomoding. Prosesi sasi berlangsung dengan diletakannya kitab
suci alquran diatas kepala masing-masing kedua bela pihak, dan para saksi memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si
bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama,
begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Masyarakat setempat percaya
akan akibat dari sasi ini. Pernah ditelusuri pelaku-pelaku yang pernah bertikai masalah lahan kebun kelapa diantaranya Om M yang menceritakan sebagai
berikut : Saya pernah bertikai dengan saudara saya bernama Om B, karena
masalah lahan kelapa pada tahun 1990. Kami berdua mendapatkan warisan tanah dari kedua orang tua kami., namun saat menerima
warisan tanah, hanya terdapat sedikit pohon kelapa di atas tanah itu. Saya pun segera melakukan pembibitan dan menanam pohon kelapa..
Selesai menanam pohon kelapa itu, saya pergi merantau tepatnya di pulau Bacan Halmahera selatan. Kurang lebih 15 tahun saya berada di
Bacan bersama istri. Karena rindu akan kampung halamannya saya pun harus kembali ke kampung untuk kembali berkumpul bersama
keluargan. Tanah warisan sepiniggalan orang tua kami di kelola oleh saudara saya, namanya Om B. Ia tidak memberikan kesempatan
kepada saya untuk mengelola lahan yang dulu sempat saya Tanami kelapa. menurut Om B, selama 15 tahun semenjak saya pergi Om B lah
yang merawat dan memelihar isi kebun itu. Saya berpendapat, apa yang dikatakan saudara saya om Baba itu benar, sehingga saya
meminta untuk mengelola sebagiannya, dan sebagiannya lagi untuk Om B. Akan tetapi Om B bersikeras mempertahankan lahan dan
seisinya, bahwa dia lah yang harus mengelolanya. Perselisihan pun terjadi, tidak ada titik penyelesaian sehingga baik Om Baba, dan saya
digiring didepan kalammullah didalam masjid tepatnya didepan mihrab untuk dilakukan proses sasi. Baik Om B dan Om M, masing- masing
mereka diberikan kesempatan untuk mengeluarkan bobeto.
Om M menceritakan bahwa persitiwa itu cukup menegangkan karena takut akan akibat yang akan ditanggungnya kedepan. Pada kesempatan itu
bobeto yang disampaikan juga oleh Om M adalah sebagai berikut:
Insya Allah fangare lahi jou Allah Ta’ala, kalo gogou igo gena fangare gia sebadan kama boboho ua, fangare dahe bahala, cobo fangare na
durengo ida bicara se iwaro fangaere na gia se badan na boboho karna igo enagena, ngon oro, tapi ngon se ngofa sedano tero panyake pado.
artinya : saya minta Kepada Allah Swt, kalau benar-benar pohon kelapa itu tangan dan badan saya tidak lelah, maka saya akan dapat
kutukan, namun jika keringat saya dapat bicara dan tahu bahwa badan dan tangan saya ini cukup dan sangat lelah atas kelapa yang ditanam
itu, saya tidak akan minta apa2 dari hasil itu, tapi kamu Om B jika kamu tetap ambil dan makan pohon kelapa yang saya tanami, maka
anak dan cucumu akan terkena penyakit kusta. Setelah selesai proses sasi di masjid, bagi masyarakat, mereka yakini akan
datang kebenaran dan sanksi dari Allah Swt terhadap pihak yang dianggap benar dan salah. Menjelang setahun kemudian Om B menderita sakit, jari-jari
tangannya perlahan-lahan habis dimakan waktu. Om B pun kemudian dilarikan ke rumah sakit. Sakit yang diderita adalah penyakit kusta menurut dokter. Ibu
dan anaknya pun menderita penyakit yang sama, yakni penyakit kusta. Kasus Om B dan Om M merupakan sedikit dari sekian banyak kasus yang
disasi di desa Susupu. Jika ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis tanaman lainnya yang sedang di sasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak
bersama keluarganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki apa yang diperebutkannya. Lahan kebun yang telah di sasi, kebanyakan di
kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru, sementara hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.
Kemampuan masyarakat mengatur aturan main dalam hubungan sosial di masyarakat, sebagaimana ditunjukkan oleh budaya sasi dalam keseharian
masyarakat Sahu, memperlihatkan kepada kita bahwa sesungguhnya masyarakat mampu mengatur proses sosialnya, termasuk dalam hal ini
menetapkan sanksi-sanksi sosial mereka. Sanksi-sanksi sosial dan adat dalam masyarakat menunjukkan kepada kita bahwa di dalam masyarakat tak hanya ada
satu hukum negara yang mengatur hubungan sosial melainkan ada hukum sosial yang disusun masyarakat sendiri. Tertib sosial social order yang ada dalam
masyarakat sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum legal order yang diproduksi negara, juga bukan ketertiban yang berlangsung dalam
masyarakat tersebut dianggap sebagai sikap taat yang spontan dan otomatis outomatic spontanaeus submission to tradition
1
Kemampuan masyarakat menciptakan aturan main, memberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu mengenai hukum yang
berlangsung dalam kehidupan sosial mereka, menginspirasi Moore, Sally Falk, 1978, untuk mengemukakan pandangannya mengenai hukum sebagai proses.
2
Ia menganggap masyarakat sebagai semi outonomous social field yang dapat membentuk hukum. Semi outonomous social field menunjukkan bahwa
sesungguhnya masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk membentuk aturan rule-making capasities. Bagi Moore, hukum law adalah self regulating dari
semi outonomous social field. Pandangan ini menurut Moore sangat penting untuk melihat konteks masyarakat yang tak selalu berada di bawah subordinasi
aturan yang diproduksi negara, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan konteks dinamika sosial masyarakatnya, dan integral dalam perilaku
masyarakatnya.
6.5. Pola Produksi dan Variasi Pekerjaan