Pola Produksi dan Variasi Pekerjaan

Kemampuan masyarakat mengatur aturan main dalam hubungan sosial di masyarakat, sebagaimana ditunjukkan oleh budaya sasi dalam keseharian masyarakat Sahu, memperlihatkan kepada kita bahwa sesungguhnya masyarakat mampu mengatur proses sosialnya, termasuk dalam hal ini menetapkan sanksi-sanksi sosial mereka. Sanksi-sanksi sosial dan adat dalam masyarakat menunjukkan kepada kita bahwa di dalam masyarakat tak hanya ada satu hukum negara yang mengatur hubungan sosial melainkan ada hukum sosial yang disusun masyarakat sendiri. Tertib sosial social order yang ada dalam masyarakat sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum legal order yang diproduksi negara, juga bukan ketertiban yang berlangsung dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai sikap taat yang spontan dan otomatis outomatic spontanaeus submission to tradition 1 Kemampuan masyarakat menciptakan aturan main, memberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu mengenai hukum yang berlangsung dalam kehidupan sosial mereka, menginspirasi Moore, Sally Falk, 1978, untuk mengemukakan pandangannya mengenai hukum sebagai proses. 2 Ia menganggap masyarakat sebagai semi outonomous social field yang dapat membentuk hukum. Semi outonomous social field menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk membentuk aturan rule-making capasities. Bagi Moore, hukum law adalah self regulating dari semi outonomous social field. Pandangan ini menurut Moore sangat penting untuk melihat konteks masyarakat yang tak selalu berada di bawah subordinasi aturan yang diproduksi negara, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan konteks dinamika sosial masyarakatnya, dan integral dalam perilaku masyarakatnya.

6.5. Pola Produksi dan Variasi Pekerjaan

Selain kebun kelapa sebagai sumber produksi utama, masyarakat dua desa ini juga memiliki tanaman lain yang ditanam sebagai tanaman bulanan. Mereka menyisakan sebagian petak kebunnya untuk ditanami tomat, pisang, 1 Pandangan dari Redcliffe Brown, 1986. Pandangan kaum structural fungsional ini juga diwakili oleh Hoebel 1983, juga Pospisil, 1971. Dapat dibaca selanjutnya pada Irianto, Sulistyowati, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi Metodologisnya, artikel dalam Pluralisme Hukum dalam Kajian Interdisipliner, Huma, 2005, hal 56-57. 2 Moore, Sally Falk, Law as Process: An Anthropological Approach,University of California, 1978, chapter 2, hal 54-81. pala, cengkeh, dan lain-lain. Tak jauh berbeda dengannya petani lain, mereka juga menanam tanaman serupa termasuk juga kasbi ubi, rica cabai, coklat, dll. Sementara sebagian petani Desa Lako Akelamo terutama mereka yang berada dekat muara sungai memanfaatkan lahan suburnya untuk ditanami padi gaga serta sayuran, di samping kelapa sebagai komoditas unggulannya. Mereka yang berada dekat laut memanfaatkan pula waktu senggangnya untuk menangkap ikan di laut. Bagi mereka, tanaman bulanan tersebut mereka jual untuk menutupi keperluan sehari-hari di luar dari hasil produksi kelapa. Pola produksi yang seperti ini merupakan pola multicrop, dimana kelapa merupakan produksi pokok maincrop yang diharapkan memberikan cash money yang besar setiap kali panen. Walaupun di tengah-tengah harga kopra yang anjlok, namun tak ada sedikit niatpun untuk merubah area pertanianperkebunannya dari kebun kelapa menjadi kebun tanaman lainnya. Hingga saat ini harga kopra hanya berada pada kisaran 2500 rupiah per kilogram. Padahal 4 bulan yang lalu harga kopra masih berada pada kisaran 5000 rupihah per kilogram. Umumnya hasil olahan pengasapan kelapa kopra para petani di Desa Susupu dan Lako Akelamo mencapai 1 ton kelapa. Di Desa Susupu dan Lako Akelamo, daya dukung areapertanianperkebunan kebun kelapa hingga mencapai 1 ton kopra maka harus dibutuhkan luas lahan sebesar satu hingga dua hektar lahan, dengan jumlah pohon kelapa yang ditanami sebanyak 150 pohon kelapa hinga 300 pohon kelapa, dengan jarak pohon kelapa sepanjang delapan kali depalan meter. Rata-rata banyak buah kelapa per masing – masing pohon kelapa sebanyak tiga puluh buah kelapa. Jika harga kopra sebesar 2500 rupiah per kilogram, maka 1 ton kopra kelapa hanya dihargai dengan nilai Rp 2.500.000,00 dua juta lima ratus ribu rupiah. Bagi petani kelapa, tentu merasakan beban hidupnya terasa berat ditengah harga kopra yang anjlok akhir-akhir ini. Terdapat kekecewaan antara hasil dan jerih payah mereka atas pohon kelapa, dengan harga kopra di pasaran Bagi mereka walaupun di tengah anjloknya harga kopra, mereka tetap menerima dan menganggap tanaman kelapa sebagai komoditi unggulannya. Sejak di telusuri, ternyata penghargaan terhadap pemberian orang tuanya kepada mereka dalam bentuk kelapa inilah yang membuat mereka tidak tega untuk menggantikan tanaman kelapanya dengan tanaman lainnya. Dalam pandangannya, segala pemberian orang tua, tidak dapat diperjual belikan atas dasar dan keinginan yang tidak jelas. Sebab ada semancam pantangan yang dikenal dengan nama “boboso”. Namun demikan, lahan tersebut hanya dapat dimanfaatkan untuk penanaman tanaman lainnya tanpa harus mengubah secara keseluruhan fungsi lahan sebagai lahan kelapa. Mereka memilih selain dengan menjual tanaman tambahannya, untuk menutupi dan menambah hasil pendapatan kesehariannya mereka juga melakukan pekerjaan tambahan dengan menjadi pekerja harian bangunan, dengan ongkos upah perhari sebesar 25 ribu rupiah. Dengan alasan bahwa mata pencaharian sebagai petani kelapa tidak menyita waktu terus-menerus, maka sebagian masyarakat desa juga melakukan pekerjaan lain, seperti menjadi tukang ojek motor sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim. Dengan demikian pola multicropping antara produksi kelapa dengan penanaman tanaman lain yang kemudian dijual merupakan bentuk respon atas situasi ekonomi petani kelapa yang semakin sulit. Pola ini menunjukkan sikap resistensi ekonomi petani terhadap situasi luar yang menghimpitnya. Strategi resistensi, dalam arti bertahan dari tekanan luar yang menghimpit kondisi petani juga tersirat dari variasi pekerjaan atau pekerjaan lain di luar produksi tani seperti buruh bangunan dan ojek yang dilakukan petani untuk tetap mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. 6.6.Pasar Baik masyarakat Susupu dan Lako Akelamo hanya segelintir orang saja yang memiliki akses terhadap jaringan di luar desa terutama menyangkut dengan pasar. Khusus akses yang berkaitan dengan pasar, umumnya kopra dibeli oleh orang-orang cina yang berada di dua desa tersebut, maupun orang Cina yang berada di luar kecamatan. Ada beberapa orang pribumi asli yang menjadi pembeli kelapa, namun jumlahnya sangat sedikit. Para petani yang berlanganan jumlahnya sangat sedikit. Terdapat sepuluh orang Cina yang berdomisili di Desa Susupu dan Lako Akelamo sebagai pembeli kopra, sementara terdapat empat orang pribumi asli sebagai pembeli kopra. Umumnya para petani kelapa menjual kopra kepada langganan orang Cina. Mereka menganggap lebih menguntungkan, dibandingkan menjual kepada pedagang pribumi asli. Orang Cina menurut mereka dapat dipercaya karena “timbangan” kopra yang jujur serta harganya yang sedikit lebih tinggi walau perbedaan harga dengan pedagang non cina hanya pada kisaran seratus-an. Biasanya harga kopra yang dibeli oleh pembeli non Cina dalam satu kilogram dihargai dengan sembilan ratus rupiah maka, pada orang Cina berani mengambil dengan harga seribu per kilogram. Perbedaan harga hanya seratus rupiah, namun sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Selain soal harga yang berbeda, alasan adalah karena mereka orang cina mempunyai kepedulian dan perhatian yang cukup pada petani kelapa di Desa Susupu. Radjab bercerita pada bulan Juni 2008 dia sudah melaksanakan kegiatan panen kelapanya, namun pada bulan Juli uang yang didapat dari hasil penjualan kopranya telah dipakai habis untuk memperbaiki kondisi rumah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Pada saat yang bersamaan anaknya yang masih duduk di bangku kuliah membutuhkan uang untuk membayar iuran SPP. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya, dia tidak meminta kepada keluarganya, namun dia hanya mengungkapkan keluhan anaknya atas kebutuhan SPP anaknya kepada sesama petani kelapa yang kebetulan berbatasan dusun kelapa dengannya yaitu Amir. Keluhan itu pun terdengar sampai ditelinganya Om Hui 3 . Om Hui datang di rumah Radjab pada pagi hari dan langsung menanyakan kebutuhannya untuk dapat memenuhi biaya SPP anaknya. Radjab mengutarakan masalahnya dan pada saat itu juga Om Hui membantu untuk meringankan masalah dan beban akan kebutuhan biaya pendidikan anaknya. Akan tetapi, pertolongan orang cina itu tidak secara gratis didapatkan. Ada perjanjian atau kontrak, jika tiba saatnya kelapa di panen, hasilnya dalam bentuk kopra harus dijual kepada orang cina. Setelah dijual, uang dari hasil penjualan kopranya kemudian dipotong sebagai pengganti uang yang dipinjamkan. Berbeda halnya dengan pembeli non Cina, tidak pernah membantu mereka atau sekedar melihat mereka ketika dalam keadaan susah. Bagi pedagang pembeli kopra pribumi, ada upaya dan keinginan untuk membantu kebutuhan-kebutuhan mendesak para petani seperti yang dilakukan oleh orang Cina Om Hui, namun karena keterbatasan modal yang dimilikinya.

6.7. Hak dan Akses Sumberdaya Alam