Mabari dan Pola Produksi Petani Kelapa

biasanya disebut sebagai “pipi hena” uang pinang dari penjualan hasil panen kelapa.

6.2. Mabari dan Pola Produksi Petani Kelapa

Setelah kita mendapatkan gambaran sepintas mengenai profile para petani kelapa, maka pada bagian ini akan dideskripsikan lebih lanjut mengenai pola produksi petani kelapa di dua Desa yaitu Susupu dan Lako Akelamo. Pola produksi petani kelapa di dua Desa berlangsung dari tahap pembukaan lahan, penanaman bibit, hingga pemanenan. Pada proses pembukaan lahan dan penyiapan lahan, secara rinci masyarakat petani melakukan enam tahap pembukaan lahan semua ini dilaksanakan dengan tradisi bari. Tahapan-tahapan tersebut dikenal dengan tola gumi sebagai tahap pertama, tahap kedua adalah manyigu , tahap ketiga adalah madoti, tahap keempat adalah majongo, tahap kelima “mabaca” dan tahap yang keenam adalah masagu. Keenam tahap tersebut adalah tradisi pembukaan lahan hingga penanaman yang dilaksankan secara bari dan telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang petani Sahu. Pada kebanyakan desa, meskipun secara dekat kita melihat terdapat hubungan kekerabatan, namun ikatan komunitas terutama didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa orang di desa juga hidup bersama dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama dengan berbagai mekanisme yang ditempuh berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat desa itu sendiri demi keamanan dan kelangsungan hidup mereka. Kebutuhan akan tindakan kolektif seperti halnya tola gumi, manyigu, madoti,majongo, mabaca, dan masagu yang terdapat pada dua desa dengan semangat mabari, sepertinya merupakan suatu tindakan kolektif yang juga menandakan saling ketergantungan diantara mereka. Tola Gumi potong tali, adalah awal pekerjaaan pembukaan lahan dengan ditandai sejenis tiangpohon yang dipatokditanami untuk mengetahui batasan area dusun yang hendak di tanami. Tindakan ini merupakan bentuk claim teritori atau pernyataan penegasan pemilik terhadap sumber daya yang dimilikinya. Klaim ini menuntut orang lain menghormati klaim teritori wilayahnya, sekaligus juga memberikan penghargaan pada kepemilikan wilayah petani lain. Tindakan ini secara tak langsung mencegah terjadinya konflik klaim teritori antar petani kelapa. Pernyataan klaim terhadap resources tak selalu dinyatakan dalam bentuk klaim formal di atas kertas, melainkan klaim langsung di atas sumber daya. Tahap berikutnya adalah manyigu, manyigu memotong rumput-rumput, tali-tali yang melingkari pohon yang berada di area dusun yang dikerjakan bersama-sama oleh para petani. Pekerjaan ini dilakukan untuk mempermudah proses penanaman. Tahap ketiga disebut “madoti” yaitu kegiatan memotong pohon-pohon secara bersama-sama oleh para petani kelapa. Pohon yang dipotong adalah pohon sedang maupun tinggi yang dianggap menghalang atau menghambat jalannya proses penanaman nantinya. Tahap keempat, disebut majongo, merupakan kegiatan mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang, maupun rumput-rumput yang diparas, dan selanjutnya dibakar. Dalam kegiatan ini ada beberapa pohon-pohon pilihan yang tidak turut dibakar, seperti halnya pohon Ngaru. Pohon Ngaru menurut masyarakat setempat dijadikan sebagai “betangamor.” Sementara yang kelima disebut mabaca yaitu kegiatan pembersihan secara keseluruhan dari kegiatan-kegiatan sebelumnya tola gumi, manyigu, madoti, dan majongo.. Yang terakhir disebut manyigu adalah suatu bentuk kegiatan galian lubang yang diperuntukan bagi penanaman bibit kelapa dan lain- lain. Untuk menggambarkan tahapan tentang pelaksanaaan mabari, secara sederhana seperti yang terdapat di Tabel 3. Setelah proses pembukaan dan penyiapan lahan, proses berikutnya adalah penanaman bibit kelapa. Penanaman bibit kelapa dimulai dari masagu. Masagu adalah aktivitas pemberian tanda di atas lahan yang nantinya akan digali untuk tempat menanam bibit. Setelah itu dilakukan penggalian lubang sebagai tempat bibit yang akan ditanam. Lubang digali kurang lebih 30 cm. Jumlah lubang galian disesuaikan dengan jumlah bibit yang akan ditanam. Ketika menanam bibit, ada mitologi dan tradisi yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat dalam melakukan penanaman bibit kelapa. Kepercayaan terhadap mitologi merupakan bagian dari budaya masyarakat setempat. Mitos dapat dimengerti sebagai suatu cerita kuno oleh nenek moyang mereka yang dianggap memiliki ungkapan bertuah disertai perwujudannya dalam berbagai bentuk tindakan yang di percaya dan diyakini oleh masyarakat didua desa secara turun temurun. Mitos juga dipandang sebagai suatu pedoman atau arah yang juga memiliki konsekwensi-konsekwensi pada sesuatu pekerjaan yang akan dilaksanakan. Dalam proses penanaman bibit kelapa misalnya terdapat mitos Tabel.3. Tahapan aktifitas mabari perkebunan kelapa rakyat, 2009 No Tahap aktifitas mabari Keterangan 1 Tola gumi suatu pekerjaan awal pembukaan lahan dengan ditandai sejenis tiangpohon yang dipatokditanami untuk mengetahui batasan area dusun yang hendak di tanami 2 Manyigu memotong rumput-rumput, tali-tali yang melingkari pohon yang berada di area dusun 3 Madoti kegiatan memtong pohon yang dianggap menghalang pekerjaan mereka. 4 Majongo mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang, maupun rumput-rumput yang diparas, dan selanjutnya dibakar 5 Mabaca Kegiatan pembersihan secara keseluruhan 6 Masagu pemberian tanda di atas lahan yang nantinya akan digali sebagai tempat menanam bibit yang diyakini, dan telah menjadi kebiasaan dalam suatu pekerjaan penanaman bibit kelapa oleh masyarakat setempat. Mereka kembali mengingat peristiwa- persitiwa Menurut C.H.Van Peurson tahun.. mitos tidak hanya sekedar laporan dan peristiwa yang pernah terjadi, akan tetapi juga mengenai ritual-ritual dalam suatu kelompok masyarakat. Di bawah ini kita akan melihat mitos pada komunitas petani kelapa dalam proses penanaman bibit kelapa A seorang responden mengatakan, bahwa: suatu tradisi penanaman bibit yaitu jika tanahnya sudah digali untuk dipersiapkan penanaman bibit kelapa, maka sebelum bibitnya dimasukan, lubang yang digali tersebut terlebih dahulu dimasukan buah seho enau dalam bahasa setempat dikenal dengan “syarati”. Buah anau yang di masukan ke dalam lubang, diyakini masyarakat agar jika kelapa nanti tumbuh besar, buahnya akan sarat atau banyak seperti buah anau. Proses memasukan anau kedalam lobang tidak hanya sekedar dari bentuk “syarati”, namun diikuti juga dengan bobeto yang artinya permintaan yang syarat dengan “doa”. Setelah penyampaian bobeto selesai, maka proses selanjutnya adalah para petani akan menunggu bulan yang baik untuk memasukkan bibit kelapa yang telah mereka persiapkan. Kepercayaan masyarakat setempat, setiap penanaman pohon kelapa harus melihat “ara lamo” atau “ara ici”. Ara lamo dapat diartikan sebagai bulan besar dan ara ici sebagai bulan kecil. Perhitungan bulan kecil menurut masyarakat di Dua Desa dimulai dari tanggal 1-9 bulan baru, dan bulan besar adalah dihitung dari tanggal 20-3031 pada saat bulan purnama. Bulan terbaik untuk melaksanakan kegiatan penanaman kelapa adalah pada bulan kecil. Terdapat kepercayaan bahwa bulan kecil akan membuat tanaman kelapa mereka cepat berbuah dan tumbuh subur. Sementara bulan besar sebaliknya membuat tanaman mereka tidak tumbuh subur dan perkembangannya cukup lambat. Walaupun ada terdapat tradisi penanaman yang menunggu bulan kecil atau ara ici, namun tidak serta merta jika bulan kecil tiba lantas proses penanamannya dilakukan, akan tetapi waktu penanamannya mereka menunggu disaat wange soru atau matahari hampir terbenam yakni pada jam 17-18 sore. Pada waktu ini maka proses penanaman dilaksanakan oleh mereka, dengan posisi “kepala kelapa” menghadap ke matahari terbit. Bibit kelapa yang ditanam sesuai waktu yang di percaya, perkembangan pohon kelapa yang ditanam tidak terlalu tinggi. Begitupun sebaliknya jika proses penanamannya dilakukan pada waktu pagi dan siang hari, maka bibit kelapa yang ditanam akan tumbuh besar, dan menyulitkan pada saat panen.. Setelah tahap penanaman usai, proses perawatan akan di lakukan sekali dalam sebulan. Bentuk perawatan yang dilakukan adalah membersihkan rumput di bawah pohon kelapa dan setelah itu dibakar. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini adalah mereka para petani kelapa yang berada di desa Susupu yang bekerja sama melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan ini menurut mereka biasanya disebut sebagai munara oro wange, artinya ambil hari. Kegiatan oro wange ini, dicontohkan oleh pak Radjab sebagai berikut, misalnya, Ada seorang petani kelapa sebut saja si A melaksanakan pembersihan kelapa, atau panjat kelapa, maka Si B, si C, maupun si D, mereka akan datang membantu, karena awalnya Si A telah membantu mereka dalam pekerjaan yang sama, yakni pembersihan kelapa atau panjat kelapa. Dengan demikian oro wange ini, merupakan model pertukaran kerja yang dapat diberlakukan pada pekerjaan yang sama. Dalam kegiatan oro wange dihitung tenaga yang dikeluarkan berdasarkan berapa banyak pohon kelapa yang dibersihkan atau dipanjat. Masyarakat di Desa Susupu dan Lako Akelamo menganggap kegiatan oro wange mencirikan nilai-nilai “bari”, namun perbedaannya bari melibatkan semua pekerja, dan tanpa mengenal batasan kerja yang harus dikerjakan, sementara oro wange memiliki batasan kerja dan berlaku pada pekerjaan yang sama. Dalam komunitas petani kelapa khususnya di desa susupu hubungan timbal balik ini semakin memudar akibat komersialisasi dalam sistem kontrak dalam proses pemanenan kelapa,seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dalam konteks pemeliharaan lahan dan tanaman yang telah ditanami, bentuk-bentuk kegiatan ritual yang dilakukan dengan maksud penjagaan tanaman dan pengolahan lahan sebagaimana juga dilakukan oleh masyarakat Desa Lako Akelamo berdasarkan tradisinya, hingga kini masih tetap terpelihara dan dijaga eksistensinya. Tradisi itu, disebut dengan beta ngamor. Beta-ngamor seperti yang dijelaskan di atas adalah sejenis pohon-pohon pilihan yang dikumpulkan dan disusun dengan rapih di sudut-sudut batas lahan, maupun disamping batas lahan, dan terdapat nasi tumpeng dan telur bira dada boro yang disajikan dan didoakan sebagai persembahan kepada sang kuasa, dan stelah itu nasi tumpeng dan telurnya ditanam ditengah-tengah kebun, agar lahan dan tanamannya tetap subur. Ritual ini dipimpin oleh orang yang dituakan, dan orang tersebut ditugaskan menjaga lahan dari awal hingga akhir tanaman itu mendekati panen. Beta ngamor, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai , salah satu cara untuk membasmi binatang-binatang kecil, maupun hama yang sengaja datang untuk merusak tanaman yang terdapat pada dusun mereka. Jika kayu- kayu pilihan dari hasil tebangan itu dikumpulkan dan disusun, maka dipercaya binatang-binatang kecil seperti halnya tikus dan lain-lain tidak akan masuk kedalam lahan yang telah ditanami, melainkan binatang-binatang itu akan masuk kedalam kayu-kayu yang disusun itu yakni, ”beta nagmor”. Tentu bagi mereka ini adalah cara-cara tradisonal yang hingga saat ini bagi masyarakat di Desa Lako Akelamo masih dipraktekkan untuk membasmi serangan hama yang sengaja merusak kebun dan tanamannya. Selanjutnya beta ngamor ini pun akan segera dibakar atau dihanguskan setelah proses panen selesai. Tahap berikutnya adalah tahap panen kelapa. Pada tahap panen inilah kegiatan bari lebih banyak dikenal, bahkan kadang-kadang kosakata bari selalu menunjuk pada aktivitas panen kelapa. Ini terjadi karena tahap panen kelapa adalah tahap yang melibatkan banyak orang. Sebelum panen dilakukan mula- mula segala peralatan yang dibutuhkan pada kegiatan panen dipersiapkan. Alat- alat itu adalah beberapa buah parang golok, pacol cangkul, linggis, tempurung sebagai pengganti gayun, gayun biasanya digunakan untuk mengeluarkan tanah dari galian yang biasanya umumnya dipakai pada saat penanaman pohon kelapa baik di Desa Susupu maupun Lako Akelamo. Sedangkan untuk kegiatan panen kelapa, peralatan yang harus disiapkan adalah pedang kurang lebih 15 buah, siu-siu alat pencongkel isi buah kelapa dari tempurungnya, karung goni sebagai wadah untuk menampung isi buah kelapa yang telah dicongkel keluar, sari,penggayung sebagai pengganti skop yang dipergunakan untuk membolak-balik isi kelapa pada saat pengasapan di atas para-para kelapa. Harus mempersiapkan juga dego-dego tempat duduk yang dibuat sendiri dari kulit kelapa untuk dijadikan tempat duduk nanti ketika dilaksanakannya kegiatan popo igo membelah kelapa dan masiu mengeluarkan isi kelapa dari tempurungnya. Gerobak dan sapi, dipergunakan untuk mengumpulkan buah kelapa yang telah dipetik dan berada di bawah pohon kelapa. Untuk memperjelas deskripsi aktivitas tahap panen kelapa, kita mendatangi aktivitas panen di lahan Haler. Keseluruhan proses panen dahulunya dilakukan secara bersama-sama dan karenanya disebut dengan bari. Bari menjadi semacam satu kelompok petani kelapa, kelompok bari inilah yang melakukan aktivitas panen secara bersama-sama. Seminggu sebelum melakukan aktivitas bari dalam konteks penanaman kelapa dan pemanenan, awal mulanya mereka mendatangi sanak keluarganya dalam rangka menyampaikan maksud dan tujuan. Dan di waktu yang bersamaan pula mereka menyempatkan diri untuk memberitahukan kawan-kawan petani kelapa yang memiliki lahan kelapa yang sama untuk kegiatan penanaman ataupun panen yang hendak mereka lakukan. Perlu diketahui bahwa para petani yang dihubungi, tidak hanya berasal dari Desa Susupu saja, namun ada juga yang berasal di luar Desa Susupu. Mereka datang tanpa dihubungi, namun semata-mata dikarenakan adanya faktor pertukaran tenaga kerja sebelumnya dalam suatu aktifitas yang sama. Biasanya panen dilakukan 3 bulan sekali, dimulai dari lahan dibersihkan, selanjutnya pohon kelapa dipanjat dan dipetik buahnya. Buah kelapa tersebut kemudian dikumpulkan di tempat pengasapan. Selanjutnya bagaimana proses pengolahan kelapa dilangsungkan terdeskripsikan sebagaimana kunjungan saya ke lahan Haler siang itu. Siang itu saya mendapati di lahan Haler ternyata sudah ada banyak orang, kira-kira 10 orang laki-laki, mereka sedang mencongkel- congkel isi kelapa. Rupanya Haler sedang panen kecil, hanya dari buah kelapa yang jatuh, sebagian hasil panjatan kelapa dan sebagian hasil pembelian Haler dari petani di sekitarnya. Setelah kelapa dikumpulkan di tempat pengasapan, proses selanjutnya adalah pengolahan kelapa menjadi kopra. Prosesnya, kelapa dibelah dua, airnya dikeluarkan, lalu isinya dicongkel kecil-kecil. Kegiatan mencongkel isi kelapa ini disebut masiu Potongan kelapa kecil-kecil itu dimasukkan ke dalam karung untuk nanti ditumpahkan di atas para-para pengasapan. Beberapa karung sudah dihasilkan, bahkan sudah ada tumpukan potongan isi kelapa di atas para-para. Setelah semua hasil potongan isi kelapa ada di atas para-para, maka segeralah proses pengasapan dilakukan. Pengasapan berlangsung selama 1 malam dan setelahnya proses pengasapan tersebut kelapa pun menjadi kopra. Hari berikutnya kopra dimasukkan ke dalam karung dan kemudian diangkut untuk dijual pada pengumpul di desa atau dibawa ke Jailolo. Sebenarnya pendapatan komunitas petani kelapa tidak hanya didapat dari hasil penjualan kopra, namun mereka juga bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari batok kepala pasca pengasapan, namun karena ketedaktersediaan pasar di Maluku Utara, membuat batok kelapa hanya di buang begitu saja. Ibm menuturkan, bahwa : …sabut dan batok kelapa dibiarkan dibuang atau dibakar sebagai pengganti kayu bakar, sisanya dibagikan kepada mereka yang mengikuti kerja bersama tersebut untuk keperluan sehari-hari misalnya membakar ikan, dll. Padahal di Manado, kata Ibrahim, sabut kelapa bisa dimanfaatkan, demikian juga dengan batok kelapa dapat dimanfaatkan sebagai arang, sebab di sana ada pengumpulpengolah sabut dan arang untuk dipasarkan, sementara di sini tidak terdapat pengolah maupun pasar untuk sabut dan arang. Umumnya setiap panen rutin selama 3 bulanan, petani seperti Pak Rajab, panennya dapat mencapai volume 1 ton lebih. Harga sekarang Rp 250,- kg, maka bila dikalikan 1000 kg 1 ton, maka setiap 3 bulan mendapatkan Rp 2,5 juta rupiah. Rajab hanya mengeluarkan biaya untuk pengangkutan, menyewa kendaraan, besaran sewa kendaraan dihitung dari banyaknya kopra yang di bawa. Hitungannya per sak, 1 sak = Rp 10.000,-, 1 ton sama dengan kurang lebih 10 hingga 12 sak, jadi ia hanya membayar sekitar Rp 100.000,- saja. Bentuk-bentuk kegiatan kerja bersama dalam setiap tahapan produksi kelapa dari pembukaan dan penyiapan lahan hingga pemanenan inilah yang disebut dengan bari atau mabari. Para petani kelapa yang terlibat dalam kerja bersama tersebut mengelompokkan diri dan menyebut diri mereka sebagai kelompok bari. Biasanya pengelompokan bari dilakukan atas dasar kedekatan lokasi lahan mereka satu sama lain serta hubungan kekerabatan sebab biasanya hubungan kekerabatan menyebabkan lokasi lahan mereka berdekatan.

6.3. Perbedaan Praktek Bari Dalam Pola Produksi Kelapa di Dua Desa