BAB IV SITUASI SOSIAL KOMUNITAS DUA DESA
Uraian tentang situasi dua desa lokasi penelitian di bab ini seperti seseorang mencatat kejadian-kejadian ketika kembali ke kampong halaman.
Namun pencatatannya, bukan soal rindu dendam pada masa lalu di kampong halaman, melainkan mencaat upaya ketika merefleksikan diri, membangun
dialektika pengetahuan baru dalam memandang pengalaman masa lalu di kampong halaman. Dapat diistilahkan seperti pengelana yang menuntut ilmu ke
luar daerah dan pulang ke daerah asalnya untuk mengenal kabar perubahan dan menyelami kembali serta mencatat kondisi terkini daerahnya.
4.1. Sejarah Desa
Sepanjang perjalanan pulang kampong, gambaran sejarah masa lalu tergambarkan begitu nyata. Sampai di kampong, yang pertama dilakukan adalah
mengunjungi tokoh-tokoh tua di kampong. Yakup Hi Naser, seorang tokoh adat yang dianggap sebagai ’orang tua’ di desa menceritakan bahwa Desa Susupu,
berasal dari komunitas masyarakat yang berada di daerah pegunungan wilayah
Sahu. Komunitas ini adalah komunitas pedalaman, sering kali disebut sebagai
Sahu pedalaman. Sahu pedalaman adalah cikal bakal desa Susupu, sementara wilayah pesisir Barat pantai Sahu yang kelak menjadi Desa Susupu, sekitar
1200 M masih merupakan daerah tak berpenghuni. Semua komunitas masyarakat bermukim di daratan pedalaman Sahu, di kampong Balisoang,
Taraudu, Idamgamlamo, dan Gamomeng. Mulanya masyarakat di pedalaman Suku Sahu masih menganut
kepercayaan animism, percaya kepada roh-roh halus, pohon-pohon, batu-batuan yang di anggap memiliki kekuatan supranatural. Kepercayaan animism menjadi
pudar ketika pengaruh agama Kristen dan Islam masuk di Pulau Halmahera, termasuk di Kecamatan Sahu. Pengaruh agama kristen sangat kuat, disebabkan
kehadiran para misionaris di Sahu, sehingga agama kristen menjadi agama mayoritas pada masyarakat suku sahu. Sementara terdapat sebagian kecil
masyarakat suku Sahu memilih menganut agama Islam.
Memudarnya sistem kepercayaan lokal asli, tentu memberikan pemahaman bahwa kehadiran agama sebagai ideologi mampu membawa
perubahan terhadap masyarakat di daerah penelitian. Hal ini memperkuat kesimpulan Dove 1985 yang menyatakan, bahwa tergusurnya agama lokal di
suku Wana sebagai akibat dari modernisasi, berhasil membawa masuk agama baru dan menggusur agama lokal. Dengan demikian sangat keliru jika
memandang agama hanya mampu memperlambat proses perubahan. Ini adalah suatu kesimpulan yang keliru. Justru sebaliknya ideologi, termasuk ideologi
agama juga dapat mempermudah perubahan. Demikian tesis Max Weber 2002 dalam studinya tentang etika protestan dan semangat kapitalisme
Komunitas Sahu mengenal ikrar ”galib se likudi”. Makna ikrar tersebut
adalah suatu kesepakatan dan perjanjian masyarakat Sahu atas pilihan agama yang di anut. Perbedaan agama kemudian membuat komunitas yang memeluk
islam lebih memilih keluar dari kampong aslinya Sahu meninggalkan kerabatnya, saudaranya untuk pindah dan membuat suatu pemukiman tersendiri
di daerah Saroang . Daerah Saroang dapat ditempuh dengan waktu 15 menit jalan kaki dari desa Balisoang. Saroang merupakan bukti sejarah masjid
pertama kali dibangun sebagai tempat ibadah umat islam di Kecamatan Sahu. Penyiar agama Islam di daerah Sahu adalah berasal dari Bangsa Arab
yang bernama Bafagehe. Bafagehe mengajarkan Islam di daratan Sahu dengan metode pengajaran menggunakan syair-syair Islam dan diterjemahkan dengan
bahasa Ternate, yang dikenal masyarakat sebagai ”dola bololo”. Bafagehe
meninggal pada usia yang ke 120 tahun dan di makamkan di wilayah Sahu. Makamnya telah dijadikan sebagai jere tempat keramat oleh masyarakat
masyarakat setempat. Ada dua alasan mengapa masyarakat yang memeluk Islam memilih
berpindah ke pesisir pantai Barat Sahu. Versi pertama adalah karena perbedaan keyakinan. Versi kedua mengatakan bahwa keluarnya masyarakat
dari pedalaman Sahu ke pantai pesisir Barat Sahu, merupakan keinginan untuk mengembangkan variasi mata pencaharian sebagai nelayan.
4.2. Potret dua Desa