Pendapatan Nelayan Tidak Menentu
KUD pernah memberlakukan sebelum mengikuti pelelangan, para bakul harus memberi uang jaminan terlebih dahulu. Mereka memberikan uang muka,
misalnya Rp 10 juta, namun ketika waktu pelelangan, transaksi mereka melebihi uang muka yang diberikan, misalnya Rp 15-20 juta, akhirnya sama saja mereka
ngemplang Rp 5-10 juta. Kalau ditagih sulit dan tidak ada sanksi hukumnya. Sebetulnya kalau diancam dengan mendatangkan aparat penegak hukum atau
kasusnya diangkat ke pengadilan, mereka takut. Namun KUD harus keluar uang untuk urusan yang seperti itu.
Ada masalah lain lagi, bahwa nelayan dalam menjual hasil tangkapan ikannya tidak mau dilelangkan oleh TPI, mereka maunya menjual ikan kepada bakul
sendiri, karena mereka sudah terikat dengan bakul tertentu. Permasalahan yang lain juga ada, umumnya juru mudi tidak mau masuk ke Tempat Pelelangan Ikan yang
dikelola oleh KUD Mino Utomo dan melelang ikannya di TPI tersebut, selain karena membayar retribusi juga juru mudi tidak mendapatkan keuntungan. Sebab, jika dijual
di luar mereka akan mendapatkan keuntungan, karena biasanya istri juru mudi tersebut berperan sebagai perantara untuk menjualkan ikan kepada bakul, dari jasa
menjualkan ikan tersebut istri juru mudi akan mendapatkan persenan yang dipotongkan dari uang hasil penjualan ikan dan dapat persenan dari bakul yang
membeli ikan. Jadi dapat keuntungan dari kapal dan bakul. Akhirnya uang yang diterima nelayan pun berkurang. Tentang istri juru mudi yang menjadi perantara
dalam penjualan hasil tangkapan ikan, itu sangat merugikan anak buah nelayan, sampai-sampai ada yang protes. Anak buah yang protes tersebut, biasanya tidak
diikutkan lagi melaut oleh juru mudi.
Menumbuhkan kesadaran untuk saling menguntungkan sangat kurang antara bakul, juru mudi, perantara bagi nelayan. Sebagai perbandingan saja, TPI
yang sudah berjalan dengan baik, sehingga muncul kesadaran untuk saling menguntungkan baik bakul, juru mudi, perantara dan nelayan ada tiga, yaitu TPI di
Pekalongan, Juwana dan Tegal. Manajemen dan aturan-aturannya tegas dan jelas didukung dengan kesadaran masyarakat nelayannya dan bakul. Sebagai contoh
kongkret, disana setiap kapal nelayan akan menjual ikannya pasti masuk TPI, sehingga pendapatan retribusi TPI lumayan besar. Imbasnya kalau ada nelayan
yang meninggal diberi santunan Rp 1.250.000,- yang diambilkan dari uang retribusi tadi, karena memang sudah dianggarkan. Sementara yang terjadi di TPI disini,
sebaliknya. Padahal dalam satu bulan sekitar 2-3 orang nelayan meninggal, sementara kapal mereka enggan masuk dalam TPI. Ini jadi masalah.
Seharusnya KUD bekerjasama dengan kelembagaan agama yang melibatkan tokoh agama untuk memberi penerangan melalui pengajian dalam
rangka menyadarkan para perantara dan bakul, kalau perbuatan mereka itu merugikan para nelayan. Pendekatan melalui agama dengan melibatkan tokoh
agama untuk menyadarkan masyarakat itu penting sekali.
Nelayan kalau membeli bahan bakar solar untuk mesin tempel perahu tidak mau membeli di POM solar yang disediakan di TPI. Mereka lebih senang membeli
diluar, padahal harga diluar TPI lebih mahal. Solar di TPI satu liter Rp 2.200,- diluar TPI bisa mencapai Rp 2.400,- Alasan mereka kalau membeli solar di TPI harus tunai
tidak boleh ngebon bayar belakangan, sementara kalau diluar TPI boleh ngebon, boleh dibayar setelah pulang melaut dan mendapatkan hasil. Kalau tidak
mendapatkan hasil mereka hutang. Terkadang mereka mengganti bahan bakar solar dengan minyak tanah yang harganya jauh lebih murah, tapi bisa merusakkan mesin.