Kemiskinan Struktural Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan
Dinas Kelautan dan Perikanan Demak. Ada juga program P3EMDN, dulu yang menangani bagian Ekonomi BAPPEDA. Di bagian Ekonomi BAPPEDA juga
menangani Program Pengembangan Kecamatan PPK seluruh kecamatan di Kabupaten Demak, termasuk di Kecamatan Bonang. Desa Morodemak termasuk
yang juga mendapatkan dana program tersebut.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak memiliki suatu program yang telah dilakukan untuk pengentasan Kemiskinan, yaitu PEMP Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Pesisir. Khusus untuk Desa Morodemak ada program PEMP berupa pengadaan alat tangkap ikan berupa kapal lengkap dengan peralatan
penangkap ikannya. Program pengadaan alat tangkap ikan tersebut muncul karena pertimbangan bahwa kebiasaan nelayan Desa Morodemak one day fishing
menangkap ikan hanya dalam waktu satu hari artinya mereka berangkat sore hari dan pulang pagi hari, jadi jarak yang ditempuh dekat dengan pantai dan hasilnya
juga sedikit. Kebiasaan ini ingin diubah, agar nelayan disana dalam menangkap ikan bisa lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, sehingga dibutuhkan
jenis alat tangkap yang memadai. Namun kenyataannya program ini kurang berhasil, karena mental nelayan disana masih harus pulang dalam satu hari one day fishing.
Program pengadaan kapal dan alat tangkap di Desa Morodemak merupakan bantuan dana dari Pusat ke Kabupaten Demak DKP Demak. Ketika dana tersebut
sampai di Kabupaten, oleh Kabupaten pengelolaan dananya diserahkan oleh LAB. Anggota LAB terdiri dari perwakilan desa-desa seluruh Kabupaten Demak.
Termasuk Desa Morodemak mempunyai perwakilan yang duduk di kepengurusan LAB. Program pengadaan kapal itu atas usulan dari perwakilan Desa Morodemak
yang disetujui oleh LAB. Kepemilikan kapal dipegang oleh LAB, manajemen pengelolaan dan perawatannya diserahkan sepenuhnya oleh masyarakat Desa
Morodemak, tetapi mereka tidak berhak menjual kapal tersebut. Pembagian hasilnya disepakati 78 dinikmati masyarakat Desa Morodemak untuk kesejahteraan
mereka, 22 untuk LAB dan dana pembinaan. Namun sampai sekarang, bagian yang 22 belum pernah diberikan. Sementara 100 masih dipegang oleh mereka,
sehingga kami merasa kesulitan. Disatu sisi lemahnya pengawasan dan dilain sisi tidak dana pembinaan untuk memecahkan problem yang mereka hadapi.
Di DKP Demak sebagai pelaksana program pemberdayaan ini mengalami dilemma, disatu sisi kadang kami ingin memberdayakan masyarakat nelayan,
namun kadang sasaran kegiatannya tidak pas tidak sesuai. Itu kami akui ketika terjadi di lapangan demikian. Memang didalam petunjuk pelaksanaan atau petunjuk
teknis sudah diatur, namun ketika terjadi di lapangan sulit untuk dilaksanakan. Terbukti yang seharusnya produktif untuk mendapatkan bantuan modal, namun
kenyataannya justru yang mendapatkan bantuan modal adalah yang kurang produktif. Akhirnya tidak tepat sasaran. Ada juga program pengembangan
ketrampilan pengolahan hasil tangkapan ikan, seperti membuat krupuk, dendeng dan lain-lain bagi istri-istri nelayan. Itu pun jumlahnya kecil-kecilan. Kalau untuk
alternatif pekerjaan nelayan dalam menghadapi musim paceklik itu belum ada.
Sebetulnya program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat nelayan sudah banyak sekali. Salah satu penyebab
ketidakberhasilan program-program pemerintah tersebut adalah sikap dan perilaku masyarakat sendiri yang kurang mendukung. Penyebab yang lain adalah tidak
adanya aturan yang jelas dan penegakan hukum atau sanksi terhadap pelanggar.
Aturan-aturan yang sebelumnya disepakati bersama banyak dilanggar oleh mereka sendiri. Masalahnya seperti di PPK Program Pengembangan Kecamatan,
program ini tidak ada jaminan, sehingga masyarakat merasa tidak terikat dengan aturan-aturan yang sebelumnya disepakati bersama. Pemerintah meminjami secara
cuma-cuma tanpa jaminan, sehingga masyarakat mengira itu adalah bantuan rutin tahunan pemerintah yang tidak perlu untuk dikembalikan. Seharusnya pemerintah
dalam memberikan pinjaman modal meminta jaminan. Apalagi tidak ada sanksi hukumnya apabila ada yang melanggar. Masyarakat kalau bulan ini tidak ditagih,
maka dapat dipastikan bulan depan tidak akan membayar. Bahkan ada seorang tokoh masyarakat, ketika ditagih tidak mau membayar. Ini dijadikan alasan warga
lain juga tidak mau membayar.
Sebetulnya para Kyai sudah memberikan nasehat-nasehat tentang kewajiban seseorang yang berhutang untuk melunasinya. Terkadang lewat forum-
forum pengajian. Bahkan hampir disetiap acara takziah pemakaman orang meninggal, pasti diingatkan oleh kyai untuk keluarga ahli waris melunasi hutang si
mayat. Kalau tidak dilunasi hutangnya, si mayat akan terkatung-katung nasibnya di akhirat. Orang mati syahid pun yang seharusnya langsung masuk surga, jika masih
ada hutang yang belum terbayar akan ditunda masuk surganya.
Semua program pengentasan kemiskinan apapun bentuknya, kalau tidak diiringi dengan evaluasi dan monitoring secara terus menerus, pasti tidak akan
berhasil. PPK yang sekarang sudah berjalan dengan baik, kalau lengah dalam segi evaluasi dan monitoring akan mengalami nasib yang sama dengan program-
program sebelumnya. Ada kejadian, seorang anggota kelompok yang mendapatkan pinjaman dana ketika ditagih untuk membayar cicilan, dia berbelit-belit dan
penagihnya mengalami kesulitan. Padahal dia termasuk tokoh masyarakat, akhirnya anggota yang lain ikut-ikutan ketika ditagih berbelit-belit. Tidak adanya sanksi
hukum, dijadikan alasan oleh warga untuk tidak membayar pinjaman. Ditengah- tengah masyarakat berkembang informasi, bahwa bantuan dari pemerintah tidak
dikembalikan tidak apa-apa, bahkan ada yang mengkait-kaitkan kalau dana tersebut bermuatan politik.
Seharusnya masyarakat yang akan mendapatkan dana bantuan itu harus dipersiapkan dulu sebelum dana diberikan, untuk itu perlu kerja sama dengan
perguruan tinggi dalam menganalisis potensi sumberdaya alam dan kultur masyarakat, karakteristik masyarakat dan lingkungan mereka, administrasi dan
pengelolaannya, yang menjadi kendala di lapangan itu ada semacam tumpang tindih sektoral.
Umumnya program pembangunan yang dilakukan pemerintah kalau sudah selesai tidak ada kelanjutannya, karena bisaanya terbentur dengan biaya
operasional untuk pengawasan dan pemantauan. Kendala keterbatasan dana operasional sangat menghambat terlaksananya program-program di Desa. Kunci
keberhasilan program terlaksana dengan baik adalah dengan adanya pengawalan dan pengawasan. Begitu program selesai, pengawasan dan pemantauan pun ikut
selesai. Ini termasuk kelemahan yang harus dipikirkan juga.
Pernah diadakan di Desa Morodemak, program pelatihan-pelatihan berbentuk ketrampilan mengolah hasil tangkapan ikan, seperti pembuatan ikan asin,
trasi, bandeng presto, dan lian-lain. Ketika mereka diundang untuk diberi pelatihan yang datang bukan orang-orang yang memiliki jiwa wiraswasta dan tidak pas.
Pernah yang datang itu Bu Carik, ketika diberi modal dan peralatan, modalnya diterima dan habis, peralatannya nganggurndongkrok tidak dipakai di rumah. Jika
diadakan pelatihan yang datang 20 orang dan yang mempunyai wawasan jiwa wiraswasta 3 orang, maka yang jadi yang 3 orang, yang lainnya gagal.
Seharusnya idealnya mereka yang mengajukan jenis pelatihan yang cocok dan dibutuhkan di Desa Morodemak, misalnya peningkatan daya jual hasil
tangkapan ikan yang mudah busuk dengan sentuhan ketrampilan. Kadang ada yang
sudah mengajukan proposal kegiatan dari aspirasi mereka, namun kendalanya ketika proposal diajukan ke kabupaten dan dikaji disana ternyata belum disetujui,
sehingga dana tidak keluar.
Seharusnya pemerintah memberi kemudahan dan tepat sasaran dalam membantu masyarakat yang kurang mampu. Kadang yang seharusnya
mendapatkan bantuan justru tidak mendapatkan bantuan. Sedangkan yang seharusnya tidak mendapatkan bantuan justru mendapatkan bantuan. Setiap kali
ada dana bantuan dari pemerintah, sering terjadi salah sasaran. Dana bantuan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang, biasanya yang ada hubungan
kekerabatan dengan aparat desa atau tokoh masyarakat.
NORMA MASYARAKAT YANG TIDAK MENDUKUNG PEMBANGUNAN 1. Suka Berhutang dan Tidak Bertanggung Jawab
Pada umumnya program-program P3EMDN di desa Morodemak banyak yang macet. Awalnya ketika diberi bantuan dana program bergulir, mereka bersedia
mengembalikan, namun ketika program sudah berjalan beberapa waktu, mereka tidak mau mengembalikan pinjaman tersebut. Mereka menganggap bahwa bantuan
yang diberikan oleh pemerintah itu gratis, tidak perlu dikembalikan. Mereka menjadikan alasan, bahwa dulu-dulu program bantuan dana dari pemerintah itu
gratis. Dahulu juga ada dana bantuan IDT yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah, namun dana tersebut yang seharusnya bergulir diantara masyarakat,
ternyata tidak berjalan, bahkan uang pinjaman untuk modal tidak kembali. Hal itu dijadikan alasan bagi mereka untuk tidak mengembalikan uang dana bantuan
P3EMDN.
Mereka kalau berhutang dan tidak membayar itu sudah biasa dan tidak merasa berdosa atau merasa merugikan orang lain yang dihutangi. Anehnya
padahal mereka mengaku agamis. Apalagi berhutang massal ada temannya, mereka tambah berani untuk tidak membayar. Ditambah lagi tidak ada jaminan dan
sanksi hukum yang mengikat, mereka tambah lebih berani.
Kebiasaan bagi istri-istri nelayan, mereka berhutang di warung-warung untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Nanti dibayar kalau suaminya pulang dari melaut.
Apabila suaminya pulang dari melaut ternyata pendapatannya kecil, sehingga tidak dapat membayar hutang. Besoknya ambil barang ngebon lagi. Akhirnya hutangnya
jadi menumpuk dan sulit untuk menagihnya. Kalau ditagih bahkan ada yang marah- marah atau mereka pindah tidak lagi belanja di warung yang lain.
Budaya masyarakat nelayan yang belum dapat dihilangkan adalah budaya tidak ada rasa tanggung jawab. Senangnya hutang sampai menumpuk akhirnya
tidak dibayar. Banyak warung yang mengeluhkan masalah ini. Warung yang diperbanyak modal dan barangnya, tidak semakin berkembang menjadi besar, justru
modalnya hilang dan habis. Padahal pengajian disini hampir tiap hari diadakan, namun perilaku masyarakat masih seperti ini. Bahkan ketika acara kematian warga,
itu sudah diketuk dan diingatkan tentang hutang, seharusnya itu lebih mengena, namun juga belum ada kesadaran. Kembali kepada nafsu manusia lagi. Merubah
perilaku mereka itu sangat sulit. Seharusnya ada kesepakatan diantara penjual warung atau toko, kalau membeli tidak membayar, tidak usah dilayani. Bahkan ada
orang yang mampu dan punya usaha, hidup berkecukupan, kalau hidupnya tidak dihiasi hutang tidak enak.
Diibaratkan mereka itu seperti bayi yang baru lahir, harus kita bimbing untuk belajar berdiri, berjalan dan akhirnya dapat berlari kencang sendiri dengan penuh
kesabaran dan jangan terlalu cepat dilepaskan begitu saja sebelum mereka mampu berdiri sendiri. Yang jadi masalah adalah mau tidak mereka dibimbing, diarahkan
dan dibina untuk menjadi baik. Merubah pola pikir yang dimiliki masyarakat ini memerlukan proses dan waktu yang panjang dan penuh kesabaran dalam
membimbing secara terus menerus serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit.