Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SWADAYA

BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI

MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMBANGUNAN

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)

MUSSADUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2005

Mussadun NIM C251030011


(3)

ABSTRAK

MUSSADUN. C251030011. Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak). Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI dan FREDIAN TONNY.

Desa Morordemak mempunyai potensi di sektor perikanan tangkap dan budidaya tambak, namun potensi ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga desa ini tetap miskin. Permasalahan kemiskinan nelayan tersebut mengundang perhatian pemerintah. Pemerintah berupaya memberikan solusi berupa pemberian program bantuan pengentasan kemiskinan. Namun sejauh ini perkembangan yang terjadi di Desa Morodemak belum sesuai dengan yang diharapkan.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendiskripsikan pengaruh kebijakan pembangunan yang terkesan dipaksakan dan norma yang berkembang ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat nelayan untuk berpartisipasi; (2) Mendiskripsikan pengaruh lemahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya, sehingga masyarakat nelayan miskin; (3) Memberikan usulan bentuk sistem kelembagaan swadaya yang berkelanjutan sebagai media partisipasi; (4) Merumuskan strategi pengembangan sistem kelembagaan swadaya yang berkelanjutan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Metode studi kasus memiliki strategi pengumpulan data yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan dan analisis dokumen. Temuan studi hasil analisis diskripsi adalah sebagai berikut: (1) Desa Morodemak merupakan desa miskin ditinjau dari segi kondisi fisik sarana dan prasarana, kondisi pemukiman penduduk dan tingkat pendidikan; (2) Kesalahan pemerintah dalam memahami konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan peran tokoh agama, mempengaruhi norma atau perilaku masyarakat nelayan Desa Morodemak yang tidak mendukung pembangunan sebagai penyebab lemahnya partisipasi masyarakat nelayan; (3) Lemahnya partisipasi masyarakat menyebabkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak, sehingga terbelit Kemiskinan; (4) Usaha untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah mengembangkan Lembaga Musyawarah, Perencana dan Pelaksana Pembangunan Desa Morodemak sebagai media partisipasi; (5) Langkah-langkah strategis dirumuskan dengan memperhatikan kepentingan dan nilai-nilai pranata yang berkembang di masyarakat nelayan Desa Morodemak. Nilai-nilai, pranata dan norma yang berkembang dan berpotensi sangat bagus di Desa Morodemak adalah kelembagaan agama.

Suatu usaha mengentaskan kemiskinan masyarakat nelayan Desa Morodemak adalah memberikan kebebasan dan otoritas penuh yang bertanggung jawab kepada masyarakat nelayan Desa Morodemak untuk mengorganisasikan diri dan mendorong seluruh elemen masyarakat nelayan Desa Morodemak untuk ikut berpartisipasi dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada secara mandiri dan tidak tergantung dengan pihak luar.dalam suatu sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan.


(4)

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SWADAYA

BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI

MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMBANGUNAN

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)

MUSSADUN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(5)

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)

Nama : Mussadun NIM : C251030011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan

Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc


(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis berjudul “Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terwujudnya karya ilmiah ini dari awal sampai selesai tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, masukan, dorongan dan semangat. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada: (1) Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA dan Bapak Ir. Fredian Tonny, MS, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini; (2) Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB); (3) Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf; (4) Bapak Prof. Dr. Ir. H Rokhmin Dahuri, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) beserta staf; (5) segenap dosen mata kuliah pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor; (6) Pemerintah Kabupaten Demak, Kesbanglinmas Demak, BAPPEDA Demak, DKP Demak, PMD Demak, PEDAL Demak, Kantor Kecamatan Demak dan Kepala Kelurahan Desa Morodemak yang telah memberikan izin penelitian di Desa morodemak: (7) Bapak Ir Jawoto, Ibu Wiwik dan rekan dosen Studio Perencanaan Wilayah PWK UNDIP beserta mahasiswa Tim Desa Morodemak dan Purworejo atas masukan data dan informasi; (8) semua pihak yang tidak dapat kami sebut satu per satu yang telah membantu baik material maupun spiritual, sehingga penyusunan tesis ini selesai.

Tidak lupa juga kepada semua rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, khususnya Angkatan X yang telah memberi dukungan dan bantuan yang tak terhingga.

Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian, Amiin.

Bogor, September 2005

Mussadun


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juni 1970 dari ayah Saman dan ibu Tumini. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Karangkumpul Semarang pada tahun 1983, pada tahun 1986 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri 13 Semarang dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai siswa SMA Negeri 3 Semarang dan tamat pada tahun 1989. Pada tahun 1989, penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang. Pada tahun 1991, penulis mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis menamatkan program S1

Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro pada tahun

1996.

Pada tahun 1997, penulis diterima sebagai tenaga pengajar magang di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan pada tahun 1998 diangkat sebagai CPNS di instansi yang sama. Pada tahun 1999, penulis resmi menjadi PNS sebagai tenaga pengajar di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan tugas belajar program pascasarjana (Magister Sains) dengan biaya BPPS pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ……….. ii

DAFTAR TABEL ………. v

DAFTAR GAMBAR ……….……….. vi

DAFTAR LAMPIRAN ……….……… vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ……….………. 1

Perumusan Masalah ………. 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….……… 4

PENDEKATAN TEORITIS TINJAUAN PUSTAKA ………..……… 6

Fenomena Kemiskinan Masyarakat Nelayan ……….…….. 6

Struktur Sosial, Interaksi Sosial dan Pranata Sosial …….……… 8

Kelembagaan Swadaya Masyarakat ………. 10

Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan …..… 11

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat ……….. 12

Konsep Pembangunan Berkelanjutan ………..……. 14

Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan ………….. 14

KERANGKA PEMIKIRAN ………...………….. 15

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ………..……. 19

Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……… 19

Penentuan Sampel (Responden dan Informan) ..……….. 19

Metode Pengolahan dan Analisis Data .………..………. 23

GAMBARAN UMUM DESA MORODEMAK Wilayah Administrasi ……….……….. 26

Tata Guna Lahan ………..……….. 26

Pemerintahan Desa ……….………. 27

Kependudukan ……….. 27

Mata Pencaharian Penduduk ………...….. 29

Tingkat Pendidikan ………..……… 31

Agama ………..……… 32

Tingkat Kesejahteraan ………..…..……… 32

Fasilitas dan Utilitas ………..………..… 33

HISTORIS STRUKTUR SOSIAL POLITIK DI DESA MORODEMAK …... 39

FENOMENA KEMISKINAN DI DESA MORODEMAK Mata Pencaharian dan Tingkat Kesejahteraan ………..………. 43

Tingkat Pendapatan ……….……… 45

Kondisi Fisik Sarana dan Prasarana ……….………… 45

Kondisi Sarana di Desa Morodemak ………..……… 45

Sarana Pendidikan ………..……… 45

Sarana Kesahatan ……… 46

Sarana Perdagangan ………..……… 46

Pemukiman ……… 47

Kondisi Prasarana di Desa Morodemak ………..….. 47

Jaringan Jalan ………. 47

Jaringan Transportasi ………..………….. 47


(9)

Jaringan Sanitasi dan Drainase ……… 48

Jaringan Persampahan ……….………. 48

Kemiskinan Kultural ……….…….. 49

Kemiskinan Struktural ……… 50

Kemiskinan Alami (Natural) ………. 52

PROGRAM PEMBANGUNAN DAN NORMA MASYARAKAT YANG MENGHAMBAT PARTISIPASI Program Pembangunan Pengentasan Kemiskinan ………….……… 54

Norma dan Perilaku Masyarakat Nelayan Desa Morodemak ………. 58

Lemahnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan ………….. 64

SISTEM KELEMBAGAAN MASYARAKAT NELAYAN YANG KURANG BERFUNGSI DI DESA MORODEMAK Kelembagaan Keluarga ………..……… 67

Kelembagaan Keagamaan ………..……… 70

Kelembagaan Pendidikan ……… 72

Kelembagaan Ekonomi ……… ………… 74

Kelembagaan Politik ……….……… 79

Kelembagaan Pemerintahan Desa ……… 79

Kelembagaan Penegakan Hukum ………..……… 80

Karakter Tokoh dalam Sistem Kelembagaan …….……….………….. 86

BENTUK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA MASYARAKAT BERKELANJUTAN Bentuk Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat 88 Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan 91 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……….……… 95

Saran ……… ….………. 96

DAFTAR PUSTAKA ………...………..………..……… 97


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis Kategori ... 21

2. Penggunaan Lahan Desa Morodemak ... 23

3. Jumlah Penduduk Per Tahun Desa Morordemak ... 25

4. Jumlah Penduduk Menurut Umur Desa Morodemak ... 25

5. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Morodemak .. 26

6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 28

7. Jumlah Penduduk Menurut Agama ... 29

8. Jumlah Kendaraan Bermotor ... 30

9. Jumlah Sarana Komunikasi ... 30

10. Jumlah Fasilitas Pendidikan ... 31

11. Jumlah Fasilitas Kesehatan ... 32

12. Jumlah Fasilitas Peribadatan ... 32


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat ... 12

2. Diagram Alur Berpikir ... 18

3. Rangkaian Tahapan Metodologi Penelitian ... 22

4. Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak ... 24

5. Diagram Batang Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 25

6. Diagram Batang Mata Pencaharian Penduduk ... 27

7. Usaha Rumah Tangga Nelayan (On Farm) ... 27

8. Pekerjaan Masyarakat Nelayan Desa Morodemak (Off Farm) ... 27

9. Diagram Batang Tingkat Pendidikan ... 28

10. Fasilitas Pendidikan MTs Sunan Barmawi dan SD Inpres Moro ... 30

11. Masjid Jami Baitul Atiq dan Mushala Mujahidin Desa Morodemak ... 32

12. Pemukiman Nelayan Desa Morodemak ... 33

13. Pasar, Warung dan Toko/Kios ... 33

14. Angkutan Desa, Ojek Roda Tiga dan Perahu Penyeberangan ... 34

15. Kondisi Jalan Desa Morodemak ... 34

16. Kondisi Drainase Desa Morodemak ... 35

17. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah ... 35


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengamatan ... 102

2. Responden dan Informan ... 106

3. Hasil Wawancara ... 107

4. Jenis Dokumen ... ... 108

5. Peta Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak .... 109


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Mereka kebanyakan merupakan masyarakat nelayan tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan berlatar belakang pendidikan yang relatif sangat rendah (Supriharyono, 2000:4). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Raymond Firth, bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik diantaranya adalah tingkat pendidikan nelayan dan anak-anak nelayan pada umumnya rendah dan tingkat pendapatan mereka juga rendah (Sulistiyo, 1994:117).

Rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan tradisional tersebut menyebabkan mereka hidup terbelit dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Kusnadi (2002:3) berpendapat, bahwa tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional sangat rendah dan bahkan dapat dikatakan sebagai lapisan sosial yang paling miskin di desa-desa pesisir.

Kemiskinan dan keterbelakangan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan tersebut merupakan dampak dari adanya proses pembangunan yang bersifat top-down, sentralistis, teknokratis dan bersifat penyeragaman dan belum memperhatikan keterlibatan masyarakat, sehingga prakarsa lokal tidak dapat berkembang dan “memasung” usaha untuk pengembangan diri masyarakat nelayan. Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan, hal ini menyebabkan masyarakat nelayan terjatuh dalam kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural (Damanhuri, 2000:64-66).

Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat, karena sebab-sebab natural (alami), kultural atau struktural (Nugroho dan Rokhmin, 2004:165). Kemiskinan kultural disebabkan oleh variabel-variabel yang melekat, inheren dan sudah menjadi gaya hidupnya membentuk pola perilaku. Akibatnya sulit bagi individu nelayan untuk keluar dari kemiskinan tersebut.


(14)

Kebijakan pembangunan pemerintah yang bersifat sentralistik, teknokratik,

top-down dan terkesan dipaksakan kepada masyarakat akan berdampak pada kemiskinan struktural yang menyebabkan partisipasi dan usaha pengembangan diri tehadap prakarsa (swadaya) lokal terhambat. Loekman Soetrisno berpendapat, bahwa pemerintah sebagai pelaku pembangunan yang menyediakan segalanya baik pembiayaan, perencanaan maupun pelaksanaannya. Akibatnya masyarakat menjadi pasif dan tergantung kepada pemerintah, sehingga pembangunan yang terjadi tidak didasari dengan berkembangnya kemandirian masyarakat dan partisipasi masyarakatpun menjadi semu (Sulistiyo, 1994:114).

Peranan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan berkeinginan, agar masyarakat terlibat dalam pembangunan, akan tetapi keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan lebih banyak terjadi sebagai hasil pengarahan dari pemerintah untuk menunjang proyek dan program pemerintah, bukan inisiatif masyarakat sendiri. Kebijaksanaan pembangunan selama ini terbukti kurang memberi peluang berkembangnya keswadayaan masyarakat nelayan. Implikasi yang timbul adalah partisipasi masyarakat nelayan yang semu dan parsial, sehingga tidak mendukung munculnya pembangunan yang berkelanjutan (Mubyarto, 1994:8). Hal ini berpengaruh kepada perkembangan sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan yang cenderung bersifat pasif dan menimbulkan budaya partenalistik, sehingga tidak berkembang sesuai dengan potensi dan lingkungan yang ada.

Kabupaten Demak merupakan salah satu kabupaten yang dikategorikan miskin di Propinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 sebanyak 243.800 jiwa.

Menurut data BPS Kabupaten Demak tahun 2003, Kecamatan Bonang merupakan kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin yang ke-4 sebanyak 37.811 jiwa, setelah Kecamatan Sayung (51.843 jiwa), Kecamatan Guntur (42.998 jiwa) dan Kecamatan Mranggen (38.645 jiwa). Desa Morodemak merupakan desa pesisir yang paling miskin dibandingkan dengan desa lainnya di Kecamatan Bonang.

Kabupaten Demak memiliki luas wilayah 89.743 Ha, terdiri dari 14 kecamatan, 241 desa dan 6 kelurahan. Jumlah penduduknya pada tahun 2004 ini sebanyak 1.017.075 jiwa dengan 243.800 jiwa digolongkan sebagai warga miskin. Indikator ekonominya menunjukkan, bahwa APBD kabupaten sebesar Rp 335,22 milyar dan PAD kabupaten sebesar Rp 19 milyar, sedangkan pendapatan per kapitanya Rp 2,63 juta.


(15)

Desa Morodemak mempunyai potensi di sektor perikanan tangkap dan budidaya tambak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya TPI Moro Demak mempunyai peran yang sangat besar bagi Kabupaten Demak dalam penyumbangan devisa dari sektor perikanan, yaitu sebesar 2,3 ton atau 66,52 % dari produksi ikan basah di Kabupaten Demak. Selain itu, TPI Moro Demak mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 30% dari jumah nelayan di Kabupaten Demak (BPS Kabupaten Demak). Selain itu, potensi sebagian besar penduduk Desa Morodemak bermatapencaharian sebagai nelayan dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan sektor perikanan dan tambak. Potensi lainnya berupa penggunaan lahan Desa Morodemak untuk tambak sebesar 233 ha atau 54,7% dari seluruh luas Desa Morodemak. Namun potensi ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Morodemak, sehingga desa ini tetap miskin.

.

Perumusan Masalah

Permasalahan kemiskinan di Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak tersebut mengundang perhatian dari pemerintah. Menyikapi hal ini, pemerintah berupaya untuk memberikan solusi berupa pemberian program-program bantuan yang dapat menangani masalah kemiskinan. Namun sejauh ini perkembangan yang terjadi di Desa Morodemak belum sesuai dengan yang diharapkan.

Pendekatan program pembangunan yang bersifat top down dan sentralistik menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah, karena masyarakat cenderung tidak merasa memiliki program tersebut dan terkesan dipaksakan. Hal itu diperparah dengan karakter kepemimpinan dan norma yang berkembang ditengah masyarakat nelayan Desa Morodemak cenderung tidak mendukung program pembangunan yang diberikan oleh pemerintah.

Sebagai bukti bahwa program pembangunan pemerintah yang terkesan dipaksakan dan belum memenuhi keinginan masyarakat nelayan Desa Morodemak

Banyak kriteria mengapa desa Morodemak termasuk berkategori desa miskin. Pertama: karena desa tersebut tidak memiliki kekayaan desa, sehingga tidak ada pemasukan bagi pembangunan desa; kedua: perkembangan ekonomi yang lambat, karena penghasilan nelayan tidak menentu; ketiga: fasilitas lingkungan yang kumuh (013/11-WCR/53/5/KMS)


(16)

adalah hasil temuan Tim Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan tersebut dibawah ini:

Lemahnya tingkat partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak terhadap program pembangunan, berdampak pada lemahnya sistem kelembagaan swadaya yang tidak berkembang dan menjadi pasif serta tidak berfungsi dengan baik. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat mengakibatkan masyarakat nelayan terjatuh dalam kemiskinan.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka timbul suatu pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu bagaimanakah seharusnya bentuk sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan yang berkelanjutan di Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak, sehingga dapat berfungsi sebagai media partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bentuk sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan masyarakat nelayan di Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak yang berfungsi sebagai media partisipasi masyarakat nelayan dalam pembangunan berkelanjutan.

Adapun tujuan spesifik yang ingin dicapai untuk menjawab tujuan utama tersebut diatas adalah:

1. Mendiskripsikan kemiskinan di Desa Morodemak yang disebabkan karena faktor natural, kultural dan struktural.

2. Mendiskripsikan pengaruh kebijakan pembangunan yang terkesan dipaksakan, pengaruh tokoh masyarakat dan norma yang berkembang Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut (kemiskinan-red)

adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut (Soekanto, 2002:366)

Temuan negatif dalam laporan hasil evaluasi Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yaitu penetapan penerima modal usaha sebagian tidak tepat sasaran, tidak berpengaruh terhadap perluasan tenaga kerja, sebagian masyarakat kurang merasakan manfaatnya dan kurangnya memprioritaskan pemanfaatan dana terhadap kebutuhan masyarakat (021/01-DOK/65-68/PPM)


(17)

ditengah masyarakat, sehingga membuat ketidakberdayaan masyarakat nelayan untuk berpartisipasi dalam sistem kelembagaan swadaya masyarakat.

3. Mendiskripsikan lemahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya menyebabkan masyarakat nelayan miskin.

4. Mengusulkan bentuk sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak dalam pembangunan.

5. Merumuskan strategi pengembangan, agar terwujud sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak dalam pembangunan.

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Kegunaan bagi masyarakat nelayan Desa Morodemak adalah agar mereka mengetahui bahwa sistem kelembagaan swadaya yang mereka miliki sangat berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, selama mereka berusaha untuk dapat mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam sistem kelembagaan swadaya tersebut.

2. Kegunaan bagi akademis adalah pengembangan wacana secara teoritis dan komprehensif dalam memahami potensi sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan dalam pembangunan.

3. Kegunaan bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan adalah agar memperhatikan potensi kelembagaan swadaya masyarakat nelayan sebelum menetapkan kebijakan program-program pembangunan di kawasan pesisir dan mengetahui program pembangunan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat nelayan di Desa Morodemak.

4. Kegunaan bagi swasta adalah dengan mengetahui potensi sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak, mereka dalam melakukan aktivitas usaha akan menggunakan strategi pendekatan yang sesuai dengan potensi yang ada.


(18)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Fenomena Kemiskinan Masyarakat Nelayan

Kemiskinan pada suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Kemiskinan menggambarkan potensi suatu wilayah yang memiliki perkembangan masyarakatnya yang rendah, aspirasi dan persepsi pada suatu masalah bersifat terbatas dan semu serta mengutamakan pengambilan keputusan dalam jangka waktu yang pendek. Kemiskinan disebabkan oleh faktor alami (natural), faktor struktural dan faktor kultural (Nugroho dan Rokhmin, 2004: 166-168).

Sifat dan karakteristik masyarakat nelayan adalah tergantung pada musim (faktor alam). Pada masa musim subur dan cuaca cerah, masyarakat nelayan melakukan penangkapan ikan dan mereka sibuk melaut untuk mendapatkan banyak ikan, sehingga mereka mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya pada masa musim paceklik atau cuaca yang tidak mendukung untuk melakukan penangkapan ikan, masyarakat nelayan kecil yang tidak mampu mengakses teknologi tidak melakukan penangkapan ikan, sehingga mereka menganggur dan tidak mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi didukung dengan tidak adanya alternatif mata pencaharian lain yang menghasilkan pendapatan, akhirnya mereka mencari pinjaman kepada orang lain. Belitan hutang yang tak terelakkan tersebut menyebabkan masyarakat nelayan kecil terperangkap dalam kemiskinan yang disebabkan oleh faktor alami (natural).

Konsep kemiskinan kultural, menurut Parsudi Suparlan yang menukil pendapat Oscar Lewis, bahwa konsep kemiskinan kultural bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, akan tetapi kemiskinan yang disebabkan adanya pengaruh kebudayaan dan kejiwaan yang diturunkan dari generasi ke generasi secara turun temurun melalui proses sosialisasi yang panjang (Nurlina, 1998:8 dan Suparlan, 1986:133). Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan adanya faktor budaya yang melekat dan menjadi perilaku dan gaya hidup pada suatu masyarkat. Variabel kemiskinan kultural ini meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, kepercayaan, kesetiaan, ketaatan pada panutan (Nikijuluw, 2001:30 dan Nugroho dan Rokhmin, 2004:168). Kemiskinan kultural ini sangat sulit diatasi, karena membutuhkan kesabaran dan proses yang sangat panjang.


(19)

Sebagaimana telah dinyatakan oleh Soemarjan, bahwa konsep kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat karena struktur sosialnya, sehingga masyarakat tersebut tidak dapat mengakses potensi sumberdaya-sumberdaya yang sebenarnya tersedia dan dimiliki mereka (Cahyono, 1983:2-3 dan Nurlina, 1998:9). Pitirim Sorokin membagi konsep struktur tersebut dalam dua bagian, yaitu struktur sosial vertikal dan struktur sosial horinzontal. Struktur sosial vertikal adalah menggambarkan tinggi-rendahnya kedudukan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hirarkis berupa stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat. Struktur sosial horizontal adalah menggambarkan keseimbangan kedudukan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memiliki kedudukan sama, sehingga didapatkan variasi atau pengkayaan pengelompokan dalam suatu masyarakat (Rahardjo, 1999:94). Lebih jauh dipahami, bahwa kemiskinan struktural ini disebabkan oleh tatanan kelembagaan, dalam artian pengertian kelembagaan yang lebih luas tidak hanya mencakup tatanan organisasi saja, tetapi juga terkait dengan aturan-aturan main yang diterapkan (Nugroho dan Rokhmin, 2004:167).

Menurut Valentine (1968) dalam bukunya Culture and Poverty, menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya kemiskinan kultural. Kemiskinan yang terjadi pada suatu golongan masyarakat itu karena adanya berbagai hambatan sosial yang sangat besar, yang disebabkan oleh kondisi-kondisi struktural dari masyarkat tersebut yang terletak di luar jangkauan kekuatan kontrol dari mereka yang tergolong miskin. Pada hakekatnya tidak ada kemiskinan kultural, karena kebudayaan yang dimiliki oleh orang miskin dengan kebudayaan yang dimiliki orang yang kaya dalam masyarakat adalah sama (Suparlan, 1981:133).

Menurut Marx dan Engels, bahwa dalam struktur sosial suatu masyarakat terbentuk pola hubungan antar kelas (pelapisan) sosial. Kelas-kelas sosial tersebut terbentuk karena pola hubungan produksi. Pola hubungan produksi antara pengusaha dan pekerja, majikan dan buruh, orang kaya dan orang miskin dapat menimbulkan ketimpangan antar kelas sosial yang menyebabkan rusaknya solidaritas sosial. Akibatnya mendorong konflik antar kelas pekerja/buruh (proletariat) dengan majikan/pengusaha (borjuasi), sehingga timbul pemiskinan bagi pihak pekerja/buruh (Kleden, 1997:79).

Di dalam Agama Islam, perbedaan status sosial merupakan sunatullah dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Adanya orang kaya dan orang miskin, majikan dan buruh, pengusaha dan pekerja, pemerintah dan rakyat, orang pandai


(20)

dan orang bodoh dan lain-lainnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala melebihkan sebagian orang atas sebagian yang lain, memberi kelebihan rezki sebagian atas sebagian yang lain, memberikan kelebihan kekuasaan sebagian atas sebagian yang lain dan memberikan kecerdasan sebagian orang atas sebagian yang lainnya.

Namun golongan yang diberi kelebihan oleh Allah tersebut diperintahkan untuk tidak serakah, mengikuti hawa nafsu, sombong dan tidak berbuat adil. Justru mereka diperintahkan mengeluarkan zakat, sedekah, menyantuni anak yatim, memberi makan orang miskin, tidak berbuat dholim kepada si lemah, berbelas kasihan terhadap orang yang kekurangan dan membantu yang sedang berkesusahan untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat.

Jika si kaya memberi sedekah sebagian hartanya kepada si miskin, majikan memberi bantuan kelebihan hartanya kepada pekerjanya, pemerintah berbuat adil kepada rakyatnya, kaum borjuis tidak berbuat dholim kepada kaum proletar, si kuat mengasihsayangi si lemah dengan berharap kepada Allah untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, maka akan terwujud suatu tatanan struktur sosial masyarakat yang masih mengakui adanya perbedaan kelas, namun terjalin rasa solidaritas dan saling membantu serta saling kasih sayang diantara mereka. Muncullah pola hubungan interaksi dalam kehidupan diantara mereka yang damai dan serasi. Ternyata agama Islam mempunyai jalan keluar untuk menyelesaikan problem konflik yang selama ini terjadi antara paham liberalisme/kapitalisme dengan sosialis/komunisme. Allah Maha Benar dan Maha Mengetahui segala urusan manusia.

Struktur Sosial, Interaksi Sosial dan Pranata Sosial

Struktur sosial bersifat abstrak, dikarenakan perhatian objeknya ditujukan pada pola-pola tindakan, jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam

Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan dirimu sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan perkara diantara manusia dengan adil. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu (syetan), karena akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Al Quran surat Shad (38) ayat 26)

Dialah (Allah) yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia (Allah) meninggikan kedudukan kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu (Al-Quran Surat Al An’am (6) ayat 165)


(21)

dalam waktu dan ruang, posisi sosial dan peranan-peranan (fungsi) sosial yang kadang tidak nampak oleh pandangan mata manusia. Struktur sosial merupakan sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian pola hubungan sosial antar individu atau kelembagaan yang ada menurut status, peranan dan pranata yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu (Suparlan, 1981:90).

Selo Soemardjan (1964:14) dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi menjelaskan hubungan antara norma-norma, kelembagaan sosial dan lapisan masyarakat sebagai berikut:

Unsur-unsur sosial yang pokok ialah norma-norma atau kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Kesemuanya ini berjalin satu sama lainnya dan keseluruhan dari unsur-unsur sosial ini dalam hubungannya satu sama lain disebut struktur sosial…….Pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan ini dicakup dalam pengertian proses-proses sosial. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadi perubahan-perubahan dalam struktur sosial.

Satuan-satuan lingkungan sosial terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi. Sedangkan yang melingkari individu-individu tersebut terdiri dari keluarga, kelembagaan, komunitas, dan masyarakat. Satuan lingkaran struktur sosial tersebut mempunyai karakteristik yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan dan proses-proses yang berlangsung dalam struktur tersebut.

Interaksi struktur sosial bersifat kompleks, karena masing-masing individu mempunyai kepentingan, sehingga memerlukan suatu tatanan hidup bersama untuk mengamankan kepentingan komunal demi kesejahteraan dan keberlangsungan hidup struktur sosial tersebut. Perangkat tatanan kehidupan bersama menurut pola tertentu kemudian berkembang menjadi pranata sosial, atau abstraksi yang lebih tinggi dinamakan kelembagaan atau institusi (Soelaeman, 1993:64).

Corak dari suatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang ada disekitarnya. Perwujudan kebudayaan sebagai pola kelakuan berupa norma-norma atau aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat tergambarkan melalui beraneka ragam corak pranata-pranata sosial yang berkembang di masyarakat tersebut.

Pranata-pranata tersebut sebagai wujud dari serangkaian norma-norma yang menjadi tradisi/kebiasaan kehidupan individu-individu dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, sehingga yang menentukan corak struktur sosial suatu


(22)

masyarakat adalah pranata-pranata yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Kelembagaan Swadaya Masyarakat

Soerjono Soekanto (2002:209-210) menjelaskan, bahwa kelembagaan masyarakat merupakan hasil kristalisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Kelembagaan masyarakat memiliki ciri adanya aturan-aturan berupa adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan yang tergabung dalam satu unit fungsional sesuai dengan peran masing-masing individu yang ada didalamnya.

Norman Uphoff (1986: 19) menjelaskan, bahwa aspek kelembagaan memiliki makna yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian organisasi. Kelembagaan mengandung unsur adanya aturan-aturan (rules) yang dapat mempengaruhi perilaku, yaitu berupa norma yang diturunkan dari tata nilai yang hidup dan berkembang dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Konsep swadaya (self help) memiliki dasar pengertian, bahwa penggunaan sumberdaya lokal beserta semua kegiatan yang dikelola oleh masyarakat sebagai suatu kesatuan yang bertahan secara mandiri (Conyer, 1994:177). Gunawan Sumodiningrat mengemukakan, bahwa kelembagaan swadaya masyarakat muncul atas inisiatif masyarakat sendiri dengan tujuan pokok memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat baik secara individu maupun kelompok (Quranggana, 1994:18).

Bambang Ismawan memberikan ciri, bahwa kelembagaan swadaya masyarakat adalah kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kelembagaan swadaya masyarakat merupakan suatu wahana yang dapat menggerakkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pencapaian kesejahteraan bersama dan sebagai tempat untuk proses belajar dan mengajar serta pengambilan keputusan (Setiawati, 1994:208).

Indikasi suatu masyarakat berhasil dalam melaksanakan pembangunan adalah tergantung kepada kemampuan dan kemauan masyarakat untuk mengakumulasikan segala potensi yang ada secara maksiamal, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara bersama-sama secara mandiri (berswadaya) tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar.


(23)

Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan Sosial

Kelembagaan yang memiliki nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berperilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kehidupan sosial yang khas (Taryoto, 2001:53). Kelembagaan yang terbentuk secara alamiah bermula dari kristalisasi nilai-nilai dan norma. Suatu norma akan terbentuk secara bertahap, pada awalnya berupa cara perilaku biasa (usage), kemudian meningkat menjadi kebiasaan (folkways), selanjutnya menjadi tata kelakuan (mores) dan akhirnya menjadi adat istiadat (custom). Proses pertumbuhan suatu norma yang baru menjadi bagian dari kelembagaan pada masyarakat disebut proses pelembagaan (Syahyuti, 2003:29).

Suatu norma telah melembaga, apabila telah diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai sampai kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan suatu masyarakat, sehingga norma tersebut menjadi suatu kelembagaan yang mempunyai kedudukan sempurna (Soekanto, 2002:203).

Metta Spencer (1995:325-441) membagi kelembagaan masyarakat menjadi lima bagian, yaitu sistem kelembagaan keluarga, sistem kelembagaan keagamaan, sistem kelembagaan pendidikan, sistem kelembagaan ekonomi politik dan sistem kelembagaan penegakan hukum. Munculnya kelembagaan masyarakat, biasanya merupakan implementasi dari suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Keperluan-keperluan pokok tersebut meliputi bidang ekonomi, pendidikan, agama, politik, keturunan (keluarga). Masing-masing bidang kehidupan tersebut mempunyai hubungan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk segi kehidupan bersama melalui proses-proses sosial (Selo Sumardjan, 1964:14 dan 62).

Sistem kelembagan masyarakat antara yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan dengan pola-pola dan keserasian tertentu sesuai dengan karakteristik suatu tempat. Soerjono Soekanto (2002:333) membagi kelembagaan masyarakat menjadi lima bagian, yaitu: sistem kelembagaan politik, keagamaan, pendidikan, ekonomi dan hukum. Pola hubungan masing-masing sistem kelembagaan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi pada suatu tempat. Untuk lebih jelasnya mengenai pola hubungan sistem kelembagaan masyarakat dapat dilihat pada gambar berikut:


(24)

Sumber: Soekanto, 2003:333

Gambar 1 Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Margono Slamet (2003: 45) memberikan pengertian pemberdayaan adalah kemampuan, berdaya, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensinya dan berani bertindak mengembangkan diri, sehingga terbentuk kemandirian dan tidak tergantung dengan pihak lain.

Istilah partisipasi secara umum mempunyai pengertian suatu usaha berkelanjutan, yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, baik secara aktif maupun pasif. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurut Loekman Soetrisno (1995: 207) adalah kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan dengan mengakomodasi aspirasi, nilai budaya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Partisipasi tersebut dapat dimanfaatkan pula sebagai sarana mengkomunikasikan

Kelembagaan Politik

Kelembagaan Hukum Kelembagaan

Pendidikan

Kelembagaan Ekonomi Kelembagaan


(25)

keinginan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kegiatan pembangunan.

Menurut PBB dalam Conyer (1994:174-175):

Istilah pembangunan masyarakat (community development) telah digunakan secara internasional dalam arti sebagai proses, dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan kultural, serta untuk mengintegrasikan masyarakat…..Proses yang rumit itu terdiri atas dua elemen penting: (1) partisipasi masyarakat itu sendiri dalam usaha mereka untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif mereka sendiri; serta (2) pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya inisiatif, sifat berswadaya dan kegotongroyongan yang membuat kesemuanya ini lebih efektif lagi.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat menurut Pimbert dan Pretty dalam

Brown (2001:15) meliputi partisipasi pasif, partisipasi dalam memberikan masukan informasi, partisipasi dengan melakukan konsultasi, partisipasi dengan memberi bantuan material, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif dan partisipasi dengan berperan aktif.

Partispasi pasif berupa paling tidak masyarakat memberikan dukungan moril dan setuju terhadap kegiatan Pembangunan di daerahnya, walaupun mereka tidak berperan aktif. Akan lebih baik jika masyarakat berperan serta dalam memberikan informasi dan masukan yang bermanfaat dalam forum diskusi atau musyawarah. Jauh lebih baik lagi apabila masyarakat ikut aktif untuk berkonsultasi jika mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di lapangan, dengan suka rela memberikan bantuan baik dana, pikiran dan kemampuannya, ikut terlibat dalam kepengurusan dan pengelolaan kegiatan pembangunan sesuai dengan bidang keahlian masing-masing secara fungsional, saling bekerja sama dengan seluruh elemen yang ada untuk mensukseskan tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan pembangunan tersebut.

Ada tiga alasan penting, perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat. (2) masyarakat akan lebih mempercayai suatu program pembangunan, jika merasa dilibatkan dalam proses pemabngunan tersebut, sehingga akan mempunyai rasa memiliki. (3) masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka.


(26)

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan berusaha mencari jalan keluar untuk memandang, bahwa pembangunan seharusnya tidak hanya memperhatikan segi pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan segi kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan. Menurut Giuseppe Munda (1997:18), bahwa konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi perlu juga memperhatikan aspek pertumbuhan kesejahteraan sosial yang baik dan perlindungan terhadap lingkungan. Program pembangunan berkelanjutan tidak hanya sekedar menitikberatkan pembangunan ekonomi saja, namun mencakup juga pembangunan sosial-budaya dan ekologi, sehingga pembangunan aktor sosial dan kelembagaan sosial juga perlu diperhatikan pengembangannya.

Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah (a) terpenuhinya kebutuhan dasar (pokok) manusia; (b) tercapainya keseimbangan dan keadilan sosial; (c) memberikan kebebasan untuk menetapkan nasibnya sendiri secara (demokratis); (d) menjaga kelestarian ekosistem lingkungan dan keanekaragaman hayati; (e) mempertimbangkan aspek-aspek kesatuan antara aspek lingkungan,aspek sosial dan aspek ekonomi (Mitchell,1994:190).

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pemerataan dan keadilan sosial, partisipasi, menghargai keanekaragaman hayati, menggunakan pendekatan integratif dan perspektif jangka panjang. Prospek generasi di masa datang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. Pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhannya, baik keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial budaya maupun politik, pertahanan dan keamanan (Djajadiningrat, 2001:30-38).

Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan

Sistem kelembagaan yang berkelanjutan merupakan suatu bentuk ketaatan masing-masing individu masyarakat terhadap norma-norma yang dipegang secara terus menerus, konsisten dalam semangat dan stabil walupun terjadi perubahan-perubahan. Jadi kelembagaan yang berkelanjutan mencakup aturan (rules) dan peran (roles). Strategi pemilihan alternatif terbaik yang memungkinkan keadaan masyarakat menjadi lebih baik sesuai kemampuan dan memanfaatkan kondisi potensi yang ada disekitarnya.


(27)

Menurut Derick W. Brinkerhoff dan Arthur A. Goldsmith (1992: 371-380), Pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh (1) partisipasi dari masing-masing individu masyarakat (stakeholder); (2) Kinerja yang baik secara berkelanjutan; (3) Dapat mengantisipasi kompleksitas permasalahan yang tidak dapat dielakkan dengan usaha pengembangan diri; (4) Ditegakkannya kewibawaan aturan hukum.

Kemampuan penduduk dalam menguasai lingkungan sosialnya harus didukung dengan pengembangan kemandirian setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dan bentuk partisipasi tersebut tidak hanya dimonopoli oleh suatu kelompok/kelembagaan tertentu saja, tetapi harus secara bersama-sama dan merata oleh semua kelompok/kelembagaan yang terlibat di dalamnya.

Kerangka Pemikiran

Masyarakat Desa Morodemak 100% beragama Islam, sehingga struktur sosial masyarakatnya didominasi oleh nilai-nilai keagamaan. Kondisi masyarakat Desa Morodemak yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, dimanfaatkan oleh para juru kampanye untuk mencapai tujuan dan kepentingan partai politik mereka. Peran tokoh agama sangat berpengaruh dalam struktur sosial politik di Desa Morodemak. Berawal dari kepentingan politik masa orde baru berkuasa, terjadilah konflik antar tokoh masyarakat (aparat desa) yang pro-“kuning” dengan tokoh agama yang “hijau”, sehingga hubungan antara tokoh aparat desa dan tokoh agama kurang baik. Hal ini berimbas pada masyarakat, mereka lebih percaya dan menghormati tokoh agama daripada tokoh aparat desa yang mereka anggap pro-“kuning”. Peran tokoh agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat yang mementingkan nilai-nilai keagamaan saja untuk melanggengkan kepentingan politik mereka, sehingga yang muncul dalam pandangan masyarakat, bahwa aparat desa dan semua program pembangunan sarana dan prasarana desa adalah tanggung jawab pemerintah yang mendukung GOLKAR.

Secara struktur, runtuhnya pemerintahan orde baru dengan sebab reformasi telah meninggalkan tiga jenis kemiskinan di Desa Morodemak, yaitu (1) kemiskinan keterbatasan sarana dan prasarana desa;(2) kemiskinan kultural berupa norma dan perilaku masyarakat yang hanya mementingkan agama;(3) Kemiskinan struktural berupa lemahnya keswadayaan kelembagaan masyarakat.


(28)

Kemiskinan merupakan suatu keadaan ketidakberdayaan memanfaatkan potensi tenaga, mental maupun fisiknya untuk memelihara diri sesuai dengan taraf kehidupan yang berlaku disekitarnya (Soekanto, 2002:365). Kompleksitas permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh faktor natural (alami), faktor struktural maupun faktor kultural telah mendominasi karakteristik masyarakat nelayan, sehingga tingkat kesejahteraan menurun dan potensi kemampuan untuk mengembangkan diri secara swadaya terhambat.

Bermacam-macam program pembangunan telah digulirkan oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan yang melilit kehidupan nelayan, mulai dari IDT (Inpres Desa Tertnggal), PEMP (Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir), P3EMDN (Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa Nelayan) dan PPK (Program Pengambangan Kecamatan). Victor P.H. Nikijuluw (2001:32) menambahkan keseluruhan program dan pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan dan mengentaskan mereka dari kemiskinan , seperti: motorisasi armada perikanan, pengembangan kelompok usaha bersama, rehabilitasi lingkungan, pengembangan koperasi perikanan, Protekan 2003 dan lain-lainnya, diibaratkan seperti membuang garam di laut. Hasilnya tidak pernah membekas dan tidak pula berdampak sesuai dengan yang diinginkan.

Ketidakberhasilan program pembangunan yang telah digulirkan oleh pemerintah selama ini kurang memperhatikan kebutuhan yang semestinya dipenuhi, yaitu melibatkan masyarakat pesisir dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan suatu hal yang sangat penting, agar muncul dalam hati masyarakat sikap benar-benar merasa memiliki dan memelihara hasil-hasil pembangunan.

Hambatan pertama yang dialami untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan oleh pihak perencana, pelaksana dan penentu kebijakan. Definisi partisipasi masyarakat yang berkembang di kalangan perencana, pelaksana dan penentu kebijakan adalah masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk mendukung secara mutlak program-program pembangunan yang telah dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikesankan oleh mereka sebagai usaha memobilisasi masyarakat untuk mendukung program pembangunan yang mereka inginkan (Sutrisno, 1995:207-208). Masyarakat tidak merasa dilibatkan dan tidak merasa memiliki program pembangunan tersebut, sehingga masyarakat enggan untuk ikut


(29)

berpartisipasi, apalagi berkorban dengan suka rela untuk pembangunan. Akibatnya program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga menjadi tidak terpakai dan percuma. Seharusnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan mempunyai pengertian bahwa masyarakat bersama-sama pemerintah dibantu oleh swasta, perguruan tinggi dan LSM dalam merencanakan, malaksanakan dan membiayai pembangunan.

Hambatan kedua yang menyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah berkembangnya norma ditengah masyarakat yang kurang mendukung terhadap program pembangunan. Kecenderungan munculnya pola pikiran yang berkembang ditengah masyarakat, bahwa pemerintah sebagai

badan amal yang setiap tahun datang membantu dengan gratis dan cuma-cuma. Jika ada program bantuan dana pengembangan yang seharusnya bergulir dari masyarakat yang satu dengan yang lain, ternyata program tersebut seringnya macet

dan tidak jelas kelanjutannya. Adanya norma tertentu yang berkembang ditengah masyarakat, sehingga masyarakat merasa enggan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Lemahnya partisipasi masyarakat dalam sistem kelembagaan swadaya menyebabkan sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan tidak berfungsi dengan baik. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat, menyebabkan masyarakat nelayan belum mampu memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Tidak berkembangnya keswadayaan masyarakat nelayan mengakibatkan mereka tetap terbelit dalam kemiskinan.

Untuk itu diusulkan suatu bentuk sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan masyarakat nelayan di Desa Morodemak, agar mereka mau ikut berpartisipasi. Langkah-langkah strategis perlu dirumuskan untuk pengembangan bentuk sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan, sehingga mampu melindungi dan memperjuangkan aspirasi mereka secara berkelanjutan dalam pembangunan.

Secara diagramatis kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut (kemiskinan-red) adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut (Soekanto, 2002:366)


(30)

Gambar 2 Diagram Alur Berpikir Faktor Natural Faktor Struktural Faktor Kultural Rezim Orba “Kuning” Tokoh Agama “Hijau” Historis Struktur Sosial Politik KEMISKINAN Sarana dan Prasarana Desa tidak diperhatikan pemerintah

Norma dan perilaku masyarakat yang hanya

mementingkan agama

Program Pemerintah Pengentasan Kemiskinan Program pembangunan

bersifat top down dan kurang memahami

konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Norma dan perilaku masyarakat yang terkesan kurang mendukung program pembanguanan Lemahnya Partisipasi Masyarakat

Tidak Berfungsinya Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat

KEMISKINAN

Usulan Bentuk Sistem Kelembagaan Swadaya Mayarakat Nelayan Desa

Morodemak

Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA

PARTISIPASI MASYARAKAT NELAYAN DESA MORODEMAK

DALAM PEMBANGUNAN konflik

Kurangnya sarana dan aktivitas alih teknologi, ilmu pengetahuan dan

ketrampilan

Norma dan perilaku masyarakat yang apatis terhadap Pembangunan Fasilitas Umum Desa

Kelembagaan Keluarga Kelembagaan Agama Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Ekonomi Pol Kelembagaan Hukum Lemahnya Keswadayaan


(31)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah selama 3 bulan, yaitu pada Maret 2005 sampai dengan bulan Mei 2005. Desa Morodemak dipilih sebagai lokasi penelitian, karena cukup beralasan, yaitu: (1) Desa Morodemak merupakan desa yang termiskin di Kecamatan Bonang; (2) Mayoritas penduduk Desa Morodemak sebagai nelayan; (3) Desa Morodemak telah banyak mendapatkan bantuan program pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan, namun diduga belum dapat berhasil.

Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus digunakan dalam penelitian ini, karena (1) Peneliti hanya memiliki sedikit peluang dan waktu yang terbatas untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki di lapangan; (2) Fokus penelitian berupa fenomena kontemporer (masa kini) didalam konteks kehidupan yang nyata, yaitu kehidupan masyarakat nelayan di Desa Morodemak; (3) Mengacu pada strategi penelitian dengan menggunakan pokok pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” dalam wawancara mendalam (Yin, 2002:1 dan Sitorus, 1998:25-26). Hal ini memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh informasi tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Metode studi kasus dalam penelitian ini memiliki strategi pengumpulan data yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan dan analisis dokumen (Yin, 2002:118 dan Sitorus, 1998:25).

Penentuan Sampel (Responden dan Informan)

Metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dalam penelitian ini menggunakan sampel bertujuan (purposive sampel). Penarikan sampel yang dipilih dengan menggunakan cara pemilihan, bahwa jumlah sampel berakhir, jika sudah terjadi pengulangan informasi. Pada sampel bertujuan ini, jumlah sampel ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang dibutuhkan. Sampel masih diperlukan lebih banyak jika dimaksudkan untuk memperluas informasi. Jika sudah


(32)

tidak ada informasi yang dapat dijaring dan terjadi pengulangan informasi, maka penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri (Moleong, 2004:166).

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dengan melakukan pengamatan di lapangan, wawancara mendalam dan mengadakan diskusi (Forum Diskusi Kelompok). Pengamatan di lapangan dilakukan oleh peneliti dengan membuat catatan-catatan reflektif dan pengambilan foto-foto, yang nantinya berfungsi sebagai sumber bukti.

Wawancara mendalam dengan memilih sejumlah responden yang terdiri dari nelayan, istri nelayan, anak nelayan, tokoh masyarakat nelayan, tokoh pendidikan, tokoh agama, tokoh politik, dan tokoh ekonomi. Sebagai informan dalam penelitian ini adalah Kepala Kelurahan Desa Morodemak, kaur pembangunan Desa Morodemak, kaur pembangunan Kecamatan Bonang, staf lapangan DKP Demak, staf lapangan bidang ekonomi BAPPEDA Demak, staf lapangan Pedal Demak, staf lapangan Pemberdayaan Masyarakat Demak dan staf BPS Demak.

Forum diskusi kelompok (FDK) dengan mengundang sejumlah tokoh masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh ekonomi dan politik, aparat desa serta melibatkan instansi BAPPEDA Demak, DKP Demak, Pemberdayaan Masyarakat Demak dan Kecamatan Bonang.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari data-data dan dokumen ke instansi BAPPEDA Kabupaten Demak, Kantor Kecamatan Bonang, BPS Demak dan buku-buku hasil laporan penelitian yang berkaitan dengan tema sebagai sumber literatur data.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data berupa pengamatan lapangan, wawancara mendalam dan analisis dokumen, peneliti membuat catatan harian lapangan yang berisi seluruh kegiatan penelitian di lapangan sejak tanggal 7 Maret 2005 sampai dengan tanggal 18 Mei 2005. Catatan harian lapangan berisi penyusunan data mentah hasil pengamatan dan wawancara mendalam kepada responden dan informan dengan menggunakan tipe catatan asli. Michael Quinn Patton menyarankan menggunakan tipe catatan asli di lapangan untuk mempelajari definisi perilaku sosial dan kebudayaan dari dalam. Konseptualisasi akan ditemukan dengan menganalisis proses kognitif dan struktur kognitif orang-orang yang diteliti, bukan dari sudut pandang peneliti (Moleong, 2004:191).


(33)

Kemudian dari catatan harian lapangan sementara tersebut, peneliti menarik suatu kesimpulan sementara dan membuat kerangka pemikiran dengan proposisi teori dari beberapa literatur yang berkaitan dengan materi penelitian. Selanjutnya peneliti mendiskusikan temuan kesimpulan sementara dan kerangka pemikiran dengan proposisi teori tersebut dalam Forum Diskusi Kelompok.

Hal ini dilakukan peneliti dengan tujuan untuk mengecek keabsahan data. Keabsahan data merupakan konsep penting untuk menjaga kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas) data (Moleong, 2002: 171). Salah satu cara untuk menguji data tersebut shahih dan andal, yaitu dengan cara mendiskusikannya. Forum diskusi kelompok merupakan langkah untuk memulai menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti (Moleong, 2002:179).

Selanjutnya peneliti membuat catatan harian lapangan yang lengkap sebagai bahan untuk membuat kartu-kartu indeks berdasarkan kategori yang disusun sesuai dengan tema kerangka teoritis yang ada di kerangka pemikiran.

Tabel 5 Jenis Kategori

No Kategori Kode

01 Program Pembangunan Pemerintah PPM

02 Norma, Perilaku, Pola Pemikiran Masyarakat NRM 03 Kondisi Fisik Alam, Sarana dan Prasarana KDF

04 Partispasi Masyarakat PAR

05 Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan Rumah Tangga Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Agama Kelembagaan Ekonomi-Politik Kelembagaan Penegakkan Hukum

KLB KLB-RT KLB-PDK KLB-AGM KLB-EKP KLB-PHK

06 Kemiskinan Masyarakat KMS

07 Bentuk Kelembagaan Berkelanjutan BTK

08 Strategi Pengembangan STR

Sumber: Hasil Analsis 2005

Kemudian Kartu-kartu indeks tersebut diberi kode berupa nomor urut satuan data, sumber data sesuai dengan halaman dan alenia yang terdapat di catatan harian lapangan.

Keterangan:

A = Nomor Urut Kartu 010 Hasil Wawancara

B-WCR = Nomor responden 2 (Abdul Ghani dapat dilihat dalam tabel responden

C = Halaman 16 di Catatan Harian Lapangan

D = Alenia ke-5 halaman 16 di Catatan Harian Lapangan E = Kode Jenis Kategori Partisipasi Masyarakat

A/B-WCR/C/D/E

010/2-WCR/16/5/PAR


(34)

Keterangan:

A/AMT = Nomor Urut Kartu 001 hasil pengamatan B = Halaman 9 di Catatan Harian Lapangan

C = Alenia ke-5 halaman 9 di Catatan Harian Lapangan D = Kode Jenis Kategori Kemiskinan

Keterangan:

A = Nomor Urut Kartu 021 hasil analisis dokumen B-DOK = Dokumen nomor 7 dalam Tabel Dokumen

C = Halaman 5 dalam Dokumen

D = Kode Jenis Kategori Norma Masyarakat

Kategori dan pengkodean satuan data ini nantinya berfungsi untuk membuat uraian penafsiran data secara diskripsi kasus per kasus sesuai dengan yang terdapat dalam alir kerangka pemikiran. Proses penafsiran data pada penelitian ini dilkakukan dengan cara proposisi teoritis yang menuntun pendekatan studi kasus (Yin, 2002: 136). Data ditafsirkan berdasarkan rancangan organisasional yang dikembangkan dari temuan lapangan yang disimpan dalam kartu indeks kategorisasi dan menghubungkan hal-hal yang ada kaitannya dalam kerangka proposisi teori yang terdapat di kerangka pemikiran. Rangkaian tahapan metodologi penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3 Rangkaian Tahapan Metodologi Penelitian

A/AMT/B/C/D

001/AMT/09/5/KMS

A/B-DOK/C/D

021/07-DOK/5/KLB-NRM

Catatan Harian Lapangan Kesimpulan Sementara dan Kerangka Pemikiran Teoritis Forum Diskusi Kelompok Catatan Harian Lapangan Analisis Data Kategorisasi dan Pengkodean Kartu Indeks Analisis Diskripsi Analitik Terhadap Kerangka Pemikiran Teoritis

KESIMPUL

AN

Sumber Data Pengamatan Sumber Data Wawancara Sumber Data Analisis Dokumen Penafsiran Data kasus per kasus sesuai kategorisasi Kesimpulan Sementara dan Kerangka Pemikiran Teoritis Umpan Balik


(35)

GAMBARAN UMUM DESA MORODEMAK

Wilayah Administrasi

Desa Morodemak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Desa Morodemak memiliki 5 Dusun, 5 RW dan 24 RT dengan luas 4,263 Km2. Secara Geografis Desa Morodemak terletak berbatasan dengan Laut Jawa dan Desa Purworejo disebelah Utara, Desa Margolinduk disebelah Timur, Kecamatan Karangtengah disebelah Selatan dan Laut Jawa disebelah Barat.

Tata Guna Lahan

Pola penggunaan lahan di Desa Morodemak dipengaruhi oleh jenis aktivitas mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan dan petani tambak, penggunaan lahan untuk tanah sawah seluas 27,08 ha dan tanah kering termasuk untuk tambak seluas 399,22 ha.

Penggunaan lahan terbesar di Desa Morodemak adalah untuk tambak sebesar 233 ha atau 54,7% dan penggunaan lahan untuk pekarangan dan bangunan sebesar 138,04 ha atau 32,4%, penggunaan sawah telah beralih fungsi menjadi lahan tambak karena dinilai memberi keuntungan yang lebih besarsecara ekonomis. Penggunaan lahan Desa Morodemak secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2 Penggunaan Lahan Desa Morodemak Penggunaan Lahan Jumlah Luas

(ha)

(%) Tanah Sawah Tadah Hujan 27,08 6,36

Pekarangan/Bangunan 138,04 32,40

Tegalan/Kebun 0,63 0,15

Padang 0 0

Tebat/Empang 0 0

Tambak 233,00 54,70

Hutan Negara 0 0

Perkebunan Negara/Swasta 0 0

Lainnya (Sungai, jalan, dll) 27,35 6,42

Jumlah 426,10 100,00


(36)

Gambar 4 Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak

Tanah bengkok desa seluas 19 ha, yang tadinya berupa sawah juga dialih fungsikan menjadi tambak, karena lebih besar harga sewanya sebagai gaji aparat desa, yang terdiri dari seorang Kepala Desa, seorang Sekretaris desa dan 4 orang Kepala Urusan

.

Pemerintahan Desa

Desa Morodemak memiliki fasilitas Balai Desa dan Kantor Desa. Kedua fasilitas tersebut terdapat dalam satu gedung berlantai dua. Bagian atas gedung digunakan untuk Kantor Kades dan bagian bawah gedung digunakan sebagai Balai Desa sekaligus tempat untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Luas tanah benkok desa hanya seluas 19 ha dan tidak memiliki tanah kas desa. Tanah bengkok desa tersebut disewakan sebagai tambak untuk menggaji aparat desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa dan 4 orang Kaur. Desa Morodemak mempunyai 5 dusun (dukuh), 5 RW dan 24 RT.

Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Morodemak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2003 mencapai 5.637 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1.322 jiwa/km2 dan jumlah penduduk laki-laki (2.815 jiwa) relatif sama dengan jumlah penduduk perempuan (2.822 jiwa). Jumlah rumah tangga sebanyak 1.467 KK dengan rata-rata anggota rumah tangga 4 orang. Banyaknya kelahiran 158 jiwa dan kematian 28 jiwa. Jumlah penduduk yang datang 162 jiwa dan yang pergi 18

0 50 100 150 200 250

Tanah Sawah Tadah Hujan

Pkrangn Tegaln Tmbak Lainnya


(37)

jiwa. Perkembangan jumlah penduduk Desa Morodemak per tahun dari tahun 1997 sampai dengan 2003 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3 Jumlah Penduduk PerTahun Desa Morodemak Tahun

Jumlah

1997 4.792

1998 4.910

1999 4.953

2000 5.171

2001 5.264

2002 5.363

2003 5.637

Sumber: Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:14-26

Berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk Desa Morodemak terbesar yaitu kelompok umur 15-64 tahun sebesar 3.588 jiwa, kelompok umur 0-14 sebanyak 1.827 jiwa dan umur 65 keatas sebesar 222 jiwa. data penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tbel berikut:

Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut UmurDesa Morodemak Kelompok Umur Tahun

2000

Tahun 2001

Tahun 2002

Tahun 2003

0-14 2.105 1.954 1.301 1.827

15-64 2.783 3.198 3.946 3.588

65+ 217 112 166 222

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003

Gambar 5 Diagram Batang Penduduk Menurut Kelompok Umur 0

500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000

0-14 th 15-64 th > 65 th


(38)

Mata Pencaharian Penduduk

Sektor perikanan merupakan sektor yang sangat dominan di Desa Morodemak. Hal ini sesuai dengan karakteristik desa, yaitu sebagai desa pesisir. Sebagian besar masyarakat Desa Morodemak berprofesi sebagai nelayan atau profesi lain yang masih ada berkaitannya dengan sektor perikanan. Sebanyak 1.513 orang atau 26,84% dari seluruh penduduk Desa Morodemak bermata pencaharian sebagai nelayan. Ada juga yang bermatapencaharian sebagai pengusaha, buruh industri, pedagang, sopir angkutan, dan lainnya.

Perekonomian di Desa Morodemak sangat tergantung dari pendapatan sumberdaya perikanan dan lautan. Sektor perikanan di Desa Morodemak ini didukung oleh keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Moro Kabupaten Demak, yang berada di Desa Purworejo. Tempat pelelangan ikan ini sebagai tempat untuk memasarkan hasil tangkapan ikan dari para nelayan. Nelayan yang menggunakan jasa TPI ini tidak hanya nelayan dari Desa Morodemak tetapi juga nelyan dari desa-desa pesisir lain yang terdapat di Kecamatan Bonang, bahkan ada juga nelayan dari Jawa Timur.

Selain mata pencaharian masyarakat Desa Morodemak yang didominasi oleh nelayan, juga diantara mereka bekerja sebagai bakul ikan, pengusaha ikan asin, pemanggangan ikan, bandeng presto, trasi udang, krupuk udang, krupuk ikan, pedagang (bakul di pasar, kios, warung, toko atau jualan keliling). Ada juga yang bekerja sebagai kuli panggul di TPI, penyeberangan perahu, buruh angkutan, sopir, buruh bangunan, ojek, perbaikan alat tangkap dan kapal. Mata pencaharian penduduk Desa Morodemak, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5 Jumlah Penduduk Menurut Mata PencaharianDesa Morodemak

Mata Pencaharian

Jumlah (%)

Petani Sendiri 206 3,65

Buruh tani 173 3,07

Nelayan 1.513 26,84

Pengusaha 21 0,37

Buruh Industri 24 0,42

Buruh Bangunan 111 1,96

Pedagang 56 0,99

Angkutan 43 0,76

Pegawai Negri/ABRI 10 0,17

Pensiunan 13 0,23

Lainnya 1896 33,63


(39)

Gambar 6 Diagram Batang Mata Pencaharian Penduduk

Peranan kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya dipegang oleh suami yang bekerja sebagai nelayan atau pekerjaan lain yang masih ada kaitannya dengan bidang perikanan. Kebanyakan kondisi perekonomian keluarga nelayan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka peran istri nelayan membantu mencari alternatif pekerjaan lain untuk membantu pendapatan keluarga sebagai penjual ikan di TPI Moro, usaha rumah tangga berupa pembuatan ikan asin, panggang ikan, kerupuk udang, trasi, bandeng presto, dan lainnya.

Gambar 7 Usaha Rumah Tangga Istri Nelayan (On Farm)

Ada sebagian masyarakat Desa Morodemak yang bermatapencaharian sebagai sopir angkutan, buruh bongkar muat TPI, penyeberangan perahu, ojek roda tiga, memperbaiki perahu, mesin serta alat tangkap dan berjualan sayur keliling kampung dengan sepeda.

Gambar 8 Pekerjaan Masyarakat Desa Morodemak (Off Farm)

0

200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000

Petani Buruh Tani

Nelayan Pengusaha

Buruh Industri Buruh Bangunan

PedagangAngkutanPNS/ABRIPensiunanLainnya


(40)

Tingkat Pendidikan

Rata-rata penduduk Desa Morodemak berpendidikan relatif rendah, yaitu sebagian besar hanya tamatan SD. Jumlah penduduk yang tamat SD mencapai 2.021 orang atau 35,85% dari keseluruhan jumlah penduduk Desa Morodemak. Penduduk yang berpendidikan tidak tamat SD sebesar 666 orang (11,81%), SLTP 571 orang (10,13%), SLTA 149 orang (2,64%) dan Akademi/Perguruan Tinggi hanya 38 orang (0,67%). Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Morodemak Tingkat Pendidikan Jumlah (%)

Tidak/Belum Sekolah 280 4,96

Belum Tamat SD 358 6,35

Tidak Tamat SD 666 11,81

SD 2.021 35,85

SLTP 571 10,13

SLTA 149 2,64

Akademi/PT 38 0,67

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:30-31

Gambar 9 Diagram Batang Tingkat Pendidikan

Dilihat dari struktur tingkat pendidikan masyarakat Desa Morodemak relatif rendah, sehingga sumberdaya manusia yang dimiliki oleg Desa Morodemak pun juga relatif rendah. Hal ini berpengaruh terhadap pola pikir dan perkembangan ekonomi di masyarakat Desa Morodemak juga lamban.

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500

TidakBlm Sekolah

BLU Tamat SDTidak Tamat

SD SLP SLTA

Akademi/PT


(41)

Agama

Penduduk Desa Morodemak sebanyak 5.637 jiwa seluruhnya 100% memeluk agama Islam. Pola kehidupan mereka sangat agamis, walaupun diantara mereka masih banyak yang belum menjalankan ajaran agama secara benar. Untuk menampung aktivitas keagamaan, Di Desa Morodemak terdapat 8 buah mushola dan 2 buah masjid.

Pola kehidupan masyarakat Desa Morodemak sangat dipengaruhi oleh kehidupan keagamaan yang kuat. Mereka lebih mengutamakan urusan keagamaan daripada urusan peningkatan ketrampilan, lingkungan, dan sarana prasarana fasilitas social desa. Data penduduk menurut agama dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7 Jumlah Penduduk Menurut Agama

Agama Jumlah (%)

Islam 5.637 100,00

Khatolik/Kristen - -

Hindu - -

Budha - -

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:53

Tingkat Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan penduduk di Desa Morodemak dipengaruhi oleh sifat pendapatan masyarakat nelayan yang tidak menentu. Jika pendapatan mereka sedikit maka pengeluaran merekapun sedikit atau bahkan perabot rumah tangga mereka jual untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tingkat pengeluaran yang cukup besar tersebut terutama untuk memenuhi kebutuhan berupa makan dan sandang sedangkan untuk rumah/lingkungan masih kurang mendapatkan perhatian.

Namun jika mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan banyak, mereka membelanjakan seluruh uangnya untuk memenuhi kelengkapan kebutuhan perabot rumah tangganya sebagai pemulihan keadaan. Mereka tidak terbiasa menabung uang atau berupa perhiasan. Tingkat kepimilikan sarana komunikasi yang dimiliki dan banyaknya kendaraan sebagai sarana transportasi masyarakat Desa Morodemak, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabelberikut:


(42)

Tabel 8 Jumlah Kendaraan Bermotor Jenis Kendaraan Jumlah

Mobil Pribadi 1

Truk 1

Sepeda Motor 54

Perahu Tempel 222

Sepeda 19

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:57 Tabel 9 Jumlah Sarana Komunikasi

Sarana Komunikasi Jumlah

TV 128

Radio 78

Telepon 11

HT 5

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:58

Fasilitas Pendidikan

Jumlah fasilitas dan utilitas yang terdapat di Desa Morodemak dapat dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan wilayah tersebut. Jumlah Fasilitas Pendidikan yang terdapat di Desa Morodemak yaitu sebuah TK Islam, SD Negeri Inpres Moro, 2 buah MI, 2 buah sekolah Diniyah dan terdapat sekolah setingkat SLTP saja, yaitu MTs Sunan Barmawi. Sedangkan fasilitas pendidikan setingkat SLTA dan Perguruan Tinggi belum ada di Desa Morodemak. Fasilitas pendidikan yang berkembang di Desa Morodemak adalah fasilitas pendidikan keagamaan.

Gambar 10 Fasilitas Pendidikan MTs Sunan Barmawi dan SD Inpres Moro Jumlah penduduk Desa Morodemak usia sekolah, yaitu usia 5-9 tahun berjumlah 625 jiwa, usia 10-14 tahun 633 jiwa, usia 15-19 tahun 626 jiwa. Jadi penduduk Desa Morodemak yang memiliki usia sekolah, yaitu usia 5-19 tahun


(43)

berjumlah 1.884 jiwa atau 33,42% (BPS, 2003:33-34). Padahal menurut data jumlah siswa yang sekolah di Desa Morodemak berjumlah 1.558 siswa. Jadi sebanyak 326 anak atau 5,78% sekolah di luar Desa Morodemak atau bahkan tidak sekolah namun membantu orang tuanya bekerja sebagai nelayan.

Pada umumnya anak nelayan Desa Morodemak seusia SD disekolahkan di MI (Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD). Sebagai perbandingan, siswa MI di Morodemak berjumlah 597 siswa dengan 21 orang tenaga pengajar, sedangkan siswa SD hanya 256 siswa dengan 9 orang tenaga pengajar. Padahal SD sudah ada lebih dulu daripada MI. Belum lagi kalau diluar jam sekolah MI, mereka mengikuti pelajaran diniyah. Ketika seusia SLTP, dimasukkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP), karena memang di desa Morodemak tidak ada SLTP. Dilihat dari fasilitas gedung sekolah, bangunan sekolah MI dan MTs serta sekolah Diniyah lebih bagus dibandingkan dengan bangunan SD. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Morodemak memiliki perhatian yang sangat baik dalam masalah pendidikan keagamaan, namun dalam masalah pendidikan umum sangat kurang. Jumlah fasilitas pendidikan, murid dan guru secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10 Jumlah Fasilitas PendidikanDesa Morodemak Fasilitas Pendidikan Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru

TK 1 88 2

SD Negri/Inpres 1 256 9

Setingkat SD (MI) 2 597 21

SLTP 0 0 0

Setingkat SLTP (MTs) 1 368 17

Diniyah 2 249 14

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:40-46

Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Morodemak hanya berupa sebuah poliklinik dan posyandu. Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Rumah Bersalin belum ada. Penduduk Desa Morodemak kalau ingin berobat di Rumah Sakit harus pergi ke kota Kabupaten atau bila ingin berobat di Puskesmas harus pergi kota Kecamatan. Tenaga medis formal hanya seorang paramedis dan seorang bidan. Sedangkan dukun bayi hanya ada 5 orang, data mengenai fasilitas kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut:


(44)

Tabel 11 Jumlah Fasilitas Kesehatan Desa Morodemak Fasilitas Kesehatan Jumlah

RS -

Puskesmas -

Puskesmas Pembantu -

Poliklinik 1

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:51

Fasilitas Peribadatan

Sesuai dengan karakteristik sosial masyarakatnya yang 100% beragama Islam, maka sarana peribadatan di Desa Morodemak hanya terdiri dari sarana peribadatan bagi kaum muslimin saja, yaitu 8 buah musholla dan 2 buah masjid.

Fasilitas tempat ibadah yang dimiliki oleh Desa Demak berupa Masjid Baitul Atiq sangat megah dengan gaya arsitektur tidak kalah dengan Masjid Agung Demak. Tentunya biaya yang dikeluarkan untuk membangun masjid tersebut sangatlah besar dilihat dari besarnya masjid dan bahan bangunan yang digunakan. Diperkirakan dana yang sudah terserap untuk pembangunan masjid jami tersebut sekitar Rp 1 milyar. Itu pun masjid belum selesai dibangun.

Gambar 11 Masjid Jami Baitul Atiq dan Mushola Mujahidin Desa Morodemak Perhatian masyarakat Desa Morodemak terhadap tempat peribadatan sangat tinggi, data jumlah fasilitas peribadatan dapat dilihat pada tabelberikut ini:

Tabel 12 Jumlah Fasilitas Peribadatan Desa Morodemak Fasilitas Peribadatan Jumlah

Mushola 8

Masjid 2

Gereja -

Pura/Wihara -


(45)

Pemukiman

Jumlah kepala keluarga yang tidak diimbangi oleh jumlah rumah mengakibatkan pemanfaatan satu rumah dihuni lebih dari satu kepala keluarga. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat Desa Morodemak dapat diketahui bahwa banyak terdapat rumah penduduk yang dihuni oleh lebih dari 1 kepala keluarga, rata-rata dihuni antara 2 hingga 3 kepala keluarga. Perhatian masyarakat Desa Morodemak terhadap pemukiman dan lingkungannya sangat kurang.

Gambar 12 Pemukiman Nelayan Desa Morodemak Sarana Perdagangan

Fasilitas perdagangan di Desa Morodemak hanya tersedia pasar desa yang terletak di perbatasan antara desa Margolinduk dengan Desa Morodemak dan banyak terdapat warung, toko dan kios sebagai usaha bagi para istri nelayan. Ada juga sebagian pedagang menjual barang dagangannya dengan menggunakan sepeda keliling desa.

Gambar 13 Pasar, Warung dan Toko/Kios

Sarana Transportasi

Sarana transportasi yang tersedia di Desa Morodemak berupa sarana transportasi umum dan transportasi pribadi berupa sepeda motor. Kendaraan roda empat tidak dapat masuk ke Desa Morodemak. Sarana transportasi yang beroperasi diantaranya adalah angkutan pedesaan. Angkutan pedesaan hanya sampai di Desa Purworejo, untuk sampai ke Desa Morodemak harus dengan menyeberang sungai dengan perahu penyeberangan. Angkutan umum lain yang beroperasi di Desa Morodemak adalah ojek roda tiga dan perahu penyeberangan.


(1)

Gambar Maket dan Bangunan TPI Moro serta Kondisi Lingkungan

Nelayan lebih suka membeli bahan bakar di pedagang langganannya. Padahal harganya jauh lebih mahal. Alasan mereka, kalau di membeli di pedagang langgananya bisa dihutang dulu dan dibayar kalau sudah mendapatkan hasil dari penjualan tangkapan ikan, sedangkan di SPBU TPI MORO walaupun lebih murah harganya, tetapi pembelian harus dengan kontan. Ini yang menyebabkan SPBU TPI MORO tidak difungsikan nelayan. Pihak TPI Moro pernah menghimbau, agar para nelayan membeli bahan bakar solar di SPBU TPI MORO. TPI MORO tidak berpikir, nelayan tidak bisa mendapatkan uang langsung dari penjualan ikannya. Apakah TPI MORO mau dihutang nelayan dulu? Sungguh, patut disayangkan bangunan yang begitu indah dengan fasilitas bangunan yang bagus dan murah, ternyata tidak difungsikan oleh para nelayan. Pasti ini ada sesuatu yang salah.

4. Nasib Nelayan yang Memprihatinkan

Nasib nelayan kecil sungguh memperihatinkan. Mereka sekali melaut itu hanya mendapatkan hasil antar 7-10 kg ikan. Kebanyakan mereka tidak masuk ke TPI Moro, karena hasilnya yang sangat sedikit, mereka langsung menjual ke bakul. Bakul terkadang melakukan kecurangan dalam timbangan dan pembayarannya tidak dilakukan kontan, ditunda-tunda. Padahal nelayan kecil untuk membeli bahan bakar mesin perahunya saja berhutang ke pedagang langganannya.

Ada masalah lain yang dialami oleh nelayan. Istri juru mudi kapal seringnya menjadi makelar (perantara) untuk menjualkan ikan hasil tangkapan kapal suaminya kepada bakul. Jika berhasil menjualkan ikan ke bakul, dia akan mendapatkan keuntungan dari nelayan dan dari bakul. Kalau dijual didalam TPI MORO akan melalui pelelangan, istri juru mudi tidak akan mendapatkan keuntungan tadi. Oleh karenanya, juru mudi tidak mau masuk ke TPI MORO, tetapi diluar TPI MORO. Anak buah kapal banyak yang protes dengan kelakuan juru mudi, namun mereka simpan dalam hati, khawatir esok harinya tidak diajak melaut.

Masyarakat nelayan merasa dirugikan oleh ulah bakul yang ikut pelelangan di TPI Moro. Bakul-bakul tersebut tidak mau membayar kontan hasil tangkapan nelayan, kadang baru seminggu dapat uang dari bakul. Akhirnya uang untuk membayar solar tidak ada, sehingga nelayan berhutang, tentu saja harga solar dengan berhutang lebih mahal daripada dengan cara kontan. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan di TPI Moro, bakul lokal (sekitar TPI MORO = kongsi) kalau mengambil ikan hasil pelelangan tidak langsung membayar, pembayaran ditunda sampai ikan terjual dalam waktu seminggu. Sementara bakul dari luar tidak dapat masuk ke TPI Moro, sehingga bakul lokal memberlakukan aturan pembayaran semaunya sampai menjadi kebisaaan yang merugikan nelayan. Merasa tidak ada saingannya, mereka menekan harga yang serendah-rendahnya, melakukan


(2)

kecurangan dalam timbangan dan membayar ikan hasil pelelangan ditunda tidak kontan. Pernah didatangkan bakul dari luar, seperti bakul dari Juwana, Jepara, dan lain-lain. Bakul-bakul lokal menggunakan tenaga preman untuk mengintimidasi bakul-bakul yang dari luar. Ada yang digembosi ban mobilnya, ada yang dimintai uang, dan lain-lain.

USULAN BENTUK SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA

Program-program pemerintah yang masuk ke Desa Morodemak apapun bentuknya program tersebut akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan sistem kelembagaan swadaya desa yang baik pula. Lembaga yang paling utama diberdayakan adalah Lembaga Perencana dan Pelaksana Pembangunan Desa, kalau disini dikenal dengan sebutan LKMD ditempat lain ada yang menyebut LPMD dan lain sebagainya. Namun sekarang, setelah reformasi yang dipopulerkan oleh masyarakat desa adalah BPD (Badan Perwakilan Desa). Bahkan sekarang ada kecemburuan antara BPD dengan LKMD. Kalau BPD mendapatkan honor dari pemerintah, sedangkan LKMD tidak mendapatkan.

Sebetulnya dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Demak sudah memiliki program untuk memberdayakan kelembagaan di Desa Morodemak, seperti BPD dan LKMD-nya sudah diberikan pelatihan secara teoritis tentang pengelolaan dana-dana bantuan, namun semua itu tinggal teori yang tidak pernah dilaksanakan. Mereka maunya itu serba instan, tidak mau mengusulkan aspirasi mereka sendiri tentang program pembangunan apa yang mereka butuhkan di Desa Morodemak.

Pada masa reformasi sampai sekarang, LKMD kehilangan fungsinya di desa-desa. Padahal dulu sebelum reformasi muncul LKMD masih berfungsi di desa-desa-desa. Apalagi sekarang dengan adanya BPD, peran kelembagaan LKMD di desa-desa praktis berhenti total. Mulai tahun 2004, pemerintah memberdayakan lembaga-lembaga lokal yang ada sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. BPD sebagai lembaga pengawasan dan LKMD sebagai perencana dan pelaksana pembangunan serta menggerakkan swadaya gotong royong warga desa. Diharapkan semua program-program pembangunan yang masuk ke desa yang menangani adalah LKMD.

Seharusnya semua program pembangunan yang masuk ke desa harus lewat LKMD dengan pengawasan BPD dan pemerintah desa. Namun, seringnya program pembangunan dari pemerintah ditenderkan, sehingga mutunya tidak baik itu yang disesalkan. Di desa Morodemak ada LKMD. Dahulu LKMD bersama aparat pemerintah desa bersama-sama melaksanakan pembangunan desa.

Sejak terjadi reformasi dua atau tiga tahun terakhir ini, kalau ada program pembangunan yang masuk desa, seharusnya pemerintah desa bersama-sama LKMD yang menangani, tetapi justru dari pemerintah kabupaten langsung yang turun, sehingga pemerintah desa dan LKMD tidak dilibatkan. Praktis fungsi LKMD akhirnya vacuum. Apalagi untuk mengandalkan bantuan swadaya dari masyarakat di Desa Morodemak sangat sulit. LKMD untuk mengkoordinir dana Pembangunan, namun meminta bantuan dana masyarakat itu sangat sulit. Kalau ada program pembangunan senilai Rp 50 juta atau Rp 100 juta itu semua yang menangani dari pemerintah kabupaten melalui instansi yang terkait, pemerintah desa dan LKMD tidak punya hak untuk melaksanakan, sehingga kualitas bangunannya sangat rendah tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Pernah ada usulan dari tokoh masyarakat Desa Morodemak dalam rapat Musyawarah Rencana Bantuan Kecamatan (Musrenbancam), kalau ada program


(3)

pembangunan hendaknya LKMD diberdayakan. LKMD yang sekarang ini terbentuk di Desa Morodemak sudah memiliki SDM yang baik, pengurusnya banyak yang sarjana, tinggal mereka itu mau atau tidak. Kalau mereka mau, desa Morodemak akan berkembang pembangunannya. Karakter pengurus LKMD yang utama itu harus mau dan mampu. Mau kalau tidak mampu, tidak akan berhasil. Mampu tetapi tidak mau, maka pembangunan tidak berjalan dengan baik. Contohnya menjadi aparat desa Morodemak yang hanya digaji bengkok desa yang setahun disewa Rp 1,5 juta, jadi sebulannya Rp 120 ribu. Jam kerjanya 24 jam Kalau malam ada masyarakat yang minta tolong, aparat desa harus siap membantu memberi pelayanan. Ini harus dengan dasar mau dulu. Sedangkan kemampuan itu sambil berjalan. LKMD juga harus begitu, walaupun SDM nya bagus, tetapi kalau tidak mau, nanti akan tinggal nama saja. Mereka tidak mempunyai honor, sehingga sibuk dengan pekerjaannya sendiri, hal itu merupakan kendala. Jadi yang utama adalah kemauan yang kuat dan didasari dengan keikhlasan.

Pengembangan kelembagaan cukup dengan kelembagaan swadaya yang sudah ada di Desa Morodemak dan yang sudah berjalan, misalnya LKMD yang sekarang ada, ini perlu dikembangkan, karena semenjak dibentuk belum pernah menyentuh dan membicarakan masalah nelayan sebagai mayoritas penduduk Desa Morodemak. LKMD selama ini hanya menjalankan tugas pembangunan fisik yang berhubungan dengan pemerintahan desa. Setelah dibentuk BPD di masa reformasi, LKMD seakan-akan tidak ada fungsinya, hanya sebagai lembaga formalitas.

Masukan dari beberapa responden dan informan serta hasil diskusi dalam Forum Diskusi Kelompok yang dihadiri tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh nelayan, tokoh pendidikan, tokoh politik, tokoh ekonomi, tokoh pemuda, aparat desa Morodemak, Staf Kantor Kecamatan Bonang dan beberapa instansi terkait Kabupaten Demak, seperti BAPPEDA Demak, DKP Demak dan Kantor Pemberdayaan Masyarakat Demak, maka usulan bentuk sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan Desa Morodemak adalah sebagai berikut:

Pemerintahan Desa BadanPerwakilan Desa

(BPD)

Konsultan Teknis Perguruan Tinggi, Pemerintahan

Kecamatan Pemerintahan


(4)

Gambar Usulan Struktur Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat

STRATEGI PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA BERKELANJUTAN

Strategi pengembangan sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan yang penting harus memperhatikan sistem kerja masing-masing kelembagaan, agar sinkron dan terpadu satu dengan yang lainnya, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat nelayan di Desa Morodemak.

Memang perlu dikembangkan lembaga LKMD sebagai lembaga musyawarah, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Desa Morodemak yang menaungi seluruh kelembagaan swadaya yang ada di Desa Morodemak yang meliputi kelembagaan keluarga (RT dan RW), kelembagaan agama, kelembagaan nelayan, kelembagaan pendidikan, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan penegakan hukum, sehingga program pembangunan di Desa Morodemak baik fisik maupun non fisik bisa berjalan terpadu dan sinkron, seperti yang diharapkan. Sedangkan BPD sebagai lembaga pengawas bersama-sama dengan pemerintah desa.


(5)

Strategi pengembangan yang perlu dilaksanakan adalah (1) harus ada kerja sama yang disadari oleh masyarakat dan pimpinan untuk melaksanakan fungsi dan peran masing-masing secara jujur dan transparan; (2) adanya penegakan kewibawaan hukum, sehingga bisa menyadarkan masyarakat tentang kewajibannya; (3) Adanya rasa kebersamaan yang konkrit dan rasa saling memiliki untuk benar-benar memanfaatkan lembaga swadaya yang ada; (4) Adanya pimpinan yang betul-betul memiliki keinginan untuk memajukan lembaga tersebut, demi kemajuan dan manfaat desa Morodemak.

Peran aparat pemerintah desa dan tokoh masyarakat serta tokoh agama untuk menggalakkan pertemuan-pertemuan musyawarah dengan warga, sehingga dapat mengantisipasi permasalahan yang dihadapi Desa Morodemak sejak dini dan memotivasi seluruh komponen masyarakat untuk mengembangkan diri melalui partisipasi mereka dalam sistem kelembagaan yang ada.

Pengembangan potensi sistem kelembagaan swadaya yang ada dengan dukungan seluruh masyarakat untuk mau berpartisipasi sesuai dengan keahlian mereka masing-masing didukung dengan karakter pimpinan yang memiliki kejujuran dan niat yang tulus untuk memajukan dan mensejahtrerakan masyarakat nelayan Desa Morodemak. Sifat kelembagaan tersebut harus muncul dari inisiatif masyarakat sendiri dan bersifat independen tidak ada ikut campur partai politik yang mempengaruhi., baik kelembagaan agama, ekonomi, pendidikan dan penegakan hukum.


(6)

PETA

KECAMATAN BONANG

KABUPATEN DEMAK

Desa Morodemak