Kemiskinan Natural Alamiah Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan

masyarakat nelayan Desa Morodemak. Saat paceklik mereka tidak bekerja sama sekali, sehingga tidak ada pendapatan, untuk menutup kebutuhan mereka manjual barang-barang. Kalau tidak ada yang dijual, mereka larinya ke bank thithil lintah darat. Kalau mereka mendapatkan hasil banyak, mereka tidak mau menabung uangnya untuk senang-senang membeli barang-barang yang mereka sukai. Ketika diingatkan, mereka berkomentar: “besok melaut lagi akan dapat uang lagi”. Kalau mereka punya hutang, harus mengejar-ngejar untuk menagihnya. Itu pun sangat sulit. Terkadang mereka terpaksa hutang ke rentenir dengan bunga yang tinggi. Ada pula nelayan Desa Morodemak yang suka minuman keras, terutama juru mudi-juru mudi. Alasan mereka adalah sebagai penghangat badan di tengah laut yang dingin. Pihak aparat desa sudah berusaha melarang peredaran minuman keras di Desa Morodemak, walaupun hasilnya belum memuaskan. Orang-orang yang mabuk sering menjadi pemicu terjadinya perkelahian di Desa Morodemak. Rata-rata masyarakat nelayan Desa Morodemak mempunyai karakter yang keras. Memang kehidupan masyarakatnya agamis, tetapi kehidupan dan perilaku sehari-harinya sebagian dari mereka ada yang belum sesuai dengan tuntunan agama Islam.

4. Kemiskinan Struktural

Para juru mudi adalah orang yang pekerja keras, pengalaman banyak, wawasannya luas dan nalurinya tajam, sehingga dia bisa tahu musim yang baik, tempat yang banyak ikannya, pengopersian alat tangkap dan lain-lain. Awalnya dalam meniti karier dia mempunyai tabungan, misalnya Rp 25 juta. Kemudian mencari orang yang bisa diajak bekerja sama untuk menanam modal dengan sistem bagi hasil, sehingga modal menjadi Rp 50 juta. Uang Rp 50 juta dibelikan kapal di Jawa Timur sebagai uang muka, Setelah kapal menghasilkan, sisanya dapat diangsur. Akhirnya dengan kapal miliknya dan dikemudikan sendiri. Lambat laun mendapatkan tabungan uang yang banyak dan bisa membeli kapal sendiri, sehingga nelayan yang maju dan kaya di Desa Morodemak adalah nelayan juru mudi. Mereka kekayaannya melimpah-limpah. Juru mudi dalam pembagian hasil, mereka mendapat bagian lebih banyak dan mendapat persenan dari pemilik kapal dan hasil penjualan. Ada hasil lain bagi juru mudi sebagai pendapatan tambahan, berupa sisa ikan yang tercecer di kapal, karena dia yang memegang peranan di kapal. Belum nanti kalau istrinya sebagai perantaramakelar menjualkan ikan kepada bakul juga dapat keuntungan. Nelayan yang miskin adalah buruhanak buah kapal, mereka dapat bagian yang paling kecil dalam pembagian hasil tangkapan ikan. Sekali melaut paling banyak mereka hanya dapat kurang lebih Rp 50.000,- sementara perantaramakelar bisa mendapatkan komisi dari bakul dan juru mudi sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,- padahal anak buahburuh nelayan kerjanya lebih berat daripada perantaramakelar. Nelayan buruh dan ABK tidak dapat meningkat kesejahteraannya.. Pendapatan mereka tidak menentu dan relatif sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasa kesetiakawanan sosial para juru mudi terhadap anak buahnya belum terjalin. Kalau mereka mengeluarkan zakat fitrah pada saat lebaran, itu sudah kewajiban mereka. Yang berbentuk kepedulian untuk membantu anak buah ketika mengalami kesusahan belum ada rasa kedermawanan. Tunjangan hari raya yang diberikan bagi anak buah, hanya memberi sebuah sarung dan sekaleng roti. Itu pun karena juru mudi khawatir, kalau anak buahnya tidak diberi tunjangan hari raya tersebut akan pindah ke juru mudi kapal lain. Seharusnya sebagai seorang juragan atau juru mudi, ketika musim paceklik ada uang santunan bagi nelayan buruh atau ABK. Memang nelayan yang memiliki alat tangkap mini trawl kaya-kaya, tetapi itu dulu. Sekarang mereka juga sudah merasakan hasil penangkapan yang bertambah sedikit dari waktu ke waktu. Kapal mini trakl sekarang sekali melaut membawa jurak anak buah kapal banyak, sampai ada kapal mini trawl yang biasanya dimuati untuk 25 orang, harus dimuati 43-45 orang. Juragan pemilik kapal tidak mau peduli, yang penting pendapatan kapal dibagi dua. Separo pemilik kapal dan separonya lagi dibagi banyaknya nelayan yang ikut. Misalnya kapal mendapat hasil Rp 10 juta dengan jumlah nelayan 25-27 orang. Rp 5 juta untuk juragan pemilik kapal dan Rp 5 juta dibagi 25-27 orang nelayan masing-masing rata-rata mendapatkan Rp 100 ribu. Sekarang jumlah pembaginya bertambah banyak 43-45 orang, maka pendapatan nelayan tentu bertambah sedikit. Itulah nasib nelayan kecil yang memprihatinkan. Pembagian hasil tangkapan ikan setelah dipotong uang perbekalan adalah juragan 10 bagian 33, juru mudi 2,5 bagian 8, kemudian sisanya 17,5 bagian 59 dibagi rata pada nelayan buruhABK yang berjumlah 19 orang sesuai dengan tugas masing-masing. Mereka rata-rata hanya mendapatkan kurang dari 1 bagian. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pembagian hasil tangkapan ikan yang sebetulnya sangat merugikan nelayan buruhABK. Belum kalau jumlah nelayan buruhABK yang ikut melaut saat itu lebih dari 19 orang, tentunya mereka akan mendapatkan bagian yang lebih sedikit lagi, karena factor pembaginya bertambah banyak. Belum lagi kalau hasil tangkapan ikannya sedikit, bisa-bisa mereka pulang ke rumah tanpa membawa hasil sama sekali. Para juru mudi yang memiliki kapal dan alat tangkap merangkap menjadi juragan, merekalah orang yang kaya di Desa Morodemak. Desa Morodemak memiliki kondisi sarana dan prasarana desa yang sangat memprihatinkan, secara struktur karena akibat kurangnya perhatian pemerintah. Kondisi sarana dan prasarana yang tidak berkembang dengan baik, menyebabkan perkembangan perekonomian Desa Morodemak lamban, akibatnya Desa Morodemak dikategorikan sebagai desa miskin. Disisi yang lain secara struktur pula, bahwa peran tokoh agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat yang hanya mementingkan nilai-nilai keagamaan saja untuk melanggengkan kepentingan politik mereka. Sementara untuk urusan seperti meningkatkan pendidikan, ilmu pengetahuan, ketrampilan, menjaga lingkungan yang bersih, perbaikan sarana dan prasarana desa belum tertanam dalam norma dan perilaku masyarakat nelayan Desa Morodemak, sehingga yang muncul dalam pandangan masyarakat, bahwa aparat desa dan semua program pembangunan sarana dan prasarana desa adalah tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab mereka. PROGRAM PEMERINTAH PENGENTASAN KEMISKINAN Fenomena kemiskinan di Desa Morodemak mengundang perhatian dari pemerintah untuk mengentaskan Kemiskinan dengan memberikan bantuan, seperti PEMP Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir, P3EMDN Program Peningkatan dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa Nelayan, dan PPK Program Pengembangan Kecamatan. Program-program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan itu tidak hanya ditangani oleh BAPPEDA saja. Dulu ada program PEMP itu yang menangani adalah