Kebiasaan Buang Air dan Buang Sampah di Pinggir Sungai atau Tambak Sulit Diajak Membangun Fasilitas Sarana dan Prasarana Desa

Program P3EMDN Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa Nelayan sebesar sekitar Rp 200 jutaan. Nampaknya karena terbentur dengan reformasi, program tersebut sudah tidak terkendali. Ada beberapa kelompok masyarakat yang menerima dana program tersebut menjual asset dan modal usaha dengan alasan asset tersebut adalah milik masyarakat. Bahkan dana hasil penjualan tersebut dipakai untuk membuat lapangan sepak bola. Jadi mereka maunya sudah seperti itu, sulit diatur. Karakteristik masyarakat desa nelayan itu keras dan sulit diatur. Secara emik, temparemen yang keras dan sulit diatur itu diakibatkan kondisi lingkungan yang kumuh, kotor, sumpek, tidak sehat, rumah penduduk saling berhimpitan, suhu pesisir yang relatif lebih panas, tidak ada taman hijau untuk bermain, santai dan menghibur hati.

5. Kebiasaan Buang Air dan Buang Sampah di Pinggir Sungai atau Tambak

Secara etik, kebiasaan buang hajat di pinggir sungai dan tambak, sehingga kebanyakan rumah mereka tidak dilengkapi dengan jamban. Kebiasaan membuang sampah disembarang tempat, sebetulnya itu menyangkut kebiasaan masyarakat yang sulit dirubah, karena meraka sudah terbiasa turun temurun dari orang tuanya berbuat begitu. Kalau mereka mau membiasakan buang hajat di WC sebetulnya mudah, membuat jamban di dalam rumah. Buktinya orang yang mampu diantara mereka masih ada yang buang hajat di luar rumah, padahal mereka mampu membuat jamban didalam rumah. Pernah ada kejadian lucu, ada keluarga yang memiliki besan dari luar kota, suatu saat besan tersebut akan buang hajat, ketika ditunjukkan di pinggir sungai, besan tersebut tidak jadi buang hajat, tetapi justru pamit akan pulang. Esok harinya, karena anaknya malu kepada mertuanya, anaknya minta dibuatkan WC di dalam rumah. Terpaksa si bapak mengabulkan permintaan anaknya tersebut. Terkadang ada anaknya yang kuliah di kota, karena kebiasaan di kota kalau buang hajat dan mandi di tempat tertutup di dalam rumah, mereka pulang ke desa minta dibuatkan kamar mandi dan WC yang tertutup di dalam rumah. Permintaan anak tersebut dipenuhi oleh orang tuanya. Secara emik, bahwa membuat jamban didaerah pantai itu sulit, karena peresapannya selalu dipenuhi air laut, apalagi ketika pasang, sehingga untuk membangunnya memerlukan biaya yang cukup tinggi, hal itu diperparah dengan tidak bisanya mobil masuk ke desa, sehingga ongkos mengangkut material juga tinggi. Akhirnya masyarakat nelayan mencari jalan alternatif yang paling mudah, yaitu membuat bedeng-bedeng dan buang air besar serta samapah di sungai atau dipinggir tambak.

6. Sulit Diajak Membangun Fasilitas Sarana dan Prasarana Desa

Secara etik, karakteristik masyarakat desa Morodemak, kalau untuk kegiatan keagamaan, mereka keluar uang itu ringan, tetapi kalau untuk membangunan fasilitas lingkungan sarana prasarana desa, mereka sangat sulit. Bahkan sudah diberi stimulus dana untuk pembangunan saja susah. Alasannya pembangunan itu urusannya pemerintah. Contohnya ketika mereka diajak untuk pertemuan tidak mau menghadiri kalau tidak ada uang sakunya. Alasannya, kalau ada uang saku, mereka tidak bekerja sudah cukup untuk makan sekeluarga. Tetapi kalau tidak ada uang sakunya, sementara mereka tidak bekerja, keluarga mereka yang memberi makan siapa? Perilaku ini berawal dari ketergantungan mereka dengan pendapatan yang sifatnya harian dan kemalasan mereka untuk menabung, sehingga ketika satu hari tidak memiliki penghasilan, mereka bingung. Akhirnya menjadi kebiasaan bagi masyarakat, keengganan mereka ketika diminta untuk musyawarah memecahkan permasalahan yang mereka hadapi, sehingga mereka tidak pernah membicarakan dalam forum musyawarah. Secara emik, pada umumnya masyarakat nelayan Desa Morodemak mempunyai tingkat pendidikan dan sumberdaya manusianya yang relatif rendah. Tingkat pendidikan dan SDM yang rendah membuat mereka tidak dapat berfikir dan kurang memiliki wawasan yang luas. Keterbatasan waktu, karena sehari-harinya waktu dihabiskan di laut untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Akhirnya ketika diajak untuk berpartisipasi, mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri. Selain itu pengaruh tokoh yang hanya mementingkan urusan akhirat membuat masyarakat sulit untuk diajak berpartisipasi membangun sarana dan prasarana serta lingkungan desa.

7. Gengsi dan Pemalas