Kelembagaan Kemasyarakatan Desa Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan

Ada kecenderungan di Desa Morodemak, bahwa masyarakat Desa Morodemak jika diminta partisipasinya untuk hal-hal keagamaan mereka bersemangat, namun jika diminta untuk pembangunan sarana dan prasarana desa, mereka tidak mau. Hal itu disebabkan dalam memahami agama, mereka kurang memiliki wawasan yang luas. Kegiatan keagamaannya itu hanya dipahami sebagai ritual rutinitas saja dan tokoh agama hanya menekankan cara ibadah yang baik, amalan-amalan akhirat, dan amal jariyah untuk keagamaan saja. Mereka belum menekankan bahwa urusan dunia pun kalau diniatkan untuk ibadah bisa bernialai ibadah. Sehingga ketika diminta rapat pertemuan untuk membuat jalan, drainase, kebersihan, perbaikan lingkungan, itu sulit minta ampun. Pembangunan masjid di Desa Morodemak sangat megah dengan biaya yang besar ratusan juta rupiah. Panitia pembangunan masjidnya pun tidak memikirkan bayaran, mereka juga berniat ibadah. Kegiatan keagamaan yang baik didukung dengan perkembangan ekonomi yang baik. Selain pengajian, sholat dan kegiatan agama rajin juga perlu diimbangi dengan peningkatan ketrampilan dan pendidikan. Agar pandangan dan wawasan mereka semakin luas dan tidak kolot dalam artian negatif. KELEMBAGAAN PENDIDIKAN Kondisi pendidikan di desa Morodemak timbul dan tenggelam, karena kesulitan dana. Hal ini disebabkan oleh pendapatan nelayan yang sifatnya musiman. Dulu sistem pendidikan yang ada di Desa Morodemak adalah pondok pesantren, belum ada pendidikan formal. Para orang tua memiliki pemikiran, kalau belum bisa menyekolahkan pondok pesantren itu kurang hebat. Oleh karena itu pondok pesantren lokal di desa ini kurang direspon oleh masyarakat. Sekarang masyarakat sudah mulai tumbuh kesadarannya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dahulu sekolah itu yang butuh siswa, sekarang justru orang tua yang membutuhkan sekolah untuk anak-anaknya. Kondisi pendidikan anak-anak nelayan desa Morodemak sudah lebih baik dibandingkan 5-10 tahun lalu. Sekarang dengan adanya MTs yang dirintis oleh tokoh-tokoh pendidikan desa Morodemak, banyak anak-anak nelayan yang lulus MTs setingkat SLTP. Dahulu jarang sekali anak- anak yang lulus SLTP, bahkan lulus SD pun sudah bagus, karena selain ketidakmampuan membiaya sekolah juga sekolahnya sangat jauh sekali. Mengenai pendidikan anak-anak nelayan, selain sekolah umum juga mengikuti pendidikan diniyah keagamaan. Di Desa Morodemak ini ada yang namanya Program Kelompok Kerja Madrasah Diniyah KKMD, itu merupakan program pengembangan pelajaran informal keagamaan, sekarang telah berkembang hampir di seluruh Kabupaten Demak. Di Kecamatan Bonang sendiri sudah ada sekitar 20 Madrasah diniyah yang telah mengikuti Program tersebut. Pada program tersebut anak-anak usia TK sudah mulai belajar Al-Quran dan ada juga program menghafal Al-Quran, sehingga tidak heran di Desa Morodemak sendiri ada sekitar 60 orang putra-putri hafal Al-Quran. Anak-anak nelayan Desa Morodemak seusia SD, umumnya disekolahkan di MI Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD. Sebagai perbandingan, siswa MI di Morodemak berjumlah 740-an siswa, sedangkan siswa SD hanya 200-an siswa. Padahal SD sudah ada lebih dulu daripada MI. Belum lagi kalau diluar jam sekolah MI, mereka mengikuti pelajaran diniyah. Ketika seusia SLTP, dimasukkan ke MTs Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP, karena memang di desa Morodemak tidak ada SLTP. Dilihat dari fasilitas gedung sekolah, bangunan sekolah MI dan MTs serta sekolah Diniyah lebih bagus dibandingkan dengan bangunan SD. MTs Sunan Barmawi berdirinya pada tahun 1984. Sebelum adanya MTs ini, dahulu di Desa Morodemak ada sekolah keagamaan Mualimin dan Mualimat. Hanya saja ada yang patut disayangkan. Kondisi siswa MTs, kalau sudah kelas 2, mereka banyak yang tidak meneruskan sampai lulus MTs. Begitu naik kelas 3, mereka mendapat pengaruh dari teman-temannya. Biasanya antara siswa kelas 2 dan kelas 3 itu sudah terjalin persahabatan. Ketika kelas 3 sudah lulus, sebagian mereka ada yang melanjutkan ke Madrasah Aliyah. Namun kebanyakan bekerja sebagai nelayan membantu orang tuanya mencari pendapatan. Ini yang mempengarahui siswa kelas 2 yang naik kelas 3, sehingga mereka ikut-ikutan melaut dan tidak melanjutkan sekolah sampai lulus MTs. Perhatian orang tua terhadap anak dalam masalah menerima pelajaran di sekolah masih kurang, karena waktu untuk memperhatikan perkembangan sekolah anak-anaknya tidak ada. Malam hari bapak-bapak nelayan itu menangkap ikan, pulangnya lelah. Ibunya mencari penghasilan tambahan dan tidak sempat memperhatikan perkembangan pelajaran anak di sekolah. Anaknya sendiri, mereka selain sekolah di MTs juga sibuk mengikuti pelajaran diniyah. Anak-anak nelayan disini umumnya memiliki kegiatan kalau habis sholat subuh mengaji Al Quran, setelah itu mandi dan sarapan lalu pergi sekolah formal MTs. Setelah selesai sekolah, makan siang dan sholat Dhuhur serta istirahat sebentar, kemudian berangkat sekolah diniyah sampai menjelang maghrib. Jadi praktis di rumah, mereka tidak ada waktu untuk mengulang pelajaran, sehingga pelajaran sekolah banyak yang lupa, karena tidak diulang di rumah. Anak-anak nelayan yang sekolah diluar Desa Morodemak justru memiliki nilai yang tinggi, sementara yang sekolah disini nilainya jelek. Pendidikan yang berkembang di Desa Morodemak adalah pendidikan seperti madrasah. Sekolah Dasar Negeri yang umum justru tidak berkembang. Contohnya, jika diundang rapat pembangunan fasilitas pendidikan BP3, di SD umum wali murid tidak banyak yang datang, tetapi kalau di madrasah banyak wali murid yang datang, sehingga bangunan madrasah jauh lebih megah daripada bangunan SD Negeri yang umum. Ada anak-anak nelayan yang hanya lulusan MTs, kemudian sudah bekerja melaut. Bahkan ada juga yang sudah mendaftar untuk ujian kelulusan MTs, kurang beberapa bulan saja tidak dilanjutkan. Mereka lebih memilih bekerja, karena kadang orang tuanya yang mengajak melaut. Perkembangan pendidikan anak-anak nelayan kecil memprihatinkan. Banyak diantara mereka, orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah. Akhirnya pendidikan anaknya terlantar. Pendidikan untuk anak nelayan di desa ini, hanpir 99 semua anak sekolah, minimal lulus SD. Disini sudah ada MTs. Tujuan MTs didirikan adalah untuk sekolah lanjutan setelah lulus SD, jangan sampai hanya lulus SD saja, sehingga program wajib belajar 9 tahun dapat dipenuhi disini. Dana paceklik yang disalurkan ke tempat pendidikan itu sangat membantu. Pendidikan lanjutan Madrasah Aliyah juga ada untuk lanjutan setelah lulus MTs. Namun yang dapat sekolah di MA hanya anak nelayan kaya. Umumnya di desa-desa pesisir itu memang agak sulit, berbeda dengan desa-desa pertanian, karena faktor karakteristik masyarakatnya. SDM dan tingkat pendidikan masyarakat pesisir agak kurang, sehingga pemikiran dan wawasan mereka juga kurang. Buktinya, kalau diminta membangun fasilitas umum jalan, alasan mereka itu bukan urusan warga, tetapi urusan pemerintah. Faktor tingkat pendidkan yang relatif rendah dan faktor kesulitan ekonomi juga berpengaruh terhadap munculnya konflik. Masyarakat miskin itu, karena tingkat pendidikan dan ketrampilan mereka yang relatif rendah, sehingga ada keterbatasan lapangan kerja yang bisa menyerap mereka. Untuk memberdayakan mereka perlu adanya BLK untuk pembekalan dan melatih mereka ketrapilan yang bekerjasama dengan perusahaan yang siap memakai tenaga mereka. Sebetulnya di Desa Morodemak itu banyak yang sarjana, kurang lebih yang masih ada di Desa sekitar 60-an orang sarjana dan sarjana muda, yang lainnya pada cari pekerjaan diluar desa Morodemak karena hidup di desa kurang menjanjikan dan kurang prospek untuk masa depan. Terbatasnya lapangan pekerjaan, membuat mereka banyak yang nganggur. Kadang mereka banyak yang keluar desa untuk mencari alternatif pekerjaan. Ada yang sarjana tidak berhasil bekerja di luar desa Morodemak, ketika pulang justru menjadi anak buah kapal., padahal yang menjadi juru mudinya hanya lulusan SD. Ini yang membuat kecewa orang tua, sudah disekolahkan tinggi-tinggi, pulang-pulang jadi anak buah kapal yang statusnya lebih rendah dari pada juru mudi yang hanya lulusan SD. KELEMBAGAAN EKONOMI Di Desa Morodemak yang paling lambat perkembangan kelembagaannya adalah kelembagaan ekonomi. Buktinya, trasi, krupuk udang dan krupuk tengiri yang paling enak adalah di desa ini. Namun karena tidak bisa membuat tampilan kemasan, sehingga kalah bersaing. Tidak adanya jaringan pemasaran yang baik, membuat sulit memasarkannya, sehingga yang dibutuhkan oleh warga disini adalah bimbingan dan pelatihan ketrampilan pengolahan hasil tangkapan ikan dan sistem manajemen pemasarannya serta bantuan modal usaha. Masyarakat desa ini perlu diberi pelatihan ketrampilan pengolahan hasil tangkapan ikan, perintisan industri rumah tangga, pengelolaan manajemen dan pemasaran untuk peningkatan ekonomi. Kebanyakan anak muda disini setelah lulus MTs, mereka nganggur tidak kerja, karena tidak ada alternatif pekerjaan lain, mereka akhirnya jadi nelayan. Sedangkan yang perempuan mereka nganggur total di rumah. Seorang anak nelayan yang sudah terjun menjadi nelayan, pikirannya mati. Hanya melaut, datang dari melaut tidur, nanti melaut lagi, begitu seterusnya, pikirannya wawasannya tidak berkembang. Kendala yang di masyarakat Desa Morodemak adalah rata-rata SDM-nya itu kurang. Masyarakat Desa Morodemak perkembangan ekonominya sangat tergantung dengan hasil tangkapan di laut. Di desa ini tidak ada pabrik industri. Di desa Morodemak ini perekonomian hanya mengandalkan laut, sehingga kurang berkembang. Contohnya, kalau hasil melaut sepi pada seperti musim paceklik ini, maka pasar Gebang pasar kecamatan juga ikut sepi. Pada saat hasil tangkapan ikan banyak, nelayan banyak yang membelanjakan uangnya ke pasar Gebang, sehingga pasar gebang ikut ramai dari penjual pakaian, makanan, perabot rumah tangga dan lain-lain ikut memeriahkan pasar.

1. Pendapatan Nelayan Tidak Menentu

Pendapatan nelayan tidak menentu, terkadang dapat sedikit atau bahkan tidak dapat sama sekali, tapi dilain waktu bisa mendapatkan hasil yang banyak. Orang di desa ini merasa gengsi untuk mencari alternatif pekerjaan selain nelayan. Sejak kecil telah tertanam nilai-nilai keagamaan, namun masalah pengembangan ekonomi diabaikan. Itu karena sudah turun temurun dan mendarah daging sejak dulu yang ditanamkan oleh orang tuanya. Sebelum adanya motorisasi, memang pada umumnya masyarakat nelayan disini, ketika musim hujan tidak ada pemasukan pendapatan bagi nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya mereka menjual barang yang dimilki. Ada yang menjual perabot rumah tangga, genting, bantal dan lain-lain. Dengan adanya motorisasi, keadaan lebih baik, karena kalau hujan tidak begitu lebat dan disertai ombak besar, nelayan masih bisa melaut dengan kapal bermesin. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa pendapatan mereka itu tidak menentu. Pendapatan yang paling banyak biasanya setelah bulan Agustus dan September. Selama 20 hari bisa mendapatkan uang Rp 900 ribu. Pendapatannya selama ini tidak pernah ada yang ditabung. Kalau mendapatkan hasil banyak, digunakan untuk jajan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Ada kebisaaan buruk bagi nelayan, khususnya sebagian juru mudi, mereka mendapatkan hasil pembagian yang paling banyak. Seringnya digunakan untuk berjudi, mabuk- mabukan dan main perempuan. Kebiasaan nelayan, kalau mendapatkan hasil banyak digunakan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memikirkan nantinya kalau hasilnya sedikit, bahkan tidak mendapatkan apa-apa. Dahulu nelayan Desa Morodemak mengalami musim panen dengan hasil tangkapan ikan yang banyak dan musim paceklik dengan hasil tangkapan ikan yang sedikit. Pergantian musim tersebut teratur sesuai dengan musimnya masing-masing. Namun sekarang sungguh memprihatinkan, seringnya nelayan pulang dengan hasil yang mengecewakan. Padahal nelayan disini, kehidupannya tergantung dengan hasil penangkapan ikan, sampai-sampai di tepi sungai Morodemak sering dipenuhi oleh kapal dan perahu nelayan yang sedang bersandar.

2. Penjualan Hasil Tangkapan ke TPI Moro

Banyak keluhan dari nelayan Desa Morodemak berkaitan dengan pemasaran hasil tangkapan ikan. Terkadang nelayan dalam sekali melaut bisa mendapatkan antara 30 – 60 basket keranjang, tetapi dihargai sangat murah. Tadinya harga 1 basketnya bisa mencapai Rp 7000,- sekarang hanya dihargai Rp 2000,- sd Rp 3000,- karena jumlah ikan yang banyak dan bakulnya sedikit, sehingga tidak ada persaingan harga. Bakul yang menentukan harganya. Padahal ikan kalau tidak segera laku akan mudah busuk, terpaksa nelayan mau tidak mau melepas dengan harga yang murah. Ini yang dari dulu dikeluhkan oleh masyarakat nelayan. Bagaimana caranya harga ikan bisa lebih baik, sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Permasalahan dasar sebetulnya adalah semua bakul yang terlibat pelelangan ikan adalah bakul lokal. Tidak seorang pun bakul yang berasal dari luar, sehingga dalam penentuan harga ikan, mereka saling berkompromi kongkalikong untuk mempermainkan harga ikan supaya murah, sehingga menguntungkan mereka. KUD Mino Utomo juga mengalami problem masalah modal usaha. Bakul- bakul yang membeli ikan, terkadang mereka tidak membayar kontan lunas, tetapi bisaanya dibayar 50. Padahal nelayan maunya dibayar semua, karena uang hasil tangkapan harus dibagi rata pada hari itu juga. Akhirnya KUD yang meminjami kekuarangannya. Lama kelamaan modal KUD habis, sementara bakul belum membayar kekurangannya dalam waktu yang lama. Kalau ditagih sangat sulit sekali, jumlahnya sekitar Rp 150 juta. Hal ini yang jadi masalah, karena sanksi hukumnya tidak ada, sehingga para bakul yang ngemplang tadi tidak ada tindakan apa-apa, bahkan semakin berani ngemplangnya. KUD pernah memberlakukan sebelum mengikuti pelelangan, para bakul harus memberi uang jaminan terlebih dahulu. Mereka memberikan uang muka, misalnya Rp 10 juta, namun ketika waktu pelelangan, transaksi mereka melebihi uang muka yang diberikan, misalnya Rp 15-20 juta, akhirnya sama saja mereka ngemplang Rp 5-10 juta. Kalau ditagih sulit dan tidak ada sanksi hukumnya. Sebetulnya kalau diancam dengan mendatangkan aparat penegak hukum atau kasusnya diangkat ke pengadilan, mereka takut. Namun KUD harus keluar uang untuk urusan yang seperti itu. Ada masalah lain lagi, bahwa nelayan dalam menjual hasil tangkapan ikannya tidak mau dilelangkan oleh TPI, mereka maunya menjual ikan kepada bakul sendiri, karena mereka sudah terikat dengan bakul tertentu. Permasalahan yang lain juga ada, umumnya juru mudi tidak mau masuk ke Tempat Pelelangan Ikan yang dikelola oleh KUD Mino Utomo dan melelang ikannya di TPI tersebut, selain karena membayar retribusi juga juru mudi tidak mendapatkan keuntungan. Sebab, jika dijual di luar mereka akan mendapatkan keuntungan, karena biasanya istri juru mudi tersebut berperan sebagai perantara untuk menjualkan ikan kepada bakul, dari jasa menjualkan ikan tersebut istri juru mudi akan mendapatkan persenan yang dipotongkan dari uang hasil penjualan ikan dan dapat persenan dari bakul yang membeli ikan. Jadi dapat keuntungan dari kapal dan bakul. Akhirnya uang yang diterima nelayan pun berkurang. Tentang istri juru mudi yang menjadi perantara dalam penjualan hasil tangkapan ikan, itu sangat merugikan anak buah nelayan, sampai-sampai ada yang protes. Anak buah yang protes tersebut, biasanya tidak diikutkan lagi melaut oleh juru mudi. Menumbuhkan kesadaran untuk saling menguntungkan sangat kurang antara bakul, juru mudi, perantara bagi nelayan. Sebagai perbandingan saja, TPI yang sudah berjalan dengan baik, sehingga muncul kesadaran untuk saling menguntungkan baik bakul, juru mudi, perantara dan nelayan ada tiga, yaitu TPI di Pekalongan, Juwana dan Tegal. Manajemen dan aturan-aturannya tegas dan jelas didukung dengan kesadaran masyarakat nelayannya dan bakul. Sebagai contoh kongkret, disana setiap kapal nelayan akan menjual ikannya pasti masuk TPI, sehingga pendapatan retribusi TPI lumayan besar. Imbasnya kalau ada nelayan yang meninggal diberi santunan Rp 1.250.000,- yang diambilkan dari uang retribusi tadi, karena memang sudah dianggarkan. Sementara yang terjadi di TPI disini, sebaliknya. Padahal dalam satu bulan sekitar 2-3 orang nelayan meninggal, sementara kapal mereka enggan masuk dalam TPI. Ini jadi masalah. Seharusnya KUD bekerjasama dengan kelembagaan agama yang melibatkan tokoh agama untuk memberi penerangan melalui pengajian dalam rangka menyadarkan para perantara dan bakul, kalau perbuatan mereka itu merugikan para nelayan. Pendekatan melalui agama dengan melibatkan tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat itu penting sekali. Nelayan kalau membeli bahan bakar solar untuk mesin tempel perahu tidak mau membeli di POM solar yang disediakan di TPI. Mereka lebih senang membeli diluar, padahal harga diluar TPI lebih mahal. Solar di TPI satu liter Rp 2.200,- diluar TPI bisa mencapai Rp 2.400,- Alasan mereka kalau membeli solar di TPI harus tunai tidak boleh ngebon bayar belakangan, sementara kalau diluar TPI boleh ngebon, boleh dibayar setelah pulang melaut dan mendapatkan hasil. Kalau tidak mendapatkan hasil mereka hutang. Terkadang mereka mengganti bahan bakar solar dengan minyak tanah yang harganya jauh lebih murah, tapi bisa merusakkan mesin.

3. Bantuan Kapal dan Alat Tangkap