tidak bisanya mobil masuk ke desa, sehingga ongkos mengangkut material juga tinggi. Akhirnya masyarakat nelayan mencari jalan alternatif yang paling mudah,
yaitu membuat bedeng-bedeng dan buang air besar serta samapah di sungai atau dipinggir tambak.
6. Sulit Diajak Membangun Fasilitas Sarana dan Prasarana Desa
Secara etik, karakteristik masyarakat desa Morodemak, kalau untuk kegiatan keagamaan, mereka keluar uang itu ringan, tetapi kalau untuk membangunan
fasilitas lingkungan sarana prasarana desa, mereka sangat sulit. Bahkan sudah diberi stimulus dana untuk pembangunan saja susah. Alasannya pembangunan itu
urusannya pemerintah. Contohnya ketika mereka diajak untuk pertemuan tidak mau menghadiri kalau tidak ada uang sakunya. Alasannya, kalau ada uang saku, mereka
tidak bekerja sudah cukup untuk makan sekeluarga. Tetapi kalau tidak ada uang sakunya, sementara mereka tidak bekerja, keluarga mereka yang memberi makan
siapa? Perilaku ini berawal dari ketergantungan mereka dengan pendapatan yang sifatnya harian dan kemalasan mereka untuk menabung, sehingga ketika satu hari
tidak memiliki penghasilan, mereka bingung. Akhirnya menjadi kebiasaan bagi masyarakat, keengganan mereka ketika diminta untuk musyawarah memecahkan
permasalahan yang mereka hadapi, sehingga mereka tidak pernah membicarakan dalam forum musyawarah.
Secara emik, pada umumnya masyarakat nelayan Desa Morodemak mempunyai tingkat pendidikan dan sumberdaya manusianya yang relatif rendah.
Tingkat pendidikan dan SDM yang rendah membuat mereka tidak dapat berfikir dan kurang memiliki wawasan yang luas. Keterbatasan waktu, karena sehari-harinya
waktu dihabiskan di laut untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Akhirnya ketika diajak untuk berpartisipasi, mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri.
Selain itu pengaruh tokoh yang hanya mementingkan urusan akhirat membuat masyarakat sulit untuk diajak berpartisipasi membangun sarana dan prasarana serta
lingkungan desa.
7. Gengsi dan Pemalas
Secara etik, ada perilaku gengsi dikalangan mereka. Penampilan mereka meyakinkan, walaupun di rumah sebetulnya tidak mempunyai apa-apa jaga gengsi.
Perilaku pemalas, ketika musim paceklik mereka tidak melaut sama sekali dan tidak berusaha untuk mencari alternatif pekerjaan lain.
Secara emik, jiwa pemalas yang terjadi pada nelayan itu disebabkan karena keterbatasan ketrampilan, mereka hanya mempunyai ketrampilan melaut saja.
Mereka tidak memiliki keahlian lain. Keterbatasan ketrampilan yang mereka miliki, kualitas SDM yang rendah dan keterbatasan lapangan pekerjaan di Desa
Morodemak, menjadikan nelayan terkesan tidak mau bekerja atau mencari alternatif pekerjaan lain, hanya bermalas-malasan. Mereka tidak menunjukkan rasa kekurang
dan nrimo dengan keadaan, tidak mau dikatakan sebagai orang miskin, sehingga terkesan mereka memiliki sifat gengsi.
8. Perilaku Tokoh yang tidak memberi Keteladanan
Pemerintah memberikan dana bantuan pinjaman yang harus diangsur oleh masyarakat tanpa jaminan pada Program Pengembangan Kecamatan PPK, namun
masyarakat mengira itu adalah bantuan rutin tahunan pemerintah yang tidak perlu untuk dikembalikan. Seharusnya pemerintah dalam memberikan pinjaman modal
meminta jaminan. Apalagi tidak ada sanksi hukumnya apabila ada yang melanggar. Masyarakat kalau bulan ini tidak ditagih, maka dapat dipastikan bulan depan tidak
akan membayar. Bahkan ada seorang tokoh masyarakat, ketika ditagih tidak mau membayar. Ini dijadikan alasan warga lain juga tidak mau membayar. Hal ini
menunjukkan, bahwa perilaku yang kurang baik dari tokoh masyarakat nelayan yang dicontoh oleh masyarakat. Akhirnya menjadi kebiasaan bagi masyarakat. Mereka
beranggapan, bahwa semua dana bantuan yang diberikan pemerintah melalui program pembangunan merupakan bantuan pemerintah yang tidak perlu
dikembalikan gratis tiap tahun pasti ada dana bantuan gratis tersebut. Mengubah pola pikir yang dimiliki masyarakat ini memerlukan proses dan
waktu yang panjang dan penuh kesabaran dalam membimbing secara terus menerus serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Diibaratkan mereka itu seperti
bayi yang baru lahir, harus kita bimbing untuk belajar berdiri, berjalan dan akhirnya dapat berlari kencang sendiri dengan penuh kesabaran dan jangan terlalu cepat
dilepaskan begitu saja sebelum mereka mampu berdiri sendiri. Yang jadi masalah adalah apakah mereka mau atau tidak dibimbing, diarahkan dan dibina untuk
menjadi baik. Peran sistem kelembagaan keluarga, pendidikan, agama, dan
penegakan hukum sangat besar dalam usaha mengubah pola pikir masyarakat yang sudah sulit diperbaiki.
Lemahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Banyaknya program bantuan pemerintah berupa pengentasan kemiskinan di Desa Morodemak, ternyata belum mampu membuahkan hasil sesuai dengan yang
diinginkan, yaitu mengentaskan kemiskinan masyarakat nelayan di Desa Morodemak. Margono Slamet 2003:7 menyatakan, bahwa keberhasilan program
pembangunan itu ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan usaha kerja sama
antara masyarakat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan dengan mengakomodasi
aspirasi, nilai budaya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.
Namun partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih dipahami oleh pemerintah sebagai dukungan mutlak yang harus diberikan oleh masyarakat
terhadap program pembangunan yang dirancang, direncanakan dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah, sehingga masyarakat hanya menerima asal jadi berupa
paket bantuan dari pemerintah secara instan. Akhirnya yang terjadi adalah mobilisasi masyarakat untuk mendukung pelaksanaan program pembangunan,
sehingga masyarakat tidak merasa memiliki hasil pembangunan. Hal ini menyebabkan lemahnya keinginan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam
pembangunan. Kemauan masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan program
pembangunan tidak ada. Begitu program pembangunan selesai, setelah itu tidak ada kelanjutannya. Sebetulnya bila pemerintah dapat melibatkan partisipasi
masyarakat dalam pemeliharaan keberlanjutan program pembangunan, maka akan lebih efektif dan tidak mengeluarkan biaya yang terlalu mahal, karena masyarakat
sendirilah yang akan memelihara dan menjaganya secara berkelanjutan. Masyarakat nelayan di Desa Morodemak belum dapat merasakan hasil
pembangunan di desanya secara penuh. Pembangunan di desa Morodemak belum mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat, dikarenakan dua hal yang
“Sesungguhnya ALLAH tidak akan mengubah nasibkeadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” QS.
Ar Ra’du 13: 11
mendasari, yaitu program pembangunan yang terkesan dipaksakan dari pemerintah dan norma perilaku masyarakat nelayan sendiri yang kurang mendukung dalam
proses pembangunan.
Gambaran lemahnya partisipasi masyarakat Desa Morodemak, jika mereka diundang untuk mengadakan rapat atau diskusi, mereka biasanya pasti
menanyakan: “apakah ada uang transportnya atau uang saku?” Itu sudah berlangsung sejak lama. Mereka berfikiran, setiap hari kalau mereka bekerja paling
tidak minimum mendapatkan uang Rp 20.000,- maka kalau dia diundang rapat atau pertemuan dan otomatis tidak bekerja, harusnya yang mengundang rapat itu
memberi gantinya. Kalau didatangi untuk diwawancarai, mereka pasti menanyakan: “saya mau dikasih apa, kok ditanya-tanyai?” Mereka kalau diundang rapat atau
musyawarah untuk sosialisasi atau penjelasan, mereka beralasan kalau datang ke balai desa untuk rapat atau musyawarah dan tidak ada apa-apanya uang, lebih
baik kerja akan dapat uang sehingga kalau tidak dikasih uang mereka tidak mau datang. Tetapi anehnya, kalau mereka diajak untuk acara pengajian atau
pengumuman kerja bakti pembangunan masjid lewat pengeras suara, mereka banyak yang datang.
Partisipasi masyarakat untuk pembangunan sarana dan prasarana desa seperti jalan, jembatan, selokan, tempat sampah dan air bersih, mereka tidak mau
memberika sumbangan dana atau tenaga. Alasan mereka, lebih baik uang disedekahkan ke masjid daripada untuk pembangunan desa. Pembangunan desa
menurut mereka itu adalah tanggung jawab pemerintah untuk membangunnya dengan bantuan tiap tahun yang ada. Untuk program-program pembangunan
pemerintah, masyarakat desa Morodemak tidak mau membantu baik dana maupun tenaga untuk gotong royong. Pernah kejadian, sewaktu pembangunan gedung MI
yang sebagian dananya disubsidi pemerintah, setelah mereka tahu kalau pemerintah juga ikut mensubsidi, masyarakat justru tidak mau membantu dana
Partispasi masyarakat kurang mendukung program pembangunan itu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu 1 secara kultur turun temurun masyarakat memiliki
pandangan yang keliru, karena ditanamkan kepada mereka, bahwa yang namanya sedekah dan bernilai pahala itu hanyalah menyumbang masjid,
madrasah dan kegiatan yang bersifat keagamaan saja; 2 Secara struktur, banyak kebijakan pemerintah berupa program-program pembangunan yang tidak
berpihak kepada mereka. Kebanyakan program pemerintah hanya berpihak pada orang-orang tertentu dikalangan mereka, sehingga praktek di lapangan justru
tidak menyentuh dengan apa yang mereka butuhkan. Dua faktor itulah yang saya kira menyebabkan masyarakat disini kurang berpartisipasi dalam program
pembangunan 00828-WCR-FDK933PAR
maupun tenaga. Alasan mereka itu adalah tanggung jawab pemerintah. Padahal MI itu swasta.
SISTEM KELEMBAGAAN MASYARAKAT NELAYAN DESA MORODEMAK
KURANG BERFUNGSI
Kenyataan adanya struktur sosial kehidupan manusia dalam bermasyarakat merupakan pola hubungan antar kelompok sosial yang membentuk jaringan sosial.
Jaringan sosial sebetulnya mempunyai corak atau pola keteraturan sendiri yang terbentuk dari hasil adanya aturan-aturan dan norma dalam hubungan sosial yang
melibatkan status dan pelapisan sosial serta peranan sosial dari para pelakunya. Masyarakat Desa Morodemak merupakan suatu struktur sosial yang terdiri
dari kelompok-kelompok sosial kelembagaan rumah tangga, agama, pendidikan, ekonomi, politik, dan nelayan yang membentuk pola hubungan sosial dengan
aturan dan norma yang melibatkan status, pelapisan sosial dan peranan sosial setiap warga.
Kelembagaan rumah tangga membentuk pola hubungan antara anak, istri dan kepala keluarga dengan RT, RW, Dukuh dan lingkungan sekitarnya.
Kelembagaan pendidikan mengatur hubungan pengajar, keluraga wali siswa dan siswa. Kelembagaan agama mengatur hubungan antara kyai tokoh agama,
keluarga jamaah dan santri. Kelembagaan ekonomi mengatur hubungan nelayan keluarga, bakul, makelar, TPI dan juragan. Kelembagaan politik mengatur
hubungan antara tokoh politik dengan masyarakat keluarga nelayan. Kelembagaan nelayan mengatur hubungan antar nelayan di Desa Morodemak. Kelembagaan
pemerintah desa mengatur hubungan antara aparat desa dengan masyarakat desa. Kelembagaan penegakan hukum mengatur hubungan antar masyarakat dengan
aturan-aturan dan norma yang berlaku di masyarakat Desa Morodemak. Kemudian masing-masing kelembagaan membentuk suatu sistem kelembagaan masyarakat
nelayan Desa Morodemak dengan pola jaringan sosial yang lebih rumit berbentuk struktur sosial masyarakat Desa Morodemak.
Adapun gambaran hubungan dalam sistem kelembagaan masyarakat nelayan Desa Morodemak adalah sebagai berikut:
Kelembagaan Keluarga
Sistem kelembagaan masyarakat nelayan di Desa Morodemak kurang berfungsi dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pertemuan antar
warga untuk membicarakan nasib dan kebutuhan pengembangan desa dan
lingkungannya. Pertemuan-pertemuan yang mereka adakan hanya berkisar pada pengajian dan kegiatan keagamaan. Tidak ada pertemuan warga yang
membicarakan tentang pengembangan ekonomi desa, perbaikan lingkungan atau peningktan ketrampilan, sehingga tidak mengherankan jika keadaan masyarakatnya
memiliki kualitas SDM yang kurang dan kondisi lingkungan dan ekonominya tidak berkembang.
1. Anak-anak Nelayan