Sebab-Sebab Yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah Fikih “ رمأا قاض اذإ
22
pada keselamatan jiwa ataupun raganya. Hal ini tentu akan menyebabkan kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan
pemberlakuan keringanan hukum, maka kewajiban tersebut tetap dapat terlaksana.
b. Masyaqqah yang sangat ringan Al-Masyaqqah al-Adnâ, seperti pegal-
pegal, pusing, pilek dan lain sebagainya. Pada taraf ini, syariat tidak dapat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan kemaslahatan
ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah kerusakan yang timbul dari masyaqqah jenis ini. Artinya, mafsadah yang akan
timbul dari hal-hal seperti ini masih sangat minim sehingga kemaslahatan ibadah harus lebih diutamakan.
c. Masyaqqah pertengahan yang berada di antara dua bagian sebelumnya
Al-Masyaqqah al-Mutawassi
ṯah. Masyaqqah jenis ini bisa mendapatkan keringanan hukum jika kadar kesulitannya telah
mendekati Al-Masyaqqah al- A‘lâ. Sebaliknya, jika kadar kesulitannya
lebih dekat pada Al-Masyaqqah al-Adnâ maka tidak bisa mendapatkan keringanan hukum.
Keringanan hukum dalam terminologi fikih disebut dengan rukh ṣah.
Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan rukh ṣah ada tujuh macam,
18
yaitu: 1.
Al-Safar perjalanan, misalnya kebolehan jama‘ dan qaṣr salat, berbuka puasa dan meninggalkan salat Jumat.
19
18
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 55
19
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 107
23
2. Al-Maradl sakit, misalnya kebolehan tayammum ketika tidak diperbolehkan
menggunakan air, salat fardl sambil duduk, tidak berpuasa Ramadan dengan kewajiban qadlâ
’ puasa pada hari lain, mencukur rambut sebelum menyelesaikan ibadah i
ḫrâm disebabkan oleh penyakit yang ada di kepala, berobat dengan sesuatu yang diharamkan seperti khamr atau sesuatu yang
najis dan kebolehan dokter melihat aurat lawan jenis dengan tujuan pengobatan.
20
3. Al-Ikrâh keterpaksaan, misalnya kebolehan menyatakan diri sebagai kafir
dan meminum khamr dalam tekanan pihak lain yang dapat membahayakan diri mukallaf. Sebab keterpaksaan tidak dapat diberlakukan dalam kasus
pembunuhan dan perzinaan.
21
4. Al-Nisyân lupa, misalnya makan, minum atau melakukan hubungan suami
istri ketika dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadan. Perbuatan tersebut tidak mengakibatkan dosa dan tidak membatalkan puasa serta tidak
mengharuskan pembayaran kafarah jika benar-benar dilakukan dalam keadaan lupa, bukan berpura-pura lupa.
22
5. Al-Jahl ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam memakan
makanan yang diharamkan disebabkan ketidaktahuannya tentang hukum yang berlaku dalam agama Islam.
23
6. Al-‘Usr kesulitan dan ‘Umûm al-Balwâ kesulitan yang umum terjadi dan
sulit untuk dihindari, misalnya salat disertai najis yang ma‘fû,
20
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 108
21
Al-Fâdânî, Al- Fawâ’id al-Janiyyah, h. 229
22
Al-Fadani, Al- Fawâ’id al-Janiyyah, h. 229
23
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 56
24
ketidakwajiban qadla’ salat bagi wanita yang haid, kebolehan melihat
perempuan yang akan dipinang pada saat khi ṯbah, pengguguran dosa bagi
orang yang salah dalam berijtihad dan legalitas beberapa akad dan transaksi yang diatur dalam fikih
mu‘âmalah seperti khiyâr, ḫiwâlah pemindahan hutang, iqâlah pembatalan persetujuan, gadai dan lain-lain.
24
7. Al-Naqṣ kekurangmampuan bertindak hukum, misalnya ketiadaan
pembebanan hukum taklîf bagi anak kecil, orang gila dan orang mabuk dan ketidakwajiban salat Jumat dan jihad bagi perempuan.
25
Kaidah fikih “عستا رمأا اض ا إ” bisa kita terapkan ketika kita menghadapi
ketujuh macam kondisi yang memperbolehkan rukh ṣah di atas. Pada dasarnya
cara pengaplikasian kaidah ini tidaklah berbeda dengan cara pengaplikasian kaidah pokoknya yaitu kaidah “ريسيتلا بلجت قشملا”. Keluasan hukum yang
dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan sehingga mukallaf tidak bisa seenaknya sendiri mempermainkan aturan hukum syariat. Oleh karena itu,
para ulama ahli fikih juga membuat kaidah aksioma dari kaidah ini yaitu “ عستا ا إ اض رماا”.
26
Kaidah aksioma ini berarti bahwa keadaan lapang yang dimilki oleh mukallaf akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas. Salah satu contoh
dari kaidah ini adalah ketika melaksanakan salat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Akan tetapi, jika gerakan yang kita lakukan adalah
24
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 108-
109
25
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 111
26
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115
25
disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata
lain, salat yang kita laksanakan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang
عستا, sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas اض, yakni tidak diperbolehkan melakukan gerakan yang berlebihan.
27