Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian

65 bentuknya sebagaimana semula dan dimanfaatkan tuntuk kepentingan bersama. Pasal ini juga mengandung asas tolong-menolong antar sesama Muslim, terutama antar saudara sesama penerima harta waris. 2. Menyampaikan wasiat di hadapan selain pejabat Pasal 206 menyatakan bahwa orang yang hendak berwasiat sedangkan ia berada dalam perjalanan laut, maka wasiatnya dapat disampaikan pada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan disertai dua orang saksi. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah bahwa wasiat tidak selalu harus disampaikan kepada pejabat berwenang seperti Notaris. Kondisi orang yang hendak berwasiat yang sedang berada dalam perjalanan laut, belum tentu ia dapat menemukan pejabat Notaris di kapal yang ditumpanginya tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusi yang diberikan oleh pasal ini, ia diperkenankan untuk menyampaikan wasiatnya kepada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan dua orang saksi yang dapat dipercaya akan menyampaikan wasiatnya kelak. Setelah penulis menyebutkan dan menjelaskan satu-persatu pasal KHI yang dipandang sebagai aplikasi dari kaidah kaidah fikih “ قاض اذإ عستا رمأا ” di atas, penulis menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pasal-pasal tersebut menghendaki kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia. 66 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dan menganalisis pengaplikasiannya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” adalah apabila suatu kondisi yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam kedaan tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. Ketika suatu aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum rukh ṣah dengan alasan-alasan tertentu. 2. KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam pasal-pasalnya. Keseluruhan dari peraturan yang disampaikan oleh pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia. 67

B. Saran

Dari kesimpulan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis juga ingin memberikan saran-saran terkait dengan pengaplikasian kaidah fikih “ اذإ عستا رمأا قاض”, yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai subjek hukum, kita harus selalu mengingat bahwa fleksibilitas hukum, baik hukum Islam maupun konvensional bukanlah tanpa batasan. Keluasan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan tertentu sehingga kita tidak diperbolehkan seenaknya sendiri mempermainkan aturan syariat atau hukum yang berlaku. 2. Sebenarnya, pengaplikasian kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” tidak hanya terbatas ada pada pasal-pasal KHI. Majelis hakim sebagai pembuat keputusan atas permaslahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat hendaknya berpegang teguh pada kaidah ini. Karena dengan pertimbangan kaidah ini, hakim diarahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan berbagai sisi keadaan yang sedang dihadapi oleh penuntut keadilan.