Metodologi Penelitian Aplikasi Kaidah Fikih Idza Daqa Al-Amr Ittasa Dalam Sumber Hukum Matenal Keluarga ISlam Indonesia

15 tersebut, aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dan korelasinya dengan Maqâ ṣid al-Syarî‘ah. BAB III : POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA Bab ini berisikan definisi dan cakupan hukum keluarga Islam Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga Indonesia dan KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam Indonesia. BAB IV : ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “عستا رمأا قاض اذإ” DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI INDONESIA Bab ini berisikan aplikasi kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ” dalam KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia yang kemuadian diperinci dalam bidang pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan. BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan beberapa saran yang dianggap perlu dan berkaitan dengan penelitian ini. 16 BAB II KONSEP KAIDAH FIKIH “ اذإ قاض رمأا عستا ” A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum Kaidah merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab yaitu Qâ ‘idah عاق. Kata Qâ‘idah dari segi bahasa, merupakan bentuk singular dari kata Qawâ ‘id, bentuk ism fâ‘il dari kata dasar “ عق”, yang berarti „asal‟ atau „pokok‟. 1 Adapun pengertian kaidah fikih secara terminologi adalah hukum umum kull î yang mencakup sebagian besar hukum khusus juz’î, yang mana dengan mengetahui hukum umum tersebut, akan diketahui pula hukum-hukum khususnya. 2 Adapun keterkaitan antara hukum kullî dan juz’î tersebut adakalanya diketahui dari hubungan yang nampak nyata dan pasti di antara keduanya dan adakalanya juga diketahui dari hubungan yang besifat dugaan. 3 Hukum umum tersebut adalah hukum yang dikaitkan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syâri‘ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya bagi mukallaf. 4 B. Definisi Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ” Kaidah ini adalah salah satu cabang dari lima kaidah fikih dasar yaitu kaidah “ريسيتلا بلجت قشملا”. Maksud dari kaidah ini adalah apabila suatu kondisi yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi 1 Ibn Man ẕûr, Lisân al-‘Arab, Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub, 2003, Juz II, h. 362 2 Tâj al-Dîn al-Subkî, Al-Asybâh wa al-Na ẕâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al- „Ilmiyyah, 1991, Juz I, h. 23 3 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 11 4 Imam Musbikin, Qawa‘id al-Fiqhiyah, h. 7 17 lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam keadaan tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. 5 Kaidah ini adalah salah satu kaidah yang dicetuskan oleh Imam Al-Syâ fi„î w. 204 H . 6 Dasar hukum dari kaidah ini adalah firman Allah SWT dan Hadis Rasulullah SAW, 7 yaitu:         Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. ” QS. Al-Baqarah: 185 : اق م ي نلا نع ريره يبأ نع ه لغ اإ حأ ني لا اشي نل 8 Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnyasemakin berat dan sulit. ” HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î Adapun makna kondisi sempit yang dimaksud oleh kaidah ini adalah kemungkinan kecil untuk menjalankan aturan hukum. Ketika suatu aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini tidak lain bertujuan 5 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121 6 Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115 7 Al-Fadani, Al- Fawâ’id al-Janiyyah, h. 243 8 Al-Bukhârî, a ḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16