40
menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai oleh VOC.
12
Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama karena pada tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan Indonesia kepada Hindia Belanda.
Pada masa ini, secara sistematis penggunaan hukum Islam tidak diakui lagi. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengganti sistem hukum Islam yang
berlaku menjadi hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda memaksakan pemberlakuan dua sistem yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum adat yang
diperuntukkan untuk golongan bumiputera dan hukum barat bagi golongan Eropa.
13
Upaya paksaan untuk melenyapkan hukum Islam yang dilakukan oleh kolonial Belanda terakhir kali ditetapkan melalui Staatsblaad 1937 No. 116.
Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar yang berisi sebagai berikut:
14
a. Hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat
b. Pencabutan wewenang Peradilan Agama Raad untuk mengadili perkara
kewarisan dan dialihkan kepada Peradilan Negeri Landraad c.
Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya berwenang memeriksa perkara perkawinan saja
12
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 13
13
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 26-27
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 18
41
Meskipun pelarangan tersebut di atas telah dipublikasikan secara terang-terangan, namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat
Muslim yang mengajukan perkara kewarisan ke Peradilan Agama. Peradilan Agama terbukti menyelesaikan perkara dengan cara yang megesankan pada
masa itu. Masyarakat Muslim menganggap bahwa hasil keputusan yang dikeluarkan oleh Peradilan Agama bersifat lebih islami dan sesuai dengan
kesadaran hukum yang mereka yakini.
15
2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga Islam dapat terbagi menjadi dua masa perkembangan, yakni
masa orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama, pelembagaan hukum Islam dimulai dengan pendirian Departemen Agama pada tanggal 3 Jnuari
1946. Dengan terbentuknya Depag, maka kewenangan Peradilan Islam telah dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama. Penataan hukum
Islam, baik yang berkenaan dengan administrasi maupun kelembagaan hukum Islam yang mengatur perkawinan, rujuk, talak dan wakaf diberlakukan
di bawah pengawasan Menteri Agama.
16
Pada masa ini, legislatif merumuskan beberapa peraturan perundang- undangan tentang kekeluargaan, di antaranya adalah UU No. 22 Tahun 1946
Tentang Pencatatan Nikah dan UU No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Perumusan undang-undang ini merupakan solusi
15
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 96
16
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 22
42
bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Langkah ini juga merupakan respon atas praktek-praktek negatif yang terjadi dalam
perkawinan seperti pernikahan di bawah umur, praktek poligami tanpa tanggung jawab dan perceraian yang dilakukan semena-mena oleh pihak
suami.
17
Pada masa selanjutnya, yaitu masa orde baru, pemerintah melakukan langkah-langkah yang dipandang sebagai kebangkitan hukum keluarga Islam
di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan dilegalkan sebagai respon positif dari tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya kepastian
hukum keluarga khususnya bagi pegangan hukum untuk hakim di Pengadilan Agama.
18
Peraturan perundang-undangan terkait perihal kekeluargaan yang lahir pada masa ini di antaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dan Kompilasi Hukum Islam.
UU No. 11974 tentang Perkawinan diberlakukan bagi seluruh warga Indonesia dan bagi seluruh agama. UU ini mencerminkan upaya pemerintah
untuk menyatukan undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang perkawinan itu sendiri di bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum
adat dan hukum agama. UU Perkawinan ini juga merupakan upaya pemerintah dalam menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia
17
Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”, artikel diakses pada 24 Oktober 2015 dari https:www.academia.edu4836677RESPON-
MASYARAKAT-TERHADAP-HUKUM-KELUARGA-ISLAM
18
Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”
43
tentang kedudukan hukum mereka dalam beberapa peristiwa hukum, terutama poligami dan perceraian.
19
Perumusan UU Perkawinan ini merupakan salah satu pencapaian besar dalam perkembangan kodifikasi hukum keluarga materiil Indonesia.
Meskipun isi materi dari UU ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, namun UU ini belum bisa dikategorikan sebagai sumber hukum keluarga
Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan penyusunan UU ini tidak didasarkan pada ajaran Islam murni. Selain itu, objek pemberlakuan UU ini juga bersifat
sangat umum yaitu bagi masyarakat Indonesia dari semua agama. Oleh karena itu, pada beberapa dekade selanjutnya, para ahli hukum memandang
perlu untuk merumuskan sebuah buku hukum yang bisa dikhususkan berlaku bagi masyarkat Muslim Indonesia dengan komposisi yang lebih lengkap dari
UU Pernikahan ini. Buku hukum tersebut kemudian kita kenal sebagai Kompilasi Hukum
Islam KHI. Objek pemberlakuan kompilasi ini adalah khusus bagi masyarakat Muslim Indonesia. selain itu, kompilasi ini mengandung
komposisi yang lebih lengkap terkait hukum keluarga Islam Indonesia karena telah mencakup pembahasan tentang kewarisan di samping pembahasan
tentang pernikahan.
C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga Islam Indonesia
Pada awalnya, hukum materiil keluarga Islam Indonesia yang berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Agama adalah hukum Islam atau yang lebih dikenal
19
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 14
44
dengan fikih. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada sub pembahasan sebelumnya, hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan
hukum tertulis sistem hukum positif dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama salaf. Para ulama tersebut hidup dalam keadaan sosiokultural yang
berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Para hakim Peradilan Agama sering kali membuat keputusan yang berbeda atas permaslahan yang sama yang
dihadapi oleh masyarakat Muslim pada masa itu. Oleh karena itu, hakim Peradilan Agama dinilai tidak konsisten dalam memutuskan perkara. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, badan legislatif menyusun sebuah kompilasi hukum Islam dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dan
menyatukan persepsi di kalangan mereka dalam memutuskan perkara.
1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI
Ide kompilasi hukum muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Dalam pelaksanaan
pembinaan tersebut, Mahkamah Agung merasakan beberapa permasalahan yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama.
20
Salah satu contoh permasalahan tersebut adalah implementasi hukum Islam yang terkadang
menimbulkan perbedaan pemahaman bagi umat Muslim. Hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama Indonesia sebelum tahun 1991, cenderung
simpang siur disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ulama fikih dalam setiap persoalan. Di samping itu, kerancuan dalam
memahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan
20
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 98