44
dengan fikih. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada sub pembahasan sebelumnya, hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan
hukum tertulis sistem hukum positif dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama salaf. Para ulama tersebut hidup dalam keadaan sosiokultural yang
berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Para hakim Peradilan Agama sering kali membuat keputusan yang berbeda atas permaslahan yang sama yang
dihadapi oleh masyarakat Muslim pada masa itu. Oleh karena itu, hakim Peradilan Agama dinilai tidak konsisten dalam memutuskan perkara. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, badan legislatif menyusun sebuah kompilasi hukum Islam dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dan
menyatukan persepsi di kalangan mereka dalam memutuskan perkara.
1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI
Ide kompilasi hukum muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Dalam pelaksanaan
pembinaan tersebut, Mahkamah Agung merasakan beberapa permasalahan yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama.
20
Salah satu contoh permasalahan tersebut adalah implementasi hukum Islam yang terkadang
menimbulkan perbedaan pemahaman bagi umat Muslim. Hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama Indonesia sebelum tahun 1991, cenderung
simpang siur disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ulama fikih dalam setiap persoalan. Di samping itu, kerancuan dalam
memahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan
20
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 98
45
bukan sekedar doktrin ulama terkadang masih menimbulkan kegalauan para hakim dalam memutuskan suatu perkara.
21
Pada saat itu, para ahli hukum Islam Indonesia merasakan keperluan adanya keseragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam
yang akan dijadikan pegangan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Keinginan untuk
menyeragamkan hukum
Islam tersebut
menimbulkan gagasan terwujudnya KHI.
22
Adapun tokoh penggagas perumusan KHI adalah Busthanul Arifin yang pada saat itu menjabat sebagai
Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
23
Setelah gagasan Busthanul Arifin disepakati oleh Mahkamah Agung, Tim Pelaksana Proyek KHI dibentuk dengan adanya Surat Keputusan
Bersama SKB No. 07KMA1985 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung bersama Menteri Agama.
24
Proses penyusunan KHI dilakukan secara partisipatif. Penyusunannya melibatkan pejabat pemerintahan, hakim dan para
pemimpin masyarakat ulama dan cendekiawan yang representatif.
25
Proyek penyusunan KHI dimulai sejak tahun 1985. Tim penyusun rancangan
kompilasi ini berasal dari Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Proses
21
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 144-145
22
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 99
23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI,
Jakarta: Kencana, 2004, h. 30
24
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI, h. 31
25
Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
h. 15
46
penghimpunan bahan kompilasi tersebut ditempuh melalui empat jalur, yaitu sebagai berikut:
26
a. Pengumpulan data melalui telaah dan kajian kitab-kitab yang berkaitan
dengan materi kompilasi. Tugas ini dijalankan oleh 7 IAIN dari seluruh Indonesia, yaitu IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Ar Raniry Banda Aceh, IAIN Antasari
Banjarmasin, IAIN Alaudin Makassar dan IAIN Imam Bonjol Padang. Kitab-kitab fikih yang dikaji tidak hanya yang bermazhab Syâ
fi„î, tetapi juga kitab-kitab yang bermazhab
Ḫanbalî, Mâlikî dan Ḫanafî. Langkah kajian kitab ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami perbandingan
pemikiran di antara keempat ajaran mazhab. Langkah ini sangat bermanfaat bagi perkembangan hukum Islam Indonesia yang sedang
berhadapan dengan paradigma baru dan pluralisme masyarakat.
27
b. Pengumpulan data melalui wawancara dengan para ulama yang
dilakukan oleh beberapa Pengadilan Tinggi Agama. Langkah ini mempunyai peran penting karena anggapan dasar bahwa
KHI ditujukam untuk mensistemasi dan menyusun aturan-aturan Islam untuk mengatur masalah-masalah keluarga yang selama ini diterapkan
oleh umat Islam dan hakim Pengadilan Agama di Indonesia yang berdasarkan pada kitab fikih. Ulama yang dipandang memiliki
26
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 148
27
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18