Permasalahan Aplikasi Kaidah Fikih Idza Daqa Al-Amr Ittasa Dalam Sumber Hukum Matenal Keluarga ISlam Indonesia

10 kaidah fikih pokok. Kaidah fikih ini dapat dikembangkan menjadi sebelas kaidah fikih turunan. Kaidah fikih ini adalah termasuk kaidah yang mencakup seluruh permasalahan yang timbul dalam fikih, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muamalah. Kaidah fikih ini dapat diterapkan dalam segala bidang fikih, misalnya dalam bidang perkawinan yang didasarkan pada kaidah turunan dari kaidah fikih tersebut yaitu kaidah fikih “ عاضبإا يف لصأا ميرحتلا”. Selain itu, penulis juga mengungkapkan bahwa kaidah fikih ا نيقيلا كشلاب لازي dapat juga diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia, di antaranya adalah Undang-Undang Perakwinan dan Undang-Undang Wakaf. Undang-Undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu juga didasarkan pada kaidah fikih tersebut baik secara langsung maupun melalui kaidah turunannya. Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang satu pembahasan kaidah fikih. Perbedaannya adalah bahwa skripsi tersebut membahas tentang kaidah fikih “كشلاب لازي ا نيقيلا, sedangkan skripsi ini membahas tentang kaidah fikih “عستا رمأا قاض اذإ”. 2. Skripsi yang berjudul “Penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya terhadap Putusan Hakim; Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”, ditulis oleh Taufikurrohman, Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Penulis menyatakan bahwa prosedur poligami yang begitu ketat sebagaimana yang diatur dalam KHI 11 adalah bagian dari Maslahah Mursalah. Selama prosedur-prosedur tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan Maqâ ṣid al-Syarî’ah, maka prosedur poligami yang ditetapkan dalam KHI adalah sah-sah saja. Penulis juga memaparkan bahwa penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI terhadap putusan hakim dalam kasus penceraian karena poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Tolak ukur penulis dalam pernyataan tersebut adalah pemikiran mayoritas hakim ketika memutus perkara dengan keyakinan bahwa perceraian karena poligami adalah maslahah dan juga telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pernyataan penulis dibuktikan dengan adanya empat kasus gugat cerai yang ditandatangani pada tahun 2007 lalu dikabulkan oleh Majelis Hakim karena tergugat menyalahi prosedur poligami yang merupakan bagian dari penerapan maslahah mursalah. Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang aplikasi perangkat fikih dalam KHI. Perbedaannya adalah bahwa skripsi tersebut membahas tentang aplikasi salah satu sumber hukum Islam yaitu Masla ḫah Mursalah dalam KHI, sedangkan skrispsi ini membahas tentang aplikasi salah satu kaidah fikih yaitu “عستا رمأا قاض اذإ”. Berdasarkan uraian dua skripsi di atas, penulis menganggap bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak akan tumpang tindih dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lalu adalah dikarenakan penulis akan meneliti penerapan kaidah fikih yang berbeda dalam KHI, yaitu kaidah “عستا رمأا قاض اذإ”.