17
lebih  leluasa.  Apabila  mukallaf  mengalami  kesempitan  atau  kesukaran  dalam menjalankan  suatu  aturan  hukum,  maka  menurut  kaidah  ini  dalam  keadaan
tersebut,  ia  mempunyai  kesempatan  untuk  mendapatkan  keringanan  dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya.
5
Kaidah  ini  adalah  salah  satu  kaidah  yang  dicetuskan  oleh  Imam  Al-Syâ fi„î
w.
204  H
.
6
Dasar  hukum  dari  kaidah  ini  adalah  firman  Allah  SWT  dan  Hadis Rasulullah SAW,
7
yaitu: 
 
 
 
Artinya: “Allah  SWT  menghendaki  kemudahan  bagimu  dan  tidak  menghendaki
kesukaran bagimu. ” QS. Al-Baqarah: 185
: اق م ي نلا نع  ريره يبأ نع ه لغ اإ  حأ ني لا  اشي نل
8
Artinya:  Dari  Abû  Hurairah,  dari  Rasulullah  SAW,  beliau  bersabda: “Dan
tidaklah  seseorang  mempersulit  agama  kecuali  dia  akan  dikalahkan olehnyasemakin berat dan sulit.
” HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î Adapun  makna  kondisi  sempit  yang  dimaksud  oleh  kaidah  ini  adalah
kemungkinan kecil untuk menjalankan aturan hukum. Ketika suatu aturan hukum syariat  yang  berlaku  menjadi  alasan  pembebanan  atau  pemberat  bagi  mukallaf
untuk  memenuhi  kebutuhannya,  maka  ia  berhak  mendapatkan  keringanan  dan kelonggaran  hukum  dengan  alasan-alasan  tertentu.  Hal  ini  tidak  lain  bertujuan
5
„Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121
6
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115
7
Al-Fadani, Al- Fawâ’id al-Janiyyah, h. 243
8
Al-Bukhârî,  a ḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16
18
agar  mukallaf  tidak  merasa  terbebani  oleh  syariat  dan  memperoleh  kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya.
9
Allah  SWT  menghendaki  makhluk-Nya  untuk  beribadah  kepada-Nya dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah tidak
lain  bertujuan  untuk  mewujudkan  kemaslahatan  di  antara  mereka.  Allah  SWT membentuk  syariat  Islam  dengan  asas  mempermudah  dan  menyingkirkan
pembebanan  bagi  mukallaf.  Oleh  karena  itu,  ketika  mukallaf  tidak  mungkin menjalankan  suatu  syariat  kecuali  dengan  disertai  kesusahan  dan  kepayahan
masyaqqah,  maka  Allah  SWT  akan  memberikan  kemudahan  baginya  dan menerapkan  syariat  yang  sesuai  dengan  kondisi  yang  sedang  dihadapinya
sehingga ia dapat terhindar dari kesempitan hukum dan tidak merasa terbebani.
10
C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ”
Pada sub pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan bahwa kaidah ini  memberikan  peluang  keringanan  dan  keluasan  hukum  bagi  mukallaf  ketika
dalam  keadaan-keadaan  tertentu.  Meskipun  demikian,  mukallaf  tidak  dapat mengaplikasikan kaidah ini begitu saja di setiap kondisi dan keadaan sukar  yang
sedang  dialami.  Oleh  karena  itu,  beberapa  ulama  memberikan  keterangan  lebih lanjut tentang pembatasan penerapan kaidah ini, seperti Ibn Abî Hurairah w. 345
H.  Beliau  menyatakan  bahwa  ketika  memutuskan  setiap  langkah  hukum  maka beliau  menggunakan  pertimbangan  kaidah  ini.  Apabila  kondisi  yang  dihadapi
mukallaf menjadi sukar maka hukum yang mengaturnya dapat diperluas. Namun
9
„Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121
10
„Abd  al-Ra mân  Ibn  âli   al-„Abd  al-Laṯîf,  Al-Qawâ‘id  wa  al-Dlawâbiṯ  al- Fiqhiyyah  al-Mutadlamminah  li  al-Taysîr,  Madinah:  Lembaga  Penelitian  Keilmuwan
Universitas Islam Madinah, 2003, Juz I, h. 118
19
sebaliknya,  apabila  kondisi  yang  dihadapi  sangat  leluasa  maka  aturan  hukumnya harus dipersempit sehingga mukallaf tidak dapat meremehkannya.
11
Al-Ghazâlî w. 505 H kemudian menambahkan bahwa segala sesuatu yang melampaui  batas  maka  ketentuan  hukum  yang  berlaku  harus  dikembalikan  pada
hukum  asalnya.
12
Dari  stetmen  dua  ulama  di  atas,  kita  dapat  memahami  bahwa fleksibilitas  syariat  bukanlah  tanpa  batasan.  Keadaan  dan  kondisi  yang  sedang
dihadapi oleh mukallaf adalah tolak ukur dari pembebanan hukum yang diberikan oleh syariat.
D. Sebab-Sebab Yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah Fikih “ رمأا قاض اذإ
عستا”
Sebagaimana  yang  telah  penulis  jelaskan  sebelumnya,  kaidah  ini  adalah salah satu kaidah cabang dari kaidah fikih “ريسيتلا بلجت  قشملا”. Tolak ukur utama
yang menjadi prioritas dalam kaidah ini adalah unsur masyaqqah yang dirasakan oleh  mukallaf.  Dar  segi  bahasa,  masyaqqah  berarti
جلا  kesulitan,  بعتلا keletihan,
شلا kesukaran dan ءانعلا kepayahan.
13
Secara garis besar, kaidah ini berarti  kesukaran  yang  dialami  oleh  mukallaf  menghendaki  kemudahan  hukum.
Apabila mukallaf  berada pada kondisi kesulitan dalam menjalankan suatu aturan
11
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 115
12
Al-Ghazâlî,  I ḫyâ’  ‘Ulûm  al-Dîn,  Mesir:  Maktabah  al-Syurûq  al-Dauliyyah,
2010, Juz II, h. 131
13
Ibn Man ẕûr, Lisân al-‘Arab, Juz VI, h. 51
20
hukum yang berlaku, maka kesulitan tersebut menjadi penyebab yang dibenarkan untuk memperoleh kemudahan, keringanan dan penghapusan aturan hukum.
14
Pada  dasarnya,  masyaqqah  sendiri  bersifat  individual  karena  mungkin  saja suatu  kondisi  merupakan  masyaqqah  bagi  seseorang  tapi  tidak  bagi  orang  lain.
Meskipun  demikian,  syariah  memilki  standar  umum  yang  sesungguhnya  bukan termasuk  masyaqqah  dan  tidak  dapat  dijadikan  sebagai  penyebab  keringanan
hukum  misalnya  perasaan  berat  untuk  berwudlu  pada  musim  dingin,    perasaan berat untuk berpuasa pada musim panas atau perasaan berat bagi terpidana untuk
menjalankan  hukuman.  Keadaan-keadaan  tersebut  tidak  dapat  dianggap  sebagai masyaqqah dalam tataran hukum Islam.
15
Adapun  untuk  membedakan  masyaqqah  yang  dapat  berpengaruh  dalam tataran  hukum,  Al-Syâ
ṯibî  w.  790  H  memberikan  sebuah  batasan  bahwa  jika pekerjaan  tersebut  dilakukan  terus  menerus  justru  akan  menyebabkannya
ditinggalkan  secara  total  atau  hanya  dikerjakan  sebagian  sehingga  menjadi  tidak sempurna.  Kesulitan  dalam  sebuah  perbuatan  yang  berdampak  terhadap  hal-hal
tersebut adalah termasuk kategori masyaqqah yang „keluar dari kebiasaan‟, dalam
artian  bahwa  kesulitan  yang  semacam  itu  akan  mempengaruhi  formulasi  hukum yang dihasilkan. Apabila kondisi yang dihadaip  mukallaf tidak sampai pada taraf
yang demikian maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.
16
14
Na r Fârid Mu ammad Wâ il dan „Abd  al-„Azîz Mu ammad „Azzam, Qawaid
Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, cet. III, Jakarta: Amzah, 2013, h. 58
15
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II, Jakarta: Kencana, 2007, h. 57
16
Al-Syâ ṯibî, Al-Muwâfaqât, Kementrian Agama Saudi Arabia, 1424 H, Juz II, h.
121
21
Masyaqqah  juga  terbagi  menjadi  beberapa  karakter  yang  berbeda-beda. Masing-masing  dari  karakter  masyaqqah  ini  menyebabkan  konsekuensi  hukum
yang  berbeda-beda  pula.  Al-Suyû ṯî  w.  911  H  membagi  karakteristik  kesulitan
masyaqqah secara umum menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
17
1. Masyaqqah  yang  tidak  dapat  menggugurkan  kewajiban  ibadah,  misalnya
rasa  lelah  ketika  melakukan  perjalanan  haji  tidak  dapat  menggugurkan kewajiban  ibadah  haji.  Masyaqqah  semacam  ini  sudah  merupakan  tabiat
dasar  dan  konsekuensi  logis  dari  jenis  pekerjaan  yang  sedang  dilakukan. Artinya,  kewajiban  seperti  haji  hanya  dapat  terlaksana  jika  mukallaf  telah
melewati  kesulitan-kesulitan  berupa  rasa  lelah,  capek  dan  sebagainya.  Oleh karena  itu,  keringanan  hukum  tidak  dapat  diterapkan  pada  masyaqqah  jenis
ini. 2.
Masyaqqah  yang  dapat  menggugurkan  kewajiban.  Masyaqqah  jenis  ini terbagi lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit untuk ditanggung Al-
Masyaqqah al- A‘lâ, seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,
keturunan,  organ  tubuh  dan  hal-hal  yang  mendasar  lainnya.  Pada  taraf ini,
syariat memberlakukan
keringanan hukum
dikarenakan pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban syariat harus
lebih diutamakan daripada tidak melaksankannya sama sekali. Artinya, jika  umat  Islam  masih  „dipaksa‟  melaksanakan  kewajiban  yang
sebenarnya  sudah  tidak  mampu  dikerjakan  maka  akan  bearkibat  fatal
17
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 106