Penjelasan Ulama tentang Kaidah Fikih “عستا رمأا قاض اذإ”
21
Masyaqqah juga terbagi menjadi beberapa karakter yang berbeda-beda. Masing-masing dari karakter masyaqqah ini menyebabkan konsekuensi hukum
yang berbeda-beda pula. Al-Suyû ṯî w. 911 H membagi karakteristik kesulitan
masyaqqah secara umum menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
17
1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban ibadah, misalnya
rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji tidak dapat menggugurkan kewajiban ibadah haji. Masyaqqah semacam ini sudah merupakan tabiat
dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika mukallaf telah
melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek dan sebagainya. Oleh karena itu, keringanan hukum tidak dapat diterapkan pada masyaqqah jenis
ini. 2.
Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis ini terbagi lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit untuk ditanggung Al-
Masyaqqah al- A‘lâ, seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,
keturunan, organ tubuh dan hal-hal yang mendasar lainnya. Pada taraf ini,
syariat memberlakukan
keringanan hukum
dikarenakan pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban syariat harus
lebih diutamakan daripada tidak melaksankannya sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih „dipaksa‟ melaksanakan kewajiban yang
sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan maka akan bearkibat fatal
17
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 106
22
pada keselamatan jiwa ataupun raganya. Hal ini tentu akan menyebabkan kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan
pemberlakuan keringanan hukum, maka kewajiban tersebut tetap dapat terlaksana.
b. Masyaqqah yang sangat ringan Al-Masyaqqah al-Adnâ, seperti pegal-
pegal, pusing, pilek dan lain sebagainya. Pada taraf ini, syariat tidak dapat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan kemaslahatan
ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah kerusakan yang timbul dari masyaqqah jenis ini. Artinya, mafsadah yang akan
timbul dari hal-hal seperti ini masih sangat minim sehingga kemaslahatan ibadah harus lebih diutamakan.
c. Masyaqqah pertengahan yang berada di antara dua bagian sebelumnya
Al-Masyaqqah al-Mutawassi
ṯah. Masyaqqah jenis ini bisa mendapatkan keringanan hukum jika kadar kesulitannya telah
mendekati Al-Masyaqqah al- A‘lâ. Sebaliknya, jika kadar kesulitannya
lebih dekat pada Al-Masyaqqah al-Adnâ maka tidak bisa mendapatkan keringanan hukum.
Keringanan hukum dalam terminologi fikih disebut dengan rukh ṣah.
Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan rukh ṣah ada tujuh macam,
18
yaitu: 1.
Al-Safar perjalanan, misalnya kebolehan jama‘ dan qaṣr salat, berbuka puasa dan meninggalkan salat Jumat.
19
18
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 55
19
Al-Suyû ṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘î, h. 107