53
BAB IV ANALISIS APLIKASI
KAIDAH FIKIH “عستا رمأا قاض اذإ” DALAM KHI SEBAGAI SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA
Lingkup pembahasan hukum keluarga yang diatur dalam KHI terdiri dari pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan. KHI sebagai kitab fikih
Indonesia yang telah dilegalformalkan juga menerapkan berbagai macam kaidah fikih dalam substansi materinya. Menurut penulis, salah satu kaidah fikih yang
diaplikasikan dalam KHI adalah kaidah “عستا رمأا قاض اذإ”. Setelah melakukan pengamatan pada pasal demi pasal yang terdapat di KHI, penulis menemukan
beberapa pasal yang menerapkan konsep kaidah ini, di antaranya sebagai berikut:
A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan
1. Pengajuan isbat nikah bagi pernikahan yang tidak dapat dibuktikan dengan
akta nikah Pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dapat dibuktikan
dengan akta nikah, maka pasangan suami istri yang bersangkutan dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Pernikahan yang diakui oleh
negara adalah pernikahan yang telah dicatatkan di Catatan Sipil Negara. Pencatatan nikah akan berakibat pada perlindungan hukum bagi para pihak
yang ada dalam ikatan pernikahan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagian masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa pencatatan pernikahan adalah
hal sangat penting di negara kita. Pasal ini menunjukkan fleksibilitas hukum bahwa pernikahan tanpa akta nikah bukan berarti legalitasnya tidak akan
54
diakui oleh negara untuk selamanya. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kesempatan bagi sepasang suami istri untuk mengajukan isbat
ke Pengadilan Agama agar pernikahan mereka mendapatkan perlindungan hukum dan legalitas dari negara.
2. Persetujuan menikah dengan menggunakan tulisan atau isyarat bagi orang
yang tuna wicara atau tuna rungu Pasal 17 ayat 3 menyatakan bahwa calon mempelai yang hendak
melaksanakan pernikahan sedangkan ia dalam kondisi tuna wicara atau tuna rungu, maka ia dapat menyatakan persetujuannya untuk menikah dengan
tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Persetujuan untuk menikah dari mempelai laki-laki dan perempuan adalah hal yang sangat penting.
Pernikahan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari kedua belah pihak mempelai. Persetujuan yang dimaksud adalah dengan lisan. Namun
apabila salah seorang dari mempelai adalah tuna wicara atau tuna rungu, maka pasal ini memberikan keluasan hukum dengan memperbolehkan
persetujuan dengan menggunakan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. 3.
Perwalian wali ab‘ad yang lebih jauh hubungan nasabnya dikarenakan uzur wali aqrab yang lebih dekat hubungan nasabnya
Pasal 22 menyatakan bahwa apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat sebagai wali, tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak
perwaliannya bergeser pada wali nikah lain yang berada pada derajat nasab berikutnya. Dalam undang-undang pernikahan Islam Indonesia, wali adalah
salah satu rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita. Oleh
55
karena itu, pernikahan tanpa wali dari pihak perempuan, maka pernikahan tersebut tidak sah. Wali nikah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu 1
kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas seperti ayah dan seterusnya; 2 kelompok kerabat saudara laki-laki dan keturunannya; 3 kelompok kerabat
paman dan keturunannya; 4 kelompok saudara laki-laki kandung kakek dan keturunannya. Orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah orang
yang memiliki hubungan nasab paling dekat dengan calon mempelai perempuan. Apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat sebagai wali, tuna
wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka bukan berarti calon mempelai sudah tidak bisa melangsungkan pernikahan. Pasal ini memberikan keluasan
hukum berupa kebolehan mengangkat wali nikah dari golongan ab‘ad yang
lebih dekat hubungan nasabnya sehingga pernikahan tetap bisa dilaksanakan. 4.
Penunjukan wali hakim disebabkan uzur wali nasab Pasal 23 ayat 1 menyatakan bahwa wali hakim boleh bertindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin dihadirkan, tidak diketahui tempat tinggalnya ghâ
’ib atau enggan untuk menikahkan ‘adlal. Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh perempuan yang tinggal jauh dari
keluarganya. Ketika perempuan tersebut hendak menikah sedangkan ia tidak mungkin mendatangkan wali nasab untuk menikahkannya, maka pasal ini
memberikan keluasan hukum berupa kebolehan menunjuk wali hakim untuk menikahkannya.
5. Perwakilan ucapan qabûl nikah oleh laki-laki lain atas kuasa dari mempelai
pria
56
Pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, ucapan qabûl nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan ia telah memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah tersebut adalah untuk mempelai pria. Apabila mempelai pria berhalangan
hadir pada majelis akad nikahnya dikarenakan suatu sebab yang sangat mendesak, sedangkan majelis tersebut juga tidak memungkinkan untuk
dirubah waktu pelaksanaannya, maka ia diperbolehkan mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada orang lain yang dipercayainya. Kuasa tersebut harus
berupa kuasa tertulis dan disertai saksi atas perwakilan tersebut. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kebolehan bagi mempelai pria
untuk mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada laki-laki lain atas kuasa darinya sehingga majelis pernikahan tersebut dapat tetap dilangsungkan
dengan tanpa perubahan waktu yang mungkin malah akan menimbulkan kesulitan bagi kedua belah pihak mempelai yang hendak menikah.
6. Penggantian mahar yang hilang dengan barang jenis lain ketika mahar belum
diserahkan kepada mempelai wanita Pasal 36 menyatakan bahwa apabila mahar telah hilang sebelum diserahkan
pada mempelai wanita, maka mahar tersebut dapat diganti dengan barang lain yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli
yang telah hilang. Meskipun mahar bukan termasuk salah satu dari rukun pernikahan, pemberian mahar tetap harus dilakukan oleh mempelai pria,
walaupun hanya berupa barang yang remeh dan kecil. Hal ini dikarenakan mahar merupakan simbol penghargaan bagi mempelai wanita untuk dimiliki